Untuk sebagian orang, kelahiran perpustakaan digital merupakan lompatan
raksasa -a quantum leap- yang menghadirkan sesuatu yang sama sekali baru dalam
kehidupan manusia. Seolah-olah, perpustakaan digital adalah sebentuk institusi yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan institusi-institusi sebelumnya. Namun
kata ‘perpustakaan’ di dalam ‘perpustakaan digital’ itu sendiri membuktikan
bahwa kalaupun ada lompatan, maka lompatan itu sebenarnya terjadi karena ada
landasan penjejak yang dipakai untuk melompat. Seberapa jauh kita melompat,
tergantung kepada seberapa kokoh landasan untuk melompat.
Sebelum konsep perpustakaan digital mengristal dan populer seperti sekarang ini, ada beberapa pemikiran tentang perkembangan perpustakaan digital yang lebih evolutif dan memberikan perhatian yang lebih banyak kepada peran penting ‘perpustakaan biasa’. Pemikiran tersebut terangkum dalam konsep tentang perpustakaan hibrida (hybrid library). Setelah melalui berbagai diskusi, konsep ini sempat menjadi tumpuan bagi para praktisi untuk lebih sadar tentang kesulitan yang dialami jika ingin mendirikan perpustakaan digital sebagai sesuatu yang baru sama sekali. Oppenheimer dan Smithson (1999) merangkum konsep itu sebagai suatu kesatuan antara lingkungan fisik dan lingkungan elektronik yang dikelola oleh institusi ‘perpustakaan biasa’ (lihat gambar di bawah).
Negara yang termasuk paling aktif melakukan penelitian dan pengembangan konsep perpustakaan hibrida adalah Inggris. Negara ini menyelenggarakan lima proyek perpustaaan hibrida, masing-masing diberinama BUILDER, AGORA, MALIBU, HeadLine, dan HyLife. Masing-masing proyek ini memiliki ciri tersendiri namun secara bersama mereka mencari cara terbaik mengembangkan jasa perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi terbaru. Secara sepintas, perbedaan masing-masing proyek itu adalah sebagai berikut:
Sebelum konsep perpustakaan digital mengristal dan populer seperti sekarang ini, ada beberapa pemikiran tentang perkembangan perpustakaan digital yang lebih evolutif dan memberikan perhatian yang lebih banyak kepada peran penting ‘perpustakaan biasa’. Pemikiran tersebut terangkum dalam konsep tentang perpustakaan hibrida (hybrid library). Setelah melalui berbagai diskusi, konsep ini sempat menjadi tumpuan bagi para praktisi untuk lebih sadar tentang kesulitan yang dialami jika ingin mendirikan perpustakaan digital sebagai sesuatu yang baru sama sekali. Oppenheimer dan Smithson (1999) merangkum konsep itu sebagai suatu kesatuan antara lingkungan fisik dan lingkungan elektronik yang dikelola oleh institusi ‘perpustakaan biasa’ (lihat gambar di bawah).
Negara yang termasuk paling aktif melakukan penelitian dan pengembangan konsep perpustakaan hibrida adalah Inggris. Negara ini menyelenggarakan lima proyek perpustaaan hibrida, masing-masing diberinama BUILDER, AGORA, MALIBU, HeadLine, dan HyLife. Masing-masing proyek ini memiliki ciri tersendiri namun secara bersama mereka mencari cara terbaik mengembangkan jasa perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi terbaru. Secara sepintas, perbedaan masing-masing proyek itu adalah sebagai berikut:
BUILDER Hybrid Library, dikembangkan di University of Birmingham untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tinggi, mulai dari mahasiswa, pengajar, sampai para pengelola kampus. Proyek ini berkonsentrasi pada pengamatan tentang lingkungan penyediaan jasa informasi (service environment) yang menggabungkan jasa perpustakaan biasa dan jasa elektronik. Kebetulan, pada saat bersamaan University of Birmingham juga sedang mengembangkan lingkungan belajar baru yang memanfaatkan teknologi komputer.
AGORA merupakan sebuah konsorsium yang dipimpin oleh University of East Anglia dengan konsentrasi pada Hybrid Library Management System. Dalam proyek ini, perhatian diberikan kepada pengembangan sistem informasi berbasis konsep ‘cari-temukan, diminta-sajikan’ (search, locate, request and deliver). Berbagai eksperimen dilakukan untuk mengembangkan sebuah layanan terintegrasi, menggunakan standar Z39.50, yang menyatukan berbagai fungsi dan jasa perpustakaan ke dalam satu layanan berbasis web. Pemakai diharapkan dapat terbantu oleh sebuah layanan yang serupa untuk berbagai macam keperluan menggunakan berbagai jenis media, baik yang ada di koleksi lokal perpustakaan, maupun yang ada di koleksi perpustakaan luar.
MALIBU dikembangkan oleh King’s
College London, khusus untuk mempelajari pengembangan perpustakaan hibrida di
bidang ilmu budaya (humanities). Menarik untuk dicatat, proyek ini mempelajari
pula kemungkinan keterlibatan para pemakai jasa dengan mengajak mereka membuat
sebuah User Scenario. Para teknolog dan pustakawan kemudian menerapkan skenario
ini pada rencana pengembangan jasa dan manajemen jasa itu.
HeadLine Project
dikerjakan oleh London School of Economics bereksperimen dengan lingkungan jasa
informasi personal alias Personal Information Environment (PIE) dengan
mengembankan sebuah portal yang memungkinkan para pemakai perpustakaan
mengakses informasi elektronik maupun non-elektronik secara terintegrasi.
Portal PIE ini dapat diubah-ubah sesuai selera pemakai dan memberikan fasilitas
untuk menghimpun pemakai yang memiliki kepentingan sama dalam satu kelompok
khusus.
HyLife di
University of Northumbria memfokuskan diri pada masalah-masalah non-teknologi
untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida.
Salah satu hasil proyek ini adalah Hybrid Library Toolkit, sebuah panduan
berisi 10 langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin
mengembangkan jasa elektronik mereka yang sesuai dengan kebutuhan institusi. Dari
temuan di proyek-proyek tersebutlah, para pustakawan dan teknolog Inggris
mengembangkan terus konsep perpustakaan hibrida sebagai sebuah perpustakaan
yang secara bersamaan membangun koleksi terdiri dari koleksi berjenis ‘baru’
(elektronik atau digital) dan koleksi ‘lama’ (tercetak) secara terintegrasi,
sedemikian rupa sehingga pemakai jasa perpustakaan tidak mengalami kesulitan
memakai kedua jenis koleksi tersebut. Teknologi informasi dan jaringan
telematika berperan sebagai fasilitas untuk mempertemukan kedua koleksi itu
dalam sebuah gerbang (gateway), baik yang ditempatkan secara fisik di ruang
perpustakaan, maupun yang dapat diakses lewat Internet dari luar perpustakaan.
Perbedaan utama dari portal perpustakaan hibrida dari portal perpustakaan yang
sepenuhnya digital adalah dalam dua hal, yaitu:
Perpustakaan
hibrida memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi
elektronik atau digitalnya. Portal perpustakaan yang sepenuhnya digital, tidak
memiliki koleksi tercetak sama sekali. Perpustakaan hibrida juga bermaksud
mempertahankan koleksi tercetak, bukan menggantikan semuanya dengan koleksi
elektronik atau digital.
Perpustakaan
hibrida memperluas konsep dan cakupan jasa informasi, sehingga penambahan
koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak
dipisahkan dari jasa berbasis koleksi tercetak. Jasa koleksi tercetak diperluas
dan dikelola secara lebih beragam lewat bantuan komputer. Dengan kata lain,
perpustakaan hibrida bukan hanya perpustakaan tercetak DAN elektronik,
melainkan gabungan keduanya secara menyeluruh sehingga koleksi tercetak kini
dimanfaatkan dengan cara berbeda dibandingkan sebelum ada komputer.
Jelas terlihat di dalam konsep-konsep perpustakaan hibrida yang kita bahas di atas, terdapat prinsip untuk mempertahankan keberadaan perpustakaan dengan koleksi tercetak, sebab pada dasarnya pemakai jasa masih memerlukan koleksi tersebut. Selain itu, ada banyak sekali karakter koleksi tercetak yang tidak dapat begitu saja tergantikan oleh digitalisasi. Buku cetak tidak tergantikan oleh buku digital, jurnal cetak tidak tergantikan oleh jurnal digital. Namun, dapat dikatakan pula, keberadaan buku digital dan jurnal digital mengubah cara orang menggunakan buku dan jurnal tercetak.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, perpustakaan yang ingin tetap serius melayani pemakainya, harus terus memikirkan bagaimana menyediakan akses ke dua jenis koleksi mereka, sekaligus menciptakan lingkungan baru yang mungkin berbeda sama sekali dibandingkan lingkungan informasi yang sebelumnya hanya berbasis koleksi tercetak. Adalah tugas para pustakawan mengelola lingkungan baru ini, sedemikian rupa sehingga para pemakai tetap betah menggunakan jasa mereka sesuai kebutuhan mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep perpustakaan hibrida juga dapat diperluas menjadi lingkungan informasi hibrida (hibrida hybrid information environment). Di dalam lingkungan seperti ini, maka jenis koleksi bukan satu-satunya penentu karakteristik dari jasa sebuah perpustakaan. Artinya, apa pun jenis koleksinya, sebuah perpustakaan harus dapat mengembangkan suasana yang memungkinkan pemakai memanfaatkan koleksi tersebut. Jika suatu saat sebuah perpustakaan memiliki lebih dari satu jenis koleksi, maka saat itulah perpustakaan tersebut memikirkan lingkungan campuran alias lingkungan hibrida. Kalau penambahan jenis koleksi yang baru tersebut adalah koleksi digital, maka koleksi lama dengan jenis lama tidak perlu disingkirkan, melainkan digabung menjadi bagian dari satu layanan hibrida. Demikian seterusnya, ketika jenis koleksi diperluas menjadi koleksi jarak jauh (remote access), maka koleksi lokal atau koleksi jarak dekat tidak perlu dihapus, melainkan digabung lagi menjadi bagian dari lingkungan hibrida.
0 komentar:
Posting Komentar