A.
Empirisme
David Hume adalah tokoh fisafat
Barat yang mengembangkan filsafat empirisisme Locke dan Barkley secara
konsekuen.
Menurut David Hume manusia tidak
membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuannya dari
pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yuaitu :
1.
Kesan –kesan ( Empressions )
Kesan – kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik
pengalaman lahiriah atau batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas, hidup
dan kuat seperti merasakan tangan terbakar.
2.
Idea –idea (ideas)
Gambaran tentang pemgamatan yang redup , samar – samar yang dihasilkan dengan
merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesadaran kesan – kesan yang diterima
dari pengalaman.
David Hume menegaskan bahwa
pengalaman lebih memberi keyakinan disbanding kesimpulan logika atau kemestian
sebab – akibat. Menurut Hume akal tidak bias bekerja tanpa bantuan pengalaman.
Untuk pertama kali kita tidak mungkin menangkap idea sebab – akibat karena
kekuatan –kekuatan particular yang berjalan secara alami belum tertangkap oleh
inderanya. Begitu juga akal tidak mampu sekaligus menyimpulkan berdasarkan satu
peristiwa bahwa suatu sebab menimbulkan akibat tertentu karena hubungan itu
bias berubah – ubah dan kasuistis.
Dengan penolakan terhadap teori
kausalitas, Hume menghujat argument ontologism dan kosmologis tentang
keberadaan Tuhan dan sekaligus membatasi kemampuan akal. Munculnya positivism
yang dipelopori oleh Auguste Comte diwarnai oleh hide David hume, bahkan
materialism bias dikatakan sebagai puncak dari empirisisme.
Para filsafat sebelum Hume percaya
bahwa alam adalah akibat dari Tuhan adalah sebab alam. Menurut katyegori
logika, keberadaan sebab lebih dahulu ketimbang akibat. Oleh karena itu, Tuhan
sebagai sebab wajib ada, wujud-Nya mendahului alam, sedangkan alam sebagai
akibat mungkin adanya wujud setelah Tuhan. Hume mulai menggugat dalil tersebut
dengan menjungkilbalikkan teori kausalitas itu.
Menurut Hume ketika kita percaya
kepada Tuhan sebagai pengatur ala mini berarti kita berhadapan dengan dilema,
kita berfikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing – masing. Hume tidak
mampu membuktikan tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna seperti dunia ini.
Agama berasal dari penghargaan dan ketakkuatan manusia terhadap tujuan hidupnya.
Itulah sebabnya manusia mengangkat dewa untuk disembah.
Alasan Hume menolak mukjizat,
Pertama, Sepanjang sejarah mukjizat
tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.
Kedua, Sebagian manusia memang
memiliki kecenderungan untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar
biasa, namun keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat.
Ketiga, kajian peradaban membuktikan
bahwa mukjizat cocok terutama bagi masyarakat terbelakang, sedangkan bagi
masyarakat yang telah maju justru menolaknya.
Empat, semua agama wahyu memonopoli
kebenaran mukjizat
Kelima, data sejarah yang dapat
dipercaya menunjukkan bahwa peritiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita
mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar.
Hume
meragukan eksistensi tuhan karena tidak ada argument yang kuat untuk
membuktikan adanya tuhan baik secara a posteriori maupun a priori.
Kita hanya tahu alam ini adalah materi, jika kita mengasumsikan adanya
kesejajaran sebab akibat kita akan mengatakan bahwa alam ini disebabkan oleh
sebab material, bukan sebab spiritual.
Menurutnya,
sumber utama dari agama itu adalah tahayul. Manusia pertama kali menemukan
cermin di alam kemudian menciptakan tuhan-tuhan sesuai selera masing-masing.
Diantara kritikan hume yang tidak relevan adalah :
1.
Hume cenderung mempertentangan dua bentuk-bentuk teisme yang monopolar, dan
mengabaikan sentesis dipolar. Dalam hal ini ada dua pola, yaitu mistisisme dan
antropomorphisme. Dalam mistisisme tuhan berada dalam konsep positif tetapi
tidak sempurna. Ketidak sempurnaan tuhan dapat digambarkan dari ketidak
sempurnaan dunia.
2.
Hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Akal mampu
menggabungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan kejadia yang sekarang dan
bahkan meramalkan sesuatu yang akan dating. Akal juga mampu memberikan ide-ide
umum tentang fakta-fakta yang beragam.
3.
Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris sehingga dia
terjerumus pada determinisme empiris
Skeptisisme hume terhadap agama juga
berdasarkan determinisme yang kaku ini. Jika tuhan maha baik, kenapa tidak
menghilangkan kejahatan. Unutk masalah ini, dapat dijawab dengan kejahatan
adalah bagian dari dunia yang tidak sempurna. Kekuasaan tuhan tidak diukur
lewat entitas yang tidak memlki kekuatan sama sekali atau lewat kekuatan
natural. Tuhan memang berkuasa, manusia juga berkuasa. Tuhan maha bebas, dan
manusia juga bebas. Tetapi kebebasan dan kekuasaan manusia lebih rendah
tingkatannya ketimbang kebebasan dan kekuasaan tuhan. Dengan demikian
kesempurnaan kebebasan tuhan diukur lewat kekurang bebasan manusia.
B.
Positivisme
Positivisme
adalah kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman
saja dan merendahkan fungsi akal, adapun positivisme menggabungkan keduanya.
Bagi positivisme, pengalaman perlu untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin
agar akal mendapatkan suatu hukum yang bersifat universal. Empisisme menerima pengalaman
subjektif, sedangkan positivisme terbatas pada pengalaman yang objektif saja.
Positivisme asal katanya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang
factual, dan yang positif. Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan
dikesampingkan. Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara
positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian
positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja.
Gejala-gejala disusun dalam hukum-hukum tertentu dengan melihat hubungan antara
gejala tersebut. Setelah hukum itu tersusun, barulah seseorang melihat ke masa
depan untuk mengembangkan ilmu.
Positivisme
memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitive. August comte,
tokoh positivisme, membagi umat sejarah manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap
teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu,
sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya kepada Yang
Mutlak. Tahap ini terbagi lagi atas tiga tahap, yaitu animisme, politeisme, dan
monoteisme. Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman
teologis. Kekuatan-kekuatan adikodrati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan
yang abstrak lewat proses generalisasi. Ketiga, tahap positif, yaitu ketika
orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan, baik
teologis maupun metafisis. Zaman ini sesesorang tidak mau lagi meneliti awal
dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemui hukum-hukum kesamaan yang ada
di belakang fakta lewat pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini
akan tercapai, bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam
satu fakta yang umum saja.
Comte
berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan manusia tidah saja berlaku bagi suatu
bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak,
seseorang menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi metafisikus, dan ketika
dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian , pada awalnya ilmu dikuasai
oleh teologis, sesudah itu diabstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru
dicerahkan oleh hukum-hukum positif.
Dengan
demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat,
yang bisa diukur, dan yang bisa dibuktikan kebenarannya. Karena agama maksudnya
Tuhan tidak bisa dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai
arti dan faedah. Suatu pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila
pernyataan itu sesuai oleh fakta, contoh ada badak bercula satu di ujung kulon.
Jika memang ada badak bercula satu disana berarti, pernyataan itu benar, dan
jika sebaliknya, berarti pernyataan itu salah. Ukuran ini, dalam epistemologi,
disebut dengan teori korespondensi, yaitu suatu pernyataan dinyatakan benar
apabila cocok dengan fakta empiris.
Positivisme
mengatakan banyak pembicaraan yang tidak ada faedahnya dan tidak mengandung
arti. Contohnya “Apa maksud Tuhan menciptakan alam?” pertanyaan ini merupakan
pertanyaan yang kosong dan tidak berarti. Pertanyaan yang demikian bukan saja
karena kita tidak dapat mengetahui maksud Tuhan karena kita manusia, tetapi
karena setiap susunan kata yang mengenai ketuhanan tidak mengandung arti apa
pun. Begitu juga dalam bidang etika, positivisme lebih menekankan pada
relativisme. Kalau ada pernyataan bahwa kezaliman itu jelek, maka kata tersebut
tidak ada artinya karena jelek itu tidak dapat diukur dan diuji. Jadi, ungkapan
dalam bidang moral bersifat emosional ynag tergantung pada perasaan kita
tentang sesuatu dan bukan keadaan sesuatu itu sendiri.
Alfred
yules ayer, salah seorang penganut positivisme berkata, “Argumen tentang
pengalaman keagamaan adalah tidak benar. Bahwa banyak orang yang mempunyai
pengalaman keagamaan adalah suatu yang menarik perhatian dari sudut psikologi,
tetapi tidak berarti memang ada pengetahuaan keagamaan yang objektif. Begitu
juga bila seseorang memiliki pengalaman moral, tidak berarti bahwa ada sesuatu
hal yang dinamakan pengetahuan ideal. Orang yang percaya pada Tuhan dan orang
yang memegang paham-paham moral mungkin percaya bahwa pengalamannya merupakan pengalaman
yang berdasarkan pada pengetahuan. Tetapi, kalau dia tidak dapat menyusun
pengetahuannya dalam susunan kata yang dapat dibuktikan secara empiris, kita
dapat mengatakan orang itu menipu dirinya sendiri.” Selain itu para positivisme
berpendapat, menyibukkan diri dalm hal-hal yang demikian (eksistensi tuhan,
agama) adalah sia-sia. Lebih baik menyibukkan diri pada hal-hal yang mungkin
diketahui, yaitu gejala-gejala yang telah dikenal atau yang disajikan dengan
panca indra.
Dalam
beberapa aspek, positivisme memiiki hal-hal yang konstuktif untuk kehidupan
umat manusia. Sebab, positivisme menyuguhkan suatu metode ilmiah dan
ukuran-ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan secara empiris. Dalam hal ini,
positivisme menyumbangkan gagasan baru dalam kemajuan sains dan teknologi.
Namun dalam aspek lain positivisme mempersempit alam pada hal-hal yang terukur
saja, tidak mau melihat alam yang lebih besar dan luas. Bahkan kesenangan
rohani atau penderitaan rohani dianggap sesuatu yang tidak berarti. Padahal
kesenangan dan penderitaan, kendati tidak dapat diukur dengan tepat, tetapi
dialami oleh semua orang hingga penganut positivisme sendiri.
Positivisme
terlalu mereduksi kemampuan akal pada hal-hal yang dapat diuji secara empiris.
Padahal daya akal tidak hanya tergantumg pada pengujian secar empiris. Akal
mampu merekayasa sesuatu yang belum pernah dilihatnya dan akal juga mampu
‘menulis’ tanpa memakai kertas dan pulpen. Tulisan itu dapat digambarkan dengan
pikiran saja tanpa perlu diempiriskan. Karena itu, positivisme sebenarnya harus
mengakui hal yang demikian sebagai suatu realitas. Dengan demikian kepercayaan
kepada tuhan berarti tidak mustahil karena daya akal mampu mencapai relitas
dibalik dunia empiris.
C.
Materialisme
Materialisme
adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan
benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan
semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya
substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik.
Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau
pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme
berseberangan dengan idealisme
Materialisme
tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti : roh,
hantu,
setan
dan malaikat.
Pelaku-pelaku immaterial tidak ada. Tidak ada Allah
atau dunia adikodrati/supranatural. Realitas satu-satunya adalah materi dan
segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan
aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Penggerak Pertama atau Sebab Pertama.
Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah,
akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial,
abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.
Definisi materialisme
Kata
materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Dalam kamus besar bahasa
indonesia materi adalah bahan;benda;segala sesuatu yang tampak.
Masih
dari kamus yang sama disebutkan bahwa materialis adalah pengikut paham (ajaran)
materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan(harta,uang,dsb).
Materialisme
adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk
kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan
segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Ini sesuai dengan kaidah dalam bahasa
indonesia. Jika ada kata benda berhubungan dengan kata isme maka artinya adalah
paham atau aliran.
Ciri-ciri paham materialisme
Setidaknya
ada 5 dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini:
1. Segala yang ada(wujud) berasal dari
satu sumber yaitu materi(ma’dah).
2. Tidak meyakini adanya alam ghaib
3. Menjadikan panca-indra sebagai
satu-satunya alat mencapai ilmu
4. Memposisikan ilmu sebagai pengganti
agama dalam peletakkan hukum
5. Menjadikan kecondongan dan tabiat
manusia sebagai akhlaq.
D.
Freudianisme
Istilah Freudianisme mungkin tidak
lazim digunakan dibandingkan dengan Marxisme. Freudianisme bukan merupakan
sebuah idiologi, tetapi lebih mendekati suatu paham atau aliran. Istilah
Freudianisme tidak sepopuler Marxisme. Freudianisme digunakan dalam tulisan ini
untuk menunjukkan pemikiran sigmund freud yang berpengaruh pada agama, terutama
tinjauannya dari aspek psikologi. Kendati sigmund freud berbeda dengan karl
marx dalam beberapa hal. Keduanya sama-sama menganut teori relativisme.
Relativisme psikologi freud memperkuat relativisme sosiologi yang dikemukakan
Marx. Baik Freud maupun Marx sebenarnya terpengaruh oleh Feurbach, terutama
dalam konsep proyeksi. Namun, ferud menjadikan konsep proyeksi sebagai dasar
ajarannya.
Salah satu jasa Freud yang banyak
diakui oleh para ahli adalah teori psikoanalisis yang berguna untuk merawat
orang sakit jiwa. Adapun pandangannya tentang agama tercantum dalam tiga
karyanya, yaitu Totem and Taboo, The an illusion, dan Moses and Monotheism.
Menurut Freud, hidup manusia mengandung misteri dan penderitaan. Seseorang
merasakan penderitaan yang disebabkan oleh teman-temannya, penderitaan dari
bencana alam, dan akhirnya penderitaan mengingat kematian, yang merupakan suatu
misteri yang tidak mungkin diketahui artinya. Dalam keadaan yang amat sukar
itulah manusia ingin mencari pemecahan.
Langkah pertama untuk memecahkan
problem ini, menurut freud, adalah menganggap bahwa alam itu seperti manusia.
Didalam alam ada kekuatan-kekuatan yang merupakan person. Menurut Freud,
peristiwa seperti bencana alam adalah sesuatu yang jelas dan logis, semestinya
manusia tidak lagi mencari sesuatu di balik itu. Menurut Sigmund freud,
kepercayaan keagamaan itu tidak ada dasarnya sebab kepercayan tersebut dapat
diterangkan dari segi psikologi.
Manusia, menurut sigmund freud, pada
hakikatnya merasa aman dikandungan ibunya. Setelah dia lahir, mulai merasakan
kenyamanan sehingga mulai terasing dan terpisah dari dunia nyaman. Dari sini
muncul konflik dalam dirinya, yaitu keinginan untuk hidup nyaman dan tidak
keterbedayaan untuk kembali pada dunia yang nyamn tersebut. Kemudian timbul
kebimbangan. Kebimbangan ini mencari tempat yang aman,yaitu agama. Agamalah
yang memberikan alternatif untuk itu. Artinya, orang yang beragama sama dengan
orang yang putus asa dan lari dari kenyataan untuk mencari perlindungan
sebagaimana dia dalam kandungan.
Agama, demikian freud, mengajarkan
bahwa alam diciptakan oleh pencipta yang mirip manusia, tetapi lebih agung dan
berkuasa dalam beberapa hal. Bahkan pencipta itu digambarkan sebagai Tuhan Yang
Esa, kendati dipercayai juga tuhan yang banyak. Anehnya, tuhan itu selalu
digambarkan dengan laki-laki bukan perempuan. Fungsi lain dari agama, menurut
freud adalah ajaran moral yang dapat juga dihubungkan dengan masa kanak-kanak.
Orang beragama, demikian freud, tidak ubahnya seperti anak kecil yang perlu
bimbingan tersebut. Tuhan menjalankan dunia dengan memberikan aturan-aturan,
pahala dan dosa.
Sebagaimana Feurbach dan Marx, Freud
menginginkan manusia kembali pada kesejatian dirinya, yaitu dengan meninggalkan
ilusi dan ketergantungan kepada tuhan. Dari penjelasan freud di atas ada beberapa
hal yang perlu di koreksi. Pertama, freud menganalogikan Tuhan sebagai pencipta
alam dengan bapak dan ibu sebagai ‘pencipta’ seorang anak. Bapak yang didunia
jelas tidak bisa disamakan dengan tuhan sebagai pencipta.
Kedua, wawasan freud tentang tuhan hanya
terbatas pada agama kristen, sebab ada tuhan yang fungsinya tidak sebagaimana
digambarkan oleh freud, sebagai pencipta, pelindung, berkuasa, dan sebagai.
Tapi, ada paham yang mengatakan bahwa Tuhan hanya sebab alam kemudian Dia tidak
ada lagi berhubungan dengan alam, sebagaimana yang terdapat dalam paham
deistik.
Ketiga, adalah suatu kesalahan jika
Freud mengira Tuhan itu zat yang diinginkan manusia adanya. Memang benar ada
orang yang mempunyai pengalaman keagamaan sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak
benar bahwa pengalaman keagamaan semacam itu bersifat umum. Freud mengatakan
bahwa semua permintaan atau doa ditunjukkan untuk kepentingan yang berdo’a.
Keempat, Freud mengkritik orang
beragama karena agama menyebabkannya menderita gangguan kejiwaan(neurosis).
Kritikan ini dibantah oleh Ignace Lepp. Menurutnya tidak mungkin untuk
mengidentikkan faktor neurosis pada saat seseorang tidak beragama. Selanjutnya
dia mengatakan bahwa seseorang dapat saja menderita neurosis meskipun dia tidak
beragama bila dia tidak memiliki pembawaan neurosis.
Latar belakang argumen ateisme dan
teisme jelas berbeda. Ateisme bertitik tolak dari kenyataan empiris masyarakat
di Eropa abad ke-18 dan ke-19 yang secara sosiologis banyak’tertipu ‘oleh tokoh
agama. Adapun teisme berdasarkan pada kemestian logis, yang mustahil sesutau
disebabkan oleh dirinya sendiri. Ateisme mengatakan bahwa manusia tidak perlu
terikat pada hal-hal yang supernatural, tetapi harus terikat kepada kemampuan
diri sendiri. Sebaliknya, teisme berpendapat bahwa manusia terikat dengan
kekuatan supernatural dan tidak bebas menentukan nasib sendiri.
Disamping itu, teisme, juga
mendasari argumennya pada keterbatasan manusia. Salah satu argumen teisme
adalah manusia tidak mampu mengetahui semua realitas ini, dan realitas ini
sangat kompleks dan serba teratur. Keteraturan dan ketrbatasan itu mendorong
manusia berpikir tentang alam, termasuk manusia. Dalam ateisme pengetahuan
manusia terbatas pada hal-hal yang bersifat materi dan tidak mengakui realitas
diluar materi. Jadi, bedanya, ateisme memandang realitas hanya sebatas materi,
sedangkan teisme melihat realitas tidak saja terbatas materi, tetapi ada
realitas yang nonmateri.
Oleh karena itu, alternatif yang
terbaik bagi orang yang beragama adalah keyakinan dan ditambah dengan argumen
yang kuat. Keyakinan ditambah dengan pengalaman religius dan diperkuat dengan
argumen rasional. Iman yang berasal dari wahyu untuk diri sendiri, sedangkan
argumen rasional, disamping untuk memperkuat keyakinan juga untuk menangkis serangan
dari berbagai pihak.
Serupa dengan behaviorisme adalah
Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh
luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting
hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan
untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian
beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri,
reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar
yang kokoh.
Di mata Sigmund Freud manusia adalah
produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan
manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya
daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang
sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat
dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang
hanyalah binatang.
Dalam kata-katanya sendiri,
sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958).
Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah
peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam
kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai
menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia
menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri
dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi
agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang…
Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam,
penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya
telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah
makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang…
Tak aneh jika, seperti dikatakan
Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku
manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya
menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat
dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa
pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka
pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang
materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan
sebagai delusi ciptaan manusia.
Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu
sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk
menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah
karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai
makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia
tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah,
sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini
bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan
keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia.
0 komentar:
Posting Komentar