Imam Syafi’i pernah berkata; “Kalau seandainya
Allah Subhanahu Wata’ala tidak menurunkan hujjah kepada makhluk-Nya selain
surat ini saja (Surat Al-‘Ashr) sudah cukup bagi mereka. Karena di dalamnya
mengandung empat unsur fundamental dalam memikul amanah risalah Islam, yaitu : al-‘Ilmu
(memahami Islam), al-‘Amalu bihi (mengamalkan), ad-Dakwatu ilaihi
(mendakwakannya), ash-Shabru ‘alal adza fih (sabar dalam memikul amanah
tersebut).
Surat ini sudah memadai bagi seorang hamba dalam
memotivasi dirinya untuk berpegang teguh dengan agama Allah Subhanahu Wata’ala,
membangun keterikatan dirinya dengan keimanan, amal shalih, dakwah ilallah, dan
bersabar, teguh dan tegar dalam menjalankan semua perkara tersebut. Syeikh Ibnu Baz ketika memberikan syarh surat
al-‘Ashr ini mengatakan, orang-orang
yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling
berwasiat dengan kesabaran, mereka itulah orang-orang yang beruntung sedangkan
selain mereka adalah orang-orang yang merugi.
Amanah Pertama
Memahami Islam dengan Benar
Tafaqquh Fiddin
Pemuda Muslim wajib memahami Islam dengan benar. Untuk mengerti agamanya ia harus memahaminya dengan pola pendekatan yang benar. Sebagaimana pemahman yang mengawali perintisan Islam ini, pendahulu kita yang shalih (salafus sholih). Banyak orang yang menzhalimi Islam dengan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bukan termasuk ajaran Islam, dan mengeluarkan darinya apa yang termasuk prinsip ajaran Islam.
Pemuda Muslim wajib memahami Islam dengan benar. Untuk mengerti agamanya ia harus memahaminya dengan pola pendekatan yang benar. Sebagaimana pemahman yang mengawali perintisan Islam ini, pendahulu kita yang shalih (salafus sholih). Banyak orang yang menzhalimi Islam dengan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bukan termasuk ajaran Islam, dan mengeluarkan darinya apa yang termasuk prinsip ajaran Islam.
Sepanjang zaman ini ada orang-orang yang menyandarkan
kepada Islam apa yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Telah banyak perkara
aneh dan asing ke dalam Islam, padahal ia bukan dari ajaran Islam.
Ajaran-ajaran semacam itu telah merusak keindahan dan kemuliaan Islam dan
mengotori kejernihannya. Bid’ah-bid’ah tersebut terdapat di sana-sini dan
orang-orangpun menerima saja sebagai bagian dari ajaran Islam sesuatu yang sama
sekali tidak ada keterangan dan perkenan, restu dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Yang mereka namakan dengan terma ‘bid’ah hasanah’ dan dengan semboyan bahwa
“menambah kebaikan itu adalah baik”.
Rasulullah Subhanahu Wata’ala telah menekankan kepada
umatnya agar tidak memberikan tambahan apa pun dalam agama Islam. Sebab segala
sesuatu yang menerima tambahan berarti pula menerima pengurangan (dapat
dikurangi), padahal sesuatu yang sempurna itu tidak menerima tambahan dan
pengurangan. Sedang Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam ini sehingga ia
tidak memerlukan tambahan dan pengurangan dari siapa pun.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan
telah KU-sempurnakan nikmat-KU atasmu serta telah KU-ridhai Islam sebagai agama
bagimu.” (QS. Al Maidah (5) : 3).
Oleh karena itu Rasulullah SAW menekankan kepada
umatnya melalui sabdanya :
“Jauhkanlah dirimu dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya semua perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ahmad).
“Jauhkanlah dirimu dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya semua perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ahmad).
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama)
kami ni, sesuatu yang tidak termasuk urusan agama, maka hal itu tertolak.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Tafaqquh fiddin (mendalami ajaran agama secara
terperinci) di sini merupakan fardhu kifayah. Yakni memurnikan dan memperdalam
ajaran Islam lalu diajarkannya kepada orang lain. Sehingga dengan demikian ia
menjadi rujukan yang dapat memberikan fatwa, memecahkan persoalan-persoalan
hukum (fiqh) dan mengajar. Disamping itu ada ilmu yang wajib dimiliki oleh
setiap muslim untuk menjelaskan tujuan kehidupannya dan menerangi jalannya.
Inilah yang dinamakan ilmul hal (hubungan manusia dengan Allah SWT). Manusia
harus memiliki ikatan tertentu untuk memperdalam agamanya agar bisa meluruskan
aqidah, ibadah dan akhlaknya, dan mengatur kehidupannya. Mengetahui batas-batas
dan hukum Allah SWT. Yang diperintahkan dan yang dilarang, yang halal dan yang
haram.
Maka, ia memiliki pondasi yang kuat untuk memahami
Islam dari sumber-sumbernya yang murni. Jauh dari sikap berlebih-lebihan dan
kecerobohan. Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dapat menjadikannya
tersia-sia seperti sikap melampaui batas (ifroth) dan mengurang-ngurangi
(tafrith).
Kita berharap agar pemuda Islam yang berkhidmah untuk
kejayaan Islam itu unggul dalam pelajarannya dan menjadi uswatun hasanah
(teladan yang baik). Sehingga orang-orang memandang bahwa tugas agama itu tidak
mengahambat pelajaran. Orang yang faqih dalam agama islam tidak identik dengan
orang yang lemah dalam bidang akademik. Belajar agama, bukan mengurangi etos
kerja. Kewajiban-kewajiban itu dilakukan secara berimbang. Yang satu tidak
melampaui yang lain.
Belajar itu memang merupakan kewajiban. Semakin banyak
bidang kehidupan yang dipelajari, semakin sadar betapa banyak aspek yang belum
diketahuinya. Unggul dalam pelajaran merupakan kelaziman bagi para pemikul
panji-panji dakwah Islam. Dan kita juga harus mempelajari segala sesuatu yang
menjadi kelaziman bagi kita, baik yang berkaitan dengan waktu maupun
aspek-aspek kehidupan yang lain.
Misalnya tentang hukum-hukum shalat dan thaharah, maka
seorang pemuda harus mempelajarinya agar dapat melakukan shalat secara sah. Dan bila hendak menunaikan ibadah
haji misalnya, maka ia harus membaca atau mempelajari risalah haji supaya
mengetahui rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban agar hajinya sah. Namun tidaklah
dituntut bagi semua orang dan semua muslim untuk mempelajari dan mendalami
masalah haji, hanya saja bagi pemuda yang hendak melaksanakan ibadah haji
hendaklah ia mempelajari risalah yang membicarakan hukum-hukm haji.
Dan ketika anda akan melaksanakan umroh, maka bacalah
risalah yang membicarakan hukum-hukum dan aturan umroh. Katika anda menjadi
seorang hartawan, maka pelajarilah dan fahamilah hukum-hukum zakat. Bila anda
seorang ekonom atau pedagang, maka pelajarilah hukum-hukum dagang dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan prinsip-prinsip jual-beli, pembelanjaan uang,
saham, riba, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan perdagangan. Segala
sesuatu yang anda hadapi dalam kehidupan sehari-hari harus anda pelajari dan
anda mengerti, seperti apa yang anda makan dan minum (ini menentukan terkabulnya
doa), apa yang anda pakai, apa yang anda dengarkan, apa yang anda saksikan.
Pahami dan ketahuilah bahwa semua itu agar anda tidak
terperosok ke dalam lembah haram sedang anda tidak mengetahuinya. Atau anda
mengingkari orang lain yang melakukan sesuatu yang halal karena anda tidak
mengerti, atau menganggap yang makruh itu haram, atau mempersepsikan dosa kecil
sebagai dosa besar atau sebaliknya.
Pengetahuan seperti ini harus dimiliki, karena Islam
adalah agama yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, tidak seperti agama-agama
lain yang mengajarkan “Yakinlah dan percayailah sekalipun engkau buta (tidak
tahu, tidak mengerti, tidak rasional) ! Atau : Pejamkanlah kedua matamu,
kemudian ikutilah aku ! Atau : Kebodohan atau ketakwaan adalah sama saja”.
Tetapi Islam mengatakan :
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang
nyata.” (QS. Yusuf (12) : 108).
Jadi, setiap orang yang mengikuti Rasulullah adalah
khalifahnya atau penerus perjuangannya yang menyeru manusia kepada agama Allah
berdasarkan hujjah yang nyata dan cahaya yang terang benderang.
Kita ingin mengetahui dan memahami Islam berdasarkan
dalil dan keterangan yang jelas. Dan diantara hak seorang muslim ialah
menanyakan dalil/hujjah/argumentasi bagi segala sesuatu yang meragukannya
sehingga hatinya tenang dan batinnya puas. Ya, mengetahui hukum dengan
dalilnya, karena ilmu itu adalah mengetahui kebenaran berserta argumentasi yang
menguatkannya.
Kulit Islam Telah Di Robek-Robek
Maka, wajib bagi generasi muda Islam untuk memahami
Islam, tidak hanya mengerti kulitnya saja. Sementara kulitnya saja sekarang
tampak tercabik-cabik. Apalagi dalam beberapa periode yang lalu, kaum muslimin
tidak memahami Islam secara mendalam. Sekolah-sekolah telah mencetak orang-orang yang tidak
memahami Islam. Pemuda yang studi ke sebuah lembaga pendidikan hingga tamat,
lebih banyak mengetahui sejarah Eropa daripada sejarah Islam. Mereka lebih
mengenal Napoleon daripada Rasulullah dan lebih mengerti tentang revolusi
Prancis daripada Perang Uhud.
Mereka tidak mengetahui sejarah hidup Rasulullah SAW
melainkan hanya sepintas lalu. Mereka tidak mengerti sejarah para sahabat
Rasulullah selain fitnah-fitnah dan peperangan yang terjadi di antara mereka.
Bahkan mereka tidak mengerti apa itu Risalah Muhammad SAW, mana sisi agung
kepribadian beliau, apa yang disumbangkan oleh beliau kepada dunia, apa
keunggulan dan karakteristik generasi mereka, dan bagaimana pula perbedaannya
dengan generasi-generasi sesudahnya. Mereka juga tidak mengenal kebudayaan dan
peradaban Islam yang sempurna yang bersifat Rabbaniyah, insaniyah, akhlaqiyah,
‘lmiyah, ‘alamiyah, yang telah diciptakan oleh Islam ketika orang-orang Barat
baru dapat melihat cahaya dari lubang jarum yang sangat kecil.
Kita wajib memahami Islam dengan benar dan menolak
syubhat-syubhat (salah paham terhadap kebenaran) atau kesamaran yang
dilontarkan orang lain terhadap Islam. Kita pahami Islam dengan baik dimuali
dari diri kita sendiri dan keluarga kita sehingga kita dapat berjalan
berdasarkan dalil dan hujjah yang nyata.
Kita perlu memiliki pengetahuan yang cukup memadai
tentang agama kita. Tuhan kita, Rasul kita, syariat kita, quran kita, sejarah
kita, umat kita, dan segala warisan (turats) kita. Sehingga kita dapat
menyatakan dan membuktikan bahwa yang benar itu benar dan yang batil itu batil
sekalipun orang-orang yang fasik tidak menyukainya.
Kita tidak cukup hanya dengan bertahan semata, tetapi
kita harus mengerti tentang kedalaman Islam untuk menghadapi musuh-musuh Islam.
Yaitu orang beriman yang mendengki kita, orang kafir yang memenjarakan dan
membunuh serta mengusir dari tempat tinggal kita, orang munafik yang merusak
shaf kita dari dalam, hawa nafsu yang menggoda kita, syetan yang menjerumuskan
kita. Kita harus ofensif (maju ke depan) bukan hanya defensif (bertahan).
Kita sudah sepatutnya berdakwah dan menyeru manusia
berdasarkan pemahaman yang baik. Dai memanggil manusia dengan hujjah yang
terang. Kita harus rajin membaca karena kita adalah ummat qiraah, sejak ayat
Al-Quran turun pertama kali. Dan perintah yang pertama kali yang diturunkan
oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah kata perintah membaca yang diulang
dua kali dalam firman-Nya.
Muslim yang benar, dia akan selalu membaca kitab
sucinya bernama al-Quran (bacaan yang sempurna). Tetapi sayang, umat ini
sekarang tidak senang membaca. Kaum muslimin dahulu gemar sekali membaca hingga
menjelang ajalnya. Mereka berkata “ Kami takut kalau ada hari yang berlalu
tanpa kami gunakan untuk membaca”. Bahkan ada salah seorang diantara mereka
yang telah lanjut usia tetapi masih saja rajin mencari ilmu, lalu datang
seseorang seraya bertanya kepadanya, “Kapankah anda menuntut ilmu ?. Lalu ia
menjawab, “Hingga aku meninggalkan dunia ini”. Dan diantara kata-kata mutiara
mereka ialah.
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga anda masuk ke
liang kubur”
Para ulama salaf pernah mengatakan, “Sesungguhnya
ilmu itu tidak akan memberikan apa-apa kepadamu sehingga kamu memberikan semua
yan ada pada dirimu kepadanya. Semua tenagamu, semua waktumu, dan segenap
dirimu secara hissiyan (lahir) wa ma’nawiyyan (batin).”
Tetapi, apakah dengan membaca ini sudah cukup?
Cukuplah bagi kita mengerti dan memahami setelah belajar, lantas segala
sesuatunya dianggap sudah sempurna dan sudah selesai? Apakah Islam hanya
menghendaki kita menjadi orang yang pandai berfilsafat dan berpengetahuan saja?
Tidak, tidak cukup hanya itu. Tetapi harus diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan
bagaikan pohon yang tidak berbuah.
0 komentar:
Posting Komentar