PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, tuhan
semesta alam. Atas taufik dan hidayahnya penulisan makalah yang berjudul Berbagai Bentuk Keraguan dan Penolakan Terhadap Agama ini dapat di rampungkan. Sholawat
beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan pada junjungan kita yakni nabi
besar mohammad saw yang mana atas perjuanan beliawlah kita dapat memahami Agama
yang sebenarnya.
Mempercayai ada dan tidak adanya
tuhan tampaknya memiliki argument-argumen logis tersendri. Sebagaimana teisme
mengungkapkan berbagai argumennya tentang eksistensi tuhan, sedangkan ateisme
memberikan argumen bahwa tuhan itu tidak ada. Hikayat yang pertama lebih
memperkuat keberadaan tuhan. Adapun hikayat yang kedua lebih cenderung pada
keraguan tentang realitas tuhan, baik ragu terhadap adanya maupun tidak adanya.
Berikut berbagai bentuk keraguan
mereka terhadap tuhan,antara lain adalah empirisme, materialism, positivism,
dan freudalisme yang akan menjadi fokus pembahasan saya dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
Berbagai
Bentuk Keraguan dan Penolakan Terhadap Agama
A. Empirisme
David
Hume adalah tokoh fisafat Barat yang mengembangkan filsafat empirisisme Locke
dan Barkley secara konsekuen.
Menurut
David Hume manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber
pengetahuannya dari pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yuaitu :
1.
Kesan –kesan ( Empressions )
Kesan – kesan adalah pengamatan
langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah atau batiniah,
yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan
terbakar.
2.
Idea –idea (ideas)
Gambaran tentang pemgamatan yang
redup , samar – samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau
terefleksikan dalam kesadaran kesan – kesan yang diterima dari pengalaman.
David
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan disbanding kesimpulan
logika atau kemestian sebab – akibat. Menurut Hume akal tidak bia bekerja tanpa
bantuan pengalaman. Untuk pertama kali kita tidak mungkin menangkap idea sebab
– akibat karena kekuatan –kekuatan particular yang berjalan secara alami belum
tertangkap oleh inderanya. Begitu juga akal tidak mampu sekaligus menyimpulkan
berdasarkan satu peristiwa bahwa suatu sebab menimbulkan akibat tertentu karena
hubungan itu bias berubah – ubah dan kasuistis.
Dengan
penolakan terhadap teori kausalitas, Hume menghujat argument ontologism dan
kosmologis tentang keberadaan Tuhan dan sekaligus membatasi kemampuan akal.
Munculnya positivism yang dipelopori oleh Auguste Comte diwarnai oleh hide
David hume, bahkan materialism bias dikatakan sebagai puncak dari empirisisme.
Para
filsafat sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dari Tuhan adalah sebab
alam. Menurut katyegori logika, keberadaan sebab lebih dahulu ketimbang akibat.
Oleh karena itu, Tuhan sebagai sebab wajib ada, wujud-Nya mendahului alam,
sedangkan alam sebagai akibat mungkin adanya wujud setelah Tuhan. Hume mulai
menggugat dalil tersebut dengan menjungkilbalikkan teori kausalitas itu.
Menurut
Hume ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini berarti kita
berhadapan dengan dilema, kita berfikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing
– masing. Hume tidak mampu membuktikan tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna
seperti dunia ini. Agama berasal dari penghargaan dan ketakkuatan manusia
terhadap tujuan hidupnya. Itulah sebabnya manusia mengangkat dewa untuk
disembah.
Hume meragukan eksistensi
tuhan karena tidak ada argument yang kuat untuk membuktikan adanya tuhan baik
secara a posteriori maupun a priori. Kita hanya tahu alam ini
adalah materi, jika kita mengasumsikan adanya kesejajaran sebab akibat kita
akan mengatakan bahwa alam ini disebabkan oleh sebab material, bukan sebab
spiritual.
Menurutnya, sumber utama dari agama itu adalah tahayul.
Manusia pertama kali menemukan cermin di alam kemudian menciptakan tuhan-tuhan
sesuai selera masing-masing.
Skeptisisme
hume terhadap agama juga berdasarkan determinisme yang kaku ini. Jika tuhan
maha baik, kenapa tidak menghilangkan kejahatan. Unutk masalah ini, dapat
dijawab dengan kejahatan adalah bagian dari dunia yang tidak sempurna.
Kekuasaan tuhan tidak diukur lewat entitas yang tidak memiliki kekuatan sama
sekali atau lewat kekuatan natural. Tuhan memang berkuasa, manusia juga
berkuasa. Tuhan maha bebas, dan manusia juga bebas. Tetapi kebebasan dan
kekuasaan manusia lebih rendah tingkatannya ketimbang kebebasan dan kekuasaan
tuhan. Dengan demikian kesempurnaan kebebasan tuhan diukur lewat kekurang bebasan
manusia.
B. Positivisme
Positivisme adalah kelanjutan dari empirisme. Kalau
empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan fungsi akal, adapun
positivisme menggabungkan keduanya. Bagi positivisme, pengalaman perlu untuk
mengumpulkan data sebanyak mungkin agar akal mendapatkan suatu hukum yang
bersifat universal. Empisisme menerima pengalaman subjektif, sedangkan
positivisme terbatas pada pengalaman yang objektif saja.
Positivisme asal
katanya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang faktual, dan yang
positif. Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh
karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala
yang tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi
filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja. Gejala-gejala disusun dalam
hukum-hukum tertentu dengan melihat hubungan antara gejala tersebut. Setelah
hukum itu tersusun, barulah seseorang melihat ke masa depan untuk mengembangkan
ilmu.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia
yang primitive. August comte, tokoh positivisme, membagi umat sejarah manusia
atas tiga tahap. Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku
pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu, sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi
seseorang masih percaya kepada Yang Mutlak. Tahap ini terbagi lagi atas tiga
tahap, yaitu animisme, politeisme, dan monoteisme. Kedua, tahap
metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekuatan-kekuatan
adikodrati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses
generalisasi. Ketiga, tahap positif, yaitu ketika orang sadar bahwa
tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun
metafisis. Zaman ini sesesorang tidak mau lagi meneliti awal dan tujuan alam
semesta, tetapi berusaha menemui hukum-hukum kesamaan yang ada di belakang
fakta lewat pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan
tercapai, bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam satu fakta
yang umum saja.
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan manusia
tidah saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu.
Ketika masa kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi
metafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian , pada
awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah itu diabstraksikan oleh
metafisika, dan akhirnya baru dicerahkan oleh hukum-hukum positif.
Dengan demikian, seorang positivis membatasi dunia pada
hal-hal yang bisa dilihat, yang bisa diukur, dan yang bisa dibuktikan
kebenarannya. Karena agama maksudnya Tuhan tidak bisa dilihat, diukur, dan
dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu pernyataan
dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai oleh fakta,
contoh ada badak bercula satu di ujung kulon. Jika memang ada badak bercula
satu disana berarti, pernyataan itu benar, dan jika sebaliknya, berarti
pernyataan itu salah. Ukuran ini, dalam epistemologi, disebut dengan teori
korespondensi, yaitu suatu pernyataan dinyatakan benar apabila cocok
dengan fakta empiris. Selain itu para positivisme berpendapat, menyibukkan diri
dalm hal-hal yang demikian (eksistensi tuhan, agama) adalah sia-sia. Lebih baik
menyibukkan diri pada hal-hal yang mungkin diketahui, yaitu gejala-gejala yang
telah dikenal atau yang disajikan dengan panca indra.
C. Materialisme
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan
bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua
hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material.
Materi adalah satu-satunya substansi. Dalam memberikan penjelasan tunggal
tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme
Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial
seperti : roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak
ada. Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural.
Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi
dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada
Penggerak Pertama atau Sebab Pertama. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran
yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali
lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang
abadi dari materi.
Definisi materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Dalam
kamus besar bahasa indonesia materi adalah bahan;benda;segala sesuatu yang
tampak.
Masih dari kamus yang sama disebutkan bahwa materialis
adalah pengikut paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan
kebendaan(harta,uang,dsb).
Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar
segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan
semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra.
Ini sesuai dengan kaidah dalam bahasa indonesia. Jika ada kata benda
berhubungan dengan kata isme maka artinya adalah paham atau aliran.
Ciri-ciri paham materialism
Setidaknya ada 5 dasar ideologi yang
dijadikan dasar keyakinan paham ini:
1. Segala yang ada(wujud) berasal dari
satu sumber yaitu materi(ma’dah).
2. Tidak meyakini adanya alam ghaib
3. Menjadikan panca-indra sebagai
satu-satunya alat mencapai ilmu
4. Memposisikan ilmu sebagai pengganti
agama dalam peletakkan hukum
5. Menjadikan kecondongan dan tabiat
manusia sebagai akhlaq.
D. Freudianisme
Istilah
Freudianisme mungkin tidak lazim digunakan dibandingkan dengan Marxisme.
Freudianisme bukan merupakan sebuah idiologi, tetapi lebih mendekati suatu
paham atau aliran. Istilah Freudianisme tidak sepopuler Marxisme. Freudianisme
digunakan dalam tulisan ini untuk menunjukkan pemikiran sigmund freud yang
berpengaruh pada agama, terutama tinjauannya dari aspek psikologi. Kendati
sigmund freud berbeda dengan karl marx dalam beberapa hal. Keduanya sama-sama
menganut teori relativisme. Relativisme psikologi freud memperkuat relativisme
sosiologi yang dikemukakan Marx. Baik Freud maupun Marx sebenarnya terpengaruh
oleh Feurbach, terutama dalam konsep proyeksi. Namun, ferud menjadikan konsep
proyeksi sebagai dasar ajarannya.
Salah
satu jasa Freud yang banyak diakui oleh para ahli adalah teori psikoanalisis
yang berguna untuk merawat orang sakit jiwa. Adapun pandangannya tentang agama
tercantum dalam tiga karyanya, yaitu Totem and Taboo, The an illusion, dan
Moses and Monotheism. Menurut Freud, hidup manusia mengandung misteri dan
penderitaan. Seseorang merasakan penderitaan yang disebabkan oleh
teman-temannya, penderitaan dari bencana alam, dan akhirnya penderitaan
mengingat kematian, yang merupakan suatu misteri yang tidak mungkin diketahui
artinya. Dalam keadaan yang amat sukar itulah manusia ingin mencari pemecahan.
Langkah
pertama untuk memecahkan problem ini, menurut freud, adalah menganggap bahwa
alam itu seperti manusia. Didalam alam ada kekuatan-kekuatan yang merupakan
person. Menurut Freud, peristiwa seperti bencana alam adalah sesuatu yang jelas
dan logis, semestinya manusia tidak lagi mencari sesuatu di balik itu. Menurut
Sigmund freud, kepercayaan keagamaan itu tidak ada dasarnya sebab kepercayan
tersebut dapat diterangkan dari segi psikologi.
Manusia,
menurut sigmund freud, pada hakikatnya merasa aman dikandungan ibunya. Setelah
dia lahir, mulai merasakan kenyamanan sehingga mulai terasing dan terpisah dari
dunia nyaman. Dari sini muncul konflik dalam dirinya, yaitu keinginan untuk
hidup nyaman dan tidak keterbedayaan untuk kembali pada dunia yang nyamn tersebut.
Kemudian timbul kebimbangan. Kebimbangan ini mencari tempat yang aman,yaitu
agama. Agamalah yang memberikan alternatif untuk itu. Artinya, orang yang
beragama sama dengan orang yang putus asa dan lari dari kenyataan untuk mencari
perlindungan sebagaimana dia dalam kandungan.
Agama,
demikian freud, mengajarkan bahwa alam diciptakan oleh pencipta yang mirip
manusia, tetapi lebih agung dan berkuasa dalam beberapa hal. Bahkan pencipta
itu digambarkan sebagai Tuhan Yang Esa, kendati dipercayai juga tuhan yang
banyak. Anehnya, tuhan itu selalu digambarkan dengan laki-laki bukan perempuan.
Fungsi
lain dari agama, menurut freud adalah ajaran moral yang dapat juga dihubungkan
dengan masa kanak-kanak. Orang beragama, demikian freud, tidak ubahnya seperti
anak kecil yang perlu bimbingan tersebut. Tuhan menjalankan dunia dengan
memberikan aturan-aturan, pahala dan dosa. Sebagaimana Feurbach dan Marx, Freud
menginginkan manusia kembali pada kesejatian dirinya, yaitu dengan meninggalkan
ilusi dan ketergantungan kepada Tuhan.
PENUTUP
Dari
sekelumit keterangan di atas tentang berbaga bentuk keraguan dan penolakan
terhadap agama penulis dapat menyimpulkan bahwa tokoh-tokoh pakar dalam bidang
ini misalkan David Hume (tokoh emprisme) , Agust Comte (tokoh positivisme),Karl
Marx dan Frued. Mereka menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Karna tidak bisa
di buktikan secara empiris indrawi dan tidak adanya argument yang kuat untuk
membuktikan adanya Tuhan baik secara a posteriori maupun a priori.
demikianlah
pembahasan makalah ini penulis sajikan, mudah-mudahan mampu sedikit
menyumbangkan peahaman terhadap pembaca dan juga memberikan motifasi upaya
semakin meningkatkan semangat belajar dan membaca.
0 komentar:
Posting Komentar