Tindakan agama
terutama ditampakkan dalam upacara (ritual). Dapat kita katakan bahwa ritual
merupakan agama dalam tindakan. Meski ungkapan iman mungkin merupakan bagian
dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan
makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas dari
pelaksanaan ritualtersebut. Dalam tingkah laku manusia, sebagaimana diselidiki,
mitos dan ritual saling berkaitan. Hanya sedikit, kalupun ada, ritual-ritual
yang dilembagakan, sebelum suatu dasar mitis diperkenalkan sebagai landasan.
Penghadiran
kembali pengalaman keagamaan dalam bentuk kultus adalah pokok bagi kehidupan
kelompok keagamaan yang bersangkutan. Itulah tindakan simbolis. Sebagai
perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap
religius kita, simbol itu sendirri menjadi pokok ketegangan dan dilema yang
terwujud dalam agama. Bila seorang beragama mesti mempertahankan pengalaman
asli religiusnya dengan relasinya yang melampaui pengalaman biasa dengan yang ilahi,
ia harus mengungkapkan ini lewat bentuk-bentuk simbolis yang bersifat empiris
dan menjadi bagian dari wilayah profan. Pengulangan cenderung membuat kebosanan
dan perasaan rutin belaka. Dengan demikian, simbol-simbol ini digunakan untuk
memberi kemungkinan “ suatu perpanjangan dari penampakan ilahi”.
1.
Ritual Suku – suku Primitif
Di antara
suku-suku primitif, praktik-praktik kultis berupa bentuk-bentuk dari sesajian sederhana
buah-buahan pertama ditaruh di hutan atau di ladang, samapi pada upacara -upacara
yang rumit di tempat-tempat suci atau pun umum. Tari-tarian pemujaan dilakukan
di Afrika dengan para peserta mengenakan topeng-topeng dengan maksud untuk
mengidentikkandiri mereka dengan roh-roh. Tujuannya adalah untuk mewujudkan
atau mengulangi peristiwa primordial sehingga dunia, kekuatan-kekuatan vital,
hujan, dan kesuburan diperbaharui serta roh-roh leluhur atau dewa-dewa dipuakan
dan keamanan mereka dijamin.
Suku Sara di
Tsad menampilkan upacara-upacara keagamaan yang berhubungan dengan pertanian bagi
roh padi-padian. Tanaman padi dibiarkan tumbuh dalam sebuah labu di dekat dinding
gubuk tanah liat dan roh-roh dipanggil pada saat penaburan benih dan buah-buah
pertama dari panenan di persembahkan untuknya.
2.
Ritual Cina
Ritual-ritual
Cina kuno berperan penting tidak hanya dalam hal keagamaan, tapi juga dalam
kehidupan sosial dan politik orang-orang Cina. Selama pemerintahan Dinasti
Chou, ritual diupayakan untuk menjamin pelaksanaan upacara-upacara secara tepat
dalam rangka pemujaan dewa-dewa dan roh-roh leluhur. Mereka juga menandai
proses-proses kelahiran, pernikahan, kematian dan pada saat berkabung dalam
kehidupan pribadi.
3.
Ritual Jepang
Di Jepang,
ritual Shinto dalam rangka menghormati Dewa Matahari dikaitkan dengan
kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan bidang pertanian (budaya beras).
Ritual doa atas panenan dan kesejahteraan ditujukan kepada dewi kehidupan dan
pertumbuhan, leluhur dari keluarga penguasa.
4.
Ritual Hindu
Ritual dalam
agama Hindhu merupakan ritual yang lazim dilaksanakan oleh kalangan umat
Hindhu. Ritualnya disebut ritual keagamaan Vedis dan Agamis. Ritual Vedis
meliputi kurban kepada para Dewa. Upacara kurban ini berupa persembahan,
mentega cair dan bulir padi sebagai sesaji yang ditempatkan dalam baki suci
yang dilemparkan ke dalam api di altar sebagi wujud pengurbanan. Sesajian ini
sebagai kurban melalui Dewa Agni (Dewa Api) yang menjadi perantara Dewa dengan
manusia.
Ritual Agamis
memusatkan perhatian pada pujian-pujian seperti pelaksanaan puasa dan pesta-pesta
yang termasuk dalam agama Hindu. Pujian merupakan tanda untuk makhluk tertinggi
atau melambangkan sang Ilahi. Orang Hindu sendiri memandang pujian tersebut
sebagai suatu lambang untuk Tuhan dan untuk menyembah alam. Mereka melihat
sebuah manifestasi dari kekuatan yang Ilahi dalam pujian tersebut..
Bentuk khas
dari praktek keagamaan Hindu adalah cara penyembahan yang disebut puja. Dalam
suatu rangkaian ritual, puja ini didasarkan pada kitab Veda, patung-patung
diminyaki dan diberi wewangian serta bunga dan cahay yang dicurahkan dalam
patung tersebut. Dalam upacara ini kehadiran sang Ilahi dikenang dalam
kesalehan batin. Dalam perayaan yang besar patung tersebut diarak keluar dan
disemayamkan dalam suatu kereta perang dan akhirnya ditenggelamkan di beberapa
sungai yang dianggap suci. Puja adalah satu-satunya perayaan yang sering
dilakukan. Setiap Brahmana harus mempersembahkan sekurang-kurangnya sekali
dalam sehari untuk dewa pilihan. Sebelum terjadina persembahan seperti itu para
pemuja memercikkan air pada dirinya sendiri
dan bertiarap dihadapan sang dewata.
5.
Ritual Israel
Di
Israel, ada suatu kultus yang amat rumit di samping persemabahn-persembahan
harian. Dalam kitab-kitab Musa, persembahan seperti binatang dan sayuran diberi
tempat. Perayaan yang paling istimewa adalah Perayaan Tahun Baru. Pada saat itu
alam ciptaan, kekuasaan Yahweh, pembaharuan janji, dan sangat mungkin suatu
ibadah tobat istana, diperingati. Hali ini kerap kali ditunjuk seperti Perayaan
Perjanjian. Perayaan penting lainnya adalah perayaan Paskah Yahudi, yang
menjamin pembaharuan kultis peristiwa-peristiwa eksodus dari Mesir, karena amat
mendasar bagi keberadaan bangsa itu. Selama perayaan, seekor anak domba
dikurbankan dan disantap. Dan selama
delapan hari perayaan hanya roti tak beragi yang boleh dimakan. Hari ketujuh
dari hari minggu, yakni Sabbath, merupakan hari istirahat.
6.
Makna ritual
Susanne
Langer memperlihatkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis
daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas
simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan
persaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya
masing-masing. Pengobyekan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam
kelompok keagamaan. Kalau tidak, pemujaan bersifat kolektif tidak dimungkinkan.
Akan tetapi, sekaligus kita harus tahu bahwa penggunaan sarana-sarana simbolis
yang sama secara terus menerus menghasilkan suatu dampak yang membuat
simbol-simbol tersebut menjadi biasa sebagaimana diharapkan. Dengan kata lain,
simbol-simbol itu menjadi rutin. Pengobjekan yang wajib cenderung menggeserkan
simbol-simbol itu dari hubungan yang bermakna dengan sikap-sikap subjektif.
Maka, lama-kelamaan hilanglah resonansi antara simbol dengan perilaku dan
perasaan-persaan dari mana simbol itu berasal. Dengan demikian, simbol ini
kehilangan daya untuk memunculkan serta mempengaruhi perilaku dan emosi-emosi. Pengobjekan
yang erlu untuk kelanjuatan itu akhirnya membawa kepada keterasingan.
Ritual
dapat dibedakan menjadi empat macam. (1) tindakan magi, yang dikaitkan
dengan penggunakaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis. (2)
tindakan religius, kultus para leluhur, ritual yang dilakukan untuk memuja
leluhur yang juga bersifat mistis pada tempat, alat maupun waktu, misalnya
ritual-ritual dalam agama Cina (3) ritual konstitutif, ritual yang dilakukan
untuk mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada kekuatan mistis (4) ritual
faktitif, ritual untuk meningkatkan produktivitas, kekuatan, pemurnian dan
perlindungan, atau meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok
Ritual
– ritual faktitif berbeda dengan ritual konstitutif karena tujuannya lebih dari
sekedar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial. Tidak hanya sebagai
perwujudan kurban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga sebagai
pelaksanaan sekuler antara anggota jamaat. Dalam masyarakat suku, ada sebuah
kepercayaan bahwa perpecahan, penyelewengan dan pelanggaran hukum agama akan
membawa malapetaka. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu adanya ritual yang
berkenaan dengan makhluk-makhluk mistis untuk menyeimbangkan antara dunia
mistis dengan dunia nyata. Ritual juga diperlukan untuk menetapkan keseimbangan
agar memperoleh penyatuan kembali.
7.
Tujuan Ritual
Van gannep
menjelaskan bahwa semua kebudayaan memilik suatu kelompok ritual yang
memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke status sosial
yang lain. Ritual penerimaan, ritual inisiasi, pertunangan dan perkawinan, masa
mengandung, dan saat kelahiran bayi, serta pemakaman merupakan kesempatan-kesempatan
utama dari ritual.
Dalam
ritual penerimaan ada tiga tahap : perpisahan, peralihan, dan penggabungan.
Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau kelompok atau
status. Dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek bagi prosedur-prosedur
perubahan. Sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan pada
suatu tempat, kelompok, atau status baru.
Tujuan
dilaksanakannya ritual penerimaan dan intensifikasi pada tingkatan tertentu agak eksplisit.
Bangsa Iraquois melaksanakan ritual-ritual ini untuk mengontrol perilaku
komunitas dalam situasi yang dianggap sebagai suatu krisis. Bangsa Tobriander
ingin agar panenan berhasil, bangsa Eskimo ingin agar anjing laut dan ikan paus
mengunjungi pantai, bangsa Dahome ingin melestarikan kehendak baik leluhur yang
telah meninggal dan sebagainya. Akan tetapi, tidak semua upacara-upacara dapat
diklasifikasikan dengan sangat baik seperti ritual-ritual penerimaan atau
ritual-ritual intensifikasi. Misalnya, keilahian, perlakuan religio-magis
terhadap yang sakit, berdamai dengan roh orang mati, ibadah rutin atas makanan
yang tabu. Semua upacara diarahkan pada masalah transformasi keadaan dalam
manusia atau alam.
Upacara
sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu
demi dirinya sendiri sebagai individu atau individu bayangan. Hal itu semua
dimaksudkan untuk mengontrol, dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati,
perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan. Pada
intinya, tujuan ritual ada 4 yakni, mencegah perubahan yang tidak diinginkan,
mendapatkan perubahan yang cepat sesuai dengan yang diinginkan, menjaga
keseimbangan dan sebagai kontrol sosial terhadap perilaku individu dan komunal.
8.
Mengapa Ritual?
Upacara
menandai suatu perilaku formal yang tampaknya bukan ditanamkan oleh kepentingan
atau rasionalisasi dari finalitas menurut makna-makna rasional. Perilaku ritual
bersifat simbolis, yaitu menyatakan sesuatu tentang keadaan persoalan-persoalan
tersebut, tetapi tidak harus mempunyai implikasi tindakan. Si pelaku tidak
harus mempunyai maksud untuk menggantikan keadaan itu. Ritual-ritual
peringatan, dikaitkan dengan model-model mitologi dan menghadirkan suatu
karakter “sinkron-diakronis’, dalam arti bahwa ritual-ritual tersebut
menciptakan suatu ikatan antara yang rutin dengan gambaran-gambaran atau
simbol-simbol yang sisituasikan di luar waktu.
Pada pokoknya, ritual memuat perasaan terhadap sesuatu yang lain sama sekali, yang
disebut Roddolf Otto “yamh numinus”. Oleh karena iitu, menjadi jelas
ambivalensi karakter dari pengalaman para peserta dalam upacara: takut,
tertarik, negatif dan positiv, sikap tabu dan sikap preservasi serta proteksi.
Profesor
Mircea Eliade sudah menunjuk makna yang
lebih dalam dari ritual. Menurutnya, ritual mengakibatkan suatu perubahan
ontologis pada manusia dan mentranformasikannya kepada situasi keberadaan yang
baru, misalnya: penempatan ke dalam lingkup yang kudus. Pada dasarnya, dalam
makna religiusnya ritual merupakan gambaran prototipe yang suci, model-model
teladan, arketipe primordial, sebagaimana dikatakan, ritual merupakan
pergulatan tingkah laku dan tindakan makhluk ilahi atau leluhur mistis.
Teori
ritual dilukiskan oleh ritus inisiasi. Inisiasi tidak hanya menandai kelahiran
kembali individu tapi juga membawanya ke
cara berada yang lebih tinggi, yakni cara yang berda yang dikuduskan. Upacara
ini dianggap memuat perubahan eksistensial yang fundamental pada manusia dan
mengangkat pengalaman baru, yakni pengalaman akan ilahi. Simbol-simbol ritual
inisiasi tidak hanya menunjuk pada dunia individu masyarakat dewasa, namun juga
keberadaan religiusnya. Secara sosial, upacara itu mendai tanggung jawab
individual orang dewasa dan secara religius menampilkan tanggung jawab setiap
manusia untuk melestarikan tradisi suci.
9.
Mitos dan Ritual
Ada
banyak ritual pada masa silam tanpa mitos-mitos. Akan tetapi, pada tingkah laku
manusia dapat diamati bahwa dua fenomena, ritual dan mitos. Para antropolog,
yang menulis mengenai soal ini kebanyakan perpendapat bahwa kepentingan ritual
harus dikenali, meskipun kepentingan atau prioritas ini tidak bersifat
temporal. Boas menandaskan : “ritual sendiri merupakan rangsangan bagi lahirnya
mitos...ritual sudah ada dan cerita muncul dari keinginan untuk menjelaskan
keberadaan itu. Lord Raglan membela dengan keras perihal prioritas instrumental
dan temporal dari ritual. Ia mengatakan : “ritual-ritual ini membentuk agama.
Bagi kaum religius, atau kebanyakan mereka, ritual bukan hanya bagian dari
agama melainkan agama itu sendiri. Agama,demikian katanya, terdiri dari
pelaksanaan ritual-ritual.
Keyakinan
Clyde Kluckhohn mengenai hubungan antara mitos dan ritual tampaknya semakin diterima
oleh para antropolog: “Meskipun kepentingan relatif dari mitos dan ritual
sungguh berbeda, namun keduanya cenderung secara universal disatukan karena
mitos dan ritual memilki dasar psikologi umum. Ritual merupakan suatu aktivitas
obsesif yang diulang-ulang sering merupakan suatu dramatisasi simbolis
‘kebutuhan-kebutuhan’ mayarakat, entah ’ekonomi’, ‘biologi’, ‘sosial’ ataupun
‘seksual’. Mitologi merupakan rasionalisasi ataskebutuhan-kebutuhan yang sama
tersebut, apakah semuanya diungkapkan dalam upacara terbuka atau tidak. Beberpa
orang mengatakan ‘setiap budaya mempunyai tipe konflik dan tipe pemecahannya.
Upacar-upacara condong memotret suatu pemecahan simbolis atas konflik-konflik.
Lingkungan eksternal, pengalaman historis dan sumbangan tipe-tipe kepribadian yang selektif menyebabkan
konflik-konflik tersebut menjadi karakter dalam masyarakat”.
Makna
mitos yang sebenarnya hanya dappat diperoleh lewat pengamatan dalam suatu
komunitas yang telah memelihara mitos dan ritual dengan bijaksana.
Suatu
kekeliruan bila menganggap ritual sebagai penetapan dramatis simbolis suatu
makna yang sudah lebih dullu diungkapkan dalam beberapa macam cara iideasional
kareana kerap kali ritual dianggap sebagai fenomena sekunder sama sekali,
semacam gambaran simbolis makna keyakinan. Dilihat dalam perspektif demikian,
ritual merupakan sesuatu yang diberikan yang dapat dieliiminasi, bila perlu,
tanpa kerugian yang serius. Ritual memberi suatu kedalaman arti dan kekuatan
vital bagi hidup religius. Sedangkan mitos sendiri memerlukan ritual demi
pemahaman yang lebih penuh dari maknanya.
0 komentar:
Posting Komentar