Senin, 08 April 2013

Citra Dan Pencitraan Pustakawan



BAB I
PENDAHULUAN
            Untuk menentukan kemajuan suatu bangsa, tidak dapat di pungkiri  bahwa informasi sangat penting untuk  menunjang dalam mewujudkan itu. Oleh karena itu, penguasaan informasi harus di maksimalkan. Dalam hal ini, peran perpustakaan sangat dibutuhkan sebagai sarana sumber, pengolahan, dan penyimpanan bahan pustaka atau bahan informasi. Paradigma perpustakaan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Paradigma lama yang menyebutkan bahwa perpustakaan di artikan sebagai sebuah gedung atau ruangan tempat menyimpan buku, sehingga memunculkan rasa minder dan merasa rendah diri karena menganggap pustakawan merupakan pekerjaan yang tidak membanggakan. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab buruknya citra terhadap profesi pustakawan.
Pustakawan menjadi sebuah kata yang sedang mengalami keretakkan makna, melahirkan multitafsir dan beragam persepsi. Dalam konteks keindonesiaan, pemegang kunci jendela dunia ini, kini nasibnya tidak jauh dari para pembuka pintu lintasan kereta. Masyarakat pun memberikan penghargaan kepada pustakawan lebih rendah dibanding kepada profesi lain seperti dokter, pengacara, guru, peneliti, dan lain-lain. Malah masih banyak masyarakat yang belum tahu makhluk jenis apa pustakawan itu. Di Indonesia pustakawan kalah populer dibanding dengan komen-tator artis atau dukun santet yang memang sedang menjadi hegemoni komoditas industri irrasional. Cobalah anda bertanya kepada anak-anak yang baru masuk sekolah, bahkan bisa diperkirakan tidak banyak atau hampir tidak ada satu orang pun yang cita-citanya ingin menjadi pustakawan. Keadaan ini mengingatkan kita pada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa hanya orang yang berilmu yang akan menghargai ilmu. Hanya masyarakat terdidik yang akan menghargai pustakawan. Citra pustakawan adalah cermin realitas bangsa.


BAB II
PEMBAHASAN
Citra dan Pencitraan Pustakawan
Citra adalah bayangan, lukisan, gambaran tentang sesuatu yang mungkin tercipta dalam ketidaksengajaan atau terbentuk dari perilaku yang terus menerus sehingga pihak pemerhati kemudian memberikan persepsi yang dipengaruhi bagaimana orang memandang, pola pikir, gambaran menurut orang perorang atau khalayak. Namun citra yang sebenarnya bersifat alami, meskipun tentu tidak eksak karena ia hanyalah lukisan dan gambaran seseorang atau segala sesuatu, sering citra termanipulasi atau justru dimanipulasi untuk disengaja dibangun (pencitraan diri) untuk maksud-maksud tertentu.
Citra yang merupakan seperangkat kesan di dalam pikiran masyarakat sebagai user/pemakai terhadap suatu objek. Sedangkan kepustakawanan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pustakawan, seperti profesi kepustakawanan dan penerapan ilmu. Misalnya dalam hal pengadaan koleksi, pengolahan, pendayagunaan, dan penyebaran informasi kepada pemakai. Profesi pustakawan di negeri ini masih merupakan pilihan profesi alternatif, tenaga pustakawan “dipandang sebelah mata”, “tenaga buangan” di mana perpustakaan adalah unit kerja tempat pembuangan pegawai yang kurang berprestasi. Masih ada anggapan bahwa perpustakaan dapat diurus oleh siapa saja. Mereka bekerja sebagai pustakawan kebetulan ( a pseudo librarian) di mana mereka terpaksa bekerja di perpustakaan karena tidak diterima di tempat lain, menjadi tenaga perpustakaan yang bekerja dengan setengah hati. Sebaliknya hanya ada sedikit jumlah pustakawan yang terpanggil untuk bekerja sebagai the true librarian. Hal ini membawa dampak pada etos dan kinerja pustakawan yang akhirnya berdampak pada kualitas pelayanan.
Pemeritahpun menghargai pustakwan sama halnya dengan masyarakat umum. Dari semua jenis fungsional yang ada, pustakawan berada pada “kasta” yang bisa dikatakan paling rendah, tentu saja dengan tunjangann yang paling sedikit pula.
Yang tidak kalah menariknya adalah sebuah kenyataan bahwa keterpurukan citra pustakawan dirusak oleh “pustakawan” sendiri. Pada saat ini kita sedang menyaksikan sebuah fenomena yang memilukan, yaitu para pengelola perpustakaan merasa malu atau minder mengenalkan dirinya sebagai pustakawan. Sampai ada seseorang yang latar pendidikan sampai jenjang S2 perpustakaan, akan tetapi tidak digunakan untuk menunjang kariernya sebagai pustakwan, malah memilih menjadi peneliti pusdokinfo dengan alasan predikat peneliti lebih keren daripada pustakawan. Demikian juga di kalangan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan, apabila ditanyakan tentang jurusan yang diambilnya, biasanya dengan malu-malu mengatakannya. Begitu juga banyak terjadi di perusahaan-perusahaan besar, bidang dokinfo—yang perpustakaan berada di dalamnya—menjadi bidang untuk menampung orang-orang “buangan.” Ditempatkan di bagian perpustakaan sama dengan dimasukan kedalam “peti mati” atau karirnya telah berakhir.
Begitulah kita saksikan potret buram pustakawan dalam realitas keindonesiaan. Gambaran di atas sangat kontradiktif dengan citra pustakawan di masa lalu. Kalau kita berkaca pada sejarah, disana kita akan menyaksikan pustakawan menjadi elit politik dalam struktur sosial. Kedudukannya disejajarkan dengan tokoh spiritual dan para pemegang kebijakan, karena pada waktu itu memang perpustakaan hanya ada di dua tempat yaitu di istana (pusat kekuasaan) dan kuil atau tempat ibadah (pusat kekutan spiritual). Dari segi kompetensi pun seorang pustakawan biasanya memiliki berbagai macam kecakapan (multitalenta) dan berbagai macam bahasa (polilinguish). Sebagai contoh kita lihat misalnya Jorge Luis Borges yang pernah mengatakan "I have imagined that paradise will be a kind of library." Ia menjadi pustakawan dengan dilandasi oleh keinsafan bahwa menjadi pengelola perpustakaan merupakan panggilan jiwa bukan sekedar panggilan tugas untuk mencari nafkah. Satu lagi contoh, yang dekat dengan kesejarahan kita, adalah GP Rouffaer, ia adalah seorang pustakawan ahli pada lembaga studi kolonial (KITLV) yang menyusun Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie dan De batikkunst in Nederlandsch-Indie en haar geschidiedenis (Seni Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya). Rouffaer juga dilibatkan oleh Alexander Idenburg, Menteri Urusan Jajahan, dalam penelitian tentang keadaan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pribumi (Kompas, 8 Januari 2007)
Borguis dan Rouffaer telah tiada dan mungkin hanya mereka berdualah pustakawan ideal yang ada dalam sejarah peradaban manusia. Akan tetapi bukan hal yang mustahil bahwa citra ideal tersebut menjadi sebuah inspirasi untuk memulai membangun citra pustakawan Indonesia.
Secara sederhana citra diri dapat diartikan sebagai gambaran kita terhadap diri sendiri atau pikiran kita tentang pandangan orang lain terhadap diri kita. Dengan pengertian tersebut maka akan mengajak kita untuk menjawab seluruh pertanyaan yang sangat fundamental: kita ingin dipahami oleh masyarakat sebagai apa ? Atau, citra apa yang kita inginkan bagi diri kita sendiri? Pertanyaan itu menjadi fundamental karena pada dasarnya kitalah yang bertanggung jawab atas citra diri kita. Kitalah yang bertanggung jawab atas kesalahpahaman orang lain terhadap kita.
Dengan kata lain, apa yang dipahami orang lain tentang kita sebenarnya dibentuk oleh akumulasi sikap, perilaku, dan cara kita mengekspresikan diri. Kemunculan kita ke publik, dalam bentuk apapun, melalui suatu proses waktu. Secara perlahan-lahan akan membentuk “kesan atau imej” tertentu dalam benak publik. Apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar tentang kita, itulah yang menjadi faktor pembentuk citra kita di benak mereka. Jadi, citra adalah kesan imajinatif yang terbentuk dalam benak publik dalam rentang waktu tertentu dan terbentuk oleh keseluruhan informasi tentang diri kita yang sampai ke publik. (Matta, 2002: 177)


 


BAB III
PENUTUP
  Citra  merupakan seperangkat kesan di dalam pikiran masyarakat sebagai user/pemakai terhadap suatu objek. Dalam hal ini,yang dibahas adalah citra seorang pustakawan. Telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa citra seorang pustakawan di mata masyarakat hanyalah di pandang sebelah mata. Pustakawan hanyalah dianggap sebagai penjaga buku di perpustakaan dan dianggap sebagai profesi yang rendah dari profesi-profesi lain.  Namun,akan adanya paradigma baru ini, citra pustakawan di mata masyarakat sudah berubah dengan seiring berkembangnya teknologi dan informasi seperti ini. Pada hakekatnya tugas pustakawan adalah menyediakan informasi yang terdapat dalam berbagai media ,jenis ,dan bentuk. Bukan hanya itu saja yang dapat dilakukan pustakawan . Banyak pekerjaan yang menjadi tugas pustkawan ahli,bukan hanya sekedar penjaga buku seperti pandangan masyarakatnya umumnya.




Referensi
Dahlan, Muhidin M. ”Andai Perpustakaan Buka Sampai Pukul 12 Malam” dalam Radar Bandung, 23 April 2006
Hernandono. Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Pustakawan Utama. Jakarta: Jurnal perpustakaan DIII FISIP UNS, 2008.
Matta, Anis. Menikmati Demokrasi. Jakarta: Pustaka Saksi, 2002.
Sharif, Mohd. Information Literacy in Malaysia: Development and challenges. IPI Seminar Paper 14 November 2006, Bali.

0 komentar: