Mengenang Nasr Hamid Abu Zayd
Setelah kehilangan pemikir fenomenal sekelas
Abid al-Jabri yang meninggal 3 Mei 2010 lalu, kini dunia Islam kembali
kehilangan Nasr Hamid Abu Zayd, mantan dosen Fakultas Sastra Universitas Cairo.
Ia menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 5 Juli 2010, akibat serangan virus
langka yang secara medis belum ditemukan cara pengobatannya. Semoga virus
langka tersebut tak mengurangi kedudukan intelektualnya, tapi justru mengangkat
derajatnya di sisi Allah sebagaimana Nabi Ayub yang ditinggikan derajatnya
setelah diuji dengan penyakit kulit yang kronis
Abu Zayd merupakan pemikir Mesir yang
sangat kontroversial karena karya-karyanya yang telah mengundang perdebatan di
dunia Islam sejak tahun 1970-an. Di satu sisi, banyak kalangan mengapresiasi
karya-karyanya yang mempromosikan pencerahan dalam studi Islam. Namun, di sisi
lain, ia dikafirkan kaum konservatif dan pengadilan Mesir (tahun 1995) karena
pemikirannya dituduh menyeleweng. Vonis pengkafiran ini memaksa Abu Zayd hijrah
ke Leiden kemudian menjadi guru besar studi Islam di Universitas Leiden dan
profesor pada Universitas for Humanistics di Utrecth. Vonis pengkafiran ini pun
menjadi topik hangat yang ramai diperdebatkan kalangan sarjana, baik yang pro
maupun kontra.
Abu Zayd adalah penulis prolifik yang
telah menyumbangkan karya-karya kritis seperti Mafhûm al-Nash: Dirâsah fi `Ulûm
al-Qur’ân (Konsep Teks: Studi Ilmu-ilmu Alqur’an), Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa
Aliyât al-Ta’wîl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah
al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl al-Qur’ân `inda Ibn `Arabî (Filsafat Hermeneutika:
Studi Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi), al-Imâm al-Syâfi’i wa Ta`sîs
al-Aidiulujiyyah al-Wasathiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi Moderatisme),
al-Ittijâh al-`Aqli fi at-Tafsîr (Rasionalisme dalam Tafsir), Naqd al-Khithâb
al-Dînî (Kritik Wacana Agama), dan lain-lain.
Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris seperti
Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis; Rethinking the
Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections
on Islam. Karya-karyanya sebagian telah diterjemahkan ke bahasa Jerman,
Perancis, Indonesia, Itali, Persia, dan Turki. Meski mendapatkan aspresiasi
luas, karya-karyanya tak jarang dibaca secara reduktif oleh sebagian kalangan
konservatif sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir tuduhan sasat dan
pengkafiran.
Mafhûm al-Nash, misalnya, dituduh sebagai karya yang
menempatkan teks Alqur’an sebagai teks buatan Muhammad SAW. Tuduhan semacam ini
ditolak mentah-mentah oleh Abu Zayd dalam wawancaranya, “I treat the Qur’an as
a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is put in a human
language, which is the Arabic language. When I said so, I was accused of saying
that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not a crisis of thought, but
a crisis of conscience”. Jelas sudah bahwa Abu Zayd secara eksplisit meyakini
bahwa teks Alqur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad. Teks
Alqur’an turun melalui bahasa manusia, yakni bahasa Arab, agar dapat dipahami
oleh penerimanya. Dengan demikian, tuduhan yang menyatakan bahwa Abu Zayd
menganggap Alqur’an sebagai kitab buatan Muhammad adalah tuduhan yang muncul
dari krisis hati nurani.
Kesalahpahaman itu terjadi akibat kesalahan para kritikus
Abu Zayd dalam memahami istilah “Alqur’an adalah produk budaya” (muntâj
tsaqâfiy). Untuk mengantisipasi kesalahpahaman itu, Abu Zayd dalam Mafhûm
al-Nash menjelaskan, “wa al-maqshûd bi dzalika annahu tasyakkala fi al-wâqi’ wa
al-tsaqâfat khilâla fatrah tazîdu ‘ala ‘isyrîna ‘âman”. Artinya, “Yang dimaksud
dengan ‘produk budaya’ di sini adalah: Alqur’an terbentuk di tengah-tengah
kenyataan sosial dan budaya Arab selama lebih dari dua puluh tahun”. Abu Zayd
menegaskan lebih lanjut bahwa keimanan terhadap sumber Ilahi teks Alqur’an
tidak bertentangan dengan upaya menganalisanya melalui pendekatan kultural
dimana teks tersebut muncul.
Untuk memahami lebih jelas kerangka pemikiran Abu Zaid
dalam Mafhûm al-Nash, Charles Hirschkind dalam Heresy or Hermeneutics: the Case
of Nashr Hamid Abu Zayd menyatakan, “Titik tolak argumentasi Abu Zayd adalah
gagasan bahwa setelah diturunkan kepada Muhammad, Alqur’an masuk ke dalam
dimensi sejarah dan menjadi tunduk pada hukum-hukum yang bersifat historis dan
sosiologis. Teks Alqur’an kemudian menjadi manusiawi (humanized/muta’annas),
memasukkan relung-relung budaya yang partikular, kondisi politik, dan
unsur-unsur ideologis masyarakat Arab abad ketujuh”. Dikatakan manusiawi sebab
Alqur’an turun melalui media bahasa manusia agar dapat dipahami penerimanya.
Juga karena Alquran telah bermetamorfosis dari “teks Ilahi” menjadi “teks yang
ditafsiri secara manusiawi” .
Konsepsi Abu Zayd ini sama sekali tak
menyeleweng sebab senada dengan QS. Yusuf: 2, “Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa Alqur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. Dengan demikian
sah-sah saja jika Alqur’an dipahami dengan pendekatan bahasa dan sosial budaya.
Abu Zayd juga dikenal sebagai tokoh yang
mengenalkan diskursus hermeneutika melalui tulisannya yang berjudul
al-Hirminiyutiqa wa Mu’dilat Tafsîr al-Nash (Hermeneutika dan Problema
Penafsiran Teks). Namun tawaran ini ditolak secara massif oleh kalangan
konservatif dengan alasan hermeneutika adalah metode penafsiran Bibel yang tak
sepantasnya diaplikasikan dalam penafsiran Alqur’an. Pandangan konservatif yang
simplistik ini diluruskan Abu Zayd dengan statemennya, “Al-hirminiyutiqa idzan
qadhiyyatun qadimatun wa jadîdatun fî nafs al-waqti, wa hiya fî tarkizihâ ‘alâ
‘alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasatan bi al-fikri
al-gharbi, bal hiya qadliyyatun lahâ wujudûha al-mulih fî turâtsina al-‘arabi
al-qadîm wa al-hadîts ‘alâ sawâ”. Artinya, hermeneutika adalah diskursus lama
sekaligus baru. Pokok pembahasannya adalah tentang relasi penafsir dengan teks.
Hermeneutika bukan hanya semata diskursus pemikiran Barat, akan tetapi
diskursus yang wujudnya juga telah ada dalam turâts Arab, baik Arab klasik
maupun modern.
Untuk membuktikan bahwa hermeneutika bukan
hanya diskursus Barat tetapi juga ada dalam khazanah Islam klasik, Abu Zaid
menulis Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyât al-Ta’wîl (Problem Pembacaan dan
Metode Interpretasi) dan Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl al-Quran ‘Inda
Ibn `Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn
Arabi). Melalui karya-karya ini Abu Zayd mencoba mengkomparasikan hermeneutika
Barat dan hermeneutika Islam. Abu Zayd menyimpulkan bahwa khazanah Islam klasik
telah memiliki konsep hermeneutika yang sejajar dengan hermeneutika Barat.
Dengan demikian, wacana studi Alqur’an sepatutnya membuka diri untuk berdialog
dengan wacana interpretasi teks dari peradaban Barat untuk saling mengkayakan
satu sama lain.
Karya-karya Abu Zayd tersebut muncul
sebagai respons terhadap stagnansi pemikiran, kemunduran peradaban Islam,
diskriminasi, dan semakin maraknya gerakan fundamentalisme Islam yang muncul
akibat skripturalisme. Salah satu buku Abu Zayd yang concern menyikapi
fundamentalisme dan skripturalisme adalah Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kritik
Wacana Agama). Buku ini mengekspresikan kegundahan Abu Zayd atas penafsiran
tekstualis para aktivis militan Islam yang acap mempolitisasi ayat-ayat
Alqur’an. Baginya, Alqur’an harus dipahami secara objektif dan kontekstual dan,
sebaliknya, Alqur’an tak boleh dipahami secara harfiah demi kepentingan
ideologis dan politis seperti yang dilakukan kalangan Islam garis keras.
Alquran bagi Abu Zayd adalah kitab yang menganjurkan perdamaian, kebebasan,
kesetaraan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian Alqur’an tak
boleh dibajak guna melegalkan kekerasan, diskriminasi, kedzaliman dan aksi-aksi
lain yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Kontribusi pemikiran Abu Zayd sangat
banyak bagi kemajuan studi Islam, namun penulis tak bisa menjelaskan semuanya
dalam obituari singkat ini. Sebagai kata akhir, penulis berdoa agar Abu Zayd
disatukan di surga bersama Muhammad SAW, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan para ahli
Alqur’an lainnya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa taqabbal amalahu fi tajdid
al-khithab al-dini al-Islami.
Meski
telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran
akhir-akhir ini, tema Orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat
kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para
orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan Muslim.
Nampaknya, mereka berfikiran bahwa dengan cara itu mereka bisa mengambil jalan
pintas untuk “reformasi”, “pembaharuan” atau “liberalisasi” pemikiran Islam.
Bagi masyarakat awam atau ulama “tradisional”, pemikiran hasil “adopsi” itu
nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam. Padahal,
sifat “baru”nya tidak mempunyai unsur tajdid, karena terlepas dari fondasi
asalnya (wahyu) dan bahkan seringkali berseberangan. Mungkin mereka telah gagal
menyelami khazanah intelektual Islam secara komprehensif, kreatif, dan
apresiatif sehingga kehilangan daya kritis mereka terhadap orientalis dan
Barat.
Orientalisme
adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat.
Bangsa-bangsa selain Barat itu—yakni bangsa-bangsa Timur Tengah dan
Asia—dilihat dengan kacamata rasial yang penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur
dianggap mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri.
Untuk itu Barat kemudian “membantu” membuat kajian tentang konsep-konsep
kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu
prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak
murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk program misionaris
Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.
Akar
gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan mengoleksi dan
menerjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke
bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya dipelopori
oleh para teolog Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana
Collection di Inggris adalah di antara pemilik koleksi manuskrip Islam terbesar
di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi suatu tradisi
pengkajian yang penting di dunia Barat, maka ia berkembang dan melembaga
menjadi program formal di perguruan tinggi, dalam bentuk departemen atau
jurusan dari universitas-universitas di Barat. Kini banyak sekali unversitas di
Barat yang mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies.
Universitas London misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African
Studies), Universitas McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan
Departement of Islamic Studies, Universitas Chicago, Universitas Edinburgh,
University of Pennsylvania, Philadelphia dan lain-lain mendirikan Departement
of Middle Eastern Studies; Universitas Birmingham Inggris mendirikan Centre for
the Study of Islam-Christian Relation dan lain sebagainya. Program-program
kajian keislaman di universitas-universitas Barat tersebut merupakan tradisi
yang kokoh karena didukung oleh pakar dan tokoh di bidang masing-masing.
Sekedar untuk menyebut beberapa berikut ini nama-nama orientalis dalam beberapa
bidang tertentu:
1)
Bidang Teologi dan Filsafat: Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald, Alfred
Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy,
Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman dll.
2)
Bidang Hadis Josep Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson,
Aarent J Wensinck, Nicholson, WD. Van Wijagaarden.
3)
Bidang Fikih Waell Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck, John
Burton,
4) Bidang Politik Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel Huntington, Bob
Hefner, William Liddle, Greg Burton dll.
5)
Bidang al-Qur’an Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergtrasser,
Otto Pretzl, Arthur Jewffery, John Wansbrough, John Burton, Richard Bell,
Andrew Rippin, Chrostoph Luxemburg. Dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan
semua di sini.
Dari
keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal
hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:
1. Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia
Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient).
2.
Bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang
kebudayaan Arab dan Islam.
3. Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes
(kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Ketiga kesimpulan Edward Said di atas adalah benar adanya, artinya studi Islam
di Barat yang ada sekarang ini menggunakan cara pandang (framework) Barat dan
oleh sebab itu jika tulisan para orientalis itu dikaji secara kritis maka akan
menunjukkan beberapa kerancuan konsep. Gambaran tentang cara pandang
(framework) Barat ini sebenarnya sangat kompleks, tapi secara sederhana dapat
diartikan sebagai cara mereka memandang Islam dan peradabannya. Cara Barat
melihat Islam sebagai din, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, al-Qur’an sebagai
wahyu dan kalam Tuhan, cara memahami hadist, sikap mereka terhadap otoritas
ulama sama sekali berbeda dengan cara pandang Islam dan umat Islam.
Namun, tantangan yang dihadapi umat bukan hanya dari pikiran para orientalis,
tapi cendekiawan Muslim yang mengikuti cara berfikir orientalis dalam memahami
Islam. Kini yang mengatakan semua agama sama, al-Qu’ran bukan wahyu Allah,
ajaran Islam itu menindas kaum wanita, dan sebagainya, bukan lagi orientalis,
tapi para cendekiawan Muslim sendiri. Produk dari kuatnya tradisi oritentalisme
itu adalah terbitnya karya-karya mereka yang kemudian dirujuk dan bahkan
diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Akhirnya, oritentalisme juga memproduksi
cendekiawan Muslim yang tidak kritis terhadap Barat dan bahkan mengikuti saja
cara berfikir mereka. Kini muncul cendekiawan Muslim di berbagai Negara Islam
yang mengusung ide-ide yang merupakan agenda Barat. Untuk sekedar menyebut
beberapa berikut ini nama-nama mereka:
Teologi, Filsafat dan Pluralisme agama: Rene Guenon, Fritjhof Schuon, Martin
Ling, Syed Hussein Nasr, Muhammad Sachidina, Hasan Askari, Mahmud Ayyub, Farid
Eschack Hermeneutika: Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Gender dan
feminisme: Aminah Wadud Muhsin, Fatimah Mernisi, Nawal Sa’dawi Islam Kiri:
Hasan Hanafi, Asghar Ali dll. Fiqih: Abdullah Ahmad al-Naim, Muhammad Syahrur
dsb.
Sekedar
contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan ide orientalis sampai kepada
pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi menyatakan bahwa
al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Hal ini dapat dibaca dari pernyataan
G.Sale, [dalam bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary
Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)],
A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens,
dalam [Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [dalam buknya
Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The
Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and
Capitalism (1977)]. Ide ini diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini:
al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa
Muhammad sebagai manusia biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim
liberal yang diusir dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahawa
karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka ia adalah produk budaya
Arab (muntaj thaqafi). Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman
Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dan karena itu umat Islam
tidak terlalu fanatik berpegang pada al-Qur’an; dan agar umat Islam mau
menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia
biasa.
Namun
secara obyektif perlu diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan
penafsiran Islam, para oritentalis ada yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah
lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan
lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena
itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang
berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam
perlu bersikap kritis dalam mengkaji karya-karya orientalis itu. Dan untuk itu
diperlukan ilmu pengetahuan Islam yang setanding dengan mereka.
3) Kolonialis
Seperti
disebutkan diatas bahwa orientalis pernah bekerjsama dengan kolonialis dan
misionaris. Pengertian kolonialisme dalam hal ini disesuaikan dengan kondisi
pasca perang dunia kedua, yang bergeser dari pendudukan menjadi penguasaan
dalam bidang-bidang tertentu secara strategis. Kolonialisme kini tidak mesti
berarti exploitasi sumber daya manusia dan alam seperti di zaman penjajahan,
tapi monopoli dalam perdagangan, penguasaan sistem ekonomi dan politik,
liberalisasi perdagangan dsb. Untuk itu kolonialis berkepentingan untuk
menyebarkan kultur dan pemikiran Barat, sehingga ide-ide atau pemikiran Islam
dan umat Islam sejalan dengan pemikiran dan kepercayaan Barat. Tujuan akhirnya
adalah kepentingan ekonomi dan politik mereka di negara-negara Islam dapat
berjalan dengan mulus.
Strategi bagaimana agar ide-ide dan pemikran umat Islam sejalan dengan
kolonialis, dan bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan strategis,
sebaiknya kita rujuk sebuah buku yang berjudul Civil Democratic Islam,
Partners, Resources and Strategies, (2003). Buku yang ditulis oleh Cheryl
Bernard[26] ini menjelaskan tentang strategi dan taktik pemikiran yang perlu
dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk
melawan apa yang mereka istilahkan dengan “terorisme dan fundamentalisme” dalam
Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia menulis buku lain berjudul “U.S.
Strategy in the Muslim World After 9/11 (2004), The Muslim World After 9/11
(2004), dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror (2005).
Cheryl Bernard menulis ini dibawah proyek penelitian sebuah lembaga swadaya
masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand Corporation. Sebuah lembaga
riset yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat “analisa obyektif
dan solusi efektif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun
individu diseluruh dunia”. Lembaga ini dibiayai oleh Smith Richardson
Foundation. Di lembaga ini Cheryl menulis untuk Divisi Riset Keamanan Nasional
(National Security Research Division) dimana suaminya bekerja. Tujuan dari buku
ini adalah untuk membuat suatu laporan dan usulan dalam rangka membantu
kebijakan pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme,
dan pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses demokratisasi.
Yang jelas, divisi ini bertugas memberi saran-saran kepada pemerintah Amerika
bagaimana menghadapi “fundamentalisme” dalam Islam dan menyebarkan pemikiran
liberal ketengah-tengah umat Islam.
Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar pemikiran tertentu.
Pemikiran mana yang menjadi asasnya, ia pilih sejalan dengan kepentingannya.
Berdasarkan pemikiran itu ia memberi masukan kepada pemerintah Amerika, pertama
tentang nilai-nilai mana dalam Islam yang bisa diseret ke dalam nilai-nilai
Amerika. Kedua tentang peta masalah-masalah umat Islam dalam konteks
nilai-nilai Amerika. Dan akhirnya muncullah saran-saran agar isu-isu seperti
demokrasi dan HAM, poligami, hukuman bagi kriminalitas, keadilan, masalah
minoritas, pakaian wanita, hak-hak suami-istri dsb, masuk ke dalam pemikiran
umat Islam. Saran-saran itu, seperti yang akan lihat di bawah ini, dilaksanakan
dengan baik di Indonesia.
Untuk membuktikan adanya serangan yang berbentuk politik atau memakai kendaraan
politik, berikut ini dipaparkan strategi bagaimana menghadapi Islam yang
tertuang dalam buku tersebut. Laporan itu membagi umat Islam menjadi 4 kelompok
dan memberi masukan bagaimana seharusnya sikap pemerintah Amerika terhadap
keempat kelompok tersebut:
1. Fundamentalis, yaitu kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi, dan kultur
Barat kontemporer. Mereka menginginkan negara autoritarian dan murni untuk
melaksanakan hukum dan nilai-nilai moral Islam, tapi mau menggunakan teknologi
modern untuk mencapai tujuan mereka.
2.
Tradisionalis, yaitu kelompok yang menginginkan masyrakat konservatif, curiga
terhadap modernitas, innovasi dan perubahan.
3.
Modernis, yaitu kelompok yang menginginkan agar dunia Islam menjadi bagian dari
modernitas global. Mereka ingin memodernisir Islam agar sejalan dengan zaman.
4.
Sekuleris yaitu kelompok yang mengingkan dunia Islam menerima pemisahan gereja
dan negara, sebagaimana yang terjadi pada demokrasi industri Barat, dimana
agama diposisikan sebagai urusan pribadi
Untuk
menghadapi kelompok-kelompok tersebut di atas Cheryl Benard memberi saran-saran
bagaimana menghadapi masing-masing kelompok. Di akhir saran-saran, ia
mengingatkan agar kebijakan yang diambil disesuaikan dengan strategis tidaknya
isu yang berkembang. Saran-saran untuk menghadapi keempat kelompok tersebut
dapat disimak sbb:
1. Pertama-tama dukung modernis, dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam
sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena
yang luas agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka harus dididik
dan diangkat secara ketengah-tengah public sebagai mewakili wajah Islam
kontemporer.
2.
Dukung kelompok sekularis berdasarkan kasus per kasus
3.
Dorong institusi sipil dan kultural serta program-programnya.
4.
Dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan
dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat di antara
mereka. Didalam kelompok tradisionalis kita harus mendukung secara selektif
mereka yang lebih sesuai dengan masyarakat sipil modern. Misalnya, beberapa
mazhab-mazhab Fiqih lebih dapat disesuaikan dengan pandangan kita tentang
keadilan dan hak azazi manusia daripada yang lain.
5. Musuhi kelompok fundamentalis secara aktif dengan menghantam kelemahan
mereka dalam pandangan keislaman dan ideologi mereka, yaitu dengan mengeskpos
hal-hal yang tidak dapat diterima oleh masyarakat baik anak muda yang idealis
ataupun pengikut tradisionalis yang saleh, seperti korupsi, kekerasan,
kebodohan, pelaksanaan Islam yang bias dan jelas salah dan ketidak mampuan
mereka memimpin dan memerintah.
http://islamlib.com/id/artikel/mengenang-nasr-hamid-abu-zayd/
Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama
Misionaris, Orientalis&Kolonialis[III]
0 komentar:
Posting Komentar