Abstract
Buddhist meditation is expected to improve the quality of
human’s mind, particularly on the matter of awareness. This point is
significant since, among the many kinds of awareness, one of them is very
influential toward human’s behavior; the moral awareness. Moreover, in
Indonesian life’s turmoil that is recently being overwhelmed by morality
crisis, a”search” on the way to develop moral awareness is greatly required.
Apparently, Buddhist meditation gives solution to the human’s need above
through its capability to form the moral awareness that brings happiness to
human’s personal, social, and environmental life. This study elaborates the
system, method, and practice of the Buddhist meditation that leads to the
formation of the moral awareness. The approach used in this work tends to be
philosophically natured (in the framework of moral philosophy) and therefore
this paper will obviously displays both the positive and the negative sides of
Buddhist meditation. Moreover, as commonly known, philosophical thinking is
always in speculative nature and therefore opens the opportunity for further
research and analysis.
Kata
Kunci: Meditasi Buddhis, Kesadaran Moral, Etika
A. PERMASALAHAN
Ajaran dan pemikiran Buddha Gotama
mampu bertahan sampai dengan saat ini, meskipun telah berusia lebih dari 2500
tahun, tetapi Buddhisme masih kerap dijadikan rujukan pengetahuan, praktik,
maupun pengalaman dari berbagai aspek kehidupan manusia. Misalnya, dalam aspek
kehidupan mental (psikis), manusia seringkali tidak dihiraukan bahkan terkesan
disisihkan di tengah-tengah kehidupan yang ditandai dengan berkembang pesatnya
ilmu pengetahuan serta hasil teknologi. Salah satu kajian penelitian Buddhisme
yang membahas aspek psikis manusia adalah meditasi. Buddhisme menawarkan suatu
perilaku/kegiatan mental yang sebenarnya sangat alami sebagaimana layaknya
kehidupan manusia yang mengalami perkembangan kualitas mental apabila manusia
tersebut mengikuti proses pendidikan mental. Transformasi
kualitas mental secara natural dapat dialami melalui latihan-latihan kegiatan
meditasi terus-menerus dan berkesinambungan. Implikasi meditasi Buddhis terhadap kualitas mental terutama
kesadaran menjadi sangat signifikan.
Kritikan dan pandangan keliru
terhadap meditasi secara umum sering muncul. Gunaratana (1997) menyatakan bahwa
meditasi dianggap sebagai teknik relaksasi, meditasi berarti berada dalam
keadaan tidak sadar, meditasi berbahaya dan harus dihindari, meditasi melarikan
diri dari realitas hidup, meditasi dilakukan oleh mereka yang egois. Bagi
sebagian besar orang, meditasi dipandang sulit dipraktikkan dan memerlukan
waktu lama, sehingga banyak orang enggan mempelajarinya, apalagi dengan
berkembangnya pandangan keliru perihal meditasi yang dikatakan tidak rasional,
berbau klenik, menakutkan karena dapat menghilangkan kesadaran.
Pandangan-pandangan keliru itu dapat diatasi apabila terjadi pemahaman yang
tepat terhadap kegiatan meditasi Buddhis seperti akan diuraikan di bawah ini.
Memang perlu dibedakan secara prinsipil antara meditasi Buddhis dengan meditasi
lain (bukan berasal dari Buddhisme), sebab dari segi teori, metode, bahkan
hasil pengalaman berbagai macam meditasi itu tentu sangat berbeda secara
signifikan satu sama lain.
Tujuan
penelitian dan penulisan karya tulis ini adalah akan mendeskripsikan penjelasan
dari beberapa pertanyaan mendasar, yaitu:
a. Bagaimana meditasi yang terdapat dalam Buddhisme
atau dikenal meditasi Buddhis dipahami sebagai kegiatan mental yang sistematis,
realistis dan objektif?
b.
Bagaimana analisis teori etika terhadap meditasi Buddhis?
c.
Bagaimana peranan meditasi Buddhis dalam menumbuhkembangkan pencerahan
kesadaran moral?
d.
Bagaimana metode filosofis yang dipergunakan dalam meditasi Buddhis?
e.
Bagaimana kritik yang bisa dikemukakan terhadap aspek-aspek meditasi Buddhis?
B.
PEMBAHASAN
Istilah “meditasi” berasal dari
bahasa Latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal merenungkan; sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), meditasi artinya pemusatan pikiran
dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Bertafakur adalah menimbang-nimbang dengan
sungguh-sungguh, memikirkan, merenungkan, atau mengheningkan cipta. Tetapi
meditasi dalam Buddhisme mempunyai pengertian berbeda secara prinsip dengan
pengertian tersebut di atas. Buddhisme menggunakan istilah samadhi,
berasal dari bahasa Pali/Sansekerta, artinya pemusatan pikiran pada suatu
objek. Samadhi yang benar apabila pemusatan pikiran ditujukan kepada
objek yang benar, demikian pula sebaliknya. Buddhisme juga menggunakan istilah bhavana
yang artinya pengembangan pikiran (Mettadewi W., 1988).
Pikiran atau mental atau batin
menurut Buddhisme terdiri dari empat unsur, yaitu (Walpola Rahula, 1978):
1. Kesadaran (consciousness)
2. Pencerapan (perceptions)
3. Bentuk-bentuk pemikiran (mental
formations)
4. Perasaan (sensations)
Manusia selain memiliki empat unsur
mental/batin itu juga memiliki indera yang terdapat pada tubuh jasmani, yaitu
indera mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan otak. Buddhisme
mengenal enam indera, yang merupakan “jendela” kontak antara pikiran/batin
manusia dengan segala sesuatu. Segala sesuatu yang ada terdiri dari enam indera
dan objek-objeknya (David J. Kalupahana, 1986). Lebih lanjut dikatakan bahwa
hal-hal lain selain enam indera dan objek-objek tersebut berada di luar
jangkauan pengalaman.
Kesadaran
adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari enam indera dengan
objek sasaran dari indera yang bersangkutan. Misal, kesadaran mata mempunyai
mata sebagai dasar dan benda-benda yang dapat dilihat sebagai objek sasaran.
Kesadaran otak mempunyai otak sebagai dasar dan ide atau konsepsi sebagai objek
sasaran. Kesadaran tidak dapat mengenali suatu objek, ia hanya mengetahui
adanya suatu objek. Kalau mata kita melihat suatu objek warna, kesadaran tahu
adanya objek, tetapi belum mengenal warna apa itu, pencerapan yang dapat
mengenali warna apa itu, misal warna biru. Kesadaran mata hanya tahu ada satu bentuk atau benda
terlihat. Tetapi melihat belum berarti mengenalinya. Begitu juga dengan
kesadaran-kesadaran indera lain.
Pencerapan merupakan tempat simpanan
berbagai nama, istilah, identitas, maupun kualitas objek, baik objek fisik
maupun objek mental, yang juga berasal dari kontaknya masing-masing indera
dengan objeknya. Misal suatu objek yang terjadi karena kontak indera
mata dengan objek mata dengan disertai perhatian tajam akan dicerap dan
disimpan dalam pencerapan.
Bentuk-bentuk pemikiran adalah
kegiatan-kegiatan pikiran, seperti kehendak, keinginan, perhatian, pengertian
terang, kecerdasan, kebijaksanaan, cinta kasih, kebencian, keserakahan,
pengertian keliru, kesombongan, konsep “aku” kekal, dan masih banyak kegiatan
lain.
Perasaan timbul karena indera
berkontak dengan objeknya, sehingga timbul perasaan senang, tidak senang, dan
netral. Jadi ada enam jenis perasaan yang terjadi dari aktivitas enam macam
indera, yaitu: perasaan yang timbul dari kontak mata dengan objek mata,
demikian seterusnya.
Kesadaran, pencerapan, bentuk
pemikiran, perasaan silih berganti muncul mengikuti proses sebab-akibat
(kausalitas) yang saling berkaitan (interdependence). Dengan demikian
terjadi proses pikiran yang begitu cepat bergerak dan tidak ada yang berdiri
sendiri, bahkan tidak ada yang tunggal, semua mengarah kepada kemajemukan
(pluralitas).
Kesadaran
tidak berdiri sendiri, sebab kesadaran muncul ada penyebabnya, dan kesadaran
akan menyebabkan sesuatu. Kesadaran muncul karena adanya konsentrasi
(pemusatan) dan perhatian yang saling berkaitan pula kemunculannya. Dua unsur
itu sangat berpengaruh bagi munculnya kesadaran.
Konsentrasi
benar, perhatian benar, dan daya upaya benar merupakan unsur-unsur meditasi
Buddhis seperti yang telah dijelaskan dalam “Jalan Tengah” Buddhisme, cara
hidup menghindari paham-paham ekstrim.
Daya upaya benar diperlukan agar
konsentrasi maupun perhatian tidak mengalami kelemahan intensitas, sebab baik
konsentrasi maupun perhatian memerlukan upaya semangat yang memadai untuk
mengatasi berbagai hambatan pada saat konsentrasi dan perhatian berhadapan
dengan objek. Hambatan itu antara lain pengaruh keinginan-keinginan yang
menyenangkan, ketidaksukaan mental, keragu-raguan, kemalasan-kelesuan,
kebingungan mental. Hambatan-hambatan itu apabila muncul dapat menyebabkan
intensitas konsentrasi seseorang tidak kuat lagi, bahkan berpindah objek.
Konsentrasi merupakan kegiatan
pikiran yang mengarahkan kesadaran kepada suatu objek tertentu. Konsentrasi
kesadaran diperlukan agar kesadaran tidak mencari objek kesadaran lain yang
disajikan oleh indera pada saat kontak dengan objeknya. Kesadaran yang
diarahkan pada satu objek tertentu, karena diharapkan kesadaran dapat berfungsi
untuk menangkap apa yang terjadi pada objek itu. Apabila kesadaran berkeliaran,
maka sangat sulit untuk menangkap apa yang ada pada objek tertentu, sebab
kesadaran tidak terfokus.
Perhatian tidak dapat berperan
dengan baik apabila kesadaran tidak terfokus. Perhatian sama halnya dengan
pengamatan, pengawasan, sebab perhatian hanya mengamati apa yang ada pada
objek. Perhatian diharapkan dapat menangkap hal-hal rinci dan halus yang
terdapat pada objek, tentu dengan intensitas yang terus-menerus dilakukan. Dengan
demikian, perhatian kesadaran adalah kesadaran yang mengawasi objek pada
”jarak” tertentu. Jarak ini diperlukan agar pengamatan kesadaran mampu
menangkap apa yang terjadi pada objek dengan terang dan jelas.
Meditasi
Buddhis memerlukan objek yang jelas dan tidak membahayakan, dalam arti objek
itu nyata dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi mental, misalnya
bertambahnya kebencian ataupun keserakahan (Vajiranana, 1975). Objek meditasi
Buddhis yang biasa dilakukan dengan menggunakan udara napas yang mengalir lewat
rongga hidung. Setiap manusia hidup selalu bernapas dan setiap saat bernapas.
Aliran napas yang menyentuh kulit di rongga hidung dirasakan. Dengan demikian indera kulit rongga
hidung diaktifkan untuk merasakan sentuhan udara yang mengalir masuk dan
keluar. Aliran napas tidak dibuat-buat dan diatur, tetapi
dibiarkan mengalir secara alamiah apa adanya. Pada mulanya titik sentuh aliran
udara napas dengan kulit rongga hidung perlu diketahui terlebih dulu, untuk
memastikan tempat tertentu bagi konsentrasi. Pemusatan/konsentrasi kesadaran
ditujukan hanya pada kulit yang bersentuhan dengan udara napas di rongga
hidung. Apabila muncul bentuk-bentuk pemikiran yang mengganggu, kesadaran tidak
memberi kesempatan untuk munculnya hal-hal itu, kesadaran tetap terarah kepada
kulit rongga hidung tempat terjadinya sentuhan udara napas.
Pemusatan
memberi kesempatan bagi perhatian untuk mengamati aliran napas yang menyentuh
kulit di rongga hidung itu. Perhatian yang mengamati aliran udara napas itu
sama sekali tidak mengikuti aliran napas, tetapi hanya mengawasi aliran napas
dari “jarak” tertentu. Perhatian
tidak memberi penilaian atau penyimpulan, tetapi hanya mengawasi saja apa yang
terjadi.
Aliran udara napas yang dibiarkan
berlangsung secara alami apa adanya adalah sarana fakta realitas yang
mengandung hakikat corak realitas yang terdapat dalam filsafat Buddhisme.
Meskipun sesungguhnya fakta realitas berada pada segala sesuatu yang ada,
tetapi untuk keperluan penelitian meditasi Buddhis ini dipergunakan objek
aliran napas untuk mewakili fakta realitas lain selain objek-objek lain.
Hakikat corak realitas menurut
Buddhisme berada di mana-mana, hanya saja tidak dapat diketahui dengan terang
dan jelas, karena intensitas konsentrasi dan perhatian yang kurang, sehingga
kesadaran tidak mampu menangkap hakikat tersebut sebagaimana apa adanya. Sebaliknya,
apabila konsentrasi kesadaran dan perhatian kesadaran diarahkan kepadanya
terus-menerus. Hakikat corak realitas itu akan tampak pada aliran udara napas,
atau pada realitas itu sendiri sebagai mana apa adanya, tanpa “ikut campur”
(penggunaan) teori-teori atau hukum-hukum konseptual yang merupakan aktivitas
bentuk pemikiran.
Udara
napas tidak dapat diamati ujudnya oleh indera manusia, hanya alirannya yang
dapat dirasakan oleh indera kulit, di mana aliran ini merepresentasikan
perubahan yang terus-menerus. Dengan
konsentrasi kesadaran dan perhatian kesadaran terhadap aliran tersebut, maka
kesadaran akan menangkap hakikat corak realitas pertama adalah perubahan.
Bahkan lebih menukik lagi, pernyataannya menjadi hanya perubahan yang ada, atau
yang ada hanya perubahan.
Saat indera mata melihat objek mata,
maka tertangkaplah benda yang masuk dalam kesadaran, dan kemudian disimpan
dalam pencerapan, apabila timbul senang terhadap benda itu, maka itulah
aktivitas perasaan, dan apabila muncul keinginan untuk memiliki benda itu, maka
itulah aktivitas bentuk pemikiran. Semua keterangan tersebut di atas merupakan
realitas yang berubah-ubah, tidak kekal. Indera mata, objek mata, benda,
kesadaran, pencerapan, perasaan, bentuk pemikiran tidak kekal, semua itu merupakan
presentasi dari perubahan yang terjadi pada unsur-unsur yang menjadikannya.
Bahkan unsur-unsur itu sendiri terjadi dari perubahan sub-unsur, demikian pula
sub-unsur itu terjadi dari perubahan sub-sub-unsurnya, dan seterusnya.
Hakikat corak realitas kedua adalah
perubahan yang terus-menerus, kemunculan selalu diikuti oleh kelenyapan, dan
kelenyapan diikuti oleh kemunculan. Seperti halnya aliran udara napas masuk
akan berakhir, dan selanjutnya napas keluar mengikutinya, sampai berakhir pula,
kemudian napas masuk lagi, demikian seterusnya. Realitas empiris fenomena
proses perubahan itu akan ditangkap oleh kesadaran, dan apabila hal ini
dilakukan secara intensif tentu akan menimbulkan pandangan kausalitas,
sebab-akibat yang saling berkaitan. Dengan demikian hakikat corak
realitas pertama: perubahan, akan menyebabkan munculnya proses perubahan yang
terus-menerus dan saling berkaitan.
Aliran
udara napas yang diamati dengan menggunakan konsentrasi kesadaran dan perhatian
kesadaran terus-menerus dengan teliti serta makin mendalam akan diketahui dari
fakta aliran udara napas itu bahwa tidak ada sesuatu yang “tetap”/”kekal”
eksistensinya di dalam napas itu, tidak terdapat substansi yang ada di sana. Yang ada hanya proses yang
berlangsung tanpa ada yang berproses. Yang ada hanya pergerakan, tidak ada yang
bergerak. Hakikat corak realitas ketiga adalah tidak ada substansi apapun yang
kekal dalam proses perubahan itu.
Kesadaran yang telah berkembang
dalam meditasi Buddhis mampu menangkap penampakan tiga corak realitas, yaitu:
perubahan, proses, dan tidak ada substansi kekal. Kesadaran seperti itu akan
menumbuhkan pandangan adanya kausalitas yang berlaku pada setiap kejadian.
Pandangan hukum sebab-akibat yang saling berkaitan ini akan membuka pengertian
bahwa apapun dapat terjadi apabila ada sebab-sebab yang mengondisikan terjadi,
demikian pula apapun tidak akan terjadi apabila tidak ada kondisi-kondisi yang
mendukung. Ciri kondisionalitas adalah ciri kausalitas Buddhisme (David J.
Kalupahana, 1986). Kesadaran ini juga terjadi karena ada kondisi yang
mendahului atau disebut bersyarat.
Buddhisme membahas perihal perilaku
juga berdasar pada pemikiran empiris kausalitas tersebut di atas. Perilaku
terjadi apabila ada sebab-sebab yang menjadikannya. Perilaku itu akan
menimbulkan akibat. Jadi secara menyeluruh perilaku itu sendiri berada dalam
rangkaian sebab-akibat yang saling berkaitan (kausalitas). Perilaku tidak
pernah berdiri sendiri, sehingga sulit menetapkan perilaku murni dalam arti
tanpa pengaruh sebab-sebab yang menjadikannya. Sebelum perilaku terjadi,
terdapat kehendak berperilaku/berbuat. Setelah berkehendak lalu terjadi
perilaku. Kehendak merupakan salah satu ujud bentuk pemikiran. Kehendak muncul
disebabkan oleh adanya penyebab-penyebab kompleks: seperti kesadaran, atau
perasaan, atau pencerapan, atau bentuk pemikiran lain yang saling berkaitan.
Kesadaran moral Buddhisme merupakan
suatu kualitas tingkatan kesadaran yang telah mencapai pengenalan tiga corak
realitas: perubahan, proses, dan tidak ada substansi yang kekal. Karena corak
perubahan itu akan menyebabkan timbulnya kesadaran tidak ada yang layak
dipegang erat-erat, perubahan pasti terjadi, jadi tidak mungkin memegang
erat-erat sesuatu. Misalnya, suatu kebahagiaan hanyalah salah satu ujud dari
rangkaian proses perubahan, oleh karena itu memegang erat-erat kebahagiaan
merupakan suatu tindakan tidak realistis. Keterikatan terhadap sesuatu yang
menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan tidak sesuai dengan proses
perubahan.
Keterikatan mempunyai istilah
sinomin yaitu nafsu keinginan atau nafsu yang menyebabkan keinginan tidak
terkendali, misal nafsu amarah menimbulkan perilaku marah yang tak terkendali.
Beberapa nafsu yang menyebabkan perilaku manusia menjadi tak terkendali adalah
nafsu benci/dendam, nafsu serakah, nafsu egois/oportunis.
Nafsu-nafsu tak terkendali itu
merupakan bentuk pemikiran yang dapat menyebabkan kesadaran, tentu kesadaran
bersekutu dengan nafsu. Kesadaran nafsu ini dapat menjadikan kehendak perbuatan
manusia yang tidak terkendali, yang kemudian menjadikan perilaku manusia
pendendam, tidak pernah puas, dan mementingkan diri sendiri dan lain-lain.
Kesadaran moral Buddhisme
mengandaikan berkurangnya nafsu ataupun lenyapnya nafsu dalam bentuk pemikiran,
yang dapat terjadi apabila kesadaran itu mengalami transformasi dari kesadaran
bernafsu menjadi kesadaran tanpa nafsu. Hal itu dapat terjadi apabila ada
pemahaman terhadap keterikatan (memegang erat-erat) sesuatu sebagai hal yang
tidak sesuai dengan hakikat tiga corak realitas, yang dapat dipahami dari hasil
perkembangan praktik meditasi Buddhisme.
C.
KESIMPULAN
1. Meditasi Buddhisme merupakan suatu sistem
kegiatan mental yang memiliki unsur: subjek meditasi, objek meditasi, metode
meditasi, dan hasil meditasi. Subjek meditasi adalah kesadaran yang selalu
tertuju kepada salah satu unsur indera yang sedang kontak dengan objeknya. Kesadaran dapat timbul karena adanya
peran konsentrasi dan perhatian yang mengondisikan kesadaran dapat mengetahui
corak realitas dengan terang dan jelas. Objek meditasi adalah fenomena
pergerakan yang terjadi pada segala sesuatu realitas. Objek meditasi Buddhis
bukan hal-hal yang mistis bahkan metafisis, dalam hal ini diambil aliran udara
napas sebagai objek yang mudah diperoleh dan berada dalam hidup manusia. Aliran
udara napas mengandung tiga corak realitas: (1) perubahan, (2) proses
terus-menerus, dan (3) tidak ada substansi yang tetap/kekal. Metode meditasi
adalah dengan mengarahkan atau memfokuskan kesadaran pada aliran udara napas
secara terus-menerus, bersamaan dengan menggunakan perhatian untuk mengawasi
apa yang terjadi pada objek. Perhatian akan menangkap corak realitas yang
berada pada objek. Corak realitas akan tampak sebagaimana apa adanya pada objek
itu sendiri, tanpa rekayasa ataupun penilaian dari teori/konsep/hukum yang
sudah dimiliki. Justru
segala teori/konsep/hukum hendaknya disingkirkan agar corak realitas akan
menampakkan diri secara objektif. Hasil meditasi adalah pemahaman
terang dan jelas terhadap corak realitas itu secara objektif. Corak realitas
dapat dialami oleh siapa pun juga tanpa kecuali yang berlatih meditasi dengan
metode tersebut. Dengan demikian, meditasi Buddhis merupakan suatu kegiatan
mental yang sistematis, realistis, dan objektif.
2. Kegiatan meditasi Buddhis merupakan perilaku khas
yang dapat dilakukan oleh manusia (actus humanus), memiliki
tujuan (teleologis) untuk meningkatkan kualitas kesadaran agar dapat
mencapai kesadaran moral Buddhisme, yang muncul sebagai akibat secara langsung
dengan sendirinya (otomatis) dari pengertian terang perihal perubahan, proses,
dan tidak ada ego, sehingga tidak terdapat keterikatan kepada sesuatu yang
tidak disenangi/disukai (dislike) maupun disenangi/disukai (like).
Nilai yang terkandung dalam tujuan itu adalah kualitas moral Buddhisme sendiri,
yaitu berkurangnya atau lenyapnya nafsu kebencian, keserakahan, keegoisan yang
tak terkendali. Kegunaan tujuan itu adalah mengurangi bahkan melenyapkan
penderitaan manusia yang disebabkan oleh berkobar-kobarnya nafsu kebencian,
keserakahan, dan keegoisan.
3.
Kesadaran moral menurut K. Bertens (1993) adalah hati nurani yang merupakan
fenomen moral. Tidak sedikit filsuf mencurigai hati nurani bersifat subjektif.
Pengalaman hati nurani yang sering tersesat dan mudah disalahgunakan memperkuat
lagi pendapat mereka. Tugas etika sebagai ilmu harus mencari kepastian ilmiah
dan objektif tentang hal tersebut di atas. Lebih lanjut K. Bertens (1993)
menyatakan bahwa pembinaan hati nurani lewat pendidikan, seperti juga akal budi
manusia, bahkan pendidikan hati nurani lebih sulit dilakukan dibanding dengan
pendidikan akal budi yang bisa dilaksanakan di sekolah. Filsuf Perancis,
Gabriel Madinier (1895-1958) mengemukakan tempat yang serasi untuk pendidikan
moral adalah keluarga, bukan sekolah. Pendidikan hati nurani itu harus
dijalankan sedemikian rupa sehingga si anak menyadari tanggungjawabnya sendiri
(K. Bertens, 1993). Hal tersebut sangat berbeda dengan pandangan Buddhisme yang
menjelaskan bahwa kesadaran moral Buddhisme bukan merupakan hati nurani (suara
batin) pada umumnya, sebab suara batin dari kesadaran yang belum berkembang
dapat bersekutu dengan berbagai nafsu yang tak terkendali, bahkan nafsu
tersebut sangat halus menyelinap di bawah hati nurani itu sendiri. Kesadaran
moral Buddhisme merupakan hasil perkembangan kesadaran yang dilatih untuk
mempunyai kualitas-kualitas moral. Dalam hal ini ada upaya yang dikehendaki
oleh manusia untuk mengembangkan kesadaran itu. Kesadaran
dapat berkembang apabila terdapat konsentrasi dan perhatian terhadap objek
kesadaran tersebut. Kesadaran secara bertahap mengalami perkembangan kualitas
sesuai dengan makin terang dan jelasnya konsentrasi dan perhatian memahami
corak realitas objek yaitu: perubahan, proses, dan tidak ada ego/jiwa/inti yang
kekal. Kausalitas menjadi jelas, dan kausalitas pula yang menyebabkan kesadaran
berkembang mengalami pencerahan moral, karena keterikatan berkurang/lenyap,
segala nafsu yang tak terkendali menjadi berkurang atau lenyap, sehingga
kesadaran moral tumbuh sebagai suatu bentuk suara hati (hati nurani) yang
bersih dari nafsu. Itulah
kesadaran moral Buddhisme yang tumbuh dari perkembangan batin (meditasi),
realistis meditatif. Kesadaran moral Buddhisme berbeda dengan Ren
(kebaikan-kebaikan luhur dari pribadi manusia) seperti terdapat dalam
Konfusianisme. Ren merupakan sifat luhur cinta kasih yang bercorak
manusiawi (humanis) (Chau Ming, 1986). Ren tidak berpangkal pada
perkembangan kesadaran melalui meditasi, tetapi Ren berkembang melalui
belajar dengan giat, serta mempunyai tekad dan tujuan. Konfusius menyatakan
bahwa “aku telah mencoba hanya merenung, dan tidak bermanfaat, lebih baik
daripada hal itu dipakai untuk belajar” (Chau Ming, 1986). Konfusianisme
memahami kesadaran moral secara realistis humanis. Taoisme mempunyai kesadaran
moral yang berdasarkan pada hukum alam, yang bercorak wajar (tidak direkayasa).
Semakin direkayasa suatu perbuatan, akan semakin jauh manusia dari hukum alam.
Taoisme mengenal welas asih, tetapi welas asih yang alamiah (Chau Ming, 1986).
Dengan demikian, moralitas Taoisme lebih bercorak realisme naturalis. Meditasi
Buddhis sebagai sarana memperoleh kesadaran moral sering dipandang sebagai
suatu kegiatan mistis, padahal tidak terdapat hal-hal yang berada di luar
jangkauan kemampuan kesadaran, yang terdapat dalam kegiatan meditasi Buddhisme.
Bahkan tidak terdapat substansi yang bercorak metafisis sebagai ego, jiwa, roh
yang kekal, karena meditasi Buddhis justru menyatakan tidak ada substansi (ego)
yang kekal. Hanya pergerakan, tidak ditemukan yang bergerak, ini menunjukkan
bahwa Buddhisme awal hanya mau tahu perihal fakta empiris inderiawi, bukan
hal-hal metafisis.
4.
Meditasi Buddhis sebagai kegiatan filosofis yang empiris cenderung menggunakan
metode filosofis fenomenologis Husserl, bukan metode induktif, sebab meskipun
sama-sama memerlukan fakta observasi atau fenomen, tetapi fenomenologi tidak
memerlukan teori/hukum, dan meditasi Buddhis memang tidak menggunakan
teori/hukum untuk memperoleh suatu eidos (hakikat). Husserl menyatakan
bahwa objek pertama bagi filsafat ialah bukan pengertian tentang kenyataan,
melainkan kenyataan itu sendiri. Husserl mau menentukan metode filosofis
ilmiah, yang lepas dari segala prasangka metafisis (Anton Bakker, 1986).
Pernyataan ini sangat sesuai dengan apa yang terdapat dalam meditasi Buddhis.
Sedangkan, metode induktif menggunakan teori/hukum sebagai sarana untuk
melakukan penalaran, agar dapat memperoleh suatu penjelasan. Franz
Magnis-Suseno (1992) menyatakan karena menggali fenomen atau fakta kesadaran
moral sebagaimana menunjukkan diri, maka etika ini disebut fenomenologis. Etika
fenomenologis tidak memasang sendiri norma-norma, tidak juga menilainya, juga
tidak “membuktikannya” (dalam arti deduksi) sifat mutlak dari kesadaran moral.
Etika fenomenologis hanya menjelaskan, menunjukkan adanya unsur-unsur itu dalam
kesadaran moral. Etika membantu untuk memastikan kesadaran moral itu secara
rasional. Etika memaparkan unsur-unsur hakiki dalam fenomen kesadaran moral,
memisahkan unsur-unsur itu dari fenomen-fenomen jiwa yang lainnya, membantu
agar orang menyadari lebih jelas apa yang sebetulnya sudah selalu terdapat
dalam kesadarannya. Implikasi terhadap etika fenomenologis menunjukkan adanya
kesadaran bahwa tidak ada otoritas masyarakat apapun yang berhak untuk
mewajibkan secara mutlak. Otonomi kesadaran moral: kewajiban-kewajiban yang
dipasang oleh otoritas-otoritas masyarakat hanya berlaku dengan syarat bahwa
oleh yang bersangkutan sendiri disadari sebagai kewajibannya.
5.
Pengutamaan pada perkembangan kualitas kesadaran, seringkali memancing kritik bagaimana
dengan kualitas intelektual. Memang kesadaran yang menghendaki konsentrasi dan
perhatian, sama sekali mengabaikan kecerdasan, padahal kecerdasan nalar adalah
sarana kemajuan intelektual manusia. Apalagi dengan kebutuhan perkembangan
iptek pada saat ini, kecerdasan nalar dipacu agar mampu mengeksplorasi iptek
lebih jauh, hanya manusia yang cerdas yang dapat maju dan berkembang dalam
dunia iptek. Sebagai dampak dari perkembangan kecerdasan yang mengabaikan
perkembangan kesadaran, maka iptek sangat maju pesat dan terus berkembang,
sedangkan kesadaran manusia, terutama kesadaran moralnya mengalami krisis yang
sangat mengkhawatirkan. Tentu harapan kita adalah adanya keseimbangan antara
perkembangan kecerdasan nalar dan perkembangan kesadaran moral. Hanya saja
harapan itu tidak begitu saja mudah ditanggapi sebab pada umumnya manusia lebih
tertarik pada perkembangan kecerdasan nalar, lebih tertarik pada penggunaan dan
pemanfaatan alat-alat canggih modern yang dapat memudahkan kehidupan. Bagi
masyarakat dewasa ini, nalar sering dianggap dapat membawa ke arah kebajikan.
Semakin bernalar seseorang akan semakin bajik. Donald B. Calne (2004)
mengemukakan bahwa pandangan itu keliru. Calne memperlihatkan bahwa nalar
ternyata tidak berperan dalam menentukan kebajikan manusia. Nalar hanyalah
piranti semata, sehingga tidak berdasar bila dianggap bermuatan moral.
D. DAFTAR
PUSTAKA
Bakker, Anton, 1986, Metode-metode
Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta
Bertens, K., 1993, Etika,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Calne, Donald B., 2004, Batas
Nalar, Rasionalitas & Perilaku Manusia, Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta
Chau
Ming, 1986, Mengenal Beberapa Aspek Filsafat Konfusianisme, Taoisme, dan
Buddhisme, Akademi Buddhis Nalanda, Jakarta
Gunaratana Mahathera, H., 1997, Mindfulness
in Plain English (Meditasi dalam Kehidupan Sehari-hari), alih bahasa
Lanny Anggawati & Wena Cintiawati, Wisma Sambodhi, Klaten
Hadiwijono, Harun, 1989, Sari
Filsafat India, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta
Kalupahana,
David J., 1986, Buddhist Philosophy, A Historical Analysis (Filsafat
Buddha, Sebuah Analisis Historis), alih bahasa Hudaya Kandahjaya,
Penerbit Erlangga, Jakarta
Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat
sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta
Mettadewi W., 1988, Bhavana,
Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta
Rahula, Walpola, 1978, What
the Buddha Taught, Gordon Fraser, London
Sudiarja, S.J., A., 1994, Etika
(Filsafat Perilaku), Hand-out Kuliah Etika, Pascasarjana UGM,
Yogyakarta
Vajiranana Mahathera, Paravahera,
1975, Buddhist Meditation in Theory and Practice, Buddhist
Missionary Society, Kuala Lumpur
Catatan
tentang Penulis:
Bhikkhu Jotidhammo, lahir di Tegal,
24 Agustus 1955. Magister Humaniora Ilmu Filsafat, sedang menyelesaikan
disertasi Filsafat Buddhisme pada program doktoral Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Mantan Ketua STAB Syailendra, Semarang,
dosen STAB Syailendra, Semarang, dan dosen luar biasa Program Studi Agama dan
Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Kepala Lembaga Pendidikan Sangha Theravada Indonesia (LPS), di Vihara
Mendut, Magelang
Oleh: Bhikkhu Jotidhammo Mahathera
0 komentar:
Posting Komentar