BAB I
PENDAHULUAN
Untuk menentukan kemajuan suatu
bangsa, tidak dapat di pungkiri bahwa
informasi sangat penting untuk menunjang
dalam mewujudkan itu. Oleh karena itu, penguasaan informasi harus di
maksimalkan. Dalam hal ini, peran perpustakaan sangat dibutuhkan sebagai sarana
sumber, pengolahan, dan penyimpanan bahan pustaka atau bahan informasi.
Paradigma perpustakaan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman.
Paradigma lama yang menyebutkan bahwa perpustakaan di artikan sebagai sebuah
gedung atau ruangan tempat menyimpan buku, sehingga memunculkan rasa minder dan
merasa rendah diri karena menganggap pustakawan merupakan pekerjaan yang tidak
membanggakan. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab buruknya citra
terhadap profesi pustakawan.
Pustakawan
menjadi sebuah kata yang sedang mengalami keretakkan makna, melahirkan
multitafsir dan beragam persepsi. Dalam konteks keindonesiaan, pemegang kunci
jendela dunia ini, kini nasibnya tidak jauh dari para pembuka pintu lintasan
kereta. Masyarakat pun memberikan penghargaan kepada pustakawan lebih rendah
dibanding kepada profesi lain seperti dokter, pengacara, guru, peneliti, dan
lain-lain. Malah masih banyak masyarakat yang belum tahu makhluk jenis apa
pustakawan itu. Di Indonesia pustakawan kalah populer dibanding dengan
komen-tator artis atau dukun santet yang memang sedang menjadi hegemoni
komoditas industri irrasional. Cobalah anda bertanya kepada anak-anak yang baru
masuk sekolah, bahkan bisa diperkirakan tidak banyak atau hampir tidak ada satu
orang pun yang cita-citanya ingin menjadi pustakawan. Keadaan ini mengingatkan
kita pada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa hanya orang yang berilmu yang
akan menghargai ilmu. Hanya masyarakat terdidik yang akan menghargai
pustakawan. Citra pustakawan adalah cermin realitas bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
Citra dan Pencitraan Pustakawan
Citra adalah bayangan, lukisan, gambaran tentang
sesuatu yang mungkin tercipta dalam ketidaksengajaan atau terbentuk dari
perilaku yang terus menerus sehingga pihak pemerhati kemudian memberikan
persepsi yang dipengaruhi bagaimana orang memandang, pola pikir, gambaran
menurut orang perorang atau khalayak. Namun citra yang sebenarnya bersifat
alami, meskipun tentu tidak eksak karena ia hanyalah lukisan dan gambaran
seseorang atau segala sesuatu, sering citra termanipulasi atau justru
dimanipulasi untuk disengaja dibangun (pencitraan diri) untuk maksud-maksud
tertentu.
Citra yang merupakan seperangkat kesan di dalam
pikiran masyarakat sebagai user/pemakai terhadap suatu objek. Sedangkan
kepustakawanan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pustakawan, seperti profesi
kepustakawanan dan penerapan ilmu. Misalnya dalam hal pengadaan koleksi,
pengolahan, pendayagunaan, dan penyebaran informasi kepada pemakai. Profesi
pustakawan di negeri ini masih merupakan pilihan profesi alternatif, tenaga
pustakawan “dipandang sebelah mata”, “tenaga buangan” di mana perpustakaan
adalah unit kerja tempat pembuangan pegawai yang kurang berprestasi. Masih ada
anggapan bahwa perpustakaan dapat diurus oleh siapa saja. Mereka bekerja
sebagai pustakawan kebetulan ( a pseudo librarian) di mana mereka terpaksa
bekerja di perpustakaan karena tidak diterima di tempat lain, menjadi tenaga
perpustakaan yang bekerja dengan setengah hati. Sebaliknya hanya ada sedikit
jumlah pustakawan yang terpanggil untuk bekerja sebagai the true librarian. Hal
ini membawa dampak pada etos dan kinerja pustakawan yang akhirnya berdampak
pada kualitas pelayanan.
Pemeritahpun
menghargai pustakwan sama halnya dengan masyarakat umum. Dari semua jenis
fungsional yang ada, pustakawan berada pada “kasta” yang bisa dikatakan paling
rendah, tentu saja dengan tunjangann yang paling sedikit pula.
Yang tidak
kalah menariknya adalah sebuah kenyataan bahwa keterpurukan citra pustakawan
dirusak oleh “pustakawan” sendiri. Pada saat ini kita sedang menyaksikan sebuah
fenomena yang memilukan, yaitu para pengelola perpustakaan merasa malu atau
minder mengenalkan dirinya sebagai pustakawan. Sampai ada seseorang yang latar
pendidikan sampai jenjang S2 perpustakaan, akan tetapi tidak digunakan untuk
menunjang kariernya sebagai pustakwan, malah memilih menjadi peneliti
pusdokinfo dengan alasan predikat peneliti lebih keren daripada
pustakawan. Demikian juga di kalangan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan,
apabila ditanyakan tentang jurusan yang diambilnya, biasanya dengan malu-malu
mengatakannya. Begitu juga banyak terjadi di perusahaan-perusahaan besar,
bidang dokinfo—yang perpustakaan berada di dalamnya—menjadi bidang untuk
menampung orang-orang “buangan.” Ditempatkan di bagian perpustakaan sama dengan
dimasukan kedalam “peti mati” atau karirnya telah berakhir.
Begitulah
kita saksikan potret buram pustakawan dalam realitas keindonesiaan. Gambaran di
atas sangat kontradiktif dengan citra pustakawan di masa lalu. Kalau kita
berkaca pada sejarah, disana kita akan menyaksikan pustakawan menjadi elit
politik dalam struktur sosial. Kedudukannya disejajarkan dengan tokoh spiritual
dan para pemegang kebijakan, karena pada waktu itu memang perpustakaan hanya
ada di dua tempat yaitu di istana (pusat kekuasaan) dan kuil atau tempat ibadah
(pusat kekutan spiritual). Dari segi kompetensi pun seorang pustakawan biasanya
memiliki berbagai macam kecakapan (multitalenta) dan berbagai macam bahasa
(polilinguish). Sebagai contoh kita lihat misalnya Jorge Luis Borges yang
pernah mengatakan "I have imagined that paradise will be a kind of
library." Ia menjadi pustakawan dengan dilandasi oleh keinsafan bahwa
menjadi pengelola perpustakaan merupakan panggilan jiwa bukan sekedar panggilan
tugas untuk mencari nafkah. Satu lagi contoh, yang dekat dengan kesejarahan
kita, adalah GP Rouffaer, ia adalah seorang pustakawan ahli pada lembaga studi
kolonial (KITLV) yang menyusun Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie dan De
batikkunst in Nederlandsch-Indie en haar geschidiedenis (Seni Batik di Hindia
Belanda dan Sejarahnya). Rouffaer juga dilibatkan oleh Alexander Idenburg,
Menteri Urusan Jajahan, dalam penelitian tentang keadaan sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat pribumi (Kompas, 8 Januari 2007)
Borguis dan
Rouffaer telah tiada dan mungkin hanya mereka berdualah pustakawan ideal yang
ada dalam sejarah peradaban manusia. Akan tetapi bukan hal yang mustahil bahwa
citra ideal tersebut menjadi sebuah inspirasi untuk memulai membangun citra
pustakawan Indonesia.
Secara sederhana citra diri dapat diartikan
sebagai gambaran kita terhadap diri sendiri atau
pikiran kita tentang pandangan orang lain terhadap diri kita. Dengan pengertian
tersebut maka akan mengajak kita untuk menjawab seluruh pertanyaan yang
sangat fundamental: kita ingin dipahami oleh masyarakat sebagai apa ? Atau,
citra apa yang kita inginkan bagi diri kita sendiri? Pertanyaan itu menjadi
fundamental karena pada dasarnya kitalah yang bertanggung jawab atas citra diri
kita. Kitalah yang bertanggung jawab atas kesalahpahaman orang lain terhadap
kita.
Dengan kata lain, apa yang dipahami orang lain
tentang kita sebenarnya dibentuk oleh akumulasi sikap, perilaku, dan cara kita
mengekspresikan diri. Kemunculan kita ke publik, dalam bentuk apapun, melalui
suatu proses waktu. Secara perlahan-lahan akan membentuk “kesan atau imej”
tertentu dalam benak publik. Apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar
tentang kita, itulah yang menjadi faktor pembentuk citra kita di benak mereka.
Jadi, citra adalah kesan imajinatif yang terbentuk dalam benak publik dalam
rentang waktu tertentu dan terbentuk oleh keseluruhan informasi tentang diri
kita yang sampai ke publik. (Matta, 2002: 177)
BAB III
PENUTUP
Citra merupakan seperangkat kesan di dalam pikiran
masyarakat sebagai user/pemakai terhadap suatu objek. Dalam hal ini,yang
dibahas adalah citra seorang pustakawan. Telah disebutkan pada bab sebelumnya
bahwa citra seorang pustakawan di mata masyarakat hanyalah di pandang sebelah
mata. Pustakawan hanyalah dianggap sebagai penjaga buku di perpustakaan dan
dianggap sebagai profesi yang rendah dari profesi-profesi lain. Namun,akan adanya paradigma baru ini, citra
pustakawan di mata masyarakat sudah berubah dengan seiring berkembangnya
teknologi dan informasi seperti ini. Pada hakekatnya tugas pustakawan adalah menyediakan
informasi yang terdapat dalam berbagai media ,jenis ,dan bentuk. Bukan hanya
itu saja yang dapat dilakukan pustakawan . Banyak pekerjaan yang menjadi tugas
pustkawan ahli,bukan hanya sekedar penjaga buku seperti pandangan masyarakatnya
umumnya.
Referensi
Dahlan, Muhidin M.
”Andai Perpustakaan Buka Sampai Pukul 12 Malam” dalam Radar Bandung,
23 April 2006
Hernandono. Orasi
Ilmiah dan Pengukuhan Pustakawan Utama. Jakarta: Jurnal perpustakaan DIII
FISIP UNS, 2008.
Matta,
Anis. Menikmati Demokrasi. Jakarta: Pustaka Saksi, 2002.
Sharif, Mohd. Information
Literacy in Malaysia: Development and challenges. IPI Seminar Paper 14
November 2006, Bali.
0 komentar:
Posting Komentar