Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah, bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, "Ceritakan padaku akhlak Muhammad!". Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar
merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan
sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad.
Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air
mata berkata, "Ceritakan padaku keindahan dunia ini!." Badui ini
menjawab, "Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia
ini...." Ali menjawab, "Engkau tak sanggup menceritakan keindahan
dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah
senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad,
sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti
yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)"
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri
Nabi yang sering disapa "Khumairah" oleh Nabi ini hanya menjawab,
khuluquhu al-Qur'an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur'an). Seakan-akan Aisyah
ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur'an berjalan. Badui ini tidak
puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke
seluruh kandungan Qur'an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca
dan menyimak QS Al-Mu'minun[23]: 1-11.
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan
tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan
seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang
akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu
fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi
terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya,
bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, "ah semua perilakunya
indah." Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya,
sebagai seorang isteri. "Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami
sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata,
'Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.'" Apalagi
yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode
tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari
seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir
hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya
disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang,
melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau
tidur di sini?" Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut
malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu.
itulah sebabnya aku tidur di depan pintu." Mari berkaca di diri kita
masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan,
"berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya
di hari akhir tentangnya." Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan
isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam
mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling
indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah
penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak
ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya.
Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat
sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat
duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut
namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati,
pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya
untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari
seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai
pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri
kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun,
sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji
sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan
siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya.
Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta
menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata,
"Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka
Syetan lewat jalan yang lain." Dalam riwayat lain disebutkan, "Nabi
bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar
yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud
(ta'wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan."
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman
karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain
(pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu,
tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. "Aku ini kota
ilmu, dan Ali adalah pintunya." "Barang siapa membenci Ali, maka ia
merupakan orang munafik."
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada
seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh
lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang
sembilan. Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela.
Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang
mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam
Al-Qur'an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria,
dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan "Wahai
Nabi". Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka
berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul.
Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan
siapa, Abu Bakar berkata: "Angkat Al-Qa'qa bin Ma'bad sebagai
pemimpin." Kata Umar, "Tidak, angkatlah Al-Aqra' bin Habis." Abu
Bakar berkata ke Umar, "Kamu hanya ingin membantah aku saja," Umar
menjawab, "Aku tidak bermaksud membantahmu." Keduanya berbantahan
sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha
Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di
atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan
dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus
amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata,
"Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara
denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia." Umar
juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya
setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu
telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena
melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah,
Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata pada
Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang
sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan
kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada
sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan
kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami"
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik
ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika
Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?"
"Sudah." kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat
Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah
duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita
tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah,
tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain.
Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita
sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan
Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan
pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita
sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara
obrolan kita. Masya Allah…
Ketika
Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta
janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah
perginya N abi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya
tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan
hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di
Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan
kedatangannya. Apa jawab Nabi? "Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku
telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu." Sahabat ini menangis
keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan
bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji
adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana
kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana
perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya,
Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi Allah akan
memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang
ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan
dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam,
namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu
ketika engkau memeriksa barisa di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi
aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku
ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana, tidak
menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri
dan siap "membereskan" orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh
Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi
keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang
terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat
senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat
itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi
berkata, "lakukanlah!" Detik-detik berikutnya menjadi sangat
menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi
perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, "Sungguh maksud tujuanku
hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku
ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga
terdengar ucapan, "Allahu Akbar" berkali-kali. sahabat tersebut tahu,
bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa
ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia
ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang
lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah
tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat
hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila
ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim
Yang Maha Agung ditengah milyaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi
orang yang muflis. Na'udzu billah.....
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada', di padang
Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di
akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil
berkata, "Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa
yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti,
apa jawaban kalian?" Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan
air mata. Nabi melanjutkan, "Bukankah telah kujalani hari-hari bersama
kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena
menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan
kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah.....?"
Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, "benar ya Rasul!"
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan
berkata, "Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah
saksikanlah!". Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan
tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita
mencintai Rasulullah."Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu,
betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin
meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa
kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah
Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan
surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah"
0 komentar:
Posting Komentar