Rabu, 17 April 2013

AGAMA SEBAGAI TINDAKAN SIMBOLIS



Tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara (ritual). Dapat kita katakan bahwa ritual merupakan agama dalam tindakan. Meski ungkapan iman mungkin merupakan bagian dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritualtersebut. Dalam tingkah laku manusia, sebagaimana diselidiki, mitos dan ritual saling berkaitan. Hanya sedikit, kalupun ada, ritual-ritual yang dilembagakan, sebelum suatu dasar mitis diperkenalkan sebagai landasan.
Penghadiran kembali pengalaman keagamaan dalam bentuk kultus adalah pokok bagi kehidupan kelompok keagamaan yang bersangkutan. Itulah tindakan simbolis. Sebagai perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius kita, simbol itu sendirri menjadi pokok ketegangan dan dilema yang terwujud dalam agama. Bila seorang beragama mesti mempertahankan pengalaman asli religiusnya dengan relasinya yang melampaui pengalaman biasa dengan yang ilahi, ia harus mengungkapkan ini lewat bentuk-bentuk simbolis yang bersifat empiris dan menjadi bagian dari wilayah profan. Pengulangan cenderung membuat kebosanan dan perasaan rutin belaka. Dengan demikian, simbol-simbol ini digunakan untuk memberi kemungkinan “ suatu perpanjangan dari penampakan ilahi”.
1.      Ritual Suku – suku Primitif
Di antara suku-suku primitif, praktik-praktik kultis berupa bentuk-bentuk dari sesajian sederhana buah-buahan pertama ditaruh di hutan atau di ladang, samapi pada upacara -upacara yang rumit di tempat-tempat suci atau pun umum. Tari-tarian pemujaan dilakukan di Afrika dengan para peserta mengenakan topeng-topeng dengan maksud untuk mengidentikkandiri mereka dengan roh-roh. Tujuannya adalah untuk mewujudkan atau mengulangi peristiwa primordial sehingga dunia, kekuatan-kekuatan vital, hujan, dan kesuburan diperbaharui serta roh-roh leluhur atau dewa-dewa dipuakan dan keamanan mereka dijamin.
Suku Sara di Tsad menampilkan upacara-upacara keagamaan yang berhubungan dengan pertanian bagi roh padi-padian. Tanaman padi dibiarkan tumbuh dalam sebuah labu di dekat dinding gubuk tanah liat dan roh-roh dipanggil pada saat penaburan benih dan buah-buah pertama dari panenan di persembahkan untuknya.
2.      Ritual Cina
Ritual-ritual Cina kuno berperan penting tidak hanya dalam hal keagamaan, tapi juga dalam kehidupan sosial dan politik orang-orang Cina. Selama pemerintahan Dinasti Chou, ritual diupayakan untuk menjamin pelaksanaan upacara-upacara secara tepat dalam rangka pemujaan dewa-dewa dan roh-roh leluhur. Mereka juga menandai proses-proses kelahiran, pernikahan, kematian dan pada saat berkabung dalam kehidupan pribadi.
3.      Ritual Jepang
Di Jepang, ritual Shinto dalam rangka menghormati Dewa Matahari dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan bidang pertanian (budaya beras). Ritual doa atas panenan dan kesejahteraan ditujukan kepada dewi kehidupan dan pertumbuhan, leluhur dari keluarga penguasa.
4.      Ritual Hindu
Ritual dalam agama Hindhu merupakan ritual yang lazim dilaksanakan oleh kalangan umat Hindhu. Ritualnya disebut ritual keagamaan Vedis dan Agamis. Ritual Vedis meliputi kurban kepada para Dewa. Upacara kurban ini berupa persembahan, mentega cair dan bulir padi sebagai sesaji yang ditempatkan dalam baki suci yang dilemparkan ke dalam api di altar sebagi wujud pengurbanan. Sesajian ini sebagai kurban melalui Dewa Agni (Dewa Api) yang menjadi perantara Dewa dengan manusia.
Ritual Agamis memusatkan perhatian pada pujian-pujian seperti pelaksanaan puasa dan pesta-pesta yang termasuk dalam agama Hindu. Pujian merupakan tanda untuk makhluk tertinggi atau melambangkan sang Ilahi. Orang Hindu sendiri memandang pujian tersebut sebagai suatu lambang untuk Tuhan dan untuk menyembah alam. Mereka melihat sebuah manifestasi dari kekuatan yang Ilahi dalam pujian tersebut..
Bentuk khas dari praktek keagamaan Hindu adalah cara penyembahan yang disebut puja. Dalam suatu rangkaian ritual, puja ini didasarkan pada kitab Veda, patung-patung diminyaki dan diberi wewangian serta bunga dan cahay yang dicurahkan dalam patung tersebut. Dalam upacara ini kehadiran sang Ilahi dikenang dalam kesalehan batin. Dalam perayaan yang besar patung tersebut diarak keluar dan disemayamkan dalam suatu kereta perang dan akhirnya ditenggelamkan di beberapa sungai yang dianggap suci. Puja adalah satu-satunya perayaan yang sering dilakukan. Setiap Brahmana harus mempersembahkan sekurang-kurangnya sekali dalam sehari untuk dewa pilihan. Sebelum terjadina persembahan seperti itu para pemuja memercikkan air  pada dirinya sendiri dan bertiarap dihadapan sang dewata.
5.      Ritual Israel
Di Israel, ada suatu kultus yang amat rumit di samping persemabahn-persembahan harian. Dalam kitab-kitab Musa, persembahan seperti binatang dan sayuran diberi tempat. Perayaan yang paling istimewa adalah Perayaan Tahun Baru. Pada saat itu alam ciptaan, kekuasaan Yahweh, pembaharuan janji, dan sangat mungkin suatu ibadah tobat istana, diperingati. Hali ini kerap kali ditunjuk seperti Perayaan Perjanjian. Perayaan penting lainnya adalah perayaan Paskah Yahudi, yang menjamin pembaharuan kultis peristiwa-peristiwa eksodus dari Mesir, karena amat mendasar bagi keberadaan bangsa itu. Selama perayaan, seekor anak domba dikurbankan dan disantap.  Dan selama delapan hari perayaan hanya roti tak beragi yang boleh dimakan. Hari ketujuh dari hari minggu, yakni Sabbath, merupakan hari istirahat.
6.      Makna ritual
Susanne Langer memperlihatkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan persaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Pengobyekan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok keagamaan. Kalau tidak, pemujaan bersifat kolektif tidak dimungkinkan. Akan tetapi, sekaligus kita harus tahu bahwa penggunaan sarana-sarana simbolis yang sama secara terus menerus menghasilkan suatu dampak yang membuat simbol-simbol tersebut menjadi biasa sebagaimana diharapkan. Dengan kata lain, simbol-simbol itu menjadi rutin. Pengobjekan yang wajib cenderung menggeserkan simbol-simbol itu dari hubungan yang bermakna dengan sikap-sikap subjektif. Maka, lama-kelamaan hilanglah resonansi antara simbol dengan perilaku dan perasaan-persaan dari mana simbol itu berasal. Dengan demikian, simbol ini kehilangan daya untuk memunculkan serta mempengaruhi perilaku dan emosi-emosi. Pengobjekan yang erlu untuk kelanjuatan itu akhirnya membawa kepada keterasingan.
Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam. (1) tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunakaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis. (2) tindakan religius, kultus para leluhur, ritual yang dilakukan untuk memuja leluhur yang juga bersifat mistis pada tempat, alat maupun waktu, misalnya ritual-ritual dalam agama Cina (3) ritual konstitutif, ritual yang dilakukan untuk mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada kekuatan mistis (4) ritual faktitif, ritual untuk meningkatkan produktivitas, kekuatan, pemurnian dan perlindungan, atau meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok
            Ritual – ritual faktitif berbeda dengan ritual konstitutif karena tujuannya lebih dari sekedar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial. Tidak hanya sebagai perwujudan kurban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga sebagai pelaksanaan sekuler antara anggota jamaat. Dalam masyarakat suku, ada sebuah kepercayaan bahwa perpecahan, penyelewengan dan pelanggaran hukum agama akan membawa malapetaka. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu adanya ritual yang berkenaan dengan makhluk-makhluk mistis untuk menyeimbangkan antara dunia mistis dengan dunia nyata. Ritual juga diperlukan untuk menetapkan keseimbangan agar memperoleh penyatuan kembali.
7.      Tujuan Ritual
            Van gannep menjelaskan bahwa semua kebudayaan memilik suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain. Ritual penerimaan, ritual inisiasi, pertunangan dan perkawinan, masa mengandung, dan saat kelahiran bayi, serta pemakaman merupakan kesempatan-kesempatan utama dari ritual.
            Dalam ritual penerimaan ada tiga tahap : perpisahan, peralihan, dan penggabungan. Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau kelompok atau status. Dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek bagi prosedur-prosedur perubahan. Sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan pada suatu tempat, kelompok, atau status baru.
            Tujuan dilaksanakannya ritual penerimaan dan intensifikasi  pada tingkatan tertentu agak eksplisit. Bangsa Iraquois melaksanakan ritual-ritual ini untuk mengontrol perilaku komunitas dalam situasi yang dianggap sebagai suatu krisis. Bangsa Tobriander ingin agar panenan berhasil, bangsa Eskimo ingin agar anjing laut dan ikan paus mengunjungi pantai, bangsa Dahome ingin melestarikan kehendak baik leluhur yang telah meninggal dan sebagainya. Akan tetapi, tidak semua upacara-upacara dapat diklasifikasikan dengan sangat baik seperti ritual-ritual penerimaan atau ritual-ritual intensifikasi. Misalnya, keilahian, perlakuan religio-magis terhadap yang sakit, berdamai dengan roh orang mati, ibadah rutin atas makanan yang tabu. Semua upacara diarahkan pada masalah transformasi keadaan dalam manusia atau alam.
            Upacara sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi dirinya sendiri sebagai individu atau individu bayangan. Hal itu semua dimaksudkan untuk mengontrol, dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan. Pada intinya, tujuan ritual ada 4 yakni, mencegah perubahan yang tidak diinginkan, mendapatkan perubahan yang cepat sesuai dengan yang diinginkan, menjaga keseimbangan dan sebagai kontrol sosial terhadap perilaku individu dan komunal.
8.      Mengapa Ritual?
Upacara menandai suatu perilaku formal yang tampaknya bukan ditanamkan oleh kepentingan atau rasionalisasi dari finalitas menurut makna-makna rasional. Perilaku ritual bersifat simbolis, yaitu menyatakan sesuatu tentang keadaan persoalan-persoalan tersebut, tetapi tidak harus mempunyai implikasi tindakan. Si pelaku tidak harus mempunyai maksud untuk menggantikan keadaan itu. Ritual-ritual peringatan, dikaitkan dengan model-model mitologi dan menghadirkan suatu karakter “sinkron-diakronis’, dalam arti bahwa ritual-ritual tersebut menciptakan suatu ikatan antara yang rutin dengan gambaran-gambaran atau simbol-simbol yang sisituasikan di luar waktu.
 Pada pokoknya, ritual memuat perasaan  terhadap sesuatu yang lain sama sekali, yang disebut Roddolf Otto “yamh numinus”. Oleh karena iitu, menjadi jelas ambivalensi karakter dari pengalaman para peserta dalam upacara: takut, tertarik, negatif dan positiv, sikap tabu dan sikap preservasi serta proteksi.
Profesor Mircea  Eliade sudah menunjuk makna yang lebih dalam dari ritual. Menurutnya, ritual mengakibatkan suatu perubahan ontologis pada manusia dan mentranformasikannya kepada situasi keberadaan yang baru, misalnya: penempatan ke dalam lingkup yang kudus. Pada dasarnya, dalam makna religiusnya ritual merupakan gambaran prototipe yang suci, model-model teladan, arketipe primordial, sebagaimana dikatakan, ritual merupakan pergulatan tingkah laku dan tindakan makhluk ilahi atau leluhur mistis.
Teori ritual dilukiskan oleh ritus inisiasi. Inisiasi tidak hanya menandai kelahiran kembali individu tapi juga  membawanya ke cara berada yang lebih tinggi, yakni cara yang berda yang dikuduskan. Upacara ini dianggap memuat perubahan eksistensial yang fundamental pada manusia dan mengangkat pengalaman baru, yakni pengalaman akan ilahi. Simbol-simbol ritual inisiasi tidak hanya menunjuk pada dunia individu masyarakat dewasa, namun juga keberadaan religiusnya. Secara sosial, upacara itu mendai tanggung jawab individual orang dewasa dan secara religius menampilkan tanggung jawab setiap manusia untuk melestarikan tradisi suci.
9.      Mitos dan Ritual
Ada banyak ritual pada masa silam tanpa mitos-mitos. Akan tetapi, pada tingkah laku manusia dapat diamati bahwa dua fenomena, ritual dan mitos. Para antropolog, yang menulis mengenai soal ini kebanyakan perpendapat bahwa kepentingan ritual harus dikenali, meskipun kepentingan atau prioritas ini tidak bersifat temporal. Boas menandaskan : “ritual sendiri merupakan rangsangan bagi lahirnya mitos...ritual sudah ada dan cerita muncul dari keinginan untuk menjelaskan keberadaan itu. Lord Raglan membela dengan keras perihal prioritas instrumental dan temporal dari ritual. Ia mengatakan : “ritual-ritual ini membentuk agama. Bagi kaum religius, atau kebanyakan mereka, ritual bukan hanya bagian dari agama melainkan agama itu sendiri. Agama,demikian katanya, terdiri dari pelaksanaan ritual-ritual.
Keyakinan Clyde Kluckhohn mengenai hubungan antara mitos dan ritual tampaknya semakin diterima oleh para antropolog: “Meskipun kepentingan relatif dari mitos dan ritual sungguh berbeda, namun keduanya cenderung secara universal disatukan karena mitos dan ritual memilki dasar psikologi umum. Ritual merupakan suatu aktivitas obsesif yang diulang-ulang sering merupakan suatu dramatisasi simbolis ‘kebutuhan-kebutuhan’ mayarakat, entah ’ekonomi’, ‘biologi’, ‘sosial’ ataupun ‘seksual’. Mitologi merupakan rasionalisasi ataskebutuhan-kebutuhan yang sama tersebut, apakah semuanya diungkapkan dalam upacara terbuka atau tidak. Beberpa orang mengatakan ‘setiap budaya mempunyai tipe konflik dan tipe pemecahannya. Upacar-upacara condong memotret suatu pemecahan simbolis atas konflik-konflik. Lingkungan eksternal, pengalaman historis dan sumbangan tipe-tipe  kepribadian yang selektif menyebabkan konflik-konflik tersebut menjadi karakter dalam masyarakat”.
Makna mitos yang sebenarnya hanya dappat diperoleh lewat pengamatan dalam suatu komunitas yang telah memelihara mitos dan ritual dengan bijaksana.
Suatu kekeliruan bila menganggap ritual sebagai penetapan dramatis simbolis suatu makna yang sudah lebih dullu diungkapkan dalam beberapa macam cara iideasional kareana kerap kali ritual dianggap sebagai fenomena sekunder sama sekali, semacam gambaran simbolis makna keyakinan. Dilihat dalam perspektif demikian, ritual merupakan sesuatu yang diberikan yang dapat dieliiminasi, bila perlu, tanpa kerugian yang serius. Ritual memberi suatu kedalaman arti dan kekuatan vital bagi hidup religius. Sedangkan mitos sendiri memerlukan ritual demi pemahaman yang lebih penuh dari maknanya.


0 komentar: