Agama Jepang
biasanya disebut dengan agama Shinto. Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama
tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk
upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang
sangat ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih
bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri
sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan
para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu
sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli
bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah
memasuki Jepang pada abad keenam masehi.
Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan Jepang memang
memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan
bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun
spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli,
dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan
spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh
dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya
hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan
atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang
spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari
luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama
asli Jepang.
SHINTOISME
(AGAMA SHINTO)
I.
Pengertian
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata
“Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti
lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh
langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti
“jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen”
identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan
sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini,
maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan
Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa
Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat
tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan
hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan
juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran
ini.
II.
Sejarah
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan
perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap
gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama
tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang,
bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya
negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama
dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa
Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia
dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan
animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan “hidupnya” sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhienya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok. Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi.
Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya. Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
III. Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan “hidupnya” sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhienya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok. Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi.
Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya. Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
III. Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto
A.
Kepercawaan agama Shinto
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba
jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai
bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh
atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara,
semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh
terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut
mereka puja dan disebut dengan “Kami”. Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat
diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk
menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan
(diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang
kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya
dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain. Dewa-dewa
dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal
ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan miliun
dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru
dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti
menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha
suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10,
50, 100, 500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci karena
menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti
halnya jumlah angka dengan bilangannya yang besar maka bilangan itu juga
menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan “Kami”. Pengikut-pengikut agama
Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi “Kami negara - no – mishi” yang artinya
: tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada “Kami” daripada benda-benda dan
seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada “Kami” alam raya menimbulkan
kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adanya dewa bumi
dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari
(Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kamakmuran dan kesejahteraan
serta kemajuan dalam bidang pertanian.
Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra. Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra. Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
1.
Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari
gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya
sehingga harus dipuja secara langsung.
2.
Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia
yang sudah meninggal.
3.
Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang
beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan
manusia.
B.
Peribadatan agama Shinto
Agama Shinto
sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap
ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya
adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan
merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian
(Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai
dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian
(Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam
agama Shinto. Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah
untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran
dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan
rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
TAOISME
A.
Latar belakang munculnya Taoisme
Menurut tradisi, taoisme berasal dari seorang ahli pikir
tiongkok yang terkenal dengan nama “Lao tzu” (guru tua) yang diperkirakan lahir
pada tahun 600 SM dan ada yang mengatakan ia lahir pada tahun 640 SM. Beberapa
sarjana menyatakan bahwa beliau hidup tiga abad kemudian dari tahun tersebut,
sedangkan dari sarjana lainnya lagi bersikap ragu-ragu apakah beliau ini pernah
benar-benar ada. Menurut dugaan, Lao tzu hidup 50 tahun lebih dahulu dari pada
Kun Fu Tse. Karena tahun kelahiran Kun Fu Tse diperkirakan pada 551 SM.
Mengenai orang tuanya, masa kanak-kanak serta pendidikannya tidak banyak
diketahui orang sebab tidak pernah ditulis dalam buku sejarah. Akan tetapi
setelah ajaran-ajarannya yang berhubungan dengan mistik mulai dikenal oleh para
ahli pengetahuan dan ahli filsafat di seluruh Tiongkok dalam masa-masa
kemudian, maka baru timbul legenda tentang kehidupannya meskipun legenda
tersebut tetap masih berupa teka-teki. Lao tze dengan tekunnya mempelajari
buku-buku kuno dan kemudian membentuk pendapatnya sendiri tentang agama dan
filsafat yang pada masa kemudian sangat menarik perhatian orang-orang yang
mempelajarinya. Ketika berumur 90 tahun dia memutuskan untuk meninggalkan
pekerjaannya sebagai pegawai arsip kerajaan untuk kemudian melakukan
pengembaraan ke seluruh negara guna menghindari tindakan raja yang ia anggap
kejam atau dholim. Dia membeli sebuah kereta kecil yang ditarik oleh seekor
sapi htam dan dengan keretanya itu ia menuju ke daerah Chu, akan tetapi ketika
melintasi perbatasan, seorang penjaga perbatasan mengenalnya, penjaga
perbatasan tersebut barnama Yin Hse menegurnya : “Tuan selalu menyukai hidup
sebagai seorang pertapa, akan tetapi tuan tidak pernah menulis ajaran-ajaran
tuan sekarang tuan ingin meninggalkan daerah ini, pelajaran tuan akan dilupakan
orang maka dan itu saya tak akan mengijinkan tuan untuk menyeberang sehingga
tuan menulis pokok-pokok ajaran tuan”.
Untuk memenuhi permintaan itu Lao Tse tertahan diperbatasan tersebut untuk menulis ajarannya dalam 5000 kata-kata yang terbagi 81 syair pendek, yang kemudian syair-syair tesebut disebut : “Tao Te King”. Lao Tse kemudian menyerahkan tulisannya kepada Yin Hse dengan menyatakan bahwa inilah yang harus saya ajarkan, sekarang izinkanlah saya meninggalkan tempat ini. Buku Tao Te King merupakan suatu kesaksian dari keserasian manusia dengan alam semesta ini, dapat dibaca hingga selesai dalam waktu setengah jam ataupun sepanjang hidup dan sampai hari ini merupakan teks dasar bagi keseluruhan pemikiran Tao. Setelah kejadian tersebut baik La Tse maupun Yin Hse tidak muncul-muncul lagi seolah-olah mereka tak pernah hidup, akan tetapi bukunya “Tao Te King” tetap dipelajari orang. Menurut dugaan beberapa ahli sejarah, Lao Tse pernah ditemui oleh Kun Fu Tse dan mengadakan perdebatan tentang ajaran-ajarannya yang sanga antusias baginya. Menurut pendapat Prof James Legge dalam muqoddimah terjemahan buku “Tao Te King”, kedua orang tersebut (Kun Fu Tse dan Lao Tse) nampaknya bertemu lebih dari satu kali dan cenderung untuk menduga bahwa nama “Lao Tse” adalah timbul dari style bahasa Kun fu Tse supaya dikenal oleh pengikut-pengikutnya sebagai “guru tua”. Mereka adalah ahli pikir timur yang bertemu muka dengan pandangan pikiran yang berbeda, akan tetapi mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang perbedaan pandangan itu. Kettka Kun Fu Tse masih muda setelah mendapat kabar bahwa ada seorang ahli pikir tua yang bekerja sebagai pegawai administrasi diperpustakaan kerajaan, terkenal dengan nama “Lao Tse” maka ia memutuskan untuk menemuinya.
Untuk memenuhi permintaan itu Lao Tse tertahan diperbatasan tersebut untuk menulis ajarannya dalam 5000 kata-kata yang terbagi 81 syair pendek, yang kemudian syair-syair tesebut disebut : “Tao Te King”. Lao Tse kemudian menyerahkan tulisannya kepada Yin Hse dengan menyatakan bahwa inilah yang harus saya ajarkan, sekarang izinkanlah saya meninggalkan tempat ini. Buku Tao Te King merupakan suatu kesaksian dari keserasian manusia dengan alam semesta ini, dapat dibaca hingga selesai dalam waktu setengah jam ataupun sepanjang hidup dan sampai hari ini merupakan teks dasar bagi keseluruhan pemikiran Tao. Setelah kejadian tersebut baik La Tse maupun Yin Hse tidak muncul-muncul lagi seolah-olah mereka tak pernah hidup, akan tetapi bukunya “Tao Te King” tetap dipelajari orang. Menurut dugaan beberapa ahli sejarah, Lao Tse pernah ditemui oleh Kun Fu Tse dan mengadakan perdebatan tentang ajaran-ajarannya yang sanga antusias baginya. Menurut pendapat Prof James Legge dalam muqoddimah terjemahan buku “Tao Te King”, kedua orang tersebut (Kun Fu Tse dan Lao Tse) nampaknya bertemu lebih dari satu kali dan cenderung untuk menduga bahwa nama “Lao Tse” adalah timbul dari style bahasa Kun fu Tse supaya dikenal oleh pengikut-pengikutnya sebagai “guru tua”. Mereka adalah ahli pikir timur yang bertemu muka dengan pandangan pikiran yang berbeda, akan tetapi mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang perbedaan pandangan itu. Kettka Kun Fu Tse masih muda setelah mendapat kabar bahwa ada seorang ahli pikir tua yang bekerja sebagai pegawai administrasi diperpustakaan kerajaan, terkenal dengan nama “Lao Tse” maka ia memutuskan untuk menemuinya.
Menurut pernyataan Kun Fu Tse sendiri yang disampaikan kepada
murid-muridnya tentang pertemuan dengan Lao Tse itu adalah menunjukkan bahwa
pertemuan antara keduanya menimbulkan kemarahan atau pertentangan, oleh karena
Kun fu Tse telah mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan berat untuk memancing
jawaban-jawaban dari Lao Tse sehubungan dengan ajaran-ajarannya. Dialog antara
keduanya antara lain adalah sebagai berikut : Lao Tse terlebih dahulu bertanya
kepadanya tentang hal-hal yang menarik perhatiannya, maka Kun Fu Tse menjawab
bahwa yang menarik perhatian dirinya ialah sejarah nenek moyang, terutama yang
tertulis dalarn kitab “Shu K’ing” (riwayat). Tetapi Lao Tse menyela : “bahwa
orang-orang yang kamu percakapkan itu telah lama meninggal dan tulang-tulangnya
telah menjadi abu didalam kuburan”. Kun Fu Tse mengatakan bahwa : Manusia itu
menurut watak aslinya adalah baik dan pengetahuannya dapat menjaganya untuk
selalu baik”. Kemudian setelah mendengar uraian. Kun Fu Tse, demikian
bertanyalah Lao Tse : “tetapi mengapa kamu mempelajari orang-orang kuno (nenek
moyang)”. Dijawab oleh Kun : “pengetahuan yang baru harus berdasarkan
pengetahuan kuno (lama)”. Belum selesai menerangkan, Lao Tse menganggunya
dengan pertanyaan sebagai berikut : “Buanglah sikap ramah tamahmu dan
lemparkanlah jubahmu yang indah itu. Orang yang bijaksana tidaklah memamerkan
kekayaannya kepada mereka yang tidak tau dan ia tidak akan dapat mempelajari
keadilan dan orang-orang kuno”. Mengapa tidak? Tanya Kun Fu Tse selanjutnya
“bukannya dengan memandikan maka seekor burung dara itu menjadi putih” jawab
Lao Tse. Setelah Kun Fu Tse berfikir sejenak maka berkatalah ia : “Saya tau
bagaimana burung terbang, bagaimana ikan berenang, bagaimana. binatang lari,
dan bagaimana yang lari itu bisa, juga tertangkap ikan yang berenang itu bisa
juga terkail, burung terbang bisa juga tertembak. Tetapi ada ular naga yang
besar dan saya tidak dapat menceritakan bagaimana, ia menaiki angin dan dapat
mengendarai awan”. “Saya telah bertemu dan berbicara dengan Lao Tse dan hanya
dapat membandingkan dia dengan ular naga itu”. Lalu ia tidak berkata apapun
lagi kepadanya dan berlalulah ia. Demikianlah salah satu contoh dialog antara
dua orang filsuf tersebut, yang ajaran-ajarannya dikemudian hari besar
pengaruhnya terhadap kebudayaan bangsa Tiongkok, bahkan terhadap way of life
bangsa tersebut sampai sekarang, meskipun bangsa tersebut berada dibawah
bayang-bayang hitam dan pemerintahan komunis yang menginginkan hancurnya segala
bentuk keagamaan serta tradisi nenek moyangnya.
B.
Pokok-pokok ajaran Taoisme.
Ajaran-ajaran Taoisme tercantum dalam kitabnya yang terkenal
dengan nama “Tao Te’ King” yang terdiri dari 25 halaman yang kemudian diberi
komentar oleh pelbagai ahli filsafat sehingga menjadi kitab yang sangat tebal.
Kitab tersebut menyimpan suatu pengertian yang ajaib (misterius) yaitu yang
tersirat dalam kata “TAO”. Kata ini menyulitkan banyak sarjana untuk
mengartikannya. Ada yang mengartikan “TAO” dengan. “ Jalan” atau “Cara” atau
“Akal” dan “Keutamaan” bahkan ada juga yang memberi arti sebagai “Kata-kata
suci” dan sebagainya. Ajaran Taoisme cenderung membawa tradisi Tiongkok kuno ke
dalam bentuk keagamaan dan filsafat. Dengan demikian berarti Lao Tse menjadikan
Taoisme suatu faham yang dapat mengimbangi faham Konfusianisme yang terkenal
dengan faham kuno dan yang berusaha mempertahankan tradisi Tiongkok dalam
bentuk baru tetapi berada pada jalan yang sama dengan yang dilalui Taoisme. Taoisme
merupakan ajaran falsafah yang bercorak ketimuran terlihat dalam ajaran
tersebut pandangan hidup yang lebih menitik beratkan kepada moral individual
dan sosial, sebab ternyata didalam ajaran tersebut terdapat pandangan prinsipil
bahwa manusia harus berbuat sesuai dengan sifat atau watak-watak yang dimiliki
berikut : “Tao adalah sesuatu yang maha halus dan bilamana sesuatu itu dapat
ditangkap pengertiannya maka ia bukanlah Tao yang sebenar-benarnya”. Sesuai
dengan sifat atau watak-watak yang dimiliki oleh Tao yang digambarkan didalam
muqoddimah Tao Te’ King sebagai berikut “Tao adalah sesuatu yang maha halus dan
bilamana sesuatu itu dapat ditangkap pengertiannya, maka ia adalah bukan Tao
yang sebenar-benarnya”. “Karena sifatnya transendental, maka Tao merupakan
dasar segala yang ada”. Nyanyian suci yang tertulis dalam kitab Tao Te’ King
antara lain memuja Tao sebagai hal yang paling gaib; kegaiban dari segala yang
gaib, yang merupakan tempat masuk kedalam kegaiban dari semua kehidupan. Dengan
gambaran sifat-sifat Tao yang demikian rumitnya itu maka manusia hanya akan
dapat menagkapnya melalui semedi (tafakur) atau pandangan dalam, sehingga ia
tak dapat diuraikan dalam untaian dan lukisan kata-kata. Untuk lebih memudahkan
memahami pengertian sifat-sifat Tao maka Tao diberi sifat sebagai berikut :
a.
Tao bersifat Transendent juga ia bersifat Immanent artinya benda
dalam alam kita.
b.
Tao diartikan sebagai “Jalannya Universum” (jagad raya) yakni
merupakan norma-norma, irama dan kekuatan pengatur alam ini. Oleh karena itu
Tao, dengan pengertian ini dapat disamakan dengan “elan vitale” (kekutan dasar)
dunia. Alam raya (universum) harus mengikuti jalannya yang telah ditetapkan
supaya mendapatkan keseimbangan dan kestabilan.
c.
Tao berarti sebagai suatu cara dengan mana orang harus mengatur
hidupnya agar sejalan dengan yang diperbuatnya oleh alam (universum).
Konsep Taoisme tentang hidup manusia yang paling baik adalah
sikap hidup yang tinggi nilainya yaitu sikap diam yang kreatif atau disebut
“Wuwei”. Sikap demikian dapat menarik kedalam pribadi orang suatu kekuatan
kejiwaan tertinggi berupa “aktivitas tertinggi” dan “kebebasan tertinggi”.
Dengan sikap inilah manusia akan dapat menciptakan suatu kreasi (ciptaan)
murni, sebab kreasi yang murni hanyalah timbul dari pribadi yang bebas dari
segala bentuk tekanan. Sedangkan gerak dan tingkah laku yang goyah hanya akan
menghasilkan suatu kreasi yang tidak murni dan kreasi demikian tidak dapat
dipergunakan untuk mencapai kesadaran hati nurani manusia. Hanya dengan Wuwei
manusia dapat mencapainya. Untuk tujuan itu Taoiesme menganjurkan agar supaya
jiwa kita dibebaskan dari segala tekanan sehingga dengan demikian manusia akan
dapat memperoleh ketengan dalam hati nuraninya sendiri. Oleh karena itulah
“WUWEI” dapat dipandang sebagai unsur kehidupan yang berada diatas segala
tekanan.
Ajaran Taoisme lainnya adalah konsepsinya mengenai kenisbian semua
nilai dan sebagai imbalan dari asas ini adalah adanya persamaan dari hal yang
bertentangan. Dalam hal ini Taoisme berkaitan dengan simbolisme Cina
tradisional tentang yang dan yin yang digambarkan sebagai berikut :
Kutub-kutub ini menunjukkan segala pertentangan yang mendasar
dalam hidup ini : baik-jahat, aktif-pasif, positif-negatif, terang-gelap, musim
panas-musim dingin, pria-wanita, dan sebagainya. Tetapi walaupun asas-asasnya
berada dalam ketegangan asas-asas itu tidak bertentangan secara mutlak. Asas-asas
itu saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya. Tiap-tiapnya
memasuki ayah yang lain dan menempatkan dirinya dititik pusat dari wilayah
lawannya itu. Pada akhirnya keduanya itu menyatu dalam sebuah lingkaran yang
saling melingkupi sebagai suatu perlambang dari kesatuan terakhir dari Tao.
Karena selalu berputar dan bertukar tempat hal-hal yang berlawanan hanya
merupakan suatu tahap dari suatu roda yang sedang berputar. Hidup ini tidak
bergerak ke depan dan ke atas menuju suatu puncak atau kutub yang telah mapan.
la berputar dan melengkung kembali kepada dirinya sendiri sampai dirinya
membentuk lingkaran yang utuh dan sadar bahwa dititik pusat semua hal itu
adalah satu. Susunan inilah yang terkenal disebut dengan “Tao Ji” yaitu jalan
yang diikuti oleh universum yang ditandai oleh musim setiap tahun.
Kunfusianisme berpendapat demikian juga.
C.
Perkembangan selanjutnya ajaran Taoisme.
Perkembangan selanjutnya ajaran Taoisme terletak ditangan para
murid-murid Lao Tse yang terkenal diantaranya bernama Chung Tse’. Filosof Lao
Tse meninggalkan sebuah kitab kecil “Tao Te’ King” yang berisi 5000 perkataan
Tionghoa yang kemudian dikomentari oleh Chuang Tse menjadi 52 buah buku tebal
(yang masih ada tinggal 33 buku saja). Buku Chuang Tse tersebut menjadi
terkenal dan populer dinegeri Tiongkok dan banyak dikagumi orang disana. Akan
tetapi sayang tulisan-tulisan Chuang Tse’ tersebut tidak mengambarkan ajaran
Lao Tse yang murni, oleh karena disana sini penuh dengan pandangannya sendiri
yang menyimpang dari ajaran gurunya. Setelah Chuang Tse meninggal, maka banyak
penulis yang melanjutkan ajaran Taoisme dalam bentuk keagamaan. Kemudian
setelah Taoisme dipandang sebagai agama maka faham ini mengalami kemerosotan
karena di masukkannya magic takhayul, pendewaan terhadap kekuatan alam. Bahkan
Lao Tse sendiri diperdewakan orang. Ketka Budhisme masuk Tiongkok, Taoisme
meminjam dan padanya faham “reinkarnasi” (penitisan roh kembali) sehingga Lao
Tse dianggap sebagai titisan dewa Budha. Setelah itu didirikanlah banyak kuil
diseluruh Tiongkok diciptakan juga upacara-upacara dan kurban-kurban dan
sebagainya untuk memuja Lao Tse dan roh-roh halus. Maka akhirnya terjadilah
percampuradukkan antara Taoisme dan Budhisme yang selanjutnya sulit dibedakan
antara keduanya terutama dalam upacara-upacara pemujaan serta upacara-upacara
keagamaan lainnya. Bertambah sulit lagi setelah Kunfusianisme bercampur baur
dengan kedua faham tersebut. Pendapat Prof. James Legge ahli purbakala Cina
(ahli sinologi) mengatakan babwa lebih dari 1000 tahun, “3 agama” telah
terbentuk di Tiongkok yaitu Kunfusianisme,Taoisme dan Budhisme; bahkan menurut
Prof. H. C Bleeker Taoisme menjadi agama berhala yaitu menjadi persekutuan
keagamaan sebagaimana agama Hindu atau agama nasrari. Persekutuan tersebut
timbul pada masa dinasti Han (221 Masehi) dimana didalamnya terdapat pemujaan
terhadap orang-orang suci Taoisme dan dewa-dewa disertai dengan kurban-kurban
dan upacara suci.
PENUTUP
Dari uraian-uraian yang sudah dikemukakan diatas tampak bahwa
agama rakyat merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang benar-benar
hidup di kalangan rakyat Jepang dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan mereka seperti yang terlihat dalam kegiatan-kegiatan keluarga, rukun
tetangga dan hari-hari libur nasional Jepang. Dari hasil penelitian yang
dilakukan terhadap kepercayaan tradisional Jepang dan tempat agama rakyat,
dalam kehidupan masyarakat Jepang modern yang termuat dalam laporan hasil
penelitian yang diberi judul Nihonjin-no-kokuminsei (sifat nasional Jepang),
maka pemujaan terhadap arwah nenek moyang menempati kedudukan utama dalam
kehidupan masyarakat Jepang (77% diantaranya 2.254 orang yang tersebar di
seluruh negeri Jepang).
Di samping itu rangkaian upacara dan perayaan tahunan masih tetap memainkan peranan penting dalam agama rakyat, terutama dalam lingkungan masyarakat pertanian yang umumnya terdapat dalam agama rakyat fungsinya sudah jauh berkurang, namun berbagai rangkaian kegiatan yang sepanjang tahun menjadi salah satu diantara ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama yang sudah melembaga seperti agama Shinto.
Di samping itu rangkaian upacara dan perayaan tahunan masih tetap memainkan peranan penting dalam agama rakyat, terutama dalam lingkungan masyarakat pertanian yang umumnya terdapat dalam agama rakyat fungsinya sudah jauh berkurang, namun berbagai rangkaian kegiatan yang sepanjang tahun menjadi salah satu diantara ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama yang sudah melembaga seperti agama Shinto.
0 komentar:
Posting Komentar