“Hamid Abu Zayd
menawarkan solusi penafsiran kembali khazanah agung Islam, yaitu Al-Quran dan
sunah melalui hermeneutika yang diusungnya dan bagaimana menyesuaikannya dengan
tuntutan zaman.”
Pandangan Abu Zayd tentang wahyu
Nasr Hamid Abu Zayd menjelaskan pandangannya tentang
wahyu secara terperinci dalam satu kitab yang berjudul “Mafhum an Nash” dan
juga menyinggungnya dalam beberapa karya yang lain, seperti “Naqdu al Khitab ad
Dini” dan “Isykaliyyat al Qira’ah wa Aliyat at Ta’wil”. Di samping itu, dalam
beberapa wawancara yang dilakukannya, beliau juga menyampaikan persepsinya
tentang wahyu.
Hamid Abu Zayd menawarkan solusi penafsiran kembali
khazanah agung Islam, yaitu Al-Quran dan sunah (hadis) melalui hermeneutika
yang diusungnya dan bagaimana menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Pandangan
hermeneutika yang digagasnya sedikit-banyak dipengaruhi oleh pakar-pakar
hermeneutika semisal Gadamer dan ahli-ahli linguistik seperti Ferdinand de Saussure dan
Hersh serta khususnya Toshihiko Izutsu. Hamid Abu Zayd
melontarkan gagasan pemahaman struktural Al-Quran.
Pertama-tama, kami akan secara langsung menyebutkan
pandangan Hamid Abu Zayd tentang wahyu dan selanjutnya kami akan menguraikan
metode yang diikutinya dan pada saatnya kami akan menganalisa
pandangan-pandangan beliau tersebut.
Hamid Abu Zayd berpandangan bahwa ayat 51 surah asy
Syura, “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya
apa yang Dia kehendaki,” adalah berkaitan dengan Kalam Ilahi, bukan
bermakna wahyu dalam pandangan umum—sebagaimana yang telah kami uraikan di
atas. Berdasarkan ayat ini, Kalam Ilahi ada tiga macam:
a-Wahyu yang bermakna ilham «...إِلَّا
وَحْيًا...».
b-Berbicara di belakang hijab (tabir) «...أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ...» dimana
hal ini hanya terjadi pada peristiwa Nabi Musa as.
c-Mengutus rasul (malaikat) yang dengan izin Allah ia
mengilhamkan suatu pesan
«..أَوْ
يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ».
Bentuk ketiga ini adalah wahyu yang dijanjikan dimana
Jibril mengilhamkan kalimat-kalimat kepada Nabi sebagai wahyu dan bukan menyampaikan
qaul (ucapan) wahyu. Ayat:
«نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ»(شعرا /193،194).
“Al-Quran dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),
ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan.” (QS. Asy Syu’ara:
193-194)
dan juga ayat:
« ..نَزَّلَهُ
عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللّهِ..»(بقره/97)
“Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke
dalam hatimu dengan seizin Allah.” (QS. Al Baqarah: 97)
mendukung dan sesuai dengan pandangan tersebut.
Ilham bukan berarti berbicara dengan suatu bahasa;
Ilham berkaitan erat dengan ruang lingkup pemikiran dan gagasan, bukan bahasa.
Karena itu, Al-Quran adalah kalam (pembicaraan) yang dilafalkan oleh Nabi Saw
sendiri yang diwarnai dengan struktur bahasa Arab tetapi kita tidak mengetahui
asal-muasal kalam ini dari model/bentuk apa. Al-Quran al Karim adalah
penjelasan bahasa dan pribadi Nabi yang berasal dari pengalaman spiritual dan
kenabiannya. Maka di sini, wahyu Islam pada tingkat tertentu menyerupai wahyu
dalam agama Masehi.
Ayat 109 surah al Kahfi yang berbunyi:
«قُل لَّوْ
كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن
تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي...»
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku...,”
ingin mengatakan kepada kita bahwa Kalam Ilahi tidak
hanya terbatas pada wahyu religius yang diterima para nabi. Maka dalam kondisi
seperti ini, wahyu dan ilham memiliki makna yang umum. Allah mengilhamkan dan
mewahyukan kepada setiap manusia dan bahkan seluruh maujud/makhluk, namun dalam
hal ini Dia tida mengutus malaikat. Kalam Ilahi bagi seluruh manusia harus
dianggap sebagai wahyu dan ilham. Jadi, Kalam Ilahi itu mencakup seluruh wujud.
Dan setiap dari kita—tergantung pada potensi masing-masing—mendapatkan Kalam
Ilahi tersebut. Pandangan demikian ini memperkuat hubungan manusia dengan
seluruh alam wujud.
Hamid Abu Zayd memaparkan pembahasan tentang
pluralistik dan perbedaan qiraat; Riwayat yang terkait dengan penulisan
Al-Quran; Pandangan Asya’irah bahwa Kalamullah (Al-Quran) itu qadim
(dahulu), sedangkan beliau berpandangan bahwa ia adalah hadits (baru),
Pandangan Mu’tzailah yang menyatakan bahwa Al-Quran itu hadits (baru) Dan
yang lebih penting dari semua itu, dialektika matn (teks) dan realitas
sebagai pendukung gagasannya.
Beliau berpandangan bahwa bagaimana mungkin Tuhan yang
di luar sejarah berbicara/berdialog, sementara proses belajar-mengajar itu
memerlukan pembicara dan penerima (pendengar). Karena itu, harus ada alam dan
makhluk dan teks tidak mampu memengaruhi budaya yang jauh setelahnya, kecuali
bila memang ia (teks) dilahirkan di zaman budaya itu. Ketika mengirim wahyu,
Allah memilih sistem bahasa khusus yang disampaikan kepada penerima pertama
yang dipilih-Nya. Di samping itu, pembicaraan dan bahasa tidak mungkin berpisah
dari budaya. Sebab, setiap teks berada dalam ruang lingkup sistem bahasa yang
dianutnya. Hubungan teks dan budaya bersifat dialektis. Yakni, dari satu sisi
teks terpengaruh oleh suatu budaya dan dari sisi lain ia yang memengaruhi.
Karena itu, Al-Quran berhubungan erat dengan budaya bangsa
Arab di zaman itu dan sebagai produk dari budayanya, namun tentu saja budaya
Al-Quran adalah budaya superior dimana ia memiliki kemampuan untuk mengubah
budaya yang ada saat itu. Teks Al-Quran ini tidak hanya pasif dan sebagai
budaya yang diam, sebab bila demikian halnya maka ketika budaya itu mati ia pun
ikut mati, tetapi Al-Quran adalah budaya kita yang hidup dan bergerak.
Al-Quran demikian aktifnya; Yakni, pertama ia
merekontruksi budaya dengan cara yang efektif; Unsur-unsur negatifnya
dihilangkan dan unsur-unsur baru ditambahkan. Kedua, setelah teks ini dominan
dan tampil sebagi pemenang di masyarakat maka ia memengaruhi secara kuat
realitasnya sendiri.
Berkenaan dengan urgensi dan pentingnya metode yang
diusulkannya, Hamid Abu Zayd berpandangan bahwa satu-satunya jalan untuk
melakukan penelitian ilmiah adalah kita harus mengkaji Kalam Ilahi melalui
kandungan-kandungannya dalam ruang lingkup sistem budaya yang ia
tumbuh/berkembang di situ.
Studi Kritis Pandangan Hamid Abu Zayd
Pandangan Hamid Abu Zayd tentang esensi wahyu Al-Quran
dan metode pemahamannya perlu diperdebatkan dan dikritisi. Meskipun Hamid Abu
Zayd mengklaim bahwa pandangan religius yang diusungnya diklaimnya elegan,
analisis dan berdasarkan penafsiran/hermeneutika orientik dan ilmiah, namun
sayangnya ia tidak mampu menunjukkan dalil-dalil yang cukup untuk menunjukkan
bahwa metodenya memang ilmiah.
Untuk menangkap makna dan maksud teks tidak cukup
hanya mengandalkan penafsirnya, namun di samping penafsir, juga perlu
diperhatikan maksud pembicara. Hamid Abu Zayd tidak menyampaikan dalil yang
akurat saat mengabaikan aspek penting teks ini dan ia tidak boleh hanya karena
pemuka-pemuka agama sering menegaskan tentang maksud pengarang dan pelbagai
konsekuensinya lalu ia menyingkirkan salah satu aspek penting dalam memahami
teks. Pandangan beliau ini pada akhirnya menyeretnya pada pluralisme tak
tarbatas teks, tidak menunjukkan tolok ukur valid tidaknya pluralisme religius
dan sudah barang tentu mengundang relativisme.
Pandangan Hamid Abu Zayd terkait dengan pemahaman teks
diinspirasi oleh pandangan peleburan horizon teks dan penafsir Gadamer. Maka,
seluruh kritikan ilmiah yang tertuju kepada Gadamer pun tertuju kepadanya,
seperti menyebabkan pluralisme teks, tidak menunjukkan barometer kebenaran dan
kebohongan, penafsiran tak terhingga teks, relativisme mutlak dll.
Dengan memperhatikan aspek i’jaz (mukjizat) dan
tahaddi (tantangan) Al-Quran, penggunaan ungkapan seperti “qaul”
(ucapan), “qiraat” (bacaan),
“tilawat”, “tartil” berkaitan
dengan wahyu, Nabi tidak memiliki wewenang untuk mengubah Al-Quran, kepercayaan kepada Nabi dalam penjagaan dan perlindungan
Al-Quran, perbedaan mencolok antara ayat-ayat Al-Quran
dan hadis-hadis nabawi serta bukti-bukti sejarah, berdasarkan semua fakta di
atas maka lafal-lafal Al-Quran itu adalah wahyu, dan bukan bikinan Nabi.
Pandangan bahwa lafal-lafal Al-Quran itu bukan wahyu
akan berdampak pada penafian kesucian lafal-lafal Al-Quran, juga penafian
kemukjizatan Al-Quran (khususnya mukjizat penjelasan Al-Quran) serta pengabaian
kedudukan Al-Quran sebagai rujukan dalam memahami agama.
Hamid Abu Zayd di satu sisi berpandangan bahwa agama
dan pengetahuan/pemahaman agama itu tidak boleh disamakan atau disatukan. Sebab
menurutnya, agama itu suci dan dari sisi sejarah pasti, sedangkan pengetahuan
religius tidak lain hanya pemahaman manusia. Karena itu, ia (pemahaman
religius) tidak boleh disucikan dan diterima mentah-mentah.
Namun di sisi lain, ia meyakini bahwa dasar teks sejak
masa diturunkan, yakni wahyu Ilahi—melalui pemahaman Nabi—sejak diturunkan,
telah berubah menjadi pemahaman manusia, sehingga karenanya tidak boleh ada
asumsi yang menyatakan bahwa pemahaman Nabi terhadap Al-Quran saat ini pada
hakikatnya teks (baca: wahyu) itu sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa menurut
persepsi Abu Zayd, fenomena yang bernama agama yang suci dan diterima dengan
sepenuh hati (tanpa perlu diragukan validitasnya) tidak ada pada manusia.
Kami juga menolak pandangan dialektika teks dan
realitas Al-Quran serta keyakinan bahwa Al-Quran adalah produk budaya yang
terpengaruh oleh budaya zamannya. Sebab, Al-Quran memang mengambil dari sastra
dan bahasa kaum Arab, dan hal ini sangat wajar. Namun ini tidak menunjukkan
bahwa Al-Quran terpengaruh oleh budaya tertentu. Dengan kata lain, Al-Quran adalah
peninjau budaya zamannya, bukan terpengaruh olehnya. Bila Al-Quran berbicara
tentang budaya Arab, maka pertama ini tidak berarti bahwa ia mendukung budaya
tersebut. Kedua, Al-Quran bahkan banyak berhadap-hadapan dengan budaya tersebut
Allah Swt ingin menjaga level cakrawala pemikiran
masyarakat Arab. Al-Quran dari 6336 ayat, hanya 460 ayat yang menyinggung
masalah-masalah yang terkadang terbatas dengan sekat zaman dan geografis,
tetapi ajaran-ajarannya bersifat universal, global dan luas. Sayangnya Abu Zayd
tidak menunjukkan barometer terpengaruhnya Al-Quran dengan budaya zaman dan
realitas sosialnya.
Kesimpulan
Pandangan Hamid Abu Zayd tentang peleburan cakrawala
teks dan mufasir yang banyak dipengaruhi oleh Gadamer adalah tertolak karena
berakibat pada pluralistik tak terhingga teks, tidak adanya tolok ukur benar
dan bohong serta pada akhirnya mengundang relativisme mutlak. Metode yang
digunakannya berkaitan dengan pemahaman Al-Quran berlandaskan pandangan linguis
dan hermeneutika pun tidak dapat diterima. Begitu juga pandangan Hamid Abu Zayd
bahwa lafal-lafal Al-Quran itu bukan wahyu justru bertentangan dengan pandangan
wahyu dalam Al-Quran dimana konsekuensi dari pandangannya berakibat pada
hilangnya kesucian lafal-lafal Al-Quran, penafian mukjizat Al-Quran, pengabaian
kedudukan Al-Quran sebagai poros/rujukan dalam agama serta pluralisme religius.
Hamid Abu Zayd memandang bahwa wahyu adalah ilham dan
eksperimen religius dan model pandangan seperti ini dapat ditelusuri pada
pandangan popular terkait dengan wahyu dalam ajaran Masehi dengan kekhasan
sosial, politik dan budayanya dimana tentu saja sangat kontradiksi dengan
pandangan wahyu dalam Al-Quran.
Ide sekularnya bahwa setiap aktifitas otak dianggap
wahyu dan semua kita adalah nabi dan bahkan wahyu diberikan kepada seluruh
maujud adalah tidak benar. Abu Zayd mencampur aduk antara makna kata wahyu yang
berarti “menyampaikan sesuatu secara tersembunyi dan cepat” dan makna
teologisnya, yaitu wahyu tasyri’i.
Daftar Pustaka:
Ulumul Quran, M. Baqir Hakim, penerbit al Huda,
Jakarta, Maret 2006
Al Mizan, Allamah Thabathaba’i, Qom, Iran
Naqdu al Khitab ad Dini, Nasr Hamid Abu Zayd, file Pdf
http:.wikipedia.org
http://abuthalib.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar