Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Dr. Hasan
hanafi seorang pemikir dari Mesir dan juga penulis al yasar al Islam - islam
kiri, Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah oreantalisme yang
dalam pengertian umum, orientalisme adalah suatu kajian komprehensif dengan
meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur.
Yang disebut Timur meliputi kawasan yang luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia yang jauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab).
Yang disebut Timur meliputi kawasan yang luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia yang jauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab).
Setelah menjabarkan pengertian Oreantalisme, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian secara umum oksidentalisme adalah
kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum
semua aspek kehidupan masyarakat Barat. Dalam oksidentalisme, posisi subjek
objek menjadi terbalik. Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek
kajian. Walau istilah oksidentalisme adalah antonim dari Oreantalisme, tapi di sini
ada perbedaan lain, oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi
sebagaimana orientalisme. Tetapi, para oksidentalis hanya ingin merebut kembali
ego Timur yang telah dibentuk dan direbut Barat.
Latar Belakang Dan Sejarah Munculnya Oksidentalisme
Berbicara tentang latar belakang dan sejarah munculnya
oksidentalisme tidak bisa kita lewatkan begitu saja sejarah kecemerlangan
peradaban islam dan masa kegelapan peradaban dunia barat. Sejarah telah
mencatat era kecemerlangan dunia timur khususnya peradaban islam, bahkan
peradaban keilmuan barat berhutang budi dengan peradaban keilmuan islam. Dan
ini tidak bisa dipungkiri lagi, Kita ingat masa-masa kegelapan dunia barat
sebelum masa kebangkitan, doktrin gereja sangat mendominasi dan mengekang
kebebasan mereka dalam bertindak bahkan dalam berpikir, semuanya harus sejalan
dengan ajaran gereja yang menjadikan bangsa barat terbelakang dari peradaban
lainya. Peradaban islam waktu itu sangat bertolak belakang dengan peradaban
barat, peradaban islam sangat mencolok dan maju pesat bak anak panah,
universalnya islam telah mengubah bangsa timur dari bangsa yang terbelakang dan
primitif menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama, pemerintahan-politik,
ekonomi dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini membuat para pemikir dan cendikiawan
barat (bisa disebut oreantalis masa awal) yang sudah bosan dengan doktrin
gereja yang kadang tidak sesuai dengan nalar telah terinspirasi serta melirik
peradaban islam dan mempelajarinya, mereka hijrah ke wilayah kekuasaan islam
dan belajar dari ilmuan-ilmuan islam, maka lambat laun setidaknya dalam
beberapa pereode telah merubah wajah barat dari kungkungan kegelapan. Ketika
bangsa Barat mulai bangkit dari keterbelakangan mereka (renaissance), setelah
belajar dari dunia timur khususnya peradaban islam, dunia islam mulai keropos,
sedikit demi sedikit dan terus terpuruk disebabkan pemimpin-pemimpin islam yang
lemah, setelah peradaban islam dihancur-ludeskan oleh pasukan Tartar (bangsa
Mongol). Maka barat semakin menunjukkan jayanya dan terus berkembang hingga
abad ini. Dari sini muncul tokoh-tokoh oreantalis (pengkaji peradaban
ketimuran) yang dengan seiring perjalanan waktu telah berubah menjadi suatu
kajian yang bukan hanya mempelajari keilmuan peradaban timur tapi semua yang
terkait dengan ketimuran termasuk bagaimana cara menguasai dunia timur (islam)
dan penjajahan.
Dalam sejumlah karya orientalis, yang lebih banyak
ditonjolkan ialah unggulnya orang-orang Barat serta mengerdilnya segala yang
terkait dengan Timur khususnya islam. Mereka senantiasa mengemukakan
orang-orang Timur tidak berbudaya, bodoh, keras, kasar, dan tidak punya
potensi, untuk membuktikan ini para oreantalis telah mendistorsi sejarah dan
mengagungkan kemajuan peradaban mereka serta menghilangkan jejak bahwa mereka
pernah belajar dari Timur (islam). Misalnya mereka (oreantalis) telah
membaratkan nama seorang tokoh ilmuan islam seperti Ibnu Sina menjadi Avecina,
Ibnu Rusd menjadi Averos dan sebagainya. Atas dasar itu, muncul kesadaran baru
di dunia Timur (pemikir dan pembaharu islam) bahwa selama ini mereka dibodohi
kajian-kajian ketimuran (orientalisme) itu. Lahirlah apa yang disebut kajian
kebaratan atau yang dikenal dengan istilah oksidentalisme. Menurut hemat
penulis kajian ini adalah upaya untuk menandingi oreantalisme dan merebut
kembali ego Timur yang telah direbut oleh Barat. Tokoh-tokoh
oksidentalisme.
Dalam kajian ini penulis akan sebutkan beberapa tokoh
oksidentalisme yang mayoritas mereka adalah pemikir dan tokoh pembaharu islam
1. Jamaluddin al-Afghani.
Jamaluddin Al-Afghani adalah pahlawan besar dan salah seorang putra terbaik
Islam. Kebesaran dan kiprahnya membahana hingga ke seluruh penjuru dunia. Sepak
terjangnya dalam menggerakkan kesadaran umat Islam dan gerakan revolusionernya
yang membangkitkan dunia Islam, menjadikan dirinya orang yang paling dicari
oleh pemerintahan kolonial ketika itu, Inggris. Tapi, komitmen dan konsistennya
yang sangat tinggi terhadap nasib umat Islam, membuat Al-Afghani tak pernah
kenal lelah apalagi menyerah.
2. Dr. Muhammad Abduh.
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir
didesa Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, Mesir tahun 1849 M. Dan beliau
wafat pada tahun 1905 M.
3. Sheikh Muhammad Rasyid Ridha.
Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari
Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab
yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu
Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.
4. Dr. Muhammad Imarah.
Muhammad Imarah atau Amarah lahir di Desa Sharwah-Qalain Propinsi Kafr
Al-Syaikh Mesir, seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang
cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran
Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam
kontemporer.
5. Dr. Hasan Hanafi.
Dilahirkan di Cairo, Mesir pada 14 Februari 1934 M. Hasan Hanafi, pemikir
muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan
simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme,
Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran
Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme
modern.
6. Nurcholish Madjid.M.A.
Lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan
pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng
(pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di
Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam
di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab,
1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
7. Adian Husaini, M.A.
Lahir
Bojonegoro, 17 Desember 1965 adalah ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia,
sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan
Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia
(KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia
(MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah. Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh oksidentalisme lain yang penulis tidak
sebutkan di sini, karna nanti akan membuat tulisan ini terlalu panjang dan membosankan
pembaca.
Motif di balik kajian oksidentalisme
Motif di balik kajian oksidentalisme
Sebagaimana kita singgung di atas bahwa kajian
oksidentalisme adalah kebalikan dari kajian oreantalisme, upaya untuk
menanggulangi oreantalisme, Merebut kembali ego timur yang direbut oleh barat
dan selama ini barat dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran
khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap
sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang
membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” . Dia
mengkritik bahwa kajian barat atas timur kurang lebih bertujuan politis
ketimbang ilmiah. Dalam pemikiran dunia timur, “karena trauma sejarah
akibat kolonialisme”, ada suatu perasaan curiga terhadap kajian-kajian oreantalisme
bahwa kajian yang mereka lakukan memiliki motif-motif terselubung, bahkan,
terkesan mengerdilkan semua yang berbau timur, walaupun ada beberapa oreantalis
yang objektif dalam mengkaji ketimuran. Adanya
perasangka atau tuduhan klise dari dunia timur yang tidak mendasar, seperti :
Kebudayaan barat yang dekaden, individualistik dan Amoral. Namun disisi lain dunia timur dibuat terpesona dengan kemajuan peradaban
barat yang tiada henti serta anggapan timur bahwa mengadopsi kebudayaan barat
adalah modernitas atau life styile. Dengan semangat oksidentalisme diharapkan dapat
membantu atau menjembatani kebuntuan tersebut. Terpenting, motif di balik
kajian oksidentalisme adalah untuk mempelajari akar kemajuan bangsa-bangsa
barat, memfilternya dan menerapkanya di dunia timur hingga timur keluar dari
keterbelakangannya. Selain itu Oksidentalisme diharapkan mampu menghilangkan
kecurigaan yang tidak mendasar terhadap barat yang terus mengendap dipikiran
orang timur.
Dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat oksidentalisme. Berbicara plus
dan minus akibat kajian oksidentalisme sama halnya dengan membicarakan
peperangan antara kebaikan dan keburukan artinya, sudah menjadi sunnatullah di
dunia ini sesuatu yang dianggap sempurna akan nampak kekurangannya, dalam kajian
oksidentalisme ada kebaikan yang bisa diambil dan ada juga keburukan yang
muncul. Menurut penulis dampak positif dan negatif akibat oksidentalisme tergantung
pada pribadi oksidentalis itu sendiri. Seorang oksidentalis yang benar menurut
penulis, ialah yang tidak terlalu terpengarah dengan kemajuan peradaban barat
dan lantas mengadopsi apa saja yang yang diproduksi oleh barat, boleh mengambil
dan meniru barat tetapi harus memfilternya dengan landasan islam dan iman.
karena kalau tidak, akan menimbulkan semacam racun dalam masarakat timur
khususnya ummat islam. Islam yang universal, mengajarkan libralisme dalam
berfikir, memfungsikan akal sebagai anugerah fitrah tetapi dibatasi oleh dua
pokok pondasi dasar yaitu Al-qur'an dan Assunnah, seagaimana ungkapan yang
sering kita dengar “ kamu punya kebebasan tetapi kebebasanmu dibatasi oleh
kebebasan orang lain”, bersebrangan dengan libralisme yang didengung-dengungkan
dan dianut oleh barat, yaitu libralisme tanpa batas, dan ini danger!!.
0 komentar:
Posting Komentar