Rabu, 17 April 2013

Berbagai Bentuk Keraguan dan Penolakan terhadap Agama



PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam. Atas taufik dan hidayahnya penulisan makalah yang berjudul Berbagai Bentuk Keraguan dan Penolakan Terhadap Agama ini dapat di rampungkan. Sholawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan pada junjungan kita yakni nabi besar mohammad saw yang mana atas perjuanan beliawlah kita dapat memahami Agama yang sebenarnya.    
Mempercayai ada dan tidak adanya tuhan tampaknya memiliki argument-argumen logis tersendri. Sebagaimana teisme mengungkapkan berbagai argumennya tentang eksistensi tuhan, sedangkan ateisme memberikan argumen bahwa tuhan itu tidak ada. Hikayat yang pertama lebih memperkuat keberadaan tuhan. Adapun hikayat yang kedua lebih cenderung pada keraguan tentang realitas tuhan, baik ragu terhadap adanya maupun tidak adanya.
Berikut berbagai bentuk keraguan mereka terhadap tuhan,antara lain adalah empirisme, materialism, positivism, dan freudalisme yang akan menjadi fokus pembahasan saya dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
Berbagai Bentuk Keraguan dan Penolakan Terhadap Agama
A.      Empirisme
David Hume adalah tokoh fisafat Barat yang mengembangkan filsafat empirisisme Locke dan Barkley secara konsekuen.
Menurut David Hume manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuannya dari pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yuaitu :
1.    Kesan –kesan ( Empressions )
     Kesan – kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah atau batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar.
2.    Idea –idea (ideas)
     Gambaran tentang pemgamatan yang redup , samar – samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesadaran kesan – kesan yang diterima dari pengalaman.
David Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan disbanding kesimpulan logika atau kemestian sebab – akibat. Menurut Hume akal tidak bia bekerja tanpa bantuan pengalaman. Untuk pertama kali kita tidak mungkin menangkap idea sebab – akibat karena kekuatan –kekuatan particular yang berjalan secara alami belum tertangkap oleh inderanya. Begitu juga akal tidak mampu sekaligus menyimpulkan berdasarkan satu peristiwa bahwa suatu sebab menimbulkan akibat tertentu karena hubungan itu bias berubah – ubah dan kasuistis.
Dengan penolakan terhadap teori kausalitas, Hume menghujat argument ontologism dan kosmologis tentang keberadaan Tuhan dan sekaligus membatasi kemampuan akal. Munculnya positivism yang dipelopori oleh Auguste Comte diwarnai oleh hide David hume, bahkan materialism bias dikatakan sebagai puncak dari empirisisme.
Para filsafat sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dari Tuhan adalah sebab alam. Menurut katyegori logika, keberadaan sebab lebih dahulu ketimbang akibat. Oleh karena itu, Tuhan sebagai sebab wajib ada, wujud-Nya mendahului alam, sedangkan alam sebagai akibat mungkin adanya wujud setelah Tuhan. Hume mulai menggugat dalil tersebut dengan menjungkilbalikkan teori kausalitas itu.
Menurut Hume ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini berarti kita berhadapan dengan dilema, kita berfikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing – masing. Hume tidak mampu membuktikan tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna seperti dunia ini. Agama berasal dari penghargaan dan ketakkuatan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah sebabnya manusia mengangkat dewa untuk disembah.
     Hume meragukan eksistensi tuhan karena tidak ada argument yang kuat untuk membuktikan adanya tuhan baik secara a posteriori maupun a priori. Kita hanya tahu alam ini adalah materi, jika kita mengasumsikan adanya kesejajaran sebab akibat kita akan mengatakan bahwa alam ini disebabkan oleh sebab material, bukan sebab spiritual.
Menurutnya, sumber utama dari agama itu adalah tahayul. Manusia pertama kali menemukan cermin di alam kemudian menciptakan tuhan-tuhan sesuai selera masing-masing.
Skeptisisme hume terhadap agama juga berdasarkan determinisme yang kaku ini. Jika tuhan maha baik, kenapa tidak menghilangkan kejahatan. Unutk masalah ini, dapat dijawab dengan kejahatan adalah bagian dari dunia yang tidak sempurna. Kekuasaan tuhan tidak diukur lewat entitas yang tidak memiliki kekuatan sama sekali atau lewat kekuatan natural. Tuhan memang berkuasa, manusia juga berkuasa. Tuhan maha bebas, dan manusia juga bebas. Tetapi kebebasan dan kekuasaan manusia lebih rendah tingkatannya ketimbang kebebasan dan kekuasaan tuhan. Dengan demikian kesempurnaan kebebasan tuhan diukur lewat kekurang bebasan manusia.
B.       Positivisme
Positivisme adalah kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan fungsi akal, adapun positivisme menggabungkan keduanya. Bagi positivisme, pengalaman perlu untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin agar akal mendapatkan suatu hukum yang bersifat universal. Empisisme menerima pengalaman subjektif, sedangkan positivisme terbatas pada pengalaman yang objektif saja.
 Positivisme asal katanya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang faktual, dan yang positif. Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja. Gejala-gejala disusun dalam hukum-hukum tertentu dengan melihat hubungan antara gejala tersebut. Setelah hukum itu tersusun, barulah seseorang melihat ke masa depan untuk mengembangkan ilmu.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitive. August comte, tokoh positivisme, membagi umat sejarah manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu, sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya kepada Yang Mutlak. Tahap ini terbagi lagi atas tiga tahap, yaitu animisme, politeisme, dan monoteisme. Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekuatan-kekuatan adikodrati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses generalisasi. Ketiga, tahap positif, yaitu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis. Zaman ini sesesorang tidak mau lagi meneliti awal dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemui hukum-hukum kesamaan yang ada di belakang fakta lewat pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai, bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam satu fakta yang umum saja.
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan manusia tidah saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi metafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian , pada awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah itu diabstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru dicerahkan oleh hukum-hukum positif.
Dengan demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, yang bisa diukur, dan yang bisa dibuktikan kebenarannya. Karena agama maksudnya Tuhan tidak bisa dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai oleh fakta, contoh ada badak bercula satu di ujung kulon. Jika memang ada badak bercula satu disana berarti, pernyataan itu benar, dan jika sebaliknya, berarti pernyataan itu salah. Ukuran ini, dalam epistemologi, disebut dengan teori korespondensi, yaitu suatu pernyataan dinyatakan benar apabila cocok dengan fakta empiris. Selain itu para positivisme berpendapat, menyibukkan diri dalm hal-hal yang demikian (eksistensi tuhan, agama) adalah sia-sia. Lebih baik menyibukkan diri pada hal-hal yang mungkin diketahui, yaitu gejala-gejala yang telah dikenal atau yang disajikan dengan panca indra.
C.      Materialisme
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme
Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti : roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada. Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural. Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Penggerak Pertama atau Sebab Pertama. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.
Definisi materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Dalam kamus besar bahasa indonesia materi adalah bahan;benda;segala sesuatu yang tampak.
Masih dari kamus yang sama disebutkan bahwa materialis adalah pengikut paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan(harta,uang,dsb).
Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Ini sesuai dengan kaidah dalam bahasa indonesia. Jika ada kata benda berhubungan dengan kata isme maka artinya adalah paham atau aliran.
Ciri-ciri paham materialism
Setidaknya ada 5 dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini:
1.      Segala yang ada(wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi(ma’dah).
2.      Tidak meyakini adanya alam ghaib
3.      Menjadikan panca-indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu
4.      Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum
5.      Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq.
D.      Freudianisme
Istilah Freudianisme mungkin tidak lazim digunakan dibandingkan dengan Marxisme. Freudianisme bukan merupakan sebuah idiologi, tetapi lebih mendekati suatu paham atau aliran. Istilah Freudianisme tidak sepopuler Marxisme. Freudianisme digunakan dalam tulisan ini untuk menunjukkan pemikiran sigmund freud yang berpengaruh pada agama, terutama tinjauannya dari aspek psikologi. Kendati sigmund freud berbeda dengan karl marx dalam beberapa hal. Keduanya sama-sama menganut teori relativisme. Relativisme psikologi freud memperkuat relativisme sosiologi yang dikemukakan Marx. Baik Freud maupun Marx sebenarnya terpengaruh oleh Feurbach, terutama dalam konsep proyeksi. Namun, ferud menjadikan konsep proyeksi sebagai dasar ajarannya.
Salah satu jasa Freud yang banyak diakui oleh para ahli adalah teori psikoanalisis yang berguna untuk merawat orang sakit jiwa. Adapun pandangannya tentang agama tercantum dalam tiga karyanya, yaitu Totem and Taboo, The an illusion, dan Moses and Monotheism. Menurut Freud, hidup manusia mengandung misteri dan penderitaan. Seseorang merasakan penderitaan yang disebabkan oleh teman-temannya, penderitaan dari bencana alam, dan akhirnya penderitaan mengingat kematian, yang merupakan suatu misteri yang tidak mungkin diketahui artinya. Dalam keadaan yang amat sukar itulah manusia ingin mencari pemecahan.
Langkah pertama untuk memecahkan problem ini, menurut freud, adalah menganggap bahwa alam itu seperti manusia. Didalam alam ada kekuatan-kekuatan yang merupakan person. Menurut Freud, peristiwa seperti bencana alam adalah sesuatu yang jelas dan logis, semestinya manusia tidak lagi mencari sesuatu di balik itu. Menurut Sigmund freud, kepercayaan keagamaan itu tidak ada dasarnya sebab kepercayan tersebut dapat diterangkan dari segi psikologi.
Manusia, menurut sigmund freud, pada hakikatnya merasa aman dikandungan ibunya. Setelah dia lahir, mulai merasakan kenyamanan sehingga mulai terasing dan terpisah dari dunia nyaman. Dari sini muncul konflik dalam dirinya, yaitu keinginan untuk hidup nyaman dan tidak keterbedayaan untuk kembali pada dunia yang nyamn tersebut. Kemudian timbul kebimbangan. Kebimbangan ini mencari tempat yang aman,yaitu agama. Agamalah yang memberikan alternatif untuk itu. Artinya, orang yang beragama sama dengan orang yang putus asa dan lari dari kenyataan untuk mencari perlindungan sebagaimana dia dalam kandungan.
Agama, demikian freud, mengajarkan bahwa alam diciptakan oleh pencipta yang mirip manusia, tetapi lebih agung dan berkuasa dalam beberapa hal. Bahkan pencipta itu digambarkan sebagai Tuhan Yang Esa, kendati dipercayai juga tuhan yang banyak. Anehnya, tuhan itu selalu digambarkan dengan laki-laki bukan perempuan.
Fungsi lain dari agama, menurut freud adalah ajaran moral yang dapat juga dihubungkan dengan masa kanak-kanak. Orang beragama, demikian freud, tidak ubahnya seperti anak kecil yang perlu bimbingan tersebut. Tuhan menjalankan dunia dengan memberikan aturan-aturan, pahala dan dosa. Sebagaimana Feurbach dan Marx, Freud menginginkan manusia kembali pada kesejatian dirinya, yaitu dengan meninggalkan ilusi dan ketergantungan kepada Tuhan.

PENUTUP
Dari sekelumit keterangan di atas tentang berbaga bentuk keraguan dan penolakan terhadap agama penulis dapat menyimpulkan bahwa tokoh-tokoh pakar dalam bidang ini misalkan David Hume (tokoh emprisme) , Agust Comte (tokoh positivisme),Karl Marx dan Frued. Mereka menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Karna tidak bisa di buktikan secara empiris indrawi dan tidak adanya argument yang kuat untuk membuktikan adanya Tuhan baik secara a posteriori maupun a priori.
demikianlah pembahasan makalah ini penulis sajikan, mudah-mudahan mampu sedikit menyumbangkan peahaman terhadap pembaca dan juga memberikan motifasi upaya semakin meningkatkan semangat belajar dan membaca.


0 komentar: