Topik ini tentang maktab-maktab dan keragaman agama ini merupakan suatu topik yang sangat
populer akhir-akhir ini dan menjadi ajang bahan diskusi dan perbincangan dalam
berbagai tingkat pendidikan, ilmu, budaya, agama, mazhab, dan sosial.
Tidak diragukan bahwa kita hidup di
suatu dunia yang penuh dengan dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang
kita saksikan terdapat bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam,
bahasa yang beraneka-macam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak,
ideologi dan pemikiran yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup
manusia lainnya yang tidak sama. Sekarang kita akan membahas tinjauan
pluralisme agama terhadap masalah ini dan mengajukan kritik serta isykalan
terhadap teori dan pandangannya.
Penafsiran
yang Beragam Terhadap Kejamakan Agama-agama (Pluralisme Agama)
Kenyataan yang ada, kita mempunyai
bermacam agama dan kita juga mempunyai sangat banyak pandangan-pandangan
(mazhab dan maktab pemikiran) yang bukan agama. Di antara agama-agama yang ada,
kita dapat membagi mereka ke dalam dua kelompok. Pertama, agama-agama yang
berdasarkan wahyu dan kedua, agama-agama yang tidak berasal dari wahyu.
Sementara masing-masing dari dua kelompok agama tersebut, terdapat lagi
mazhab-mazhab yang bermacam-macam.
Pertanyaan mendasar yang dapat diajukan
kepada setiap pemikir adalah, bagaimana harus ditafsirkan keragaman
pandangan-pandangan keagamaan dan bukan keagamaan dari satu sisi dan kejamakan
agama-agama yang berbeda dari sisi lain serta juga banyaknya mazhab dalam
setiap agama? Sejauh mana saham semua agama-agama ini dalam hakikat dan
kebenaran? Apakah semua agama benar ataukah hanya ada satu agama yang benar?
Pertanyaan-pertanyaan ini telah mendapatkan jawaban yang berbeda-beda, di
antaranya dari inklusivisme, eksklusivisme, dan pluralisme. Pluralisme agama
merupakan salah satu jawaban dan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan di
atas.
Pengertian Secara Bahasa dan Istilah
dari Pluralisme
Pluralisme mempunyai pengertian secara
bahasa dan istilah yang beraneka-macam:
a) Pengertian secara bahasa:
Dalam kamus Oxford, pluralisme ditafsirkan dalam bentuk seperti berikut ini:
1. Suatu kehidupan dalam sebuah
masyarakat yang dibentuk oleh kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda,
di mana kelompok-kelompok ini mempunyai kehidupan politik dan agama yang
berbeda. Definisi ini bentuknya menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan.
2. Menerima prinsip bahwa
kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda dapat hidup secara rukun dan
damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini mengandung suatu ide dan maktab
pemikiran.[1]
b) Pengertian secara istilah:
Pluralisme secara istilah minimal memiliki empat macam penggunaan:
1. Pluralisme disamakan dengan
toleransi, yakni bermakna toleran dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah
dan mengantisipasi pertikaian dan peperangan.
Dalam definisi ini, keragaman dan
kejamakan diterima sebagai suatu realitas kemasyarakatan. Yakni para pengikut
masing-masing dari agama dan mazhab, dalam kenyataan mereka memandang bahwa
hanya diri mereka yang benar dan ahli selamat, dalam bergaul dan bermasyarakat
dengan para pengikut agama dan mazhab lainnya selalu toleran, rukun, dan saling
menghormati.
Kita menerima pengertian pluralisme
ini. Sebagaimana pluralisme yang terjadi di antara dua firkah dalam satu
mazhab, antara dua mazhab dalam satu agama, dan antara dua agama Ilahi serta
antara agama-agama non-wahyu. Kita memiliki banyak ayat-ayat yang berkenaan
bentuk pluralisme ini, di antaranya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama
dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.”(Qs. al-Mumtahanah [60]
Makna ayat ini adalah berprilakulah
secara baik dan adil terhadap orang-orang kafir yang berprilaku secara baik dan
adil terhadapmu. Yakni orang-orang yang berbeda denganmu dari segi agama (apatah
lagi perbedaan dari segi mazhab dan firkah), bergaullah dengan mereka secara
adil, baik, dan toleran selama mereka tidak memerangimu.
2. Pluralisme yang bermakna agama
adalah satu. Semua agama datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang
berbeda-beda. Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi agama, akan
tetapi pada arasy pemahaman agama. Sekelompok orang memahami perkara Ilahi
dalam satu bentuk maka mereka menjadi Yahudi. Segolongan lainnya memahaminya
dalam bentuk lain maka mereka menjadi orang-orang Nasrani. Dan adapun
orang-orang Muslim dan pengikut-pengikut agama lainnya memahami perkara-perkara
Tuhan dalam bentuk yang berbeda dengan kedua pengikut agama tersebut di atas.
Setiap nabi mempersepsi dan menjelaskan
hakikat dalam suatu bentuk tertentu. Karena itu, satu berkata dan berpandangan
tauhid dan lainnya (al-‘iyâdzu bi-llah) berkata dan berpandangan trinitas.
Setiap orang, sesuai dengan persepsi dan pemahamannya, memahami suatu bentuk
dari hakikat ini. Dan tidak seorangpun yang mempunyai kelebihan pemahaman
dibanding pemahaman yang lainnya. Kita tidak hanya mempunyai satu jalan lurus,
tetapi kita mempunyai jalan-jalan lurus dan semua mereka terhitung benar.
Apa yang mampu diraih dan dijangkau
oleh manusia, bahkan para nabi, tidak mempunyai jaminan kesahihan secara mutlak
dan bukan hakikat tetap Ilahi. Apa yang ada dalam koridor makrifat kita,
itu hanyalah hasil dari penangkapan mental (dzihni) masing-masing
dari setiap para nabi yang tidak terlepas dari pengetahuan-pengetahuan alami,
fisika, kemasyarakatan, politik, dan nilai-nilai yang berkuasa pada setiap
zaman dari mereka.
Dalam definisi pluralisme ini, diakui
bahwa terdapat satu hakikat yang mutlak dan tetap, akan tetapi hakikat yang
berbetuk murni sama sekali tidak sampai ke tangan manusia, termasuk para nabi
As. Natijahnya, tidak satupun agama dan maktab yang mengungguli agama dan
maktab lainnya. Di dalam satu agama yang sama juga tidak terdapat satu mazhab
yang mengungguli mazhab lainnya.
Pandangan ini dinisbahkan dengan muhkamât
(hal-hal yang pasti dan tetap) dan dharuriyyât (hal-hal yang mesti dan niscaya)
agama tidak dapat dibenarkan dan merupakan tinjauan dan ungkapan yang sangat
salah, tetapi dalam bentuk yang sederhana dan dalam batas masalah-masalah
teoritis dan hipotesa dapat dikaji lebih jauh. Kami dalam silsilah pembahasan
mendatang akan menyinggung masalah ini dan melakukan kritik dan isykalan
terhadapnya.
3. Bentuk ketiga makna dari pluralisme
adalah bahwa terdapat hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu
hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling bertentangan, terlepas dari
perbedaan pemahaman kita, semuanya adalah hakikat dan benar.
Pengertian ini sudah jelas salah dan
tidak dapat diterima, sebab hal-hal yang saling kontradiksi adalah sesuatu yang
secara aksiomatis invalid (batil). Pluralisme dangan makna ini adalah suatu
bentuk konsep yang murni impor dari dunia Barat dan mempunyai akar perbedaan
antara teologi Kristen dan gereja dengan hasil penemuan ilmu-ilmu empirik.
Karena kita tidak mempunyai masalah dalam hal ini (sebagaimana ajaran gereja
dengan hasil penemuan ilmu dan sains), maka kita tidak perlu mengupas dan
mengkajinya lebih lanjut.
4. Hakikat, merupakan totalitas dari
bagian-bagian dan unsur-unsur, di mana masing-masing dari setiap unsur dan
bagian ini ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita tidak
memiliki satu agama yang komprehensip dan utuh, tetapi kita mempunyai
keseluruhan agama-agama yang setiap dari mereka memiliki saham hakikat. Dalam
agama Islam, hanya sebagian dari hakikat dapat ditemukan. Demikian juga dalam
agama Nasrani, bagian yang lain dari hakikat dapat dijumpai dan dalam agama
Yahudi, Budha, Hindu, penyembahan berhala, dan lain sebagainya, bagian yang
lain dari hakikat dapat ditemukan. Dengan tinjauan ini maka kita tidak
mempunyai satu agama yang sama sekali tidak memiliki saham dari hakikat.
Bahkan, dalam setiap agama dapat ditemukan saham dari hakikat dan
kebenaran.[2]Oleh karena itu, tidak satupun dari agama-agama yang dapat
mengklaim dirinya sebagai agama yang mencapai hakikat secara keseluruhan dan
sempurna. Tidak Islam, tidak Nasrani, tidak Yahudi, tidak Budha, dan tidak yang
lainnya.
Kita kaum Muslimin tidak dapat menerima
pluralisme dengan makna ini, sebab agama Islam merupakan agama yang
komprehensip, sempurna, dan meliputi seluruh hakikat-hakikat dan kebenaran yang
dimiliki agama-agama lainnya. Agama ini tidak hanya mengandung sebagian dari
hakikat, tapi seluruh hakikat yang datang dari Tuhan. Pengkajian dan pengupasan
tentang benar dan salahnya masing-masing dari makna pluralisme di atas akan
diuraikan pada pembahasan-pembahasan berikutnya berkenaan dengan topik ini.
Latar Belakang Historis Pluralisme
Pandangan kejamakan dan keragaman
(pluralisme) yang dinisbahkan kepada agama, merupakan suatu konsep yang
dikonstruksi oleh para cendikiawan, pemikir, dan teolog barat yang dipengaruhi
oleh suatu pandangan filsafat khusus untuk menjawab dan memecahkan sebagian
masalah-masalah akidah dan keyakinan dan juga untuk memecahkan sebagian dari
masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul. Jadi pada dasarnya, pluralisme
adalah suatu konsep yang terbangun dalam teologi Kristen. Karena itu, jika kita
tidak mengetahui teologi Kristen dan perbedaan yang ada di antara firkah-firkah
dalam agama ini, maka kita tidak akan dapat memahami secara benar pluralisme.
Agama-agama yang diterima masyarakat
dunia, dari segi rasionalitas prinsip dan landasan mereka dapat dibagi ke dalam
dua kelompok:
Pertama:
Agama-agama yang prinsip dan dasar utamanya adalah rasional. Yakni pembawa dan
muballig agama tersebut menunjukkan prinsip dan dasar utama agamanya dan para
pengikut mereka, sampai kadar tertentu dalam wilayah persepsi, mengkonsepsi dan
membenarkan prinsip dan dasar agama tersebut. Sebagai misal: Keyakinan terhadap
keberadaan (wujud) Allah Swt dan wujud inilah yang sebagai mabda, pencipta,
pemilik, pengatur, dan penguasa absolut eksistensi. Dia adalah Mahatahu dan
Mahakuasa serta di tangan-Nyalah pengaturan alam semesta dan manusia.
Manusia, setelah menempuh kehidupan
dunia ini akan memasuki babak lain dari kehidupan yang disebut kehidupan
ukhrawi. Bagaimana corak dan warna kehidupan ini –dari segi kebahagiaan dan
penderitaan- ditentukan oleh hasil amal perbuatan mereka dalam kehidupan dunia.
Prinsip dan dasar ini, semuanya memiliki landasan rasional, yakni alat dan
sistem persepsi manusia mampu mengkonsepsi dan menghukumi mereka. Misalnya
akidah tentang mabda alam semesta ini bersandarkan kepada prinsip dan hukum
kausalitas, dimana konsepsi tentang kaidah ini bahkan akal yang sederhanapun
dan bahkan dalam masalah ini bahkan sebagian dari hewan-hewan juga
mempersepsinya. Bahwa setiap maujud dan fenomena merupakan hasil dari keseluruhan
faktor-faktor dan sebab-sebab, ini adalah suatu perkara badihi
(aksiomatis), disaksikan, dan dialami dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, agama-agama yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip ini akan mendapatkan
pengakuan rasionalitas, dengan kata lain mendapatkan bagian dan saham
pembenaran dan penerimaan akal.
Penerimaan prinsip-prinsip di atas,
pada dasarnya dapat dalam bentuk murni analisa akal tanpa butuh kepada
perantara lain seperti perasaan, iradah, atau pemisahan wilayah akal dan iman. Akan
tetapi dalam teologi Nasrani terdapat bentuk penerimaan prinsip-prinsip
tersebut dengan perantara pemisahan wilayah akal (penerimaan dengan argumen
rasional) dan wilayah iman (penerimaan dengan murni iman).
Kedua: Agama-agama yang
prinsip dan dasar utamanya adalah non-rasional. Maksud kami dari non-rasional
atau tidak rasional adalah suatu qadiyyah (proposisi) sedemikian hingga akal
manusia tidak mampu menemukannya dan tidak dapat menampungnya. Atau proposisi
tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip yang berkuasa secara hukum
rasional dalam akal manusia, sehingga natijahnya tidak dapat diterima dan
dibenarkan oleh akal kita. Seperti bentuk ungkapan pengikut Nasrani, Isa Masih
mempunyai sisi ketuhanan dan juga sisi kemanusiaan (manusia biasa) dan Tuhan
adalah satu dzat yang terdiri tiga oknum; bapak, anak, dan ruhul qudus.
Agama-agama dan maktab-maktab seperti
maktab Hindu, Budha, dan juga teologi Kristen tidak bisa terhindar dari pilar
agama yang non-rasional dan bertolak belakang dengan makrifat. Oleh karena itu,
di antara teolog Kristen terdapat orang-orang yang menolak rasionalitas dalam
agama sampai batas ekstrim, dimana mereka memutus sama sekali akar pemakaian
akal (rasionalitas) dalam masalah haqqaniyyat(kebenaran) agama.
Pluralisme agama dalam hal ini merupakan satu bentuk doktrin tentang penjauhan
agama dari analisa akal, bahkan bisa dikatakan suatu bentuk permusuhan dengan
akal sebagai antitesa dari rasionalisme Decartian.
Richard Swinburne memandang bahwa
pembelaan agama secara rasional tidak diperlukan. Swidler, mengambil kadar
cakupan kebenaran sedemikian luasnya, sehingga tidak hanya meliputi seluruh
agama-agama dari agama tauhid (monoteisme), politeisme, dan penyembahan
berhala, bahkan juga memuat maktab-maktab non-agama seprti komunisme ateis.
William P. Alston memandang bahwa penalaran yang digunakan untuk memecahkan
perbedaan-perbedaan teoritis agama secara keseluruhan adalah tidak mungkin dan
memandang ke-posibelan kebenaran pengalaman-pengalaman keagamaan yang saling
bertentangan.
Immanuel Kant (1729-1809) menakwilkan
bahwa teologi Kristen serupa dengan proposisi-proposisi yang berfaedah. Dia
memisahkan antara nomen(hakikat sesuatu) dan phenomen (penampakan
sesuatu), serta memandang bahwa terdapat jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan
dan realitas. Pandangannya ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan
pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan kesalahan dari
proposisi-proposisi agama.
Ludwig Wittgenstein (1889-1951 M),
dalam pertengahan abad 20, memandang bahwa keseluruhan akidah dan
proposisi-proposisi teologis merupakan aplikasi bahasa dalam dimensi penampakan
kebersamaan dalam gambaran kehidupan agama dan sama sekali tidak mempunyai
validitas rasional serta tidak dapat meluaskan lingkup kemestiaan teorisnya.
Karl Barth (1886-1968 M), membedakan secara makrifat antara hakikat-hakikat
ketuhanan dengan pembahasan-pembahasan lainnya dan memandang bahwa segala
sesuatu bergantung kepada inayah (Tuhan), karena itu, segala usaha ilmu dan
pengetahuan manusia tidak akan memperoleh hasil.
Semua ini merupakan penggalan-penggalan
pemikiran yang terpisah-pisah yang menjadi cikal bakal pertentangan
epistemologis dalam bab agama, akhlak, dan teologi keagamaan. Di mana salah
satu dari konklusi logis dari pertentangan epistemologis tersebut adalah
penegasian kebenaran dari semua agama-agama. Dalam atmosfir keberagamaan
Kristen, orang-orang akan berhadapan dengan keimanan kepada prinsip dan dasar
teologi yang kontra rasionalitas, akan tetapi pada saat yang sama mereka mesti
meyakininya. Dalam agama ini, tujuan adalah kelangsungan hidup, bukan
pengetahuan dan menurut perkataan Paulus Rasul: Tuhan memilih orang-orang bodoh
alam (dunia) sehingga membuat hina (mempermalukan) para penguasa.[3]Semua ini merupakan suatu motif kontra
makrifat, padahal pada hakikatnya agama itu sendiri mesti berasaskan makrifat
yang benar. Sebagaimana Tuhan berfirman: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan
manusia kecuali supaya menyembah-Ku”[4], di mana sebagian dari mufassir
menjelaskan bahwa pengertian kalimat ‘supaya menyembah-Ku’ adalah ‘supaya
mengetahui dan memakrifati-Ku’. Dan dalam hadits kudsi terdapat riwayat: Aku
adalah perbendaharaan yang tersembunyi… maka Aku menciptakan makhluk agar Aku
diketahui, yakni riwayat ini menjelaskan bahwa asas penciptaan itu sendiri
adalah makrifat. Oleh karena itu, sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam
agama Islam terdapat berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Maksumin
yang menjelaskan bahwa mizan daripada nilai akidah dan amal adalah derajat
tafakkur (rasionalitas) seseorang.
Skeptis dalam Keimanan Kristen serta
Natijahnya
Dalam agama Kristen (Nasrani, Kristen),
keyakinan mesti bertumpu pada kekuatan iman dan apa yang akal katakan tentang
hakikat sesuatu, selama ia bertentangan dengan keimanan maka tidak akan
diterima. Oleh karena itu, semuanya mesti meyakini kepada proposisi-proposisi
yang tidak rasional sebagai prinsip dan dasar utama agama. Bentuk keimanan
seperti ini tidak lain bermakna pengakuan secara lisan, kendatipun pada
hakikatnya teradapat penolakan dan pengingkaran secara akal dan kalbu. Dan
keimanan seperti ini senantiasa disertai dengan keraguan dan skeptis dan
seorang penganut Kristen akan selalu berkata: Saya dalam realitas ketidak
berimanan, mesti beriman. Mereka bahkan untuk keimanan yang disertai dengan
keraguan seperti ini juga mengutarakan dampak dan natijahnya, di antaranya:
1- Keraguan adalah faktor dan penyebab
mendasar iman dan iman yang tidak goyah dengan keraguan bukanlah iman
sejati.
2- Keraguan merupakan penampakan
kerendahan hati (tawadhu) dan tanpa kerendahan hati ini maka yang ada pamer
keimanan agama dan ini adalah suatu bentuk penaklidan keagamaan.
3- Keraguan adalah penyebab toleransi
keberagamaan dan tanpa hasrat kepadanya maka tidak mungkin tercipta toleransi
keberagamaan. Yakni, karena semua mempunyai keraguan terhadap prinsip dan dasar
agamanya dan memberi kemungkinan bahwa agama lain yang hak, maka itu mereka
toleran dengan para pengikut agama-agama lain dan mereka akan hidup saling
rukun.[5]
Dengan demikian pada abad 20 muncul
pembicaraan tentang kerukunan dan toleransi antara umat beragama. Pada awalnya
lebih banyak mengarah kepada dimensi akhlak dan masih sedikit perhatian
terhadap dasar dan bangunan teoritisnya. Dan pada tingkat penyebaran agama
Kristen, senantiasa dipesankan bahwa jangan mengajak pengikut-pengikut agama
lain kepada agama Kristen secara paksa.
Faktor-faktor Terbangunnya Pluralisme
Sosial
Setelah meluasnya wilayah hubungan
antara masyarakat, khususnya setelah peperangan sengit antara agama-agama,
mazhab-mazhab, dan firkah-firkah, baik itu perang salib antara kaum Muslimin
dengan kaum Nasrani maupun peperangan antara pengikut mazhab-mazhab Kristen
satu sama lain, dan dampak-dampak buruk yang ditinggalkan oleh peperangan ini,
maka pemikiran ini menguat bahwa mesti agama-agama dan mazhab-mazhab lain secara
resmi diterima dan berdamai dengan mereka serta berpikir tentang kemaslahatan
masyarakat, karena itu mesti dibangun kesesuaian di antara mazhab-mazhab
dan maktab-maktab yang bermacam-macam.
Di samping itu, sistem kapitalis,
setelah mendistorsi akal teoritis dan praktis dan setelah mengenyampingkan
tradisi-tradisi keagamaan, dengan bersandarkan kepada akal sebagai alat; yakni
menggunakan teknologi dan birokrasi ke arah kekuatan duniawi, maka tidak
ada jalan lain masyarakat terpaksa menerima globalisasi dunia. Sistem ini
menuntut hubungan, informasi, dan komunikasi yang demikian luas serta meliputi.
Dan sebagai natijahnya, ikatan-ikatan, tradisi-tradisi keagamaan, dan
budaya-budaya lokal tidak mampu membendung serangan kekuatan besar yang
menggelobal dan mendunia ini. Dalam kondisi inilah wacana pluralisme sosial
menjadi bahan perbincangan dan sebagai alternatif pemecahan masalah sosial
.
Pluralisme Agama Dalam Dunia Kristen
Poin penting pluralisme agama dalam
dunia Kristen –liberal- adalah masalah doktrin keselamatan (salvation). Dari
sudut pandang gereja, Hadhrat Masih (Isa As) merupakan satu-satunya jalan
keselamatan dan jalan yang menyampaikan ke surga. Menurut kaum Kristen
Protestan, keselamatan ini hanya diperoleh dari jalan iman. Dalam teologi
liberal-Protestan, hubungan mukmin dan amal terputus, sebagaimana
diyakini oleh mereka bahwa tidak boleh menunjukkan perasaan di atas akidah dan
keyakinan; sebab menurut mereka tidak ada sesuatu yang dinamakan akidah hak
yang mesti kita persepsi dan yakini dan meninggalkan hal yang menyalahinya.
Kaum Protestan menyatakan agama adalah murni suatu perasaan romantik pribadi
dan suatu kecenderungan kalbu yang tidak memiliki parameter untuk dihukumi,
dikritik, ditolak, atau diterima. Dalam bentuk pendekatan ini, yang menjadi
urgen hanyalah kepemilikan iman, bukan subyek iman. Cara hidup dan cara beramal
serta program dan aturan nilai agama-agama, tidak mempunyai nilai penting
sampai batas dapat menjadi sumber pertikaian satu sama lain. Dan apa yang menjadi
hal dipertanyakan tentang nasib orang-orang lain (di luar pengikut agama
Kristen), dengan konsep pluralisme agama, ke-penghuni-an neraka mereka (para
pengikut agama-agama lain selain pengikut agama Kristen) dengan berbagai dalil
dan kecenderungannya, menjadi hal yang teringkari dan ternafikan.
Lain lagi halnya dalam gereja Katolik,
keselamatan dan masuk surga bagi seseorang hanya dapat diperoleh dengan
pelaksanaan upacara khusus. Dalam abad pertengahan, kaum Katolik berkeyakinan
bahwa hanya orang yang sudah mandi baptis (dibaptis oleh gereja) yang bisa
masuk surga. Menurut mereka, bahkan Nabi Musa As dan Nabi Ibrahim As bukanlah
ahli surga, kendati mereka ini sangat dihormati oleh gereja. Mereka ini berada
dalam sebuah tempat yang bernama Limpo. Tempat ini berada di antara surga dan
neraka dan di sana tidak terdapat kelezatan dan penderitaan. Mereka ini dan
orang-orang yang tidak terbaptis tetapi tidak melakukan dosa-dosa besar,
tertunda masuk surga dan tinggal di sana sampai Hadhrat Isa As membawa mereka
masuk surga pada hari kiamat.
Kemudian terjadi perubahan dalam
pandangan gereja, bahwa untuk mandi baptis tidak mesti air disiram di atas
kepala, akan tetapi terkadang dengan cara lain juga sudah mencukupi.
Toleran dalam perkara agama dari sisi
kaum Katolik sampai pada batas disebutnya sebagai ‘Kristen tanpa nama’ para
pengikut agama-agama bukan Kristen dan menyatakan secara jelas, para pengikut
agama lain yang mempunyai kehidupan baik dan bersih, mereka adalah kaum
Kristen; kendatipun mereka ini tidak menerima pengajaran dan doktrin Kristen.
Natijah ini merupakan hasil penjelasan Konvensi Vatikan II (1962-1965 M).
Kemudian salah seorang dari teolog Katolik pada abad 20 bernama Karl Rahner,
mengungkapkan bahwa kita mesti memandang sekelompok masyarakat dan agama-agama
yang bukan suatu mazhab sebagai orang-orang Kristen. Misalnya jika seorang
Muslim, mempunyai kehidupan baik (maksudnya baik dalam amal perbuatan), dia
hidup jujur dan bersih, dia juga tidak melakukan perbuatan yang menyalahi
ajaran-ajaran Kristen, kita dan Tuhan memandang dia sebagai orang Kristen
kendatipun dia tidak melakukan pembaptisan.
John Hick (1922-1982 M), seorang uskup
dari sekte Presbyterians yang terdapat di Inggris, mempunyai pengalaman
mengajar beberapa tahun di Amerika Serikat dan juga pensiun di sana. Sebelumnya
ia di Inggris bagian Timur (Birmingham) banyak bergaul dan bekerja sama dengan
orang-orang yang bukan pengikut Kristen seperti orang Islam, Hindu, dan Yahudi.
Hubungan dan kerjasama tersebut melahirkan suatu pandangan baru tentang
agama-agama dan mazhab-mazhab baginya.
John Hick, sebelum membangun teori
pluralisme agama, sebelumnya melakukan kritik terhadap ajaran Kristen tentang
pembaptisan, pengaruh gereja memberi keselamatan pada jamaah, dan
keyakinan-keyakinan Kristen lainnya. Dan yang paling penting serta paling
sentral dari kritiknya adalah keyakinan menitisnya (hulul) Tuhan (tajassud
uluhiyyat) pada diri Nabi Isa As. John Hick berkata: ”Saya sampai
pada kesimpulan bahwa bentuk keyakinan terhadap hulul atau tajassud lahut
pada nasut, yakni hulul-nya Tuhan pada diri Isa Masih As, sebagai suatu
bentuk metaphor, majazi, dan atau legenda, bukan sebagai suatu proposisi
berbentuk satu hakikat murni”.[6]
Oleh karena itu, toleransi dalam
masalah agama yang dilakukan oleh gereja Katolik sampai batas memandang
pengikut agama-agama lain yang dalam kehidupannya bersih dan berakhlak baik,
meskipun mereka tidak menerima doktrin dan ajaran Kristen, mereka dianggap
sebagai orang-orang Kristen tanpa nama, masih dipandang tidak cukup oleh John
Hick, sebab pandangan ini masih menjadikan agama Kristen sebagai tolok ukur dan
parameter penerimaan agama-agama dan keselamatan seseorang. Berasaskan tinjauan
ini dia mengungkapkan suatu pandangan tentang kebenaran dan keselamatan semua
agama-agama dan pangikut mereka sebagai pluralisme agama-agama.
John Hick meletakkan dasar pluralisme
agamanya berdasarkan masalah tasybih (penyerupaan), memisahkan pengalaman
keagamaan dari penakbiran keagamaan, dan pembicaraan masalah pemahaman mufassir
sebagai kesanggupan manusia dalam mengungkapkan kandungan pengalamannya.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan,
pluralisme agama, hakikatnya secara epistemologis sangat berkaitan dengan
penafian dan penegasian makrifat sesuai dengan realitas’, karena itu kaum
pluralis mempunyai masalah dalam asli makrifat. Pada dasarnya semua orang
mengakui bahwa kita tidak akan pernah sampai pada makrifat kunh dzat aqdas
Tuhan, sebagaimana Dia Allah Swt, tetapi pembicaraan tidak pada tataran ini,
pembicaraan berkenaan dengan batas minimum makrifat, dan kadar makrifat
terhadap Allah Swt dalam konteks ini adalah tidak mustahil.
Epistemologi Pluralisme John Hick
Epistemologi pluralisme John Hick
memiliki bangunan empirisis dan berdasarkan atas penafian kemungkinan
‘pengetahuan sesuai dengan realitas’ khususnya dalam konsep agama, karena itu
meniscayakan skeptisisme dalam permasalahan agama-agama.
Pandangan ini dipengaruhi oleh
romantisisme Schleiermacher (agama merupakan hasil perasaan pribadi dan tidak
mempunyai kandungan makrifat), dan pemisahan nomen dan phenomen Immanuel Kant
(pintu makrifat tertutup kepada realitas), relativisme pengetahuan, kesetaraan
argumen, dan sebagai natijah akhir dari ini, di antaranya:
Pertama: Tidak boleh menegaskan sesuatu
sebagai akidah dan keyakinan hak, sebab ini memestikan pembatilan orang-orang
lain. Berasaskan tinjauan ini, dasar dan prinsip keyakinan dan makrifat
agama-agama (termasuk agama Islam), paling maksimal dalam batas anutan yang
tidak didasari oleh aspek keilmiahan, sehingga tidak satupun dari mereka dapat
ditetapkan atau dibatilkan. Dan semua agama-agama serta mazhab-mazhab berposisi
sama dan mesti semuanya diterima secara resmi.
Kedua: Agama (syariat), yakni dalam hal
ini termasuk hukum-hukum fiqhi Islam, juga menjadi penghalang pluralisme
agama-agama. Karena itu, tugas praktis ibadah, manasik, dan hukum-hukum fiqhi
tidak boleh dipandang sebagai bagian prinsipil dari keberagamaan.
Ketiga: Akhlak juga mempunyai parameter
yang berbeda-beda dan dalam banyak hal tidak dapat dihukumi ajaran akhlak mana
yang sahih dan ajaran akhlak mana yang tidak sahih. Oleh karena itu, di samping
dalam prinsip akidah dan hukum-hukum fiqih, dalam akhlak juga mesti diterima
sejenis relativisme.[7]
Dalam bentuk tinjauan ini, yang penting
hanyalah kepemilikan iman, bukan subyek iman. Aturan-aturan hidup dan cara
beramal serta program dan jadwal agama, tidaklah bernilai sampai batas dapat
menjadi sumber pertentangan di antara pengikut masing-masing dari setiap agama.
Dengan demikian, tidak satupun agama yang menghitung batil agama-agama lainnya
dan seluruh agama-agama akan hidup rukun satu sama lain.
Konsekuensi Logis Pluralisme Agama
Pendistorsian nilai wahyu sampai batas
memandangnya sebagai suatu hasil pengalaman psikologis seseorang, penyebab
terhapusnya kandungan makrifat dari agama (khususnya dalam ruang lingkup
metafisika). Di samping itu, dikesampingkannya syariat amali dari substansi
agama dan terpisahkannya agama bahkan dari akhlak, dan sebagai natijahnya
kesamaan agama-agama dan semua akidah serta ketidakmungkinan terhukumi mereka
(ditetapkan dan dibatilkan), pada dasarnya telah menciptakan suatu bentuk
keberagamaan yang minus dari akidah, hukum, dan akhlak yang merupakan
konsekuensi logis dari pluralisme agama.
Motif-motif demikian ini, sejak dari
zaman dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bentuknya seperti penisbahan
penyair, penyihir, dan gila kepada para nabi As, wahyu yang dibawa oleh mereka
juga mengalami hal yang sama dengan pendefinisian mereka sebagai pengalaman
psikologis dan pengalaman internal. Oleh karena itu, mereka ini kemudian
memperkenalkan kenabian sebagai gabungan dari bahasa syair, produk sihir, dan
pengalaman psikologis yang bernuansa kegilaan. Dan mereka memandang para nabi
As paling maksimal sebagai repormer kemanusiaan yang memiliki kharismatik
kepemimpinan, bukan utusan dan rasul Tuhan. Demikianlah dampak-dampak tinjauan
pluralisme agama terhadap para nabi As, wahyu, dan kenabian, yang merupakan
suatu bentuk pendistorsian dan pendegradasian realitas dan sejarah.
Selanjutnya pembahasan masalah
pluralisme agama ini akan dibahas dalam tulisan-tulisan berikutnya dengan
menyertakan landasan filosofis, epistemologis, dan teologisnya serta kritikan
dan isykalan terhadapnya.
[Sumber: wisdoms4all.com]
By Kamiludin Rumi
0 komentar:
Posting Komentar