PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Oksidentalisme merupakan arah kajian baru dalam menghadapi hegemoni keilmuan barat. Istilah yang ditenarkan oleh Hassan Hanafi ini berusaha mengkaji barat dalam kacamata timur, sehingga ada keseimbangan dalam proses pembelajaran antara kulon dan wetan (west and east).
Dunia barat selama ini dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran, khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” yang terkenal itu. Dia mengkritik bahwa kajian barat atas timur kurang lebih bertujuan politis ketimbang ilmiah.
Kontroversi yang dikemukakan oleh Said, orientalisme yang problematik memang menarik pada dirinya sendiri. Orientalis mampu mengkaji dunia timur dengan sangat menarik, memikat, melalui thought provoking, namun dengan erudisi intelektual yang luar biasa. 1
Setelah melalui era pasca-kolonial, Orientalisme berevolusi menjadi kajian yang lebih simpatik, namun disisi lain, kecurigaan pada Orientalisme belum hilang dalam pikiran dunia timur, selain trauma sejarah (akibat kolonialisme), para orientalis dipandang berasal dari lingkungan luar, sehingga ada kecurigaan bahwa kajian yang mereka lakukan memiliki motif-motif terselubung.
Kecurigaan dan ketakutan tersebut tidak diimbangi dengan motivasi bangsa-bangsa timur dalam mengkaji barat, tuduhan minor terhadap barat hanya didasarkan pada prasangka yang tidak berdasar, tuduhan klise seperti:
1. Ulil Abshar Abdallah, Orinetalisme VS Oksidentalisme (www.Dapur Kajian Islam.com)
Kebudayaan barat yang dekaden, individualistik dan amoral, tersebar dalam literatur di dunia timur, namun disisi lain, bangsa-bangsa timur dibuat terperangah oleh kemajuan peradaban Barat yang sepertinya tanpa henti.
Oksidentalisme diharapkan mampu menjembatani kebuntuan tersebut. Selain untuk mempelajari akar kemajuan bangsa-bangsa barat, Oksidentalisme diharapkan mampu menghilangkan prasangka yang terus mengendap dipikiran orang timur.
Cita-cita dialog antar peradaban yang pernah dilontarkan oleh Muhammad Khatami, mantan presiden Iran, dalam rangka menandingi konsep benturan antar peradaban, hanya bisa terwujud jika ada itikad baik dari kedua sisi dunia ini untuk saling belajar satu sama lain, yaitu dalam bentuk kajian yang adil dan tidak dalam semangat konfrontatif, timur versus barat.
Oksidentalisme (Al-Istighrâb ) adalah lawan dari Orientalisme (al-Istisyrâq). Kalau Oreintalisme melihat potret kita (Timur) yang dalam tanda petik “Islam” dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme justru sebaliknya; melihat potret Barat yang sangat identik dengan misi kristenisasinya dari kacamata Timur.
Misi Oksidentalisme adalah mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat, dan mencoba meletakan kembali Peradaban Barat pada proporsi geografisnya. dan tidak menutup kemungkinan untuk mengambil manfaat dari kajian-kajian ke-Islam-an (Islamologi) mereka atau paling tidak memakai metodologi mereka dalam mengkaji bahkan mengkritisi beberapa ajaran dan tradisi dalam Islam. Namun Yang terakhir inilah, yakni al-Intifa min al-Ghorb menjadi perdebatan yang mengakar antara dua kelompok (pemikiran) Islam di hampir seluruh penjuru bumi Allah ini; yaitu antara kelompok Tradisionalis dan Modernis (sekularis; julukan yang sering diberikan oleh kelompok Tradisionalis kepada kelompok kedua ini). Kelompok pertama, mewakili kelompok yang sering disebut militan-fundamentalis (terutama oleh kelompok modernis) yang mewakili bahwa kebesaran umat Islam tergantung kepada kesadaran mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan kembali kepada ajaran inti al-Qur’an dan Sunnah sebagai pernekanannya. Sementara kelompok kedua mewakili kelompok yang sering mereka namakan sendiri dengan reformis-modernis, yang meyakini bahwa Islam adalah agama hadhari (peradaban), yang karenanya harus terbuka terhadap unsur-unsur peradaban lain. Untuk itu, ajaran Islam mesti diaktualisasikan dan diperbaharui (rekontruksi dan bahkan revisi), dengan mencoba redefinisi, agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Namun disini, penulis tidak akan mengulas pembahasan untuk menentukan sikap penulis pribadi diantara kedua kelompok di atas. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pemikiran-pemikiran Hasan Hanafi yang memperkenalkan istilah Oksidentalisme.
A.Latar Belakang
Oksidentalisme merupakan arah kajian baru dalam menghadapi hegemoni keilmuan barat. Istilah yang ditenarkan oleh Hassan Hanafi ini berusaha mengkaji barat dalam kacamata timur, sehingga ada keseimbangan dalam proses pembelajaran antara kulon dan wetan (west and east).
Dunia barat selama ini dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran, khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” yang terkenal itu. Dia mengkritik bahwa kajian barat atas timur kurang lebih bertujuan politis ketimbang ilmiah.
Kontroversi yang dikemukakan oleh Said, orientalisme yang problematik memang menarik pada dirinya sendiri. Orientalis mampu mengkaji dunia timur dengan sangat menarik, memikat, melalui thought provoking, namun dengan erudisi intelektual yang luar biasa. 1
Setelah melalui era pasca-kolonial, Orientalisme berevolusi menjadi kajian yang lebih simpatik, namun disisi lain, kecurigaan pada Orientalisme belum hilang dalam pikiran dunia timur, selain trauma sejarah (akibat kolonialisme), para orientalis dipandang berasal dari lingkungan luar, sehingga ada kecurigaan bahwa kajian yang mereka lakukan memiliki motif-motif terselubung.
Kecurigaan dan ketakutan tersebut tidak diimbangi dengan motivasi bangsa-bangsa timur dalam mengkaji barat, tuduhan minor terhadap barat hanya didasarkan pada prasangka yang tidak berdasar, tuduhan klise seperti:
1. Ulil Abshar Abdallah, Orinetalisme VS Oksidentalisme (www.Dapur Kajian Islam.com)
Kebudayaan barat yang dekaden, individualistik dan amoral, tersebar dalam literatur di dunia timur, namun disisi lain, bangsa-bangsa timur dibuat terperangah oleh kemajuan peradaban Barat yang sepertinya tanpa henti.
Oksidentalisme diharapkan mampu menjembatani kebuntuan tersebut. Selain untuk mempelajari akar kemajuan bangsa-bangsa barat, Oksidentalisme diharapkan mampu menghilangkan prasangka yang terus mengendap dipikiran orang timur.
Cita-cita dialog antar peradaban yang pernah dilontarkan oleh Muhammad Khatami, mantan presiden Iran, dalam rangka menandingi konsep benturan antar peradaban, hanya bisa terwujud jika ada itikad baik dari kedua sisi dunia ini untuk saling belajar satu sama lain, yaitu dalam bentuk kajian yang adil dan tidak dalam semangat konfrontatif, timur versus barat.
Oksidentalisme (Al-Istighrâb ) adalah lawan dari Orientalisme (al-Istisyrâq). Kalau Oreintalisme melihat potret kita (Timur) yang dalam tanda petik “Islam” dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme justru sebaliknya; melihat potret Barat yang sangat identik dengan misi kristenisasinya dari kacamata Timur.
Misi Oksidentalisme adalah mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat, dan mencoba meletakan kembali Peradaban Barat pada proporsi geografisnya. dan tidak menutup kemungkinan untuk mengambil manfaat dari kajian-kajian ke-Islam-an (Islamologi) mereka atau paling tidak memakai metodologi mereka dalam mengkaji bahkan mengkritisi beberapa ajaran dan tradisi dalam Islam. Namun Yang terakhir inilah, yakni al-Intifa min al-Ghorb menjadi perdebatan yang mengakar antara dua kelompok (pemikiran) Islam di hampir seluruh penjuru bumi Allah ini; yaitu antara kelompok Tradisionalis dan Modernis (sekularis; julukan yang sering diberikan oleh kelompok Tradisionalis kepada kelompok kedua ini). Kelompok pertama, mewakili kelompok yang sering disebut militan-fundamentalis (terutama oleh kelompok modernis) yang mewakili bahwa kebesaran umat Islam tergantung kepada kesadaran mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan kembali kepada ajaran inti al-Qur’an dan Sunnah sebagai pernekanannya. Sementara kelompok kedua mewakili kelompok yang sering mereka namakan sendiri dengan reformis-modernis, yang meyakini bahwa Islam adalah agama hadhari (peradaban), yang karenanya harus terbuka terhadap unsur-unsur peradaban lain. Untuk itu, ajaran Islam mesti diaktualisasikan dan diperbaharui (rekontruksi dan bahkan revisi), dengan mencoba redefinisi, agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Namun disini, penulis tidak akan mengulas pembahasan untuk menentukan sikap penulis pribadi diantara kedua kelompok di atas. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pemikiran-pemikiran Hasan Hanafi yang memperkenalkan istilah Oksidentalisme.
B.Pengertian Oksidentalisme
Secara etimologi Oksidental berasal dari bahasa Inggris, ”Occident” berarti the part of the world to the west of some recognized part, i.e. western Europe, Europe and America, or the western hemisphere; the civilization or culture of the West (noun) …situated un the west, western (adjective).
”Occidental juga berarti a native or inhabitant of the West, a western country or region (noun) …of, situated in, or characteristics of western countries or regions; of the West, Western (adjective);
“Occidentalism” adalah occidental quality, style, or character; Western customs, institutions, characteristics, etc. (noun);
“Occidentalist” adalah (a) a person who favours or advocates Western customs, ideas, etc. (b) a student of Western languages and institutions (c) an advocate or user of the language Occidental.2
__________________
2. Shorter Oxford English Dictionary (Fifth Edition, Oxford: Oxford University Press,2002)
Hassan Hanafi, seorang Profesor Falsafah dari University Cairo mendefinisikan Oksidentalisme dalam bahasa Arab Al-Istighrâb sebagaimana judul bukunya Muqaddimat fi ’Ilmi Al-Istighrâb (Pengantar Ilmu Oksidentalisme), bahwa oksidentalisme adalah kebalikan (antonym) dari orientalis, yang diartikan secara umum bahwa oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat, dalam oksidentalisme, posisi subyek obyek menjadi terbalik. Timur sebagai subyek pengkaji dan Barat sebagai obyek kajian.
Walaupun istilah Oksidentalisme adalah antonim dari Oreantalisme, tapi di sini ada perbedaan lain, oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme, tetapi para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur yang telah dibentuk dan direbut Barat.
BAB II
PEMIKIRAN HASAN HANAFI
A.Biografi
Hasan Hanafi dilahirkan di Cairo, Mesir pada 14 Februari 1934 M. Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.
Hassan Hanafi termasuk pemikir Islam kontemporer yang bobot intelektualnya merambah dunia baru Isam Pasca Modernisme. Tokoh ini lahir di Kairo tanggal 14 Februari 1935. karier studinya tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Kairo yang menyelesaikan sarjana muda tahun 1956. selama sepuluh tahun mengabdikan diri selaku pendidik, sambil meneruskan menimba ilmu di Universitas Sorbonne, Perancis hingga menyelesaikan Doktor (Phd) tahun 1966. selesai studi ia kembali ke Kairo dan bertugas selaku Dosen, tahun 1967 selaku Lektor, tahun 1973 lektor kepala dan Guru Besar Filsafat tahun 1980. ia diserahi jabatan selaku ketua jurusan filsafat. Ia adalah seorang yang selalu gerah dengan kesemuan kondisi yang serba mapan dan ia merupakan cendikiawan yang memiliki komitmen kepada Islam serta ahli dalam ilmu-ilmu agama Islam. Selaku filososf dan pemikir Islam, Hassan Hanafi menenemkan model baru dalam usaha memahami khazanah Islam klasik. Pemikirannya tergolong multi lintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dari aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan, sungguh luar biasa. Ia selalu berada di garis minoritas, kalau tidak tergolong melawan arus. Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan.
Hassan Hanafi hampir identik dengan Ali Syari’ati. Organisasi kemasyarakatan adalah wadah untuk bergiat diri. Dari sinilah pemikiran-pemikirannya ditransformasikan kepada khalayak muslim. Ia mencetuskan tentang gagasan keadilan sosial. Seorang khalifah harus memiliki otonomi penuh atas dirinya. Namun juga perlu diingat bahwa keadilan sosial itu hanya dapat terwujud manakala ada para pejuang pembebas umat manusia. Agar kiprah tersebut berjalan efektif, diperlukan ideologi yang tak diragukan mampu membawa suara pembebasan. Karena itulah, Islam sebagai sebuah ideologi, sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik sekaligus mampu dan menyingkirkan berbagai bentuk sosialisme.
Hassan Hanafi bisa dikatakan mengacu kepada sebuah analisa kelas yang mendominasi sosialisme sebagai faham, termasuk jenis-jenis sosialisme yang tidak Marxis-Leninis. Ia membawa gagasan pembebasan melalui penghancuran konstruksi lama yang serba reaksioner dari feodalisme kapitalistik yang menguasai masyarakat dunia yang sedang berkembang, karena semangatnya tokoh ini, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa ia terpengaruh pada paham Marxis.
B.Pemikiran Hasan Hanafi
Sebelum mengetahui pemikiran-pemikiran Hasan Hanafi, dalam makalah ini akan disinggung terlebih dahulu pemikiran pemikiran kaum oksidentalis sebelumnya, karena hal ini yang melandasi munculnya pemikiran Hasan Hanafi.
Perdebatan antara kalangan Islam “liberal” dengan Islam fundamentalis, sesungguhnya mengulang pertarungan wacana lama antara kelompok Mu’tazilah dengan kelompok yang menolak rasionalisme sebagai titik pusat dalam pencarian kebenaran –hal ini bisa diwakili oleh pemikiran kelompok Asy’ariyah dan Khawarij. Di tengah arus global modernitas, di mana agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman maka pemikiran rasionalisme menjadi keharusan sejarah (historical necessity) dalam mengintepretasikan kembali wacana agama, pada setiap wilayah kajian keagamaan. Hubungan antara agama dan filsafat tidak lagi perlu diperdebatkan karena --sebenarnya, jika kita mau jujur-- pendekatan filosofis-rasional sangat membantu kita untuk memahami agama secara kontekstual dan sebagai pandangan dunia (world view) menuju (mendekati) Kebenaran, secara arif dan bertanggung jawab.
Pemikiran Islam kritis dan rasional pasca-Ibnu Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya, Tahafut al-Falasifa (Kerancuan atas Para Filosof). Ia mempersoalkan penggunaan Aristotelianisme (sebagai dasar pijakan paripatetisme) dalam filsafat Islam. Ibnu Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi (257 H/870 M), adalah dua filosof muslim yang menjadi obyek kritikan keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan kesalahan dalam logika pemikiran metafisika (ketuhanan).
Menurut Ibnu Sina, alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan. Hanya Tuhan sajalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di luar diri-Nya. Tuhan adalah sebab pertama yang dari serangkaian sebab-akibat yang membentuk struktur realitas. Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya, dan dengan mengetahui diri-Nya maka tidak pelak lagi mengetahui segala maujud di luar diri-Nya. Bagi Ibnu Sina, Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi (universal-univesal), bukan pada maujud-maujud khusus karena yang khusus secara pasti diketahui secara inderawi –ini didasarkan pada tradisi falsafat helenisme. Hal demikian dikritik oleh Al-Ghazali karena pemaknaan yang dilakukan oleh Ibnu Sina ini mengingkari setiap pemahamaan tentang keagungan ilahi, artinya mendekatkan keadaan Tuhan kepada keadaan sebuah benda yang tidak hidup, yang tidak membutuhkan kabar berita tentang alam semesta. Melalui bukunya itu, Al-Ghazali menyerang dua hal utama. Pertama, filsafat menentang prinsip-prinsipnya sendiri. Kedua, filsafat tidak bersesuaian dengan agama dan filsafat tidak memberi ruang pada agama. Hal ini berarti bahwa apa yang dipikirkan oleh kaum filosof tentang Tuhan, mereka hanya memperlakukan-Nya sebagai nama (nominal) sehingga Tuhan tidak diberi ruang untuk bertindak apa-apa.
Anggapan bahwa Al-Ghazali telah mengakhiri riwayat filsafat dalam dunia Islam dipersalahkan oleh Oliver Leaman. Penulis berpendapat, sesungguhnya Al-Ghazali berusaha untuk memberikan “rem kendali” bagi kaum filosof untuk tidak secara bebas berfikiran filosofis-rasional. Dan Al-Ghazali sendiri telah memberikan contoh bagi sebuah perdebatan intelektual yang mencerdaskan. Tapi, ternyata gaya kafir-mengkafirkan pemikiran para filosof yang dikritiknya memberikan citra buruk tersendiri, sehingga para ulama konservatif yang tidak suka filsafat kemudian menjadikan landasan argumen Al-Ghazali sebagai penguat basis penolakan. Al-Ghazali, ketika mengkritik filsafat sesuangguhnya dia menggunakan logika dan pemikiran filsafat, walaupun dia sendiri kemudian menganggap filsafat bertentangan dengan agama. Dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M), mengkritisi pandangan Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut at-Tahafut, yang isinya setebal 1006 halaman.
Ibnu Rusyd membangkitkan gairah intelektual dengan pendekatan filosofis-rasional, yang kemudian diadopsi oleh Barat sebagai jalan menuju pencerahan. Aspek rasionalitas filsafat Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd membidas balik kritik Al-Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Beliau diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filosof muslim. Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning) yang sangat rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan antara filsafat dan agama setelah Al-Kindi, filosof pertama yang memadukan keduanya. Bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah agama yang filosofis karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof muslim di atas berserta filosof lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan filsafat bertentangan.
Pemikiran filsafat di belahan barat Dunia Islam mengalami kemunduran setelah serangan Al-Ghazali. Tapi, di sebelah timur, filsafat terus berkembang sampai sekarang dalam penjelasan (syarah) dan penambahan (hasyiyah). Figurnya adalah Syuhrawardi (1154-1191 M) dan Ibn Al-‘Arabi (1164-1240 M), dan mencapai puncak pada Mulla Shadra (1571-1572 M). Syuhrawardi adalah konseptor aliran isyraqi atau filsafat iluminasi, dan dia mencoba memadukan antara tradisi mistis dan filsafat Paripatetik. Dia melihat pengetahuan sejati terjadi ketika kita diiluminasi oleh Sumber Cahaya dan Sumber Realitas itu. Menurutnya, hal ini tidak bertolak-belakang dengan filsafat Paripatetik yang juga dianggap sebagai pemikiran shahih dalam terhadap pengetahuan konseptual. Hanya saja, bagi dia, filsafat iluminasi sanggup bergerak lebih jauh melebihi filsafat Paripatetik dengan menyodorkan pembuktian dan penerimaan pengetahuan secara lebih sempurna. Suhrawardi menganggap metode definisi Parepatetik sebagai cara yang tidak valid untuk memperoleh pengetahuan. Bagi Suhrawardi, tujuan yang ingin dicapai dalam epistemologi illuminasi adalah jenis pengetahuan yang unqualified, yaitu yang diketahui melalui kepastian (yaqin), dengan menggabungkan antara pengetahuan dengan esensi semata dan pengetahuan dengan Bentuk-bentuk abadi yang tidak berubah.
Ibn Al-‘Araby, dengan pendekatan filsafat illuminasi berusaha menginternalisasikan mistisisme ke dalam filsafat, setelah Al-Ghazali mempeloporinya. Al-Ghazali telah melakukan sejumlah hal penting untuk membuat sufisme lebih bertanggung jawab, kerja seperti ini kemudian disistematisasikan oleh Ibn Al-‘Araby. Kalau dimasukkan ke dalam empat kelompok pencari kebenaran model Al-Ghazali, maka Ibn Al-‘Araby masuk pada golongan kaum sufi. Ibn Al-‘Araby dikenal dengan doktrin wahdatul al-wujud (ketunggalan wujud), yang mengidentikkan Tuhan dan alam, dengan argumentasi bahwa jika keduanya dipisah maka tidak akan menangkap inti realitas sebenarnya. Pandangan ini ditandingi oleh Ahmad Sirhindi (1564-1624 M) dengan doktrin wahdah al-syuhud (ketunggalan penyaksian), dengan argumen bahwa alam adalah refleksi dari Tuhan.
Ada empat sumber utama yang dilakukan para filosof dalam mencari kebenaran, dan ini sangat membantu dalam memahami pemikiran Mulla Shadra. Pertama, filsafat Paripatetik Islami, yang dimulai dari Al-Kindi sampai Ibnu Rusyd, dan utamanya adalah Ibnu Sina. Kedua, filsafat illuminasionisme (teosofi isyarqi), yang dilakukan oleh Suhrawardi, dan diikuti oleh para pensyarahnya, seperti Quthb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani. Ketiga, ajaran tasawuf yang dipopulerkan oleh Ibn al-‘Araby dan pembahas ajarannya, seperti ‘Ayn al-Qudhat al-Hamdani dan Mahmud Syabistari. Keempat, pemikiran syariat Islam yang telah menjadi pemikiran sentral dalam dunia Islam sampai saat ini.
Menurut Mulla Shadra, secara umum, memperoleh ilmu pengetahuan melalui dua metode, yaitu metode Hushuli dan metode Hudhuri. Metode hushuli ialah metode memperoleh ilmu melalui upaya sengaja, sesuai alat yang digunakan manusia. Metode ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu wahyu (naqly) dan akal (‘aqly). Sedangkan metode hudhuri ialah metode memperoleh ilmu dengan cara perenungan dan penghayatan terhadap sebuah obyek, sehingga ia hadir dalam kesadaran seseorang tanpa abstraksi rasional. Metode ini adalah bagaimana hati (qalb) ditempelkan dengan obyek (ma’qul). Konsep hudhuri Mulla Shadra adalah kemamppuan manusia menangkap totalitas wujud, baik materi maupun maknanya, yang diperoleh melalui mukasyafah dan musyahadah dengan kesadaran penuh manusia setelah memperoleh cahaya dari Tuhan. Mulla Shadra mensintesiskan kedua metode di atas.
Pemikiran Ibnu Rusyd di bagian barat dunia muslim dan pemikiran Mulla Shadra di bagian timur, telah kehilangan elan vital dalam menumbuhkan kesadaran berfikir masyarakat Islam. Apalagi, sejak penjajahan Barat, baik melalui pemikiran dan kekuatan ideologi (Kapitalisme dan Sosialisme) yang menguasai kawasan muslim, lambat laun membangkitkan umat dari tidur panjang sejarah peradaban. Modernitas telah menjadi realitas yang tidak bisa lagi ditolak kemunculannya, dan menjadi tantangan besar agama-agama (termasuk Islam) dalam menjawabnya. Lalu, dalam dunia Muslim diperhadapkan pada dua masalah besar, yaitu melawan hegemoni Barat (dalam bentuk ideologisasi dan orientalisme) dan menumbuhkan tradisi pemikiran dengan pendekatan ijtihad dan rasionalisme dalam metode berfikir umat menuju peradaban Islam.
Dalam filsafat kontemporer Arab, berbagai madzhab kemudian banyak bermunculan setelah dibangunkannya umat dari kesadaran melawan kolonialisme Barat. Muncul pemikir besar, semisal Jalaluddin Al-Afghani (1838-1879 M) dan Muhammad Abduh (1848-1905 M), yang mencoba menjalankan agenda modernis untuk menghubungkan Islam dengan bentuk kehidupan yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern. Dari sini kemudian diskusi seputar konfontrasi Islam dan modernitas menjadi perbincangan yang menarik. Terjadi dua kubu yang berlawanan dalam memahami modernitas, ada yang cenderung fundamentalis dan ada yang berupaya berfikir secara “liberal”, dan mencari pola hubungan yang rasional antara Isam dan Barat.
Dr. Hassan Hanafi seorang cendikiawan Mesir alumni Universitas Sorbonne, Prancis dan Profesor Filsafat di Universitas Kairo–, yang mengelola gagasan Islam “kiri” (al-Yasâr al-Islâmî) dalam konotasi akademis sebagai sebuah konsepsi ‘perlawanan terhadap pemapanan’ Islam. Dalam hal ini Hanafi tidak membicarakan Islam yang digariskan Tuhan tidak terpisah-pisah dalam “kiri” dan “kanan”, melainkan sebuah discourse tentang kaum muslimin dalam realitas sejarah dan sistem sosial tertentu. Sepanjang kita terlibat dalam sejarah, maka kita akan selalu dalam pertentangan kekuatan dan kepentingan. Maka “kiri” dan “kanan” bagi Hanafi berada pada tingkat sosial dan historis ini.
Dengan mengacu pada gagasan kritisisme, Hanafi kemudian menyusun peta pemikiran sebagai berikut: Dalam teologi Islam, Mu’tazilah adalah “kiri”, sedangkan Asy’ariyah adalah “kanan”. Intelektual natural seperti Ibn Rusyd adalah “kiri”, dimana al-Farabi dan Ibn Sina dengan filsafat iluminasinya adalah “kanan”. “Mazhab hukum Islam Maliki yang mengedepankan kesejahteraan adalah “kiri”, mazhab Hanafi “kanan”. Tafsir dengan aql adalah “kiri”, sedangkan dengan naql adalah “kanan”. Dan dalam politik, ‘Alî dan Husein adalah “kiri”, sedangkan keluarga Mu’âwiyah dan Yazîd adalah “kanan”. Termasuk juga membagi realitas masyarakat muslim “kiri” sebagai masyarakat yang dikuasai, tertindas, miskin dan tersingkir, di antara masyarakat muslim “kanan” yang berkelebihan, cenderung tidak peduli dengan masyarakat muslim lainnya dan bahkan terseret dalam kehidupan kapitalisme Barat hingga tercerabut dari identitas keislamannya.
Menurut Hanafi, Islam “kiri” juga merupakan tahap lain dalam perkembangan reformasi keagamaan kita dimana ia bertugas bukan sekadar melakukan konfrontasi terhadap bahaya-bahaya abad ini, melainkan juga melakukan rekonstruksi terhadap kenyataan kemusliman yang fatalistik, menunggu bantuan dan inspirasi dari langit dengan mengabaikan kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Akal dianggap perlu untuk memperoleh bantuan dari langit untuk menghasilkan kemampuan praktis.
Hanafi secvara frontal berusaha mengembalikan Islam yang dipahami menyatu sebagai ideologi, agama dan gerak (revolusi) kaum muslimin. Semua dimulai Hanafi dengan melakukan kritik internal komunitas muslim, maka bagi salah satu kelompok, Argumen Islam “kiri” Hassan Hanafi terasa mengganggu, bahkan mungkin mengancam, terutama berkaitan dengan kenyamanan terhadap tata cara beragama yang dikritisinya. Masyarakat muslim yang merasakan marwahnya terusik mulai mengembangkan propaganda yang memandang “Kiri” sebagai pengingkaran terhadap agama, atheis dan pemecah belah.
Islam “kiri” Hanafi telah mencuat di tengah modernisasi yang mentransformasikan Islam dalam ritus keagamaan yang menekankan akhirat, sehingga tanpa sadar menyatukan masyarakat westernis, feodalis dan kapitalis muslim tanpa kritisi. Bagi kelompok lain, gagasan Hanafi sebenar merupakan wacana yang perlu dikembangkan, sebagaimana gagasan neo-modernisme Islam Fazlurrahman, dekonstruksi syâri’ah Mahmud Muhammad Taha dan Dr. Abdullahi Ahmed an-Na’im, atau teologi pembebasan Islam Asghar Alî Engineer.
Hassan Hanafi dari waktu ke waktu semakin terfokus pada apa yang menjadi cita-citanya. Ia berusaha menemukan paradigma baru yang harus dimiliki Islam dalam konteks munculnya Universalisme baru yang sesuai dengan sumber-sumber ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin yang sesuai dengan sumber-sumber ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Kemapanan yang ada dinilai tidak sesuai dan tidak aspiratif demi mengangkat kembali harkat dan martabat kaum muslimin. Ia berusa membawa Islam ke arah pencerahan secara menyeluruh.
Hassan Hanafi mempunyai pandangan bersahabat dengan pemikiran Barat, kendati menurut sementara kalangan sikap kritisnya terhadap Barat kurang terakomodasi dengan tuntas, Hassan Hanafi memang selalu mengingatkan tentang kekeliruan Barat dalam memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalis. Ia menapilkan sosok yang menyerap sepenuhnya nilai dan ilmu-ilmu Barat. Namun dari sana pula ia berpijak mengkaji Barat dalam suatu pemahaman wawasan-wawasan berbeda dari pemikir sebelumnya terutama kelompok modernis yang mungkin agak emosional baik mereka yang menerima atau menolak Barat. Inilah beberapa sisi pemikiran Hassan Hanafi tentang Islam.
Hasil karya Hassan Hanafi, baik tersebar dalam sejumlah jurnal Islamiah, juga berbentuk buku. Salah satu yang amat terkenal dan menjadi fokus pemikirannya adalah dalam bentuk tulisan jurnal Islam yang berjudul Al-Yasar Al-Islami: Kitabat fi Al-Nadha Al-Islamiyah, kemudian menjadi karya monumental dengan judul yang mirip Madza Ya’ni Al-Yasar Al-Islami berbahasa Arab. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dipopulerkan menjadi “Islam Kiri atau Kiri Islam”, dan karya terbesarnya (magnum opus) Min al aqidah ila Ats-Tsaurah (dari teologi menuju Revolusi).
Pemikirannya itulah yang menjadi pokok istilah Hassan Hanafi yang menggunakan “Kiri Islam” sebagai suatu identifikasi keshahihan Islam. Walaupun sejumlah pemikir lain menganggap Hassan Hanafi memiliki gagasan orisinal, butiran-butiran besar dan berwawasan radikalistik.
Di Indonesia, salah seorang yang merespon gagasan penyatuan gerak kehidupan (ideologi, agama dan revolusi) dalam Islam “kiri” Hanafi adalah Abdurrahman Wahid –sekarang Presiden RI. Wahid melihat bahwa ideologi, agama dan revolusi merupakan unsur-unsur yang ternyata tidak bisa diingkari potensinya untuk mensukseskan atau –sebaliknya– merusak sebuah upaya membangun masyarakat. hal tersebut juga berlaku untuk Islam, agama langit (dîn al-samawî) terakhir yang diturunkan Tuhan ke muka bumi, sebagaimana telah dibuktikan terjadi dalam 14 abad. Mengingkari kenyataan ini berarti sama saja dengan membuat Islam menjadi sebuah agama ibadah dalam arti sempit, atau paling jauh menjadi agama hukum (dîn al-fiqhî) dalam arti terbatas. Maka menjelaskan Islam sebagai agama yang mementingkan tindakan (’amal) dan merumuskan ideologi dan revolusi Islam menjadi penting.
Hanafi dan Wahid –dan barangkali sejumlah pemikir muslim lainnya– pada akhirnya bertemu pada satu kesimpulan bahwa pendekatan komprehesif di atas seharusnya dilakukan dengan tidak memisahkan Islam dari alur perubahan-perubahan transformatif yang berlangsung di seluruh dunia menjadi penting.
BAB III
PENUTUP
Pembahasan tentang pemikiran Hasan Hanafi oksidentalisme yang notabene sebagai oksidentalist diatas, ada tiga hal yang bisa digaris bawahi dari hasil pemikiran-pemikirannya, yaitu:
1.Oksidentalisme adalah studi tentang pemikiran Barat dengan tidak memunculkan hegemoni dan dominasi dalam pemikiran, oksidentalis bertujuan, mengembalikan pemikiran Barat sesuai dengan porsinya.
2.Perannya sebagai pemikir revolusioner. Ia terdorong untuk memunculkan Islam Kiri dengan meletusnya Revolusi Islam Iran. Salah satu tugas Islam Kiri adalah mencapai revolusi tauhid, suatu konsep inti dalam pandangan dunia Islam.
3.Hanafi adalah seorang reformis dalam tradisi Islam Klasik. Disini ia berada pada posisi yang dekat dengan Muhammad Abduh. Ia begitu mengagungkan rasionalisme seperti Abduh. Hanafi adalah seorang yang berkeyakinan seperti Al-Afghani, seorang pelopor gerakan Islam yang menyerukan perjuangan menetang Barat dan menyerukan kesatuan dunia Islam.
4.Permikiran-pemikiran Hasan Hanafi perlu dikembangkan dan disebarluaskan demi kemajuan Islam, penulis berkeyakinan semakin berkembangnya pemikiran-pemikiran ala Hasan Hanafi maka semakin pesat kemajuan Islam dan Islam tidak lagi termarginalkan dalam peradaban dunia modern, namun harus tetap dalam koridor Al-qur’an dan As-Sunnah
0 komentar:
Posting Komentar