Senin, 22 April 2013

Menyimak Pemikiran Keislaman Hassan Hanafi

Kata Pengantar dari Penulis
Artikel  ini dibagi dua bagian. Pertama berjudul: "Menyimak Pemikiran Keislaman Hassan Hanafi". Bagian kedua berupa rekonstruksi teologis atau pembahasan pemikiran keislaman Hassan Hanafi dalam konteks kekinian yang, Insya Allah, akan dipaparkan kemudian dalam rubrik artikel dosen ini.
Berikut artikel bagian pertama tersebut:
A. PENDAHULUAN
Hassan Hanafi adalah seorang cendekiawan muslim yang menaruh perhatian atas pembaruan atau lebih tepatnya sering disebut dengan rekonstruksi ilmu-ilmu keislaman (klasik) seperti ilmu Ushuluddin dan Fiqh yang disesuaikan dengan realitas obyektif.. Lebih jauh lagi, pemikiran Hassan Hanafi dikenal dengan segi tiga emas pemikiran Islam yang memadukan ketiga unsur dari tradisi klasik, tradisi Barat dan kekinian (contextual).
Walaupun Hassan Hanafi lahir, besar, aktif dalam barisan pemuda yang berjuang membebaskan bangsanya dan kaum muslimin dari bentuk-bentuk penjajahan Barat, tetapi Hassan Hanafi muda banyak belajar dari Barat dalam hal kebebasan berpikir. Dari sinilah kemudian Hanafi menganialisis fenomena pemikiran termasuk pemikiran Islam (klasik), lantas mewarnai pemikiran keislaman dengan mengkaitkan dengan tradisi keilmuan yang berkembang secara progresif dalam konteks peradaban Barat. Keterpaduan yang dikenal dengan istilah segitiga emas pemikiran Islam ini kemudian membawa sang pendobrak kejumudan (kemandekan) berpikir dalam tradisi kesilaman ini sebagai salah satu tokoh pemikir reformis (pembaru) yang memperkaya khasanah pemikiran progresif kontekstual disertai semangat kebebasan berpikir. Sehingga bergerak dari statis ke anarkis(me).
Cendekiawan yang sukses adalah cendekiawan yang mampu menjadikan dirinya sebagai cermin bagi realitas zamannya melalui pikiran-pikiran cerdas yang menawarkan solusi kreatif-efektif.bagi problematika yang menantang realitas. Cendekiawan muslim yang sukses melalui terobosan pemikirannya mampu menembus kebuntuan berpikir yang bermanfaat demi kemaslahatan sosial. Dengan demikian, pikiran-pikiran yang digulirkan senantiasa merupakan jawaban atas problematika sosial yang dikaitkan dengan realitas. Hassan Hanafi sosok pemikir yang unik. Ia tidak layak dikatakan sebagai pemikir tradisional karena ia membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Namun, ia tidak juga pantas disebut selaku pemikir modernis dikarenakan ia mengkritik tajam modernitas dan menjadikan wacana tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada masa kini dan yang akan datang. Bahkan ia juga bukan termasuk pemikir fundamentalis sebab ia memakai analisis intelektual dengan penekanan pada rasionalitas. Tetapi ia tetap bisa disebut pemikir pembaru karena pemikirannya kontektual yang berhubungan realitas obyektif . Pemikirannya menjadi rujukan sejumlah cendekiawan Muslim di Indonesia terutama mereka yang berasal dari perguruan tinggi agama Islam (UIN) dahulu IAIN..
B. INTI BACAAN BUKU ISLAMOLOGI 1
Salah satu karya pemikiran Hassan Hanafi sejak 1978 yang kemudian dibukukan pada tahun 1981 adalah Dirasat Islamiyah (Studi Islam). Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul: " Islamologi 1 Dari Teologi Statis Ke Anarkis" yang inti tulisannya mengupas tentang pemahaman Hassan Hanafi yang meliputi Ilmu Usuluddin, Nalar dan Transferensi (teks religius), serta Ilmu Usul Fiqh. Istilah statis ke anarkis mengandung makna dari sesuatu yang diam tidak bergerak berubah menuju sesuatu yang bebas tidak terikat satu aturan. Kajian ini merupakan elaborasi berbagai pandangan para pakar terdahulu. Telaah dikemas secara kontemporer diarahkan pada revitalisasi dan atau repersepsi materi klasik yang ada sesuai dengan tuntutan realitas dan jaman.
Ilmu Usuluddin dalam konteks tulisan Hassan Hanafi diarahkan pada strukturisasi dan teorisasi ideologi dan hipotesis (putusan rasional dalil-dalil ideologi pasca kematian rasul yang berpegang teguh pada rasio dan naql (teks religious). Pemahaman tentang ilmu Usuluddin dikaitkan dengan upaya sistematisasi problem kehidupan di dunia, berorientasi pada justifikasi kepercayaan relijius dan purifikasi keimanan dengan keyakinan. Ilmu usul Fiqh diteropong dengan studi eksploratif. Dengan ilmu inilah lalu direkontruksikan inklusivitas tradisi, integrasi antara yang lama dan yang baru. Melalui sela-sela usul Fiqh dapat diketahui dan diantisipasi masa lampau, masa kini dan masa depan kaum muslimin.
Paling tidak Hanafi mengeksplorasi tiga kesadaran dalam mengulas studi Islam. Pertama, kesadaran historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis yang dapat ditransmisikan. Kedua, kesadaran spekulatif berkaitan atas pemahaman interpretasi teks-teks dari sudut analisis bahasa. Ketiga, kesadaran praksis, yang dikaitkan dengan keterhubungan atau relevansi nilai-nilai pada substansi kehidupan praksis kekinian.
Kesadaran tidak pernah bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran merupakan praksis tindakan Hanafi mencermati bahwa sebuah risalah pemikiran bukanlah suatu risalah pemikiran ideal apabila tidak berkaitan dengan realitas obyektif dan tidak memiliki kemasalahatan bagi masyarakat luas. Oleh karena itu pendekatan eksploratif yang dilakukan merupakan perpaduan antara kajian studi Islam klasik-tradisional dan pandangan Barat-modern serta dikaitkan pada tataran kekinian. Konsep ini sangat relevan ditinjau dari persoalan umat Islam pada masa lalu hingga kini.
Bab 1. Ilmu Usuluddin
Ilmu Usuluddin adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji obyek tertinggi (Allah) dan arah kebutuhan terhadap ilmu ini adalah restrukturisasi teoretisasi ideologi dan hipotesis dalil-dalil pasca kematian rasul yang berpegang teguh pada rasio dan naql.
Paling tidak ada lima nama lain dari ilmu Ushuluddin. Pertama, Ilm'Ushul ad-Din: (melakukan analogisasi terhadap ideologi religius dan dibangun dalam rasio). Kedua,
‘Ilm al-Kalam (menggunakan firman Allah, Al Quran sebagai objek yang disebut ilmu pengetahuan adalah kalam yang berpengaruh dalam hati. Ketiga,‘Ilm al - Aqaid al-Islamiyah (ilmu ideologi Islam secara sistematis: ilmu pengetahuan ini disebut sebagai al-Fiqh al-Akbar vis a vis al-Fiqh al-Asghar (merupakan nilai-nilai bagi tindakan atau perbuatan praksis kehidupan manusia). Keempat, ‘Ilm at-Tauhid: (ilmu pengetahuan yang menempatkan tauhid sebagai keyakinan utama_. Kelima,‘Ilm adz-Dzat wa as-Shifah: (menjadikan persoalan zat/esensi dan sifat/atribut sebagai hal utama). Menurut pemahaman ini kedudukan naql lebih utama dari rasio (paham kasb). Ini merupakan sikap-sikap Asy'arisme.

Epistemologi dan Ontologi
Otentisitas epistemologi studi Islam muncul dalam analisa materi-materi argumentasi yakni rasional (aqliyyah) dan tekstual (naqliyyah). Pada intinya, konstruksi ilmu pengetahuan diklasifikasikan kedalam konsepsi (tashawwur) berupa pernyataan yang jelas dan konfirmasi (tashdiq) yang berupa argumen atau dalil. Masing-masing klasifikasi pengetahuan itu dibagi menjadi badihi (yang terbukti dengan sendirinya) bersifat fitrah dan kasbi (perolehan) yang datang melalui indera dan pengalaman (empiris).
Argumentasi terdiri dari argumen rasional (aqliyah) dan argumen tekstual (naqliyah). Argumentasi rasional terdiri atas yang pasti-definitif (qath'iyyah) berpegang pada bukti (burhan) dan dalil atau argumentasi spekulatif (zhanniyyah). Epistemologi berkembang mulai dari keraguan aksetik, taklid, estimasi dan inspirasi sumber pengetahuan subyektif seperti transendensi, inderawi, empirik, badihiyyah dan mutawatirat (periwayatan yang valid dan shahih) hingga menjadi teori ilmu pengetahuan yang komprehensif. Setelah itu epistemologi menyatu dengan ontologi didalam mengenali tiga hukum rasional yaitu mungkin, wajib dan mustahil (absurb).
Singkatnya, meski epistemologi dapat mencapai sebagian dasar kognitif universal seperti konstruksi naql atas dasar rasio, tetapi tetap berada dalam ranah logika epistemologi klasik yakni ilmu pengetahuan formal yang tidak terlepas dari pertautan agama dengan kepentingan umum dan pengaruhnya terhadap pragmatisme sosial.
Dalam konteks ontologi para ulama ushuluddin kemudian menganalisis keniscayaan, kemungkinan, yang dahulu dan yang baru sebagai pemahaman-pemahaman untuk diskursus tentang Allah dan penetapan eksistensi Nya. Para filsuf menegaskan ke- qadim-an alam dengan menetapkannya sebagai yang menciptakan (ash-Shain), tapi para teolog menolak ke-qadim-an segala sesuatunya selain Allah.
Pembahasan lain dalam bab ini adalah mengenai deskripsi Esensi(subyek) ketuhanan berikut Atribut yang menyertai; Penciptaan tindakan (kasb vs ikhtiyar), Baik & Buruk - Allah bebas melakukan vs perbuatan manusia sendiri - (Asy'arisme vs Mu'tazilah); Kenabian, risalah kenabian yang satu menghapus risalah kenabian yang lain. Setiap Nabi memenuhi siklusnya dalam suatu fase kehidupan; Kiamat, revitalisasi badan adalah mungkin baik menurut aql maupun naql; Iman dan Praksis, (antara iman dan praksis tindakan menyatu - Mu'tazilah, sedangkan Asy'arisme mengeluarkan praksis tindakan dari iman); Kepemimpinan (al-Imamah), Syiah vs Ahlussunnah - sebagai landasan fundamental, salah satu bagian usuluddin (Syi'ah), sedangkan Ahlussunnah menganggap sebaliknya.
Kehidupan kaum muslimin pada saat ini sangat mengharapkan adanya pikiran-pikiran baru mencerahkan sehingga keyakinan Islamiah tampil di hadapan problem-problem aktual kaum muslimin seperti keterbelakangan dan kolonialisme.
Perkembangan Karya-Karya dalam Ilmu Usuluddin:
Karya-karya yang disusun tentang ilmu usuluddin terbagi dua. Pertama, sejarah sekte Islam: Mu'tazilah, Khawarij, Syi'ah dan Murji'ah Kedua, mengenai keyakinan keislaman yang mengungkap pandangan sektarian yang diperoleh dari pemahaman keyakinan. Karya-karya ini berkembang sejalan dinamika ilmu pengetahuan dan dapat dibagi lintas perkembangannya sebagai berikut:
a. Kemunculan aliran dari aspek obyek (tauhid, kenabian dan kepemimpinan)
b. Dari problematika ke obyek dan dari obyek ke landasan pokok
c. Dari pokok agama (usuluddin) ke konstruksi ilmu pengetahuan
d. Dari konstruksi ilmu pengetahuan menuju keyakinan keimanan
e. Dari keyakinan menuju ideologi revolusi (at-Tauhid, Muhammad Abduh (1323 H).
Dalam lintas perkembangan ilmu Usuluddin tampak pada fase kelima mulai kita lihat pemikiran progresif menjawab tantangan jaman dan mewujudnyatakan keyanikan yang dimiliki kearah ideologi pembebasan (anarkisme) bersifat revolusioner seperti yang dirintis Muhammad Abduh. Dari sini kiranya pengaruh pemikiran Hassan Hanafi kemudian berkembang dalam melahirkan progresifitas dan melakukan upaya penguatan keyakinan melalui tradisi klasik, Barat dan mengkaitkannya dengan realitas obyektif.
Bagi Hassan Hanafi prioritas kaum muslimin pada masa kini (saat pokok pikirannya itu dikembangkan dalam Dirasat Islamiyah) adalah peniadaan klaim kafir terhadap individu dan kembali pada kesatuan ide. Sepanjang mereka tunduk pada petunjuk akal, seperti kebaruan alam, kesatuan pencipta dan atribut-atributnya maka mereka adalah komunitas muslim. Kepada mereka harus disampaikan ajakan menuju Islam.
Setiap mujtahid mempunyai kehidupan dan pikiran yang mengedepankan kesetaraan atau egalitarianisme dengan setiap individu yang lain. Dari pada mengklaim seseorang atau kelompok (sekte) berada dalam kekafiran, lebih baik mengajak pada Islam yang dijelaskan melalui bukti-bukti demonstratif (burhan), manifestasi dari tauhid dan aktualisasi pengaruhnya dalam kehidupan komunitas muslim. Setiap pandangan diikuti dan dikuatkan dengan suatu dalil dan bukti demonstratif yakni pembuktian yang dapat dipertanggujawabkan secara empirik saintifik mengikuti kaidah rasionalitas yang terukur.
Meniadakan klaim kafir terhadap sekte dan individu tertentu dengan kembali pada kesatuan masa (waktu) melalui kesatuan ide adalah dengan ikatan antara orientasi- orientasi yang beragam. Sehingga sejarah bukan pelecehan terhadap setiap ijtihad, akan tetapi sejarah merupakan peningkatan atau kemajuan/pembaruan atas akidah dan afirmatif terhadap setiap pandangan, selama pandangan tersebut dikuatkan dengan suatu dallil atau bukti demonstratif .
Apabila keadaan-keadaan masa lalu itu telah berubah dan pandangan-pandangan atas sekte-sekte itu menentang keadaan-keadaan itu, maka kehidupan kaum muslimin sangat memerlukan kehadiran pikiran baru yang mencerahkan.Sehingga keyakinan Islamiyah tampil dimuka menghadapi problem-problem actual kaumj muslimin berupa keterbelakangan dan penjajahan. Dalam kondisi yang demikian itu ilmu tauhid (teologi) menjadi sebuah ilmu kebangkitan umat muslimin dan akidah Islam akan menjadi sebuah ideologi yang revolusioner bagi kaum muslimin .
Seruan pembaruan menuju ke masa depan dan transformasi keyakinan-keyakinan religius kedalam ideologi revolusioner terus berlangsung, sehingga masyarakat umat Islam mampu menghadapi berbagai problem kehidupan seperti penjajahan, zionisme, disintegrasi, kapitalisme dan keterbelakangan. Prinsip tauhid yang dipahami dengan benar akan mampu menyatukan dan mempersenjatai masyarakat mengatasi berbagai krisis multidimensional yang dihadapi kaum muslimin.
Kalimat la ilaha ilallah (tiada Tuhan selain Allah) dalam konsep ilmu usuluddin menurut pandangan Hassan Hanafi memiliki dua makna tindakan. Makna yang pertama "la illaha" yakni tindakan yang membebaskan manusia dari subordinasi penguasa, sedang "ilallah" merupakan tindakan kedua yang menjadikan manusia sebagai pelaku tatanan nilai baru dan mengikat manusia dengan prinsip universal. Hal inilah yang menunjukkan bahwa pemikiran (pembaruan) sangat relevan dengan kondisi keumatan dewasa ini.
Pada titik inilah sosok pemikir Hassan Hanafi lebih banyak menaruh perhatian. Ilmu Usuluddin tidak hanya sekedar dilihat dari konteks tradisi klasik yang memuliakan keesaan Allah tetapi pengetahuan ini lebih jauh diproyeksikan pada pembebasan manusia dari belenggu ketidakberdayaan secara sistematik (systematically ignorance).
Bab 2. Nalar Dan Transferensi
Aql (nalar) dan naql (transferensi) adalah salah satu tema ilmu Usuluddin yang tidak terlepas dari pertanyaan apakah aql merupakan landasan naql (transferensi), atau sebaliknya naql merupakan landasan aql? Mu'tazilah menyatakan jika terjadi kontroversi antara aql dan naql maka yang digunakan adalah nalar dan melakukan ta'wil terhadap naql. Sedangkan Ibnu Taimiyyah sebaliknya yakni naql yang dapat menyelesaikan masalah karena yang mengetahui semua itu hanyalah Allah.
Objektivitas dan subjektivitas. Apakah baik dan buruk merupakan atribut obyektif independent bagi tindakan praksis yang mungkin bagi nalar? Ataukah persoalan baik dan buruk itu merupakan atribut subyektif esensial yang tunduk pada kehendak illahiah dan hanya dapat dicapai melalui sam (riwayat) atau naql? Asy'arisme hanya berkeyakinan bahwa melalui media relasi dengan subyek-esensi Tuhan maka tidak ada sesuatu pun yang buruk. Allah bebas melakukan apapun yang dikehendaki. Suatu yang buruk bila direlasikan kepada manusia adalah sesuatu yang dilarang oleh ajaran Agama (syar), sedangkan suatu yang baik adalah sesuatu yang diperintah syar bagi manusia untuk dilakukan. Sementara Mu'tazilah berpandangan bahwa sesungguhnya ajaran Agama dapat diketahui kebaikannya oleh nalar. Sesuatu yang tidak dapat diketahui kebaikannya oleh aql dan merupakan pembebanan maka hal itu telah merubah diri manusia menjadi seperti robot tidak bernalar tidak berkehendak.
Kewajiban-Kewajiban Rasional. Asy'arisme mengungkap hal ini dengan contoh Abu Jahal. Sebenarnya pembebanan tanggungjawab keimanan terhadap Abu Jahal adalah identik dengan pembebanan terhadap setiap muslim. Hanya Abu Jahal mengingkari hal itu karena tidak menggunakan nalarnya.Mu'tazilah menetapkan kewajiban-kewajiban rasional seperti (1) mengetahui Allah (2) mensyukuri nikmat (3) Allah tidak melakukan tindakan yang buruk, (4) petunjuk, Allah melakukan sesuatu yang dapat mendekatkan manusia pada ketaatan, (5), pahala atas ketaatan, (6) siksa atas dosa besar sebelum bertobat, (7) Allah melakukan hal yang terbaik bagi hamba-Nya di dunia. Apabila Allah akan membebani manusia maka Dia harus menyempurnakan nalar-nalar mereka.
Transferensi (naql) tanpa nalar hanyalah spekulasi yang tidak bisa naik ke derajat keyakinan. Transferensi sendiri tidak dapat menetapkan sesuatu "Allah berfirman", "Rasulullah bersabda" tidak mengekspresikan argumentasi. Disinilah pentingnya nalar.
Intisari dari tema nalar dan transgerensi adalah pertama, terdapat urgensi nalar dalam ilmu usuluddim (teologi) dan tuntutan pembangunan naql atas nalar atau wahyu memandu akal. Kedua, terdapat urgensi nalar terhadap keadilan. Nalar yang membentuk kebebasan adalah suatu keniscayaan mengingat keadilan berindikasi kebebasan tindakan dan "baik dan buruk'. Kebebasan hanya dapat ditegakkan berdasarkan nalarm perbedaan baik dan buruk.
Ketiga, terdapat urgensi tema penindasan, derita kepedihan dan manusia cenderung hidup ditentukasn oleh undang-undang hal dan keselarasan, sehingga manusia mampu mengaktifkan pandangan dan tujuan hidupnya dalam melawan berbagai belenggu seperti penindasan, oertentangan, kesia-sian dan disintegrasi. Kempat, urgensi analogi gaib sebagai sumber ide ketuhanan. Terdapatnya keterbatasan manusia sehingga manusia mengetahui sesuatu melalui pengalaman empirik tertentu dari yang dilihat di dunia.
Kelima, kecenderungan dalam transedensi dan kenikmatan membuat seoraang teolog (mutakallim) lupa bahwa (tujuan) sasaran bukanlah pembelaan terhadap hak-hak Allah. Allah tidak butuh alam semesta manusialah yang sangat membutuhkan segala sesuatu. Allah sendiri ingin menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan manusia melalui pengiriman wahyu. Keenam, terdapat persepsi kebaikan bagi umat Islam dan mengetahui pandangan dari sekte-sekte teologi yang didalamnya merupakan tuntutan umat Islam.
Sebagai perancang pemikiran segi tiga emas yang memiliki sikap terhadap tradisi klasik, tradisi Barat dan sikap terhadap realitas obyektif, Hassan Hanafi sering dianggap terlalu idealis bahkan oportunis. Disamping itu, dia berupaya untuk mengintegrasikan hal yang lama dengan yang baru, sehingga dia mengeksplorasi triangle teori kesadaran : 1) kesadaran historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode transmisi, 2) kesadaran spekultatif untuk menginterpretasikan dan memahami teks-teks melalui analisis bahasa dan 3) kesadaran praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis.
Dengan triangle teori ini maka wahyu ditransformasikan pada tataran sistem ideal dunia dari cipta karya manusia dan tauhid menjadi akhir tindakan serta Tuhan lebih dekat pada proses menjadi dari pada realitas statis .
Bab 3. Ilmu Usul Fiqh
Ilmu Usul Fiqh merupakan ilmu pengetahuan tentang pokok-pokok hukum Islam atau ilmu pengetahuan inferensi hukum-hukum syariat dari dalil dalil yang meyakinkan. Manfaat ilmu usul fiqh adalah mengetahui berbagai ketentuan Allah baik secara qath'i atau zhanni/spekulatif.
Kesadaran Historis (4 Dasar Pemikiran). Al Qur'an, sebagai dasar pertama. Diskursus mengenai ayat-ayat bermakna tegas (al-muhkam) dan sebaliknya al-mustasyabih., jelas-tekstual (zhahir) vs interpretatif-alegoris (al-muawwal). Lalu soal rukun-rukun penghapusan yakni penghapusan (an-naskh), yang menghapus (an-nasakh), yang dihapus (al-mansukh). Jika an-naskh itu penarikan, maka yang menghapus adalah Allah, yang dihapuskan adalah ketentuan hukum yang ditarik, dan yang terhapuskan darinya (al-mansukh minhu) adalah orang yang dibebani ketentuan hukum. Dasar kedua adalah Sunnah yaitu ucapan, tindakan, dan ketetapan. Sunnah lebih luas dari pada hadist. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan yakni kata-kata sahabat, sanad (rangkaian pewaris) dan matan (materi hadist). Kedua dasar lainnya ijma (konsensus) dan qiyas (penalaran analogis).merupakan wahyu tidak tertulis (wahyu komunal dan wahyu personal).
Kesadaran Eidetis merupakan terpenting dalam ilmu usul fiqh karena kesadaran ini bagian metodologis yang merepresentasikan kesungguhan dan kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi wahyu pada masa lalu yang di intrepretasikan dalam konteks kekinian dengan keempat dasar hukum Islam. Bahasa (kata-kata) bisa menjadi sorotan dalam menunjukkan ketentuan hukum melalui bentuk dan susunan, melalui arti dan pemahamannya atau melalui makna dan rasionalitasnya misal qiyas atau penalaran analogis. Kesadaran eidetis berorientasi pada sistem dan rasionalitas yaitu dengan analisis kata-kata (filologis) sejumlah makna dan argumen. Kelompok tektualis (ahli zahir) mengingkari terjadinya penalaran analogis. Mereka berpegang teguh pada argumen yang yang berasal dari Al Kitab (Al Quran) dan sunnah.
Kesadaran praksis (ketentuan yuridis/syariat). Munculnya kesadaran praksis merupakan buah dari pemahaman ketentuan hukum, larangan dan perintah dan transformasi wahyu kedalam tindakan di dunia. Pengertian al-hukm (ketentuan) secara terminologis adalah materi hukum terhadap tindakan-tindakan mukalaf (orang yang diberi beban/ tugas). Secara rasional, sebelum kehadiran ketentuan yuridis tidak ada kewajiban bersyukur kepada Allah. Ini berbeda dengan Mu'tazilah yang mewajibkan dengan dasar nalar.
Secara syari' atau syariat bahwa validitas tindakan diukur dari niatnya seorang mukalaf (orang yang menjalankan tugas syariat). Seorang mukalaf dalam menjalankan tugasnya (takalif) tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang dapat merugikan atau menyengsarakan orang lain. Barangsiapa yang ditugaskan untuk menegakkan kepentingan orang lain (masyarakat luas) maka umat Islam wajib menjaga kepentingan orang yang diberikan amanah itu. Ini mengindikasikan bahwa syariat Islam sangat peduli atas nasib dan kepentingan orang lain. Dalam konteks ini ajaran Islam amat mementingkan kepentingan orang lain dari pada kepentingan dirinya sendiri yang dalam khasanah psikologi sosial disebut sebagai perilaku altruistik yang berlawanan dengan self-fish atau yang popular dengan sebutan egoistik. Ajaran syariat Islam tidak memperbolehkan umatnya melakukan tindakan yang mementingkan dirinya sendiri (egois). Esensi ajaran syariat Islam sangat altruistik dalam setiap tindakan dan tema kegiatan yang diusungnya.
Oleh karena itu segala benrtuk perlakuan dan tindakan yang membuat umat lain menderita sangat dilarang dalam Islam. Dalam konteks inilah Hassan Hanafi mengkritik kolonialisme-imperialisme dan mengusung konsep-konsep pembebasan manusia yang mengalami segala bentuk penjajahan. Hassan Hanafi mengkritik pedas Barat dalam turut menjadikan Umat Islam "terpenjara" secara fisik dan mental sebagai akibat perlakuan yang tidak beradab selama penjajahan. Barat dalam hal ini bersikap sangat egoistik yang bertentangan dengan syariat Islam. Sementara itu pemahaman para teolog Islam atas ajaran Islam mandek dan mengalami stagnasi sehingga "kemerdekaan" tak kunjung tiba.
Syariat dibuat dengan mempertimbangkan aspek mukalaf secara universal, bukan terhadap kelompok tertentu, seperti kelompok sufisme yang menduga bahwa mereka diperbolehkan melakukan tindakan atau kegiatan yang tidak diperbolehkan kelompok lain dan mempunyai syariat spesial bukan universal. Bahkan Rasulullah sendiri tidak dispesialisasikan dengan suatu syariat khusus, sehingga sejarah kehidupannya secara universal berlaku bagi umat. Jadi, ilmu usul fiqh merupakan ilmu tanzil (sistematis) yakni ilmu pengetahuan yang menginferensikan ketentuan syariat dan berorientasi dari Allah (teosentris) kepada manusia (antroposentris) yang kontradiktif diametral dengan ilmu ta'wil (intrepretasi alegoris) seperti direpresentasikan oleh sufisme.

oleh aries munandar
Dosen pengampu matakuliah:  Kewirausahaan, Kepemimpinan dan Komunikasi Bisnis, FEB, Universitas Brawijaya Malang

0 komentar: