Rabu, 17 April 2013

MEDITASI BUDDHIS SEBAGAI PEMBENTUK KESADARAN MORAL



 
Abstract
Buddhist meditation is expected to improve the quality of human’s mind, particularly on the matter of awareness. This point is significant since, among the many kinds of awareness, one of them is very influential toward human’s behavior; the moral awareness. Moreover, in Indonesian life’s turmoil that is recently being overwhelmed by morality crisis, a”search” on the way to develop moral awareness is greatly required. Apparently, Buddhist meditation gives solution to the human’s need above through its capability to form the moral awareness that brings happiness to human’s personal, social, and environmental life. This study elaborates the system, method, and practice of the Buddhist meditation that leads to the formation of the moral awareness. The approach used in this work tends to be philosophically natured (in the framework of moral philosophy) and therefore this paper will obviously displays both the positive and the negative sides of Buddhist meditation. Moreover, as commonly known, philosophical thinking is always in speculative nature and therefore opens the opportunity for further research and analysis.
Kata Kunci: Meditasi Buddhis, Kesadaran Moral, Etika
A. PERMASALAHAN
Ajaran dan pemikiran Buddha Gotama mampu bertahan sampai dengan saat ini, meskipun telah berusia lebih dari 2500 tahun, tetapi Buddhisme masih kerap dijadikan rujukan pengetahuan, praktik, maupun pengalaman dari berbagai aspek kehidupan manusia. Misalnya, dalam aspek kehidupan mental (psikis), manusia seringkali tidak dihiraukan bahkan terkesan disisihkan di tengah-tengah kehidupan yang ditandai dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan serta hasil teknologi. Salah satu kajian penelitian Buddhisme yang membahas aspek psikis manusia adalah meditasi. Buddhisme menawarkan suatu perilaku/kegiatan mental yang sebenarnya sangat alami sebagaimana layaknya kehidupan manusia yang mengalami perkembangan kualitas mental apabila manusia tersebut mengikuti proses pendidikan mental. Transformasi kualitas mental secara natural dapat dialami melalui latihan-latihan kegiatan meditasi terus-menerus dan berkesinambungan. Implikasi meditasi Buddhis terhadap kualitas mental terutama kesadaran menjadi sangat signifikan.
Kritikan dan pandangan keliru terhadap meditasi secara umum sering muncul. Gunaratana (1997) menyatakan bahwa meditasi dianggap sebagai teknik relaksasi, meditasi berarti berada dalam keadaan tidak sadar, meditasi berbahaya dan harus dihindari, meditasi melarikan diri dari realitas hidup, meditasi dilakukan oleh mereka yang egois. Bagi sebagian besar orang, meditasi dipandang sulit dipraktikkan dan memerlukan waktu lama, sehingga banyak orang enggan mempelajarinya, apalagi dengan berkembangnya pandangan keliru perihal meditasi yang dikatakan tidak rasional, berbau klenik, menakutkan karena dapat menghilangkan kesadaran. Pandangan-pandangan keliru itu dapat diatasi apabila terjadi pemahaman yang tepat terhadap kegiatan meditasi Buddhis seperti akan diuraikan di bawah ini. Memang perlu dibedakan secara prinsipil antara meditasi Buddhis dengan meditasi lain (bukan berasal dari Buddhisme), sebab dari segi teori, metode, bahkan hasil pengalaman berbagai macam meditasi itu tentu sangat berbeda secara signifikan satu sama lain.
Tujuan penelitian dan penulisan karya tulis ini adalah akan mendeskripsikan penjelasan dari beberapa pertanyaan mendasar, yaitu:
a. Bagaimana meditasi yang terdapat dalam Buddhisme atau dikenal meditasi Buddhis dipahami sebagai kegiatan mental yang sistematis, realistis dan objektif?
b. Bagaimana analisis teori etika terhadap meditasi Buddhis?
c. Bagaimana peranan meditasi Buddhis dalam menumbuhkembangkan pencerahan kesadaran moral?
d. Bagaimana metode filosofis yang dipergunakan dalam meditasi Buddhis?
e. Bagaimana kritik yang bisa dikemukakan terhadap aspek-aspek meditasi Buddhis?
B. PEMBAHASAN
Istilah “meditasi” berasal dari bahasa Latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal merenungkan; sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), meditasi artinya pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Bertafakur adalah menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh, memikirkan, merenungkan, atau mengheningkan cipta. Tetapi meditasi dalam Buddhisme mempunyai pengertian berbeda secara prinsip dengan pengertian tersebut di atas. Buddhisme menggunakan istilah samadhi, berasal dari bahasa Pali/Sansekerta, artinya pemusatan pikiran pada suatu objek. Samadhi yang benar apabila pemusatan pikiran ditujukan kepada objek yang benar, demikian pula sebaliknya. Buddhisme juga menggunakan istilah bhavana yang artinya pengembangan pikiran (Mettadewi W., 1988).
Pikiran atau mental atau batin menurut Buddhisme terdiri dari empat unsur, yaitu (Walpola Rahula, 1978):
1. Kesadaran (consciousness)
2. Pencerapan (perceptions)
3. Bentuk-bentuk pemikiran (mental formations)
4. Perasaan (sensations)
Manusia selain memiliki empat unsur mental/batin itu juga memiliki indera yang terdapat pada tubuh jasmani, yaitu indera mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan otak. Buddhisme mengenal enam indera, yang merupakan “jendela” kontak antara pikiran/batin manusia dengan segala sesuatu. Segala sesuatu yang ada terdiri dari enam indera dan objek-objeknya (David J. Kalupahana, 1986). Lebih lanjut dikatakan bahwa hal-hal lain selain enam indera dan objek-objek tersebut berada di luar jangkauan pengalaman.
Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari enam indera dengan objek sasaran dari indera yang bersangkutan. Misal, kesadaran mata mempunyai mata sebagai dasar dan benda-benda yang dapat dilihat sebagai objek sasaran. Kesadaran otak mempunyai otak sebagai dasar dan ide atau konsepsi sebagai objek sasaran. Kesadaran tidak dapat mengenali suatu objek, ia hanya mengetahui adanya suatu objek. Kalau mata kita melihat suatu objek warna, kesadaran tahu adanya objek, tetapi belum mengenal warna apa itu, pencerapan yang dapat mengenali warna apa itu, misal warna biru. Kesadaran mata hanya tahu ada satu bentuk atau benda terlihat. Tetapi melihat belum berarti mengenalinya. Begitu juga dengan kesadaran-kesadaran indera lain.
Pencerapan merupakan tempat simpanan berbagai nama, istilah, identitas, maupun kualitas objek, baik objek fisik maupun objek mental, yang juga berasal dari kontaknya masing-masing indera dengan objeknya. Misal suatu objek yang terjadi karena kontak indera mata dengan objek mata dengan disertai perhatian tajam akan dicerap dan disimpan dalam pencerapan.
Bentuk-bentuk pemikiran adalah kegiatan-kegiatan pikiran, seperti kehendak, keinginan, perhatian, pengertian terang, kecerdasan, kebijaksanaan, cinta kasih, kebencian, keserakahan, pengertian keliru, kesombongan, konsep “aku” kekal, dan masih banyak kegiatan lain.
Perasaan timbul karena indera berkontak dengan objeknya, sehingga timbul perasaan senang, tidak senang, dan netral. Jadi ada enam jenis perasaan yang terjadi dari aktivitas enam macam indera, yaitu: perasaan yang timbul dari kontak mata dengan objek mata, demikian seterusnya.
Kesadaran, pencerapan, bentuk pemikiran, perasaan silih berganti muncul mengikuti proses sebab-akibat (kausalitas) yang saling berkaitan (interdependence). Dengan demikian terjadi proses pikiran yang begitu cepat bergerak dan tidak ada yang berdiri sendiri, bahkan tidak ada yang tunggal, semua mengarah kepada kemajemukan (pluralitas).
Kesadaran tidak berdiri sendiri, sebab kesadaran muncul ada penyebabnya, dan kesadaran akan menyebabkan sesuatu. Kesadaran muncul karena adanya konsentrasi (pemusatan) dan perhatian yang saling berkaitan pula kemunculannya. Dua unsur itu sangat berpengaruh bagi munculnya kesadaran.
Konsentrasi benar, perhatian benar, dan daya upaya benar merupakan unsur-unsur meditasi Buddhis seperti yang telah dijelaskan dalam “Jalan Tengah” Buddhisme, cara hidup menghindari paham-paham ekstrim.
Daya upaya benar diperlukan agar konsentrasi maupun perhatian tidak mengalami kelemahan intensitas, sebab baik konsentrasi maupun perhatian memerlukan upaya semangat yang memadai untuk mengatasi berbagai hambatan pada saat konsentrasi dan perhatian berhadapan dengan objek. Hambatan itu antara lain pengaruh keinginan-keinginan yang menyenangkan, ketidaksukaan mental, keragu-raguan, kemalasan-kelesuan, kebingungan mental. Hambatan-hambatan itu apabila muncul dapat menyebabkan intensitas konsentrasi seseorang tidak kuat lagi, bahkan berpindah objek.
Konsentrasi merupakan kegiatan pikiran yang mengarahkan kesadaran kepada suatu objek tertentu. Konsentrasi kesadaran diperlukan agar kesadaran tidak mencari objek kesadaran lain yang disajikan oleh indera pada saat kontak dengan objeknya. Kesadaran yang diarahkan pada satu objek tertentu, karena diharapkan kesadaran dapat berfungsi untuk menangkap apa yang terjadi pada objek itu. Apabila kesadaran berkeliaran, maka sangat sulit untuk menangkap apa yang ada pada objek tertentu, sebab kesadaran tidak terfokus.
Perhatian tidak dapat berperan dengan baik apabila kesadaran tidak terfokus. Perhatian sama halnya dengan pengamatan, pengawasan, sebab perhatian hanya mengamati apa yang ada pada objek. Perhatian diharapkan dapat menangkap hal-hal rinci dan halus yang terdapat pada objek, tentu dengan intensitas yang terus-menerus dilakukan. Dengan demikian, perhatian kesadaran adalah kesadaran yang mengawasi objek pada ”jarak” tertentu. Jarak ini diperlukan agar pengamatan kesadaran mampu menangkap apa yang terjadi pada objek dengan terang dan jelas.
Meditasi Buddhis memerlukan objek yang jelas dan tidak membahayakan, dalam arti objek itu nyata dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi mental, misalnya bertambahnya kebencian ataupun keserakahan (Vajiranana, 1975). Objek meditasi Buddhis yang biasa dilakukan dengan menggunakan udara napas yang mengalir lewat rongga hidung. Setiap manusia hidup selalu bernapas dan setiap saat bernapas. Aliran napas yang menyentuh kulit di rongga hidung dirasakan. Dengan demikian indera kulit rongga hidung diaktifkan untuk merasakan sentuhan udara yang mengalir masuk dan keluar. Aliran napas tidak dibuat-buat dan diatur, tetapi dibiarkan mengalir secara alamiah apa adanya. Pada mulanya titik sentuh aliran udara napas dengan kulit rongga hidung perlu diketahui terlebih dulu, untuk memastikan tempat tertentu bagi konsentrasi. Pemusatan/konsentrasi kesadaran ditujukan hanya pada kulit yang bersentuhan dengan udara napas di rongga hidung. Apabila muncul bentuk-bentuk pemikiran yang mengganggu, kesadaran tidak memberi kesempatan untuk munculnya hal-hal itu, kesadaran tetap terarah kepada kulit rongga hidung tempat terjadinya sentuhan udara napas.
Pemusatan memberi kesempatan bagi perhatian untuk mengamati aliran napas yang menyentuh kulit di rongga hidung itu. Perhatian yang mengamati aliran udara napas itu sama sekali tidak mengikuti aliran napas, tetapi hanya mengawasi aliran napas dari “jarak” tertentu. Perhatian tidak memberi penilaian atau penyimpulan, tetapi hanya mengawasi saja apa yang terjadi.
Aliran udara napas yang dibiarkan berlangsung secara alami apa adanya adalah sarana fakta realitas yang mengandung hakikat corak realitas yang terdapat dalam filsafat Buddhisme. Meskipun sesungguhnya fakta realitas berada pada segala sesuatu yang ada, tetapi untuk keperluan penelitian meditasi Buddhis ini dipergunakan objek aliran napas untuk mewakili fakta realitas lain selain objek-objek lain.
Hakikat corak realitas menurut Buddhisme berada di mana-mana, hanya saja tidak dapat diketahui dengan terang dan jelas, karena intensitas konsentrasi dan perhatian yang kurang, sehingga kesadaran tidak mampu menangkap hakikat tersebut sebagaimana apa adanya. Sebaliknya, apabila konsentrasi kesadaran dan perhatian kesadaran diarahkan kepadanya terus-menerus. Hakikat corak realitas itu akan tampak pada aliran udara napas, atau pada realitas itu sendiri sebagai mana apa adanya, tanpa “ikut campur” (penggunaan) teori-teori atau hukum-hukum konseptual yang merupakan aktivitas bentuk pemikiran.
Udara napas tidak dapat diamati ujudnya oleh indera manusia, hanya alirannya yang dapat dirasakan oleh indera kulit, di mana aliran ini merepresentasikan perubahan yang terus-menerus. Dengan konsentrasi kesadaran dan perhatian kesadaran terhadap aliran tersebut, maka kesadaran akan menangkap hakikat corak realitas pertama adalah perubahan. Bahkan lebih menukik lagi, pernyataannya menjadi hanya perubahan yang ada, atau yang ada hanya perubahan.
Saat indera mata melihat objek mata, maka tertangkaplah benda yang masuk dalam kesadaran, dan kemudian disimpan dalam pencerapan, apabila timbul senang terhadap benda itu, maka itulah aktivitas perasaan, dan apabila muncul keinginan untuk memiliki benda itu, maka itulah aktivitas bentuk pemikiran. Semua keterangan tersebut di atas merupakan realitas yang berubah-ubah, tidak kekal. Indera mata, objek mata, benda, kesadaran, pencerapan, perasaan, bentuk pemikiran tidak kekal, semua itu merupakan presentasi dari perubahan yang terjadi pada unsur-unsur yang menjadikannya. Bahkan unsur-unsur itu sendiri terjadi dari perubahan sub-unsur, demikian pula sub-unsur itu terjadi dari perubahan sub-sub-unsurnya, dan seterusnya.
Hakikat corak realitas kedua adalah perubahan yang terus-menerus, kemunculan selalu diikuti oleh kelenyapan, dan kelenyapan diikuti oleh kemunculan. Seperti halnya aliran udara napas masuk akan berakhir, dan selanjutnya napas keluar mengikutinya, sampai berakhir pula, kemudian napas masuk lagi, demikian seterusnya. Realitas empiris fenomena proses perubahan itu akan ditangkap oleh kesadaran, dan apabila hal ini dilakukan secara intensif tentu akan menimbulkan pandangan kausalitas, sebab-akibat yang saling berkaitan. Dengan demikian hakikat corak realitas pertama: perubahan, akan menyebabkan munculnya proses perubahan yang terus-menerus dan saling berkaitan.
Aliran udara napas yang diamati dengan menggunakan konsentrasi kesadaran dan perhatian kesadaran terus-menerus dengan teliti serta makin mendalam akan diketahui dari fakta aliran udara napas itu bahwa tidak ada sesuatu yang “tetap”/”kekal” eksistensinya di dalam napas itu, tidak terdapat substansi yang ada di sana. Yang ada hanya proses yang berlangsung tanpa ada yang berproses. Yang ada hanya pergerakan, tidak ada yang bergerak. Hakikat corak realitas ketiga adalah tidak ada substansi apapun yang kekal dalam proses perubahan itu.
Kesadaran yang telah berkembang dalam meditasi Buddhis mampu menangkap penampakan tiga corak realitas, yaitu: perubahan, proses, dan tidak ada substansi kekal. Kesadaran seperti itu akan menumbuhkan pandangan adanya kausalitas yang berlaku pada setiap kejadian. Pandangan hukum sebab-akibat yang saling berkaitan ini akan membuka pengertian bahwa apapun dapat terjadi apabila ada sebab-sebab yang mengondisikan terjadi, demikian pula apapun tidak akan terjadi apabila tidak ada kondisi-kondisi yang mendukung. Ciri kondisionalitas adalah ciri kausalitas Buddhisme (David J. Kalupahana, 1986). Kesadaran ini juga terjadi karena ada kondisi yang mendahului atau disebut bersyarat.
Buddhisme membahas perihal perilaku juga berdasar pada pemikiran empiris kausalitas tersebut di atas. Perilaku terjadi apabila ada sebab-sebab yang menjadikannya. Perilaku itu akan menimbulkan akibat. Jadi secara menyeluruh perilaku itu sendiri berada dalam rangkaian sebab-akibat yang saling berkaitan (kausalitas). Perilaku tidak pernah berdiri sendiri, sehingga sulit menetapkan perilaku murni dalam arti tanpa pengaruh sebab-sebab yang menjadikannya. Sebelum perilaku terjadi, terdapat kehendak berperilaku/berbuat. Setelah berkehendak lalu terjadi perilaku. Kehendak merupakan salah satu ujud bentuk pemikiran. Kehendak muncul disebabkan oleh adanya penyebab-penyebab kompleks: seperti kesadaran, atau perasaan, atau pencerapan, atau bentuk pemikiran lain yang saling berkaitan.
Kesadaran moral Buddhisme merupakan suatu kualitas tingkatan kesadaran yang telah mencapai pengenalan tiga corak realitas: perubahan, proses, dan tidak ada substansi yang kekal. Karena corak perubahan itu akan menyebabkan timbulnya kesadaran tidak ada yang layak dipegang erat-erat, perubahan pasti terjadi, jadi tidak mungkin memegang erat-erat sesuatu. Misalnya, suatu kebahagiaan hanyalah salah satu ujud dari rangkaian proses perubahan, oleh karena itu memegang erat-erat kebahagiaan merupakan suatu tindakan tidak realistis. Keterikatan terhadap sesuatu yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan tidak sesuai dengan proses perubahan.
Keterikatan mempunyai istilah sinomin yaitu nafsu keinginan atau nafsu yang menyebabkan keinginan tidak terkendali, misal nafsu amarah menimbulkan perilaku marah yang tak terkendali. Beberapa nafsu yang menyebabkan perilaku manusia menjadi tak terkendali adalah nafsu benci/dendam, nafsu serakah, nafsu egois/oportunis.
Nafsu-nafsu tak terkendali itu merupakan bentuk pemikiran yang dapat menyebabkan kesadaran, tentu kesadaran bersekutu dengan nafsu. Kesadaran nafsu ini dapat menjadikan kehendak perbuatan manusia yang tidak terkendali, yang kemudian menjadikan perilaku manusia pendendam, tidak pernah puas, dan mementingkan diri sendiri dan lain-lain.
Kesadaran moral Buddhisme mengandaikan berkurangnya nafsu ataupun lenyapnya nafsu dalam bentuk pemikiran, yang dapat terjadi apabila kesadaran itu mengalami transformasi dari kesadaran bernafsu menjadi kesadaran tanpa nafsu. Hal itu dapat terjadi apabila ada pemahaman terhadap keterikatan (memegang erat-erat) sesuatu sebagai hal yang tidak sesuai dengan hakikat tiga corak realitas, yang dapat dipahami dari hasil perkembangan praktik meditasi Buddhisme.
C. KESIMPULAN
1. Meditasi Buddhisme merupakan suatu sistem kegiatan mental yang memiliki unsur: subjek meditasi, objek meditasi, metode meditasi, dan hasil meditasi. Subjek meditasi adalah kesadaran yang selalu tertuju kepada salah satu unsur indera yang sedang kontak dengan objeknya. Kesadaran dapat timbul karena adanya peran konsentrasi dan perhatian yang mengondisikan kesadaran dapat mengetahui corak realitas dengan terang dan jelas. Objek meditasi adalah fenomena pergerakan yang terjadi pada segala sesuatu realitas. Objek meditasi Buddhis bukan hal-hal yang mistis bahkan metafisis, dalam hal ini diambil aliran udara napas sebagai objek yang mudah diperoleh dan berada dalam hidup manusia. Aliran udara napas mengandung tiga corak realitas: (1) perubahan, (2) proses terus-menerus, dan (3) tidak ada substansi yang tetap/kekal. Metode meditasi adalah dengan mengarahkan atau memfokuskan kesadaran pada aliran udara napas secara terus-menerus, bersamaan dengan menggunakan perhatian untuk mengawasi apa yang terjadi pada objek. Perhatian akan menangkap corak realitas yang berada pada objek. Corak realitas akan tampak sebagaimana apa adanya pada objek itu sendiri, tanpa rekayasa ataupun penilaian dari teori/konsep/hukum yang sudah dimiliki. Justru segala teori/konsep/hukum hendaknya disingkirkan agar corak realitas akan menampakkan diri secara objektif. Hasil meditasi adalah pemahaman terang dan jelas terhadap corak realitas itu secara objektif. Corak realitas dapat dialami oleh siapa pun juga tanpa kecuali yang berlatih meditasi dengan metode tersebut. Dengan demikian, meditasi Buddhis merupakan suatu kegiatan mental yang sistematis, realistis, dan objektif.
2. Kegiatan meditasi Buddhis merupakan perilaku khas yang dapat dilakukan oleh manusia (actus humanus), memiliki tujuan (teleologis) untuk meningkatkan kualitas kesadaran agar dapat mencapai kesadaran moral Buddhisme, yang muncul sebagai akibat secara langsung dengan sendirinya (otomatis) dari pengertian terang perihal perubahan, proses, dan tidak ada ego, sehingga tidak terdapat keterikatan kepada sesuatu yang tidak disenangi/disukai (dislike) maupun disenangi/disukai (like). Nilai yang terkandung dalam tujuan itu adalah kualitas moral Buddhisme sendiri, yaitu berkurangnya atau lenyapnya nafsu kebencian, keserakahan, keegoisan yang tak terkendali. Kegunaan tujuan itu adalah mengurangi bahkan melenyapkan penderitaan manusia yang disebabkan oleh berkobar-kobarnya nafsu kebencian, keserakahan, dan keegoisan.
3. Kesadaran moral menurut K. Bertens (1993) adalah hati nurani yang merupakan fenomen moral. Tidak sedikit filsuf mencurigai hati nurani bersifat subjektif. Pengalaman hati nurani yang sering tersesat dan mudah disalahgunakan memperkuat lagi pendapat mereka. Tugas etika sebagai ilmu harus mencari kepastian ilmiah dan objektif tentang hal tersebut di atas. Lebih lanjut K. Bertens (1993) menyatakan bahwa pembinaan hati nurani lewat pendidikan, seperti juga akal budi manusia, bahkan pendidikan hati nurani lebih sulit dilakukan dibanding dengan pendidikan akal budi yang bisa dilaksanakan di sekolah. Filsuf Perancis, Gabriel Madinier (1895-1958) mengemukakan tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan sekolah. Pendidikan hati nurani itu harus dijalankan sedemikian rupa sehingga si anak menyadari tanggungjawabnya sendiri (K. Bertens, 1993). Hal tersebut sangat berbeda dengan pandangan Buddhisme yang menjelaskan bahwa kesadaran moral Buddhisme bukan merupakan hati nurani (suara batin) pada umumnya, sebab suara batin dari kesadaran yang belum berkembang dapat bersekutu dengan berbagai nafsu yang tak terkendali, bahkan nafsu tersebut sangat halus menyelinap di bawah hati nurani itu sendiri. Kesadaran moral Buddhisme merupakan hasil perkembangan kesadaran yang dilatih untuk mempunyai kualitas-kualitas moral. Dalam hal ini ada upaya yang dikehendaki oleh manusia untuk mengembangkan kesadaran itu. Kesadaran dapat berkembang apabila terdapat konsentrasi dan perhatian terhadap objek kesadaran tersebut. Kesadaran secara bertahap mengalami perkembangan kualitas sesuai dengan makin terang dan jelasnya konsentrasi dan perhatian memahami corak realitas objek yaitu: perubahan, proses, dan tidak ada ego/jiwa/inti yang kekal. Kausalitas menjadi jelas, dan kausalitas pula yang menyebabkan kesadaran berkembang mengalami pencerahan moral, karena keterikatan berkurang/lenyap, segala nafsu yang tak terkendali menjadi berkurang atau lenyap, sehingga kesadaran moral tumbuh sebagai suatu bentuk suara hati (hati nurani) yang bersih dari nafsu. Itulah kesadaran moral Buddhisme yang tumbuh dari perkembangan batin (meditasi), realistis meditatif. Kesadaran moral Buddhisme berbeda dengan Ren (kebaikan-kebaikan luhur dari pribadi manusia) seperti terdapat dalam Konfusianisme. Ren merupakan sifat luhur cinta kasih yang bercorak manusiawi (humanis) (Chau Ming, 1986). Ren tidak berpangkal pada perkembangan kesadaran melalui meditasi, tetapi Ren berkembang melalui belajar dengan giat, serta mempunyai tekad dan tujuan. Konfusius menyatakan bahwa “aku telah mencoba hanya merenung, dan tidak bermanfaat, lebih baik daripada hal itu dipakai untuk belajar” (Chau Ming, 1986). Konfusianisme memahami kesadaran moral secara realistis humanis. Taoisme mempunyai kesadaran moral yang berdasarkan pada hukum alam, yang bercorak wajar (tidak direkayasa). Semakin direkayasa suatu perbuatan, akan semakin jauh manusia dari hukum alam. Taoisme mengenal welas asih, tetapi welas asih yang alamiah (Chau Ming, 1986). Dengan demikian, moralitas Taoisme lebih bercorak realisme naturalis. Meditasi Buddhis sebagai sarana memperoleh kesadaran moral sering dipandang sebagai suatu kegiatan mistis, padahal tidak terdapat hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan kesadaran, yang terdapat dalam kegiatan meditasi Buddhisme. Bahkan tidak terdapat substansi yang bercorak metafisis sebagai ego, jiwa, roh yang kekal, karena meditasi Buddhis justru menyatakan tidak ada substansi (ego) yang kekal. Hanya pergerakan, tidak ditemukan yang bergerak, ini menunjukkan bahwa Buddhisme awal hanya mau tahu perihal fakta empiris inderiawi, bukan hal-hal metafisis.
4. Meditasi Buddhis sebagai kegiatan filosofis yang empiris cenderung menggunakan metode filosofis fenomenologis Husserl, bukan metode induktif, sebab meskipun sama-sama memerlukan fakta observasi atau fenomen, tetapi fenomenologi tidak memerlukan teori/hukum, dan meditasi Buddhis memang tidak menggunakan teori/hukum untuk memperoleh suatu eidos (hakikat). Husserl menyatakan bahwa objek pertama bagi filsafat ialah bukan pengertian tentang kenyataan, melainkan kenyataan itu sendiri. Husserl mau menentukan metode filosofis ilmiah, yang lepas dari segala prasangka metafisis (Anton Bakker, 1986). Pernyataan ini sangat sesuai dengan apa yang terdapat dalam meditasi Buddhis. Sedangkan, metode induktif menggunakan teori/hukum sebagai sarana untuk melakukan penalaran, agar dapat memperoleh suatu penjelasan. Franz Magnis-Suseno (1992) menyatakan karena menggali fenomen atau fakta kesadaran moral sebagaimana menunjukkan diri, maka etika ini disebut fenomenologis. Etika fenomenologis tidak memasang sendiri norma-norma, tidak juga menilainya, juga tidak “membuktikannya” (dalam arti deduksi) sifat mutlak dari kesadaran moral. Etika fenomenologis hanya menjelaskan, menunjukkan adanya unsur-unsur itu dalam kesadaran moral. Etika membantu untuk memastikan kesadaran moral itu secara rasional. Etika memaparkan unsur-unsur hakiki dalam fenomen kesadaran moral, memisahkan unsur-unsur itu dari fenomen-fenomen jiwa yang lainnya, membantu agar orang menyadari lebih jelas apa yang sebetulnya sudah selalu terdapat dalam kesadarannya. Implikasi terhadap etika fenomenologis menunjukkan adanya kesadaran bahwa tidak ada otoritas masyarakat apapun yang berhak untuk mewajibkan secara mutlak. Otonomi kesadaran moral: kewajiban-kewajiban yang dipasang oleh otoritas-otoritas masyarakat hanya berlaku dengan syarat bahwa oleh yang bersangkutan sendiri disadari sebagai kewajibannya.
5. Pengutamaan pada perkembangan kualitas kesadaran, seringkali memancing kritik bagaimana dengan kualitas intelektual. Memang kesadaran yang menghendaki konsentrasi dan perhatian, sama sekali mengabaikan kecerdasan, padahal kecerdasan nalar adalah sarana kemajuan intelektual manusia. Apalagi dengan kebutuhan perkembangan iptek pada saat ini, kecerdasan nalar dipacu agar mampu mengeksplorasi iptek lebih jauh, hanya manusia yang cerdas yang dapat maju dan berkembang dalam dunia iptek. Sebagai dampak dari perkembangan kecerdasan yang mengabaikan perkembangan kesadaran, maka iptek sangat maju pesat dan terus berkembang, sedangkan kesadaran manusia, terutama kesadaran moralnya mengalami krisis yang sangat mengkhawatirkan. Tentu harapan kita adalah adanya keseimbangan antara perkembangan kecerdasan nalar dan perkembangan kesadaran moral. Hanya saja harapan itu tidak begitu saja mudah ditanggapi sebab pada umumnya manusia lebih tertarik pada perkembangan kecerdasan nalar, lebih tertarik pada penggunaan dan pemanfaatan alat-alat canggih modern yang dapat memudahkan kehidupan. Bagi masyarakat dewasa ini, nalar sering dianggap dapat membawa ke arah kebajikan. Semakin bernalar seseorang akan semakin bajik. Donald B. Calne (2004) mengemukakan bahwa pandangan itu keliru. Calne memperlihatkan bahwa nalar ternyata tidak berperan dalam menentukan kebajikan manusia. Nalar hanyalah piranti semata, sehingga tidak berdasar bila dianggap bermuatan moral.
D. DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton, 1986, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta
Bertens, K., 1993, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Calne, Donald B., 2004, Batas Nalar, Rasionalitas & Perilaku Manusia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Chau Ming, 1986, Mengenal Beberapa Aspek Filsafat Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme, Akademi Buddhis Nalanda, Jakarta
Gunaratana Mahathera, H., 1997, Mindfulness in Plain English (Meditasi dalam Kehidupan Sehari-hari), alih bahasa Lanny Anggawati & Wena Cintiawati, Wisma Sambodhi, Klaten
Hadiwijono, Harun, 1989, Sari Filsafat India, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta
Kalupahana, David J., 1986, Buddhist Philosophy, A Historical Analysis (Filsafat Buddha, Sebuah Analisis Historis), alih bahasa Hudaya Kandahjaya, Penerbit Erlangga, Jakarta
Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta
Mettadewi W., 1988, Bhavana, Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta
Rahula, Walpola, 1978, What the Buddha Taught, Gordon Fraser, London
Sudiarja, S.J., A., 1994, Etika (Filsafat Perilaku), Hand-out Kuliah Etika, Pascasarjana UGM, Yogyakarta
Vajiranana Mahathera, Paravahera, 1975, Buddhist Meditation in Theory and Practice, Buddhist Missionary Society, Kuala Lumpur
Catatan tentang Penulis:
Bhikkhu Jotidhammo, lahir di Tegal, 24 Agustus 1955. Magister Humaniora Ilmu Filsafat, sedang menyelesaikan disertasi Filsafat Buddhisme pada program doktoral Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Mantan Ketua STAB Syailendra, Semarang, dosen STAB Syailendra, Semarang, dan dosen luar biasa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Kepala Lembaga Pendidikan Sangha Theravada Indonesia (LPS), di Vihara Mendut, Magelang

Oleh: Bhikkhu Jotidhammo Mahathera


0 komentar: