A. Pendahuluan
Aspek-aspek ajaran aqidah, ibadah, dan moral, tidak jarang melihat kecenderungannya kepada bentuk-bentuk formalisme, terutama ajaran yang mengambil bentuk tingkah laku/ perbuatan lahiriah seperti terlihat dalam syari’ah. Formalisme dalam pengamalan ajaran Islam dipandang amat merugikan, maka Allah mengingatkan adanya bahaya formalisme ini dalam al-Qur’an :
و إن ربك ليعلم ما تكن صدورهم وما يعلنون
Artinya: Sungguh Tuhanmu mengetahui apa yang disimpan dalam hati mereka dan apa yang mereka katakan.
Apabila karena formalisme, misalnya syari’at ibadah yang bersifat normatif lebih menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah, batal, dan sebagainya dalam pengamalan ajaran Islam, tanpa mementingkan adanya pengahayatan di dalamnya, maka tidak mustahil pengamalan ajaran Islam itu tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan menumbuhkan ajaran moral. Mengutamakan formalitas saja, dapat mengakibatkan jiwa pengamalan ajaran Islam itu tidak dapat dirasakan, sedangkan yang terasa hanyalah kesibukan perbuatan fisik yang kering, kurang bermakna, dan kurang dijiwai oleh pelakunya. Padahal pengamalan ajaran Islam senantiasa menuntut perbuatan yang dilakukan secara sadar. Oleh karena itu, ia menghendaki penghayatan spiritual yang memerlukan latihan-latihan yang berkesinambungan. Pengamalan Ibadah Syar’i apabila dihayati dengan Tasawuf, maka akan dirasakan oleh pelakunya bahwa ia merasa dekat benar dengan Allah SWT dan ia merasa berada di hadirat-Nya.
Dengan demikian Islam menghendaki integrasi/keterpaduan aspek-aspek amaliah lahiriah yang diatur dalam syari’ah (fiqh) dengan penghayatan aspek-aspek amaliah batiniah yang diatur dalam tasawuf.
Islam mengajarkan bahwa manusia yang tersusun dari badan dan roh itu berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Suci dan roh yang datang dari Tuhan juga suci dan akan dapat kembali ke tempat asalnya di sisi Tuhan jika ia tetap suci. Kalau ia menjadi kotor lantaran ia masuk ke dalam tubuh manusia yang bersifat materi itu, maka ia tidak akan dapat kembali ke tempat asalnya. Oleh karena itu harus diusahakan agar roh tetap suci dan manusia menjadi baik .
Tidak mengherankan, lantaran pembawaan manusia yang dualistis itu menghendaki adanya kontak yang kuat antara kegiatan lahiriah yang formal dengan kegiatan batiniah sebagai satu kesatuan perbuatan yang utuh. Dengan demikian berbagai syari’at ibadah (seperti: shalat, puasa, zakat, dan haji) yang merupakan tanggapan batin yang tertuju kepada Tuhan yang bersifat rohaniah, tidak dilakukan secara batiniah semata, tetapi dilakukan juga dengan gerak jasmaniah. Prilaku ibadah lahiriah dalam bentuk ucapan, gerak, dan laku di dalamnya dimaksudkan antara lain untuk mempengaruhi rohani dan menuntun kalbu dalam upaya menghayati ibadah tersebut. Dengan demikian ibadah itu selain berfungsi untuk menghayati iman dan untuk berbakti kepada Tuhan, juga merupakan prilaku pembawa efek kesucian secara lahir dan batin serta menjauhkan dari noda-noda kejahatan. Dengan penghayatan spiritual ini, sistem nilai yang menyangkut aspek imani dan akhlaqi dapat berpadu secara utuh dengan sistem norma dalam Syari’ah.
Syari’ah bersifat eksoterik (lahir), sedangkan tasawuf bersifat esoterik (batin). Nampaknya antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sehingga diasumsikan bahwa antara Syari’ah dan Tasawuf merupakan bagian ajaran Islam yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak ada hubungan antara keduanya, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Amin bahwa ”Fuqaha sebgai ahli Syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriah, sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal batiniah”.
Di sini muncul pertanyaan: Bagaimana sebenarnya hubungan antara Syari’ah dan Tasawuf? dan apakah pengamalan Syari’ah dapat diintegrasikan/dipadukan dengan pengamalan Tasawuf?
Teks Pidato pengukuhan Guru Besar ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut di atas.
B. Definisi dan Corak Tasawuf
Tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tak dapat dilihat, maka ia amat sulit ditetapkan definisinya untuk menyatakan apa hakekat Tasawuf itu. Ia termasuk masalah kejiwaan, oleh karena itu ia dapat dipahami bukan mengenai hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam ucapan, cara, dan sikap hidup para sufi. Sekalipun demikian para ahli tasawuf membuat definisi tasawuf tersebut meski saling berbeda sesuai dengan pengalaman empirik masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.
Menurut Ma’ruf al-Kurkhi tasawuf adalah:
الأخذ بالحقائق واليأس عمّا فى أيدى الخلائق
Artinya: berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tama’ terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Ahmad al-Jariri ketika ditanya oleh seseorang: apa itu tasawuf? Ia menmjawab:
الدخول فى خلق سنيّ والخروج من خلق دنىّ
Artinya: keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.
Sahl Abdullah al-Tusturi mengatakan bahwa ”Sufi ialah orang yang membersihkan dirinya dari kerusakan budi, selalu merenunginya secara mendalam dan menilai budi mulia itu lebih berharga dari pada tumpukan emas dan permata”.
Ahmad Rifa’i berpendapat bahwa tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia baik yang berupa amalan terpuji maupun amalan tercela agar hatinya benar dan lurus dalam menuju Allah SWT, sehingga ia dapat berada dekat sedekat-dekatnya di hadirat Allah SWT.
Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya.
Definisi-definisi Tasawuf tersebut di atas menunjukkan betapa besarnya peranan akhlak dalam taswuf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf ini bercorak akhlaqi, yakni tasawuf yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri manusia kepada Allah sedekat-dekatnya dengan menekankan pentingnya pengamalan akhlak yang mulia baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk. Tasawuf yang demikian adalah tasawuf yang sepenuhnya diselaraskan dengan pertimbangan ilmu Syari’ah. Corak Tasawuf seperti ini banyak diamalkan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in pada abad pertama dan kedua Hijriyyah, seperti Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22 H) , Hasan al-Bashri (w. 110 H) , Sufyan al-Tsauri (w. 135 H) , dan lain-lain.
Di samping itu, corak tasawuf akhlaqi ini banyak dikembangkan oleh ulama sunni yakni ulama yang menganut pola pikir yang menghendaki penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang termasuk golongan ulama ini antara lain: al-Thusi, al-Qusyairi, al-Ghazali, Ibn ’Athaillah al-Sukandar , dan lain-lain
Selanjutnya definisi tasawuf tersebut di atas mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari pernyataan Rabi’ah al-’Adawiyyah bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang sufi dan mengalahkan segala sesuatu.
Dari definisi ini, pembahasan tasawuf mulai memasuki wilayah cinta Ilahi yang dikenal dengan Mahabbah.
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, Rabi’ah al-’Adawiyyah ingin cintanya dibalas oleh Allah bahkan ia memohon agar dibukakan tabir pemisah antara diri Rabi’ah al-’Adawiyyah dan Allah, sehingga mata hatinya bisa melihat Allah. Hal ini bisa dipahami dari ungkapan cintanya sebagai berikut :
أحبّك حبّين حبّ الهوى # وحبّا لأنّك أهل لذاك
فأمّا الذى هو حبّ الهوى # فشغلي بذكرك عمّن سواك
وأمّا الذى أنت أهل له # فكشفك لى الحجب حتّى أراك
Artinya:
Aku mencintai Engkau (Allah) dengan dua cinta
Cinta karena hawa nafsuku dan cinta karena Engkau satu-satunya yang berhak memperoleh cinta
Adapun cinta karena hawa nafsuku, aku senantiasa mengingat-Mu dan lupa kepada selain Engkau
Sedangkan cinta karena Engkau satu-satunya yang berhak memperoleh cinta, Engkau membuka tabir pemisah antara diriku dan diri-Mu, sehingga aku dapat melihat-Mu.
Setelah Mahabbah muncul lagi istilah Ma’riafah, sehingga definisi tasawuf mengalami perkembangan sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali bahwa Ma’rifah adalah:
الاطّلاع على أسرار الربوبيّة والعلم بترتّب الأمور الالهيّة المحيطة بكلّ الموجودات
Artinya: mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada.
Pada tingkat ma’rifah ini seorang Sufi dengan mata hatinya dapat mengenal Tuhannya, berdialog dengan Tuhan, dan kadang-kadang melihat rahasia-rahasia Tuhan.
Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya sufi besar, Abu Yazid al-Busthami yang mendefinisikan tasawuf dengan
صفة الحقّ يلبسها الخلق
Artinya: Sifat Allah yang digunakan oleh hamba-Nya.
Hal ini menunjukkan adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid yang terkenal dengan Sythahat-nya, yaitu
إظهار الباطن بالعبرة بدلا من الإشارة
Artinya: mengungkapkan secara lisan akan kondisi batin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan.
Lebih jauh, Imam al-Junaid mendefinisikan tasawuf adalah
أن تكون مع الله بلا علاقة
Artinya: Engkau bersama Allah tanpa hubungan.
Maksud ungkapan di atas adalah seorang sufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluq dan khaliq, bukan hubungan antara ‘abid dan ma’bud. Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, dan masih mengakui keberadaan diri makhluq.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H /922 M , karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya:
أنا الحقّ ... أنا الحقّ ... أنا الحقّ
Artinya: aku adalah Yang Maha Benar (Allah)... aku adalah Yang Maha Benar (Allah)... aku adalah Yang Maha Benar (Allah).
Di sini timbul pertanyaan: Kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan ucapannya yang melanggar ketentuan syari’ah, sehingga ia menerima hukuman gantung? Padahal, al-Junaid sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Hallaj: Apapun yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan: Ana al-Haqq...Ana al-Haqq...Ana al-Haqq, karena saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya menjadi tidak bisa menyatu dengan Allah. Nampaknya, hukuman gantung bukan hanya tidak ditakuti oleh al-Hallaj melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Ajaran al-Hallaj ini dikenal dengan nama al-hulul, sebagaimana pendapatnya:
إن الله اصطفى أجساما حلّ فيها بمعانى الربوبية وأزال عنها معانى البشرية
Artinya: Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Memperhatikan definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, maka dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak lagi menekankan masalah akhlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan langsung antara sufi dan Tuhan, bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara sufi dan Tuhan.
Berdasarkan seluruh definisi yang telah dikemukanan di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
C. Hubungan antara Syari’ah dan Tasawuf
Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan muncul pertanyaan: Bagaimana sebenarnya hubungan antara syari’ah dan tasawuf? dan apakah pengamalan Syari’ah dapat dipadukan atau diintegrasikan dengan pengamalan tasawuf? karena Syari’ah bersifat eksoterik (lahir), sedangkan tasawuf bersifat esoterik (batin). Nampaknya antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sehingga diasumsikan bahwa antara syari’ah dan tasawuf merupakan bagian ajaran Islam yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak ada hubungan antara keduanya, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Amin bahwa ”Fuqaha sebgai ahli Syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriah, sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal batiniah”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dikemukakan beberapa pendapat ulama sebagai berikut:
1. Ahmad Rifa’i berpendapat bahhwa Syari’ah dan Tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat. Pengamalan keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan Tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan demikian seseorang baru dapat dipandang sebagai Muslim sejati, jika ia telah mampu mengamalkan tuntunan ilmu Syari’ah dan ilmu Tasawuf secara serempak. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban setiap Muslim Mukallaf untuk mengamalkan tuntunan kedua ilmu tersebut, yakni ilmu Syari’ah dan ilmu Tasawuf.
2. Al-Qusyairi menjelaskan:
كلّ شريعة غير مؤيّدة بالحقيقة فأمرها غير مقبول وكلّ حقيقة غير مؤيّدة بالشّريعة فأمرها غير محصول.
Artinya: Setiap pengamalan Syari’ah yang tidak didukung dengan pengamalan Haqiqah (Tasawuf), maka amal ibadahnya tidak diterima, dan setiap pengamalan hakekat yang tidak didukung dengan pengamalan Syari’ah, maka amal ibadahnya tidak dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
3. Ibn ’Ujaibah al-Hasani mengatakan:
لا تصوّف الا بفقه اذ لا تعرف احكام الله تعالى الظّاهرة الا منه ولا فقه الا بتصّوف اذ لا عمل الا بصدق توجّه ولا هما الا بإيمان.
Artinya:Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah tidak dapat diketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima melainkan disertai dengan tawajjuh yang benar dan keduanya (baik tasawuf maupun fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
4. Imam Malik menegsakan bahwa:
من تصوّف و لم يتفقّه فقد تزندق ومن تفقّه ولم يتصوّف فقد تفسّق ومن جمع بينهما فقد تحقّق.
Artinya: Siapa saja yang mengamalkan tasawuf tanpa mengamalkan fiqh berarti ia telah berbuat zindik, siapa saja yang mengamalkan fiqh tanpa mengamalkan tasawuf berarti ia telah berbuat fasik dan siapa saja yang mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli haqiqah”.
5. Al-Ghazali mengatakan:
ولا وصول إلى نهايتها إلا بعد إحكام بدايتها.
Maksudnya: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu Haqiqah) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu Syari’ah)
6. Al-Ghazali juga mengatakan:
ولا عبور إلى باطنها إلا بعد الوقوف على ظاهرها.
Maksudnya: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah)
7. Muhammad Ibn ’Allan menjelaskan:
من تحلّى ظاهره بحلّى الشريعة ويغسل باطنه بمياه الطريقة فقد حصل بالحقيقة.
Maksudnya: Siapa saja yang menghiasi lahiriahnya dengan Syari’ah dan mencuci kotoran batiniahnya dengan air thariqah, maka ia dapat mencapai haqiqah.
8. Ahmad Rifa’i menggambarkan hubungan antara Syari’ah dengan dua konsepsi dasar di bidang ilmu Tasawuf, yaitu Thariqah dan Haqiqah seperti buah kelapa. Syari’ah sebagai kulit kelapa secara utuh, Thariqah sebagai isi yang terdapat di dalam kelapa, dan Haqiqah sebagai minyak atau sarinya.
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama tersebut di atas, maka terlihat secara jelas bahwa Syari’ah dan Tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat. Pengamalan kedua ilmu tersebut merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan Tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan demikian antara Syari’ah dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dengan demikian seseorang baru dapat dipandang sebagai Muslim sejati, jika ia telah mampu mengamalkan tuntunan ilmu Syari’ah dan ilmu Tasawuf secara serempak. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban setiap Muslim Mukallaf untuk mengamalkan tuntunan kedua ilmu tersebut, yakni ilmu Syari’ah dan ilmu Tasawuf.
Oleh karena itu, pengamalan Syari’ah harus diintegrasikan/dipadukan dengan pengamalan Tasawuf secara serempak demi mewujudkan amal ibadah yang sempurna dan diterima oleh Allah SWT.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu batin. Oleh karena itu, Syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu batin. Namun dalam perkembangan selanjutnya Syari’ah yang mengandung kedua unsur, baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu, kemudian mengadakan semacam spesialisasi sehingga Syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembangkan oleh ilmu Tasawuf. Terjadinya pengembangan spesialisasi kedua ilmu ini disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni Syari’ah yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan ratio dan logika akal dalam membahas dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan Tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Berkaitan dengan pengembangan dan spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam ini, al-Taftazani memberi komentar bahwa: ilmu kalam, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri sendiri, akibatnya ada upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci sejak abad ke 3 H. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalan masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri, yang berakibat satu disiplin ilmu dengan lainnya pun menjadi berbeda objek, metode, dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah disebut ilmu kalam, yang berkaitan dengan ibadah lahiriah disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan ibadah batiniah (kejiwaan) disebut dengan ilmu akhlak atau ilmu tasawuf.
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut sangat meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan, dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindiq (zindiq meng-zindiq-kan) di kalangan umat Islam. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah ibadah lahiriah atau ibadah batiniah?, dan mana yang lebih utama, apakah ibadah lahiriah atau ibadah batiniah?
Sebagian ulama tidak menghendaki adanya polarisasi umat Islam dan tidak menghendaki terjadinya keresahan di kalangan umat Islam dalam mewujudkan ibadahnya kepada Allah SWT dengan jalan memadukan/mempersatukan pengamalan Syari’ah (ilmu lahir) dengan pengamalan Tasawuf (ilmu batin) karena kedua ilmu tersebut merupakan petunjuk yang wajib diikuti bagi setiap Muslim. Hal ini terlihat dari ajarannya, bahwa baik ilmu lahir maupun ilmu batin keduanya sama-sama berfungsi sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya kepada Allah SWT semata.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, al-Luma’, ditahkik oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi surur, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, 1960.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, Cetakan ke XIII, Dar al-Fikr, Beirut, Lubnan, t.th.
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat ‘Arabiyyah, t.t., t.th.
Al-Kalabadzi, Abu Bakr Muhammad, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawuf, Cet. I, Maktabah al-Kulliyyah, 1388 H.
Al-Qusyairi, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Hawazan al-Naisaburi, al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, Dar al-Khair.
Al-Syafi’i, Muhammad Ibn ‘Allan al-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, Juz. I, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthofa al-Bab al-Halabi wa Auladih, Mesir, 1391 H.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Penerbit Pustaka, Bandung, 1406 H/1985 M.
Amin, Ahmad. Dzuhr al-Islam, Jilid II, Cet. IV, al-Nahdhah al-Misriyyah, Mesir, 1966.
Amin, Dzuhr al-Islam, Jilid II, Cet. IV, al-Nahdhah al-Misriyyah, Mesir, 1966.
Ardani, Mohammad, Konsep Sembah dan Budiluhur dalam Pemikiran Mangkunegara IV, Surakarta, 1988.
Badawi, Abd al-Rahman, Syathahat al-Shufiyyah, Wukalat al-Mathba’ah, Kuwait, t.th.
Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990.
Junus, Mahmud, Tarjamah Al-Qur”an al-Karim, PT. Al-Maa’arif, Bandung, 1987.
Khoiri, Alwan, Tasawuf dan Diskursus Pemikiran Islam, Adab Press, Yogyakarta, 2007.
____________. K.H. Ahmad Rifa’i Sang Kiayi yang Nyufi, Adab Press, Yogyakarta, 2004.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
_____________, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1978.
Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyyat Syarh ‘ala Matan Bidayah al-Hidayah li Hujjah al-Islam Abi Hamid al-Ghazali, Pustaka al-‘Alawiyyat, Semarang, t.th.
Surur, Thaha ‘abd al-Baqi. Rabi’ah al-‘Adawiyyah wa al-Hayah al-Ruhiyyah fi al-Islam, Dar al-Fikr, Kairo, 1957.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Download Software Perpus
Translate
search
Youre comment
Time In Indonesia
Labels
- Agama-Agama (16)
- Fresh (66)
- Inspirasi (84)
- Kata Mutiara dan Kata Bijak (6)
- Knowledge Science (40)
- Library Science (21)
- Ramalan (12)
- Sehat Herbal (30)
- Study Islam (124)
- Teknologi Informasi (5)
- Tokoh-Tokoh Dunia (66)
0 komentar:
Posting Komentar