Senin, 22 April 2013

Mengenang Nasr Hamid Abu Zayd

Setelah kehilangan pemikir fenomenal sekelas Abid al-Jabri yang meninggal 3 Mei 2010 lalu, kini dunia Islam kembali kehilangan Nasr Hamid Abu Zayd, mantan dosen Fakultas Sastra Universitas Cairo. Ia menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 5 Juli 2010, akibat serangan virus langka yang secara medis belum ditemukan cara pengobatannya. Semoga virus langka tersebut tak mengurangi kedudukan intelektualnya, tapi justru mengangkat derajatnya di sisi Allah sebagaimana Nabi Ayub yang ditinggikan derajatnya setelah diuji dengan penyakit kulit yang kronis
Abu Zayd merupakan pemikir Mesir yang sangat kontroversial karena karya-karyanya yang telah mengundang perdebatan di dunia Islam sejak tahun 1970-an. Di satu sisi, banyak kalangan mengapresiasi karya-karyanya yang mempromosikan pencerahan dalam studi Islam. Namun, di sisi lain, ia dikafirkan kaum konservatif dan pengadilan Mesir (tahun 1995) karena pemikirannya dituduh menyeleweng. Vonis pengkafiran ini memaksa Abu Zayd hijrah ke Leiden kemudian menjadi guru besar studi Islam di Universitas Leiden dan profesor pada Universitas for Humanistics di Utrecth. Vonis pengkafiran ini pun menjadi topik hangat yang ramai diperdebatkan kalangan sarjana, baik yang pro maupun kontra.
Abu Zayd adalah penulis prolifik yang telah menyumbangkan karya-karya kritis seperti Mafhûm al-Nash: Dirâsah fi `Ulûm al-Qur’ân (Konsep Teks: Studi Ilmu-ilmu Alqur’an), Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyât al-Ta’wîl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl al-Qur’ân `inda Ibn `Arabî (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi), al-Imâm al-Syâfi’i wa Ta`sîs al-Aidiulujiyyah al-Wasathiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittijâh al-`Aqli fi at-Tafsîr (Rasionalisme dalam Tafsir), Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kritik Wacana Agama), dan lain-lain.
Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis; Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections on Islam. Karya-karyanya sebagian telah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Perancis, Indonesia, Itali, Persia, dan Turki. Meski mendapatkan aspresiasi luas, karya-karyanya tak jarang dibaca secara reduktif oleh sebagian kalangan konservatif sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir tuduhan sasat dan pengkafiran.
Mafhûm al-Nash, misalnya, dituduh sebagai karya yang menempatkan teks Alqur’an sebagai teks buatan Muhammad SAW. Tuduhan semacam ini ditolak mentah-mentah oleh Abu Zayd dalam wawancaranya, “I treat the Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not a crisis of thought, but a crisis of conscience”. Jelas sudah bahwa Abu Zayd secara eksplisit meyakini bahwa teks Alqur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad. Teks Alqur’an turun melalui bahasa manusia, yakni bahasa Arab, agar dapat dipahami oleh penerimanya. Dengan demikian, tuduhan yang menyatakan bahwa Abu Zayd menganggap Alqur’an sebagai kitab buatan Muhammad adalah tuduhan yang muncul dari krisis hati nurani.
Kesalahpahaman itu terjadi akibat kesalahan para kritikus Abu Zayd dalam memahami istilah “Alqur’an adalah produk budaya” (muntâj tsaqâfiy). Untuk mengantisipasi kesalahpahaman itu, Abu Zayd dalam Mafhûm al-Nash menjelaskan, “wa al-maqshûd bi dzalika annahu tasyakkala fi al-wâqi’ wa al-tsaqâfat khilâla fatrah tazîdu ‘ala ‘isyrîna ‘âman”. Artinya, “Yang dimaksud dengan ‘produk budaya’ di sini adalah: Alqur’an terbentuk di tengah-tengah kenyataan sosial dan budaya Arab selama lebih dari dua puluh tahun”. Abu Zayd menegaskan lebih lanjut bahwa keimanan terhadap sumber Ilahi teks Alqur’an tidak bertentangan dengan upaya menganalisanya melalui pendekatan kultural dimana teks tersebut muncul.
Untuk memahami lebih jelas kerangka pemikiran Abu Zaid dalam Mafhûm al-Nash, Charles Hirschkind dalam Heresy or Hermeneutics: the Case of Nashr Hamid Abu Zayd menyatakan, “Titik tolak argumentasi Abu Zayd adalah gagasan bahwa setelah diturunkan kepada Muhammad, Alqur’an masuk ke dalam dimensi sejarah dan menjadi tunduk pada hukum-hukum yang bersifat historis dan sosiologis. Teks Alqur’an kemudian menjadi manusiawi (humanized/muta’annas), memasukkan relung-relung budaya yang partikular, kondisi politik, dan unsur-unsur ideologis masyarakat Arab abad ketujuh”. Dikatakan manusiawi sebab Alqur’an turun melalui media bahasa manusia agar dapat dipahami penerimanya. Juga karena Alquran telah bermetamorfosis dari “teks Ilahi” menjadi “teks yang ditafsiri secara manusiawi” .
Konsepsi Abu Zayd ini sama sekali tak menyeleweng sebab senada dengan QS. Yusuf: 2, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alqur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. Dengan demikian sah-sah saja jika Alqur’an dipahami dengan pendekatan bahasa dan sosial budaya.
Abu Zayd juga dikenal sebagai tokoh yang mengenalkan diskursus hermeneutika melalui tulisannya yang berjudul al-Hirminiyutiqa wa Mu’dilat Tafsîr al-Nash (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks). Namun tawaran ini ditolak secara massif oleh kalangan konservatif dengan alasan hermeneutika adalah metode penafsiran Bibel yang tak sepantasnya diaplikasikan dalam penafsiran Alqur’an. Pandangan konservatif yang simplistik ini diluruskan Abu Zayd dengan statemennya, “Al-hirminiyutiqa idzan qadhiyyatun qadimatun wa jadîdatun fî nafs al-waqti, wa hiya fî tarkizihâ ‘alâ ‘alaqati al-mufassir bi al-nash laisat qadliyyatan khasatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun lahâ wujudûha al-mulih fî turâtsina al-‘arabi al-qadîm wa al-hadîts ‘alâ sawâ”. Artinya, hermeneutika adalah diskursus lama sekaligus baru. Pokok pembahasannya adalah tentang relasi penafsir dengan teks. Hermeneutika bukan hanya semata diskursus pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga telah ada dalam turâts Arab, baik Arab klasik maupun modern.
Untuk membuktikan bahwa hermeneutika bukan hanya diskursus Barat tetapi juga ada dalam khazanah Islam klasik, Abu Zaid menulis Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyât al-Ta’wîl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi) dan Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl al-Quran ‘Inda Ibn `Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi). Melalui karya-karya ini Abu Zayd mencoba mengkomparasikan hermeneutika Barat dan hermeneutika Islam. Abu Zayd menyimpulkan bahwa khazanah Islam klasik telah memiliki konsep hermeneutika yang sejajar dengan hermeneutika Barat. Dengan demikian, wacana studi Alqur’an sepatutnya membuka diri untuk berdialog dengan wacana interpretasi teks dari peradaban Barat untuk saling mengkayakan satu sama lain.
Karya-karya Abu Zayd tersebut muncul sebagai respons terhadap stagnansi pemikiran, kemunduran peradaban Islam, diskriminasi, dan semakin maraknya gerakan fundamentalisme Islam yang muncul akibat skripturalisme. Salah satu buku Abu Zayd yang concern menyikapi fundamentalisme dan skripturalisme adalah Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kritik Wacana Agama). Buku ini mengekspresikan kegundahan Abu Zayd atas penafsiran tekstualis para aktivis militan Islam yang acap mempolitisasi ayat-ayat Alqur’an. Baginya, Alqur’an harus dipahami secara objektif dan kontekstual dan, sebaliknya, Alqur’an tak boleh dipahami secara harfiah demi kepentingan ideologis dan politis seperti yang dilakukan kalangan Islam garis keras. Alquran bagi Abu Zayd adalah kitab yang menganjurkan perdamaian, kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian Alqur’an tak boleh dibajak guna melegalkan kekerasan, diskriminasi, kedzaliman dan aksi-aksi lain yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Kontribusi pemikiran Abu Zayd sangat banyak bagi kemajuan studi Islam, namun penulis tak bisa menjelaskan semuanya dalam obituari singkat ini. Sebagai kata akhir, penulis berdoa agar Abu Zayd disatukan di surga bersama Muhammad SAW, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan para ahli Alqur’an lainnya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa taqabbal amalahu fi tajdid al-khithab al-dini al-Islami.
Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema Orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan Muslim. Nampaknya, mereka berfikiran bahwa dengan cara itu mereka bisa mengambil jalan pintas untuk “reformasi”, “pembaharuan” atau “liberalisasi” pemikiran Islam. Bagi masyarakat awam atau ulama “tradisional”, pemikiran hasil “adopsi” itu nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam. Padahal, sifat “baru”nya tidak mempunyai unsur tajdid, karena terlepas dari fondasi asalnya (wahyu) dan bahkan seringkali berseberangan. Mungkin mereka telah gagal menyelami khazanah intelektual Islam secara komprehensif, kreatif, dan apresiatif sehingga kehilangan daya kritis mereka terhadap orientalis dan Barat.

Orientalisme adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat itu—yakni bangsa-bangsa Timur Tengah dan Asia—dilihat dengan kacamata rasial yang penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur dianggap mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian “membantu” membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk program misionaris Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.

Akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan mengoleksi dan menerjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya dipelopori oleh para teolog Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana Collection di Inggris adalah di antara pemilik koleksi manuskrip Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi suatu tradisi pengkajian yang penting di dunia Barat, maka ia berkembang dan melembaga menjadi program formal di perguruan tinggi, dalam bentuk departemen atau jurusan dari universitas-universitas di Barat. Kini banyak sekali unversitas di Barat yang mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies. Universitas London misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African Studies), Universitas McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan Departement of Islamic Studies, Universitas Chicago, Universitas Edinburgh, University of Pennsylvania, Philadelphia dan lain-lain mendirikan Departement of Middle Eastern Studies; Universitas Birmingham Inggris mendirikan Centre for the Study of Islam-Christian Relation dan lain sebagainya. Program-program kajian keislaman di universitas-universitas Barat tersebut merupakan tradisi yang kokoh karena didukung oleh pakar dan tokoh di bidang masing-masing. Sekedar untuk menyebut beberapa berikut ini nama-nama orientalis dalam beberapa bidang tertentu:

1) Bidang Teologi dan Filsafat: Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald, Alfred Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman dll.

2) Bidang Hadis Josep Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson, Aarent J Wensinck, Nicholson, WD. Van Wijagaarden. 

3) Bidang Fikih Waell Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck, John Burton,
4) Bidang Politik Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel Huntington, Bob Hefner, William Liddle, Greg Burton dll. 

5) Bidang al-Qur’an Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergtrasser, Otto Pretzl, Arthur Jewffery, John Wansbrough, John Burton, Richard Bell, Andrew Rippin, Chrostoph Luxemburg. Dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan semua di sini.

Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:


1. Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient).

2. Bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam.
3. Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.


Ketiga kesimpulan Edward Said di atas adalah benar adanya, artinya studi Islam di Barat yang ada sekarang ini menggunakan cara pandang (framework) Barat dan oleh sebab itu jika tulisan para orientalis itu dikaji secara kritis maka akan menunjukkan beberapa kerancuan konsep. Gambaran tentang cara pandang (framework) Barat ini sebenarnya sangat kompleks, tapi secara sederhana dapat diartikan sebagai cara mereka memandang Islam dan peradabannya. Cara Barat melihat Islam sebagai din, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, al-Qur’an sebagai wahyu dan kalam Tuhan, cara memahami hadist, sikap mereka terhadap otoritas ulama sama sekali berbeda dengan cara pandang Islam dan umat Islam.

Namun, tantangan yang dihadapi umat bukan hanya dari pikiran para orientalis, tapi cendekiawan Muslim yang mengikuti cara berfikir orientalis dalam memahami Islam. Kini yang mengatakan semua agama sama, al-Qu’ran bukan wahyu Allah, ajaran Islam itu menindas kaum wanita, dan sebagainya, bukan lagi orientalis, tapi para cendekiawan Muslim sendiri. Produk dari kuatnya tradisi oritentalisme itu adalah terbitnya karya-karya mereka yang kemudian dirujuk dan bahkan diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Akhirnya, oritentalisme juga memproduksi cendekiawan Muslim yang tidak kritis terhadap Barat dan bahkan mengikuti saja cara berfikir mereka. Kini muncul cendekiawan Muslim di berbagai Negara Islam yang mengusung ide-ide yang merupakan agenda Barat. Untuk sekedar menyebut beberapa berikut ini nama-nama mereka:


Teologi, Filsafat dan Pluralisme agama: Rene Guenon, Fritjhof Schuon, Martin Ling, Syed Hussein Nasr, Muhammad Sachidina, Hasan Askari, Mahmud Ayyub, Farid Eschack Hermeneutika: Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Gender dan feminisme: Aminah Wadud Muhsin, Fatimah Mernisi, Nawal Sa’dawi Islam Kiri: Hasan Hanafi, Asghar Ali dll. Fiqih: Abdullah Ahmad al-Naim, Muhammad Syahrur dsb.

Sekedar contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan ide orientalis sampai kepada pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [dalam bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, dalam [Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)]. Ide ini diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang diusir dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahawa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi). Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dan karena itu umat Islam tidak terlalu fanatik berpegang pada al-Qur’an; dan agar umat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa.

Namun secara obyektif perlu diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis ada yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dalam mengkaji karya-karya orientalis itu. Dan untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan Islam yang setanding dengan mereka.

3) Kolonialis

Seperti disebutkan diatas bahwa orientalis pernah bekerjsama dengan kolonialis dan misionaris. Pengertian kolonialisme dalam hal ini disesuaikan dengan kondisi pasca perang dunia kedua, yang bergeser dari pendudukan menjadi penguasaan dalam bidang-bidang tertentu secara strategis. Kolonialisme kini tidak mesti berarti exploitasi sumber daya manusia dan alam seperti di zaman penjajahan, tapi monopoli dalam perdagangan, penguasaan sistem ekonomi dan politik, liberalisasi perdagangan dsb. Untuk itu kolonialis berkepentingan untuk menyebarkan kultur dan pemikiran Barat, sehingga ide-ide atau pemikiran Islam dan umat Islam sejalan dengan pemikiran dan kepercayaan Barat. Tujuan akhirnya adalah kepentingan ekonomi dan politik mereka di negara-negara Islam dapat berjalan dengan mulus.

Strategi bagaimana agar ide-ide dan pemikran umat Islam sejalan dengan kolonialis, dan bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan strategis, sebaiknya kita rujuk sebuah buku yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, (2003). Buku yang ditulis oleh Cheryl Bernard[26] ini menjelaskan tentang strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk melawan apa yang mereka istilahkan dengan “terorisme dan fundamentalisme” dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia menulis buku lain berjudul “U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11 (2004), The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror (2005).

Cheryl Bernard menulis ini dibawah proyek penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat “analisa obyektif dan solusi efektif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu diseluruh dunia”. Lembaga ini dibiayai oleh Smith Richardson Foundation. Di lembaga ini Cheryl menulis untuk Divisi Riset Keamanan Nasional (National Security Research Division) dimana suaminya bekerja. Tujuan dari buku ini adalah untuk membuat suatu laporan dan usulan dalam rangka membantu kebijakan pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme, dan pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses demokratisasi. Yang jelas, divisi ini bertugas memberi saran-saran kepada pemerintah Amerika bagaimana menghadapi “fundamentalisme” dalam Islam dan menyebarkan pemikiran liberal ketengah-tengah umat Islam.

Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar pemikiran tertentu. Pemikiran mana yang menjadi asasnya, ia pilih sejalan dengan kepentingannya. Berdasarkan pemikiran itu ia memberi masukan kepada pemerintah Amerika, pertama tentang nilai-nilai mana dalam Islam yang bisa diseret ke dalam nilai-nilai Amerika. Kedua tentang peta masalah-masalah umat Islam dalam konteks nilai-nilai Amerika. Dan akhirnya muncullah saran-saran agar isu-isu seperti demokrasi dan HAM, poligami, hukuman bagi kriminalitas, keadilan, masalah minoritas, pakaian wanita, hak-hak suami-istri dsb, masuk ke dalam pemikiran umat Islam. Saran-saran itu, seperti yang akan lihat di bawah ini, dilaksanakan dengan baik di Indonesia.

Untuk membuktikan adanya serangan yang berbentuk politik atau memakai kendaraan politik, berikut ini dipaparkan strategi bagaimana menghadapi Islam yang tertuang dalam buku tersebut. Laporan itu membagi umat Islam menjadi 4 kelompok dan memberi masukan bagaimana seharusnya sikap pemerintah Amerika terhadap keempat kelompok tersebut:

1. Fundamentalis, yaitu kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi, dan kultur Barat kontemporer. Mereka menginginkan negara autoritarian dan murni untuk melaksanakan hukum dan nilai-nilai moral Islam, tapi mau menggunakan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka.

2. Tradisionalis, yaitu kelompok yang menginginkan masyrakat konservatif, curiga terhadap modernitas, innovasi dan perubahan.

3. Modernis, yaitu kelompok yang menginginkan agar dunia Islam menjadi bagian dari modernitas global. Mereka ingin memodernisir Islam agar sejalan dengan zaman.

4. Sekuleris yaitu kelompok yang mengingkan dunia Islam menerima pemisahan gereja dan negara, sebagaimana yang terjadi pada demokrasi industri Barat, dimana agama diposisikan sebagai urusan pribadi

Untuk menghadapi kelompok-kelompok tersebut di atas Cheryl Benard memberi saran-saran bagaimana menghadapi masing-masing kelompok. Di akhir saran-saran, ia mengingatkan agar kebijakan yang diambil disesuaikan dengan strategis tidaknya isu yang berkembang. Saran-saran untuk menghadapi keempat kelompok tersebut dapat disimak sbb:


1. Pertama-tama dukung modernis, dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena yang luas agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka harus dididik dan diangkat secara ketengah-tengah public sebagai mewakili wajah Islam kontemporer.

2. Dukung kelompok sekularis berdasarkan kasus per kasus

3. Dorong institusi sipil dan kultural serta program-programnya.

4. Dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat di antara mereka. Didalam kelompok tradisionalis kita harus mendukung secara selektif mereka yang lebih sesuai dengan masyarakat sipil modern. Misalnya, beberapa mazhab-mazhab Fiqih lebih dapat disesuaikan dengan pandangan kita tentang keadilan dan hak azazi manusia daripada yang lain.
5. Musuhi kelompok fundamentalis secara aktif dengan menghantam kelemahan mereka dalam pandangan keislaman dan ideologi mereka, yaitu dengan mengeskpos hal-hal yang tidak dapat diterima oleh masyarakat baik anak muda yang idealis ataupun pengikut tradisionalis yang saleh, seperti korupsi, kekerasan, kebodohan, pelaksanaan Islam yang bias dan jelas salah dan ketidak mampuan mereka memimpin dan memerintah.


http://islamlib.com/id/artikel/mengenang-nasr-hamid-abu-zayd/

Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis&Kolonialis[III]

0 komentar: