Perpustakaan pertama di Indonesia yang tercatat adalah sebuah perpustakaan gereja di
Batavia yang sesungguhnya telah dirintis sejak tahun 1624 namun akibat berbagai
kendala baru diresmikan pada 27 April 1643, bersamaan dengan pengangkatan pendeta
Ds (Dominus) Abraham Fierenius sebagai kepalanya. Pada masa itu layanan peminjaman
buku yang diselenggarakan perpustakaan gereja Batavia tersebut tidak hanya dibuka
untuk perawat rumah sakit Batavia, namun juga untuk pemakai yang berada di semarang
dan Juana. Setelah itu tidak terdapat catatan tentang keberadaan perpustakaan di
Indonesia untuk waktu yang cukup lama.
Perpustakaan di Indonesia yang tercatat keberadaannya setelah itu adalah perpustakaan
milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Perpustakaan ini
didirikan pada 24 April 1778, semasa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berdiri atas prakarsa Mr
J.C.M. Rademaker, ketua Raad van Indie. Organisasi tersebut mengandalkan sumbangan
dermawan serta bantuan keuangan dari Raad van Indie.
Ketika VOC bubar tahun 1799, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen tetap beroperasi dengan mengandalkan sumbangan dermawan dan
gubernemen. Perpustakaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia dengan judul Bibliotecae
Artiumcientiarumquae Batavia Floret Catalogue Systematicus, hasil suntingan P.Bleeker.
Edisi kedua terbit tahun 1848 dengan judul dalam bahasa Belanda.
Karena dianggap berhasil dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya bahasa, ilmu
bumi dan antropologi di Hindia Belanda, dan mampu menerbitkan Verhandelingen van
het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen serta Tijdschrift voor
Indische Taal-, Land- en Volkenkunde secara teratur, maka pada tahun 1924 nama
perhimpunan tersebut mendapat tambahan Koninklijk, sehingga menjadi Koninklijk
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Perpustakaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen merupakan
perpustakaan khusus karena koleksinya bersifat khusus serta pemakainya terbatas pada
peneliti. Ketika pemerintah Belanda meluncurkan Sistem Tanam Paksa (Cultuur stelsel)
muncullah perkebunan dan balai penelitian bidang pertanian. Sistem Tanam Paksa secara
tidak langsung mendorong pendirian perpustakaan penelitian bidang pertanian serta
tumbuhnya majalah pertanian di Indonesia. Salah satu perpustakaan pertanian yang
paling tua serta masih sintas sampai saat ini ialah Bibliotheek’s Lands Plantentuin te
Buitenzorg yang didirikan pada tahun 1842. Pada tahun 1911 namanya diubah menjadi
Centra Natuurwetenschappelijke Bibliotheek van het Departement van Landbouw,
Nijverheid en Handel. Nama tersebut kemudian diubah lagi menjadi Biblioteca
Bogoriensis.
Pemberlakuan Tanam Paksa membawa keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda
namun membawa kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Terjadi bencana kelaparan di
berbagai tempat, misalnya di Purwodadi. Berbagai kesengsaraan yang dialami bangsa
Indonesia tersebut menimbulkan kritikan pedas dari kalangan Parlemen Belanda disertai
tuntutan untuk membalas hutang budi penduduk Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda
kemudian menerapkan kebijakan hutang budi yang diwujudkan dalam bentuk Etisch
Politiek (Politik Etis), terdiri dari irigasi, transmigrasi dan edukasi.
Dalam kaitannya dengan edukasi, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah bagi
pribumi yang dinamakan volkschool (sekolah rakyat), yang menerima tamatan sekolah
rendah angka dua (ongko loro). Perpustakaan pada volkschool disebut Volksbibliotheek
dengan koleksi dipasok oleh Volkslectuur (kelak berubah menjadi Balai Pustaka).
Volksbibliotheek melayani bacaan bagi guru, murid dan penduduk sekitar sekolah.
Pelayanan untuk penduduk sekitar ini merupakan langkah maju karena dengan demikian
perpustakaan sekolah sudah terlibat dalam kegiatan komunitas, sesuatu yang baru
dilancarkan UNESCO enam puluh tahun kemudian. Murid dan guru tidak dipungut
bayaran , sedangkan komunitas setempat harus membayar 2,5 sen untuk dua buku yang
dipinjam selama dua minggu. Karena volkschool berada di bawah wewenang Kantor
Pendidikan, maka secara berkala inspektur sekolah memeriksa perpustakaan yang
mencakup inventaris peprustakaan serta data peminjaman.
Untuk Volksbibliotheek Jawa artinya volkschool yang berada di lingkungan etnik Jawa,
pemerintah Hindia Belanda menyediakan 417 judul buku berbahasa Jawa serta 282 buku
berbahasa Melayu. Untuk Volksbibliotheek Sunda, pemerintah Hindia Belanda
menyediakan 291 judul buku berbahasa Sunda serta 282 buku berbahasa Melayu. Untuk
Volksbibliotheek Madura disediakan 67 judul buku dalam bahasa Madura serta 282 judul
dalam bahasa melayu,. Untuk Volksbibliotheek Melayu, setiap perpustakaan sekolah
memperoleh 328 judul buku berbahasa melayu.
Pada zaman Hindia Belanda sebenarnya tidak ada perpustakaan umum yang didanai oleh
anggaran pemerintah. Perpustakaan umum justru didirikan oleh pihak swasta.
Perpustakaan umum yang didirikan oleh swasta disebut openbare leeszalen, artinya ruang
baca terbuka atau ruang baca (untuk) umum. Adapun lembaga yang mendirikan openbare
leeszalen adalah Gereja Katolik, Loge der Vrijmetselaren, Theosofische Vereeniging dan
Maatschappij tot Nut van het Algemeen.
Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah mendirikan universitas dalam arti
sesungguhnya. Yang mereka dirikan ialah semacam sekolah tinggi. Justru yang pertama
kali berdiri ialah Technische Hoogeschool yang didirikan pada tahun 1918 dan kemudian
resmi menjadi sekolah tinggi pada tahun 1920. School tot Opleiding voor Indische Aarts
(STOVIA) di Surabaya, Rechts Hogeschool di Batavia (1924) serta Geneeskunde
Hogeschool di Batavia (1927), Faculteit van Landbouw Wetenschapen en Wijsgebeerte
di Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1941 dan terakhir Faculteit van Letterkunde di Batavia
(1941). Kesemuanya memiliki semacam perpustakaan fakultas. Ketika pemerintah
Indonesia membentuk Universiteit Indonesia tahun 1950, kesemua sekolah tinggi dan
faculteit itu berubah menjadi fakultas. Penyatuan itu yang menyebabkan perpustakaan
perguruan tinggi di Indonesia dimulai dari perpustakaan fakultas baru menyatu menjadi
perpustakaan universitas.
Pada zaman sebelum perang (1942) Indonesia mengenal perpustakaan sewa, disebut
huurbibliothek. Pada awalnya openbare leeszalen dengan huurbibliotheek sering
“bersaing” dalam memenuhi kebutuhan bacaan pemakainya, kemudian secara alamiah
terjadi penjurusan yang berbeda. Bila openbare leeszalen lebih banyak menyediakan
bacaan ilmiah dan ilmiah populer, maka huurbibliotheek cenderung menyediakan bacaan
berupa roman dalam bahasa Belanda, Inggris dan Prancis serta buku untuk remaja.
Huurbibliotheek terdapat di Batavia, Soerabaia, Malang, Jogjakarta, Madioen dan Solo,
dikelola oleh penerbit forma G. Kolff & Co. Toko buku Visser mendirikan
huurbibliotheek di Bandoeng. Huurbibliotheek lainnya ialah Viribus Unitis di Batavia,
C.G. van Wijhe di Soerabaia serta Leesbibliotheek Favoriet di Batavia. Lazimnya ketiga
perpustakaan sewa yang disebut terakhir ini menyediakan bahan bacaan yang dibeli dari
pedagang buku loakan serta berbagai roman kuno yang dibeli dari tangan kedua sehingga
peranan mereka dalam persewaan buku tidaklah maknawi.
Di samping persewaan buku, ada juga persewaan naskah di Batavia yang diselenggarakan
oleh penulis Moehammad Bakir tahun 1897 yang mengelola sebuah perpustakaan sewa
naskah di Pecenongan. Naskah disewakan bagi umum dengan imbalan sekitar 10 sen per
malam disertai himbauan agar jangan terkena ludah sirih atau minyak lampu teplok!
Perpustakaan serupa terdapat juga di Palembang dan Banjarmasin.
Masih ada perpustakaan lain, yaitu yang didirikan oleh kraton, misalnya perpustakaan
Radyo Poestoko di Yogyakarta dan perpustakaan serupa di lingkungan Mangkunegaraan,
Surakarta. Di pulau Penyengat sekitar akhir abad 18 diketahui adanya sebuah
perpustakaan umum yang didirikan oleh penguasa setempat.
Pada zaman pendudukan Jepang tidak ada kegiatan kepustakawanan, karena Jepang
mengerahkan semua tenaga untuk keperluan mesin perang. Pada awal kekuasaannya,
Jepang melarang peredaran buku berbahasa Belanda, Inggris dan bahasa Eropa lainnya.
Semua sekolah tinggi ditutup. Baru ketika Jepang mulai terdesak beberapa sekolah tinggi
dibuka kembali, untuk keperluan Jepang.
Akhirnya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia didirikan di Jakarta dan
Rijksmuseum di Amsterdam sejak tahun 1995 telah memulai adanya kerjasama dalam
pelestarian warisan budaya bangsa. Pada tahap pertama dikhususkan pada gambargambar
yang dibuat oleh Johannes Rach (1720-1783). Koleksi yang dimiliki
Perpustakaan Nasional RI sebanyak 202 buah gambar merupakan jumlah terbesar dari
seluruh gambar Rach yang merekam peristiwa penting di Indonesia dan beberapa negara
di Asia. Sebagai salah satu museum terbesar di negeri Belanda, Rijkmuseum juga
memiliki gambar Johannes Rach yaitu sebanyak 40 buah gambar. Agar dapat
didayagunakan oleh masyarakat luas kedua pihak telah menjajaki kemungkinan untuk
mengumpulkan koleksi tersebut dan dipublikasikan dalam bentuk pameran maupun
terbitan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Download Software Perpus
Translate
search
Youre comment
Time In Indonesia
Labels
- Agama-Agama (16)
- Fresh (66)
- Inspirasi (84)
- Kata Mutiara dan Kata Bijak (6)
- Knowledge Science (40)
- Library Science (21)
- Ramalan (12)
- Sehat Herbal (30)
- Study Islam (124)
- Teknologi Informasi (5)
- Tokoh-Tokoh Dunia (66)
0 komentar:
Posting Komentar