Negara ini didirikan oleh Bani Utsman (dalam bahasa Inggris: House of Osman atau Ottoman dynasty), yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.
Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.
Kebangkitan
Kesultanan (1299-1453)
Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran
Bizantium yang melemah telah kehilangan
beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada
daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Osman I, anak dari Ertuğrul, yang kemudian mendirikan
Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Ertuğrul bermigrasi ke
Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam
perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk).
Ertuğrul bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan
kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan
Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir.[1] Sepeninggal Ertuğrul pada tahun 1281, Osman I menjadi
pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.
Osman I kemudian memperluas wilayahnya sampai ke batas
wilayah Kekaisaran
Bizantium. Ia memindahkan ibukota
kesultanan ke Bursa, dan memberikan
pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut.
Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya,[2] Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan
dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat
istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau
menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad
pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos
yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi
wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.
Pada periode ini terlihat terbentuknya pemerintahan
formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat
abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan
nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan
suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan
kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan
Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan
di Pertempuran Plocnik,
kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran
Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi
Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini
kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani
luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.
Sepeninggal Timur Lenk, Mehmed II melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer,
dan menunjukkan keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada
tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun. Kota tersebut menjadi ibukota baru
Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Mehmed II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil
menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.
Mehmed II menaklukkan kota Konstantinopel yang menjadi ibukota
baru kesultanan tahun 1453.
Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa: Masa
perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566);
dan masa stagnasi militer dan politik
Kesultanan Utsmaniyah 1299–1683.
Pertempuran Zonchio
pada tahun 1499 adalah perang laut pertama yang menggunakan meriam sebagai
senjata di kapal perang, menandakan kebangkitan angkatan laut Kesultanan
Utsmaniyah.
Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah
pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar
di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah
memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya
sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah
mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan
juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa
dan Asia.
Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah
beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatis memperluas batas wilayah
kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid
dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran.
Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan
kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Serangan ke Wina tahun 1529.
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang
Agung (1520-15660 melanjutkan ekspansi Selim. Setelah
menaklukkan Beograd tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Ia kemudian
melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut
setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di
sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535,
mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan
laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi
penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari
Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan
penaklukkan Nice dari Kekaisaran
Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir
terjadi atas nama Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Perancis Francis I dan Hayreddin
Barbarossa, admiral angkatan laut Turki
saat itu. Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan
kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat
pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi
antar Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa
dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian
dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Perancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol,
Italia, dan Habsburg Austria.
Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa wilayah
kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa di
barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan
perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi
warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang
lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang
besar sampai kejadian Pertempuran
Wina tahun 1683
yang menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.
Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol
monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan
jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan
pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan
inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan
masyarakat Utsmaniyah.
Pertempuran Lepanto tahun 1571.
Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang
Eropa di Semenanjung
Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan
Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto
(sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto)
tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad
ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah
berakhir.
Serangan kedua Wina tahun 1683.
Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara
perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana inovasi
yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh
konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropa
menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya
ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi
permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan
jumlah Yanisari yang melebihi pasukan militer lainnya
Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya
Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam
kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya
maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan Pemberontakan
Yenisaris (1622) mengakibatkan
ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal
abad ke-17, dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17
bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di
mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan
baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.
Kesultanan Wanita (1530-1660) adalah peridode di
mana pengaruh politik dari Harem
Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih
kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan
yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh
perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan
bijaksana. [3]Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem
dan menantunya Turhan Hatice,
yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode
ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703), yang mana
kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari
Harem dan kemudian oleh
beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).
Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama politik dalam
negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur
mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan
rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini
dilaksanakan dengan tatacara Islam[4]. Arti kedua adalah politik luar negeri, (belum selesai)
![]() |
Keakuratan artikel ini diragukan dan artikel ini
perlu diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Lihat diskusi mengenai artikel ini di halaman diskusinya. |
Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat
kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi,[rujukan?] tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik.
Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya
mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah
terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya
yang ditulis Ibrohimul Halabi
(1549)sebagai pedoman dalam hal syariah dan muamalah sehingga administrasi
negara menjadi lebih mudah dan terstruktur rapi. Padahal khilafah Islam bukan
negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan
hanya 1 mazhab.
Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk
perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh
Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa
dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan
Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin
Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788)[5]. Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk
Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826)[6], sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu,
majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa
berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan
kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni[7].
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah
dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari
pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini
membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi
memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan
menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah
ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini
membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti
tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih
Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat.
Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi.
Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17[8]. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman
memberontak pada paruh kedua abad ke-16[9]. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang
300 juta lira[10].
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang
Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam
ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah.[rujukan?] Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul
Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar
agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur
Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap
hari[11].
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal
Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia,
Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572)
menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni
Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi
Westafalia (1667).[rujukan?] Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang
setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah
hanya mempertahankan wilayahnya.[rujukan?] Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul
khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano
(1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan
reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi
gagal.[rujukan?] Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek
dengan peradaban dan pemikiran.[rujukan?] Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara,
yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah
terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu,
penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa
syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat
(1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU,
seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi
1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan
kholifah.
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal
Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai
Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak
pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah
dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara
opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini
dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional -
dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan;
pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di
Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani
membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang
memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di
Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan
membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus
pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini
diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang
diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah
sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923,
ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya
untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat
mendukung Sultan Abdul
Mejid II, serta berusaha mengembalikan
kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan,
ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa
penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk
mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu
asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha
mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M,
ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam
dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal
Pasha.
Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah
komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924
diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah
di Kairo [12]. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan
menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924,
yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur)
maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10
cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari
seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan
diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap
sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam[13]. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah
delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji
Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi [14].
Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan
Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan
ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem,
dan Pati. Mereka sempat
mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni
mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan
pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan [15]. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926.
Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz
sebagai persoalan utama[16].
Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam
Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia
Timur) di Bogor, sebagai respon atas
undangan Kongres Islam Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi[17]. Pada tanggal 13-19 Mei 1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari
Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah
Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah.
Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan pada
Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926).
Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan
masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.
Pada tahun 1927
berlangsung Kongres Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI).
Di bawah ini adalah daftar sultan yang memerintah di Kesultanan
Utsmaniyah sampai berdirinya Turki sekuler.
|
|
3.
^
Leslie Peirce "The Imperial Harem: Women and sovereignty in the Ottoman
empire and Morality Tales: Law and gender in the Ottoman court of Aintab"
5.
^
Asy-Syalabi, Ali Muhammad (2 Desember 2003). Bangkit dan Runtuhnya Khilafah
'Utsmaniyah. Pustaka Al-Kautsar. hlm. 403-425.
6.
^
Mufradi, Ali (2 Desember 2002). Kerajaan Utsmani dalam Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. hlm. 236-246.
8.
^
Musthafa, Nadiyah Mahmud (2 Desember 1996). Al-'Ashrul 'Utsmani minal
Quwwatul Haimanah ila Bidayatul Mas'alatusy Syarqiyyah. Al-Ma'hadul 'Alami
lil Fikrul Islami. hlm. 94.
9.
^
Marjeh, Maufaq Bani (2 Desember 1996). Shahwatur Rajulul Maridh au
as-Sulthan 'Abdul Hamid ats-Tsani wal Khilafatul Islamiyyah. Darul Bayariq.
hlm. 42.
17. ^ Suryanegara, Ahmad Mansur (2 Desember 1998). Menemukan Sejarah: Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia. Mizan. hlm. 227.
0 komentar:
Posting Komentar