Rabu, 24 April 2013

Review seminar kepustakawanan dengan Bapak Blasius Sudarsono



Pada tanggal 11 Maret 2013, saya teringat saat seorang tokoh pustakawan nasional berada di teatrikal UIN Sunan Kalijaga untuk memberikan materi perkuliahan umum bersama buah hatinya, dimana mereka berduet mengupas tuntas dengan menjadi narasumber pada kuliah umum tersebut. Kuliah umum itu bertemakan "Perpustakaan Untuk Rakyat". Yah, itu merupakan salah satu judul karya beliau yang fenomenal. Sebuah buku perenungan tentang perpustakaan dan taman baca masyarakat (TBM). Seorang penulis dan pustakawan utama di LIPI yaitu Bapak Blasius Sudarsono, MLIS beserta anaknya Ratih Rahmawati (Mahasiswa semester  8 UI Jurusan Ilmu Perpustakaan). Tidak hanya mereka yang menjadi narasumber, tapi mereka disandingkan dengan Ibu Afia Rosdiana, M.pd ketua Umum Perpustakaan Kota Yogyakarta yang menjadi tandingan menarik. Percakapann menjadi sangat hangat dan berbobot tinggi. Apalagi dalam Kuliah Umum tersebut di moderator Bapak Anis Masruri yaitu seorang Dosen Ilmu Perpustakaan di UIN Sunan Kalijaga. Tidak kalah menariknya saat perkuliahan umum ini dihadiri oleh berbagai elemen, tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa ilmu perpustakaan yang berjumlah 193, namun sebagian dosen Ilmu Perpustakaan, Karyawan Fakultas Adab, Humas UIN, Pustakawan UIN Sunan Kalijaga beserta FISIPOL UGM hadir untuk pembahasan tema tersebut.
                Banyak orang mengatakan kalau TBM itu berbeda dengan perpustakaan?? Apakah benarr..???
Buku tersebut berhasil menarik Ibu Afia Rosdiana, M.Pd untuk menceritakan pengalaman tersebut yang terjadi pada tanggal 2009 silam. Saat pertama kali beliau  ditugaskan di perpustakaan kota. TBM merupakan hasil bantuan dari Dinas Pendidikan pada sekitar tahun 2009. Perpustakaan masyarakat atau TBM mempunyai makna yang sama yaitu sama-sama mengembangkan minat baca sejak dini. Menurut beliau, dengan adanya TBM memberikan Warna tersendiri bagi Dunia Perpustakaan. Sebuah warna baru untuk membantu masyarakat untuk lebih mengenal dunia literature serta akan membantu menyalurkan minat baca mereka sampai daerah-daerah terpencil atau pelosok secara merata. Dengan itulah TBM dan Perpustakaan harus mempunyai wajah perpustakaan yang menarih masyarakat sehingga anak-anakpun saling bahu membahu ke perpustakaan. Selain itu, TBM dan Perpustakaan merupakan hal yang sama, hanya saja perbedaan itu ada di dalam persepsi masyarakat secara umum. Sampai saat ini, terhitung di Yogyakarta ada 234 TBM, namun sekitar 30% dinyatakan koma. Hal ini menunjukkan bahwa sudah seharusnya TBM dan Perpustakaan harus saling bersinergi menjadi satu kesatuan membangun masyarakat Indonesia yang pintar secara keseluruhan. Pada intinya TBM dan Perpustakaan mempunyai ruh yang sama.
Hal ini dibenarkan oleh Ratih Rahmawati. Sebagai pembahas kedua, beliau mengungkapkaan bahwa meskipun beliau berada pada generasi yang berbeda dengan ayahnya (Bapak Blasius Sudarsono, MLIS), namun hal tersebut menciptakan kolaborasi yang menghasilkan sebuah karya yang sangat luar biasa. Perbedaan pandangan menjadikan dialog yang sangat interaktif yang disajikan dalam buku tersebut. Dengan perbedaan sudut pandang dan cara pemikiran yang berbeda memberikan gaya bahasa yang sangat menarik. Ha itu merupakan usaha yang cukup keras saat penyatuan pemikiran terjadi. Namun karya ini merupakan karya yang fenomenal.
                 Senyuman terlahir dari bapak Blasius Sudarsono, MLIS. Beliau mengungkapkan bahwa pustakawan zaman sekarang banyak enggan untuk menulis atau menjadi penulis padahal pustakawan sebenarnya sangat dekat dengan dunia literasi, sangat disayangkan memang. Beliau mengungkapkan, pada tahun 2012 ini memang beliau menyesuaikan pola pikir dengan buah hatinya sendiripun bukanlah hal yang mudah. Hal ini bukanlah masalah instansinya, akan tetapi lebih kepada persepsi dua generasi yang mempunyai selisih umur 40 tahun lebih. Namun meskipun kesulitan itu ada, bukan bapak blasius namanya jika tidak bisa menghadapi. Hal ini malah ditampilkan beliau sebagai tonjolan kelebihan dari hasil karyanya tersebut.
                Selain itu, beliau menyampaikan ada beberapa pilar kepustakawanan yaitu:
a.       Pada dasarnya kepustakawanan adalah panggilan hidup
b.      Kepustakawanan adalah spirit of life
c.       Kepustakawanan adalah karya pelayanan
d.      Kepustakawanan dilakukan dengan professional
Ini menunjukkan bahwa pustakawan adalah bukan hanya mereka yang terlahir untuk bermimpi menjadi pustakawan saja, namun bagi siapa saja yang panggilan hidup, ditakdirkan, dan berusaha memiliki ruh atau jiwa kepustakawanan. Budayawan ekuivalen dengan pustakawan. Didalam tujuan kemerdekaan ada 4 inti, namun ada 2 yang paling penting yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan umum. Disana terpampang dengan jelas tujuan kita sebagai seorang pustakawan.
Tokoh nasional ini juga memaparkan kemampuan yang harus dimiliki pustakawan antara lain:
1.       Pustakawan harus mulai untuk berfikir kritis untuk pengembangan diri melihat masa depan
2.       Membaca Yaitu membaca dunia yaitu melihat isi dunia melalui jendela dunia(literature)
3.       Menulis merupakan wujud syukur terhadap Tuhan, dikarenakan kita memiliki banyak cerita tentang kehidupan yang menjadi tanda syukur untuk kemauan menjelajahi hal-hal tertentu
4.       Interprener,yang melihat lapangan pustakawan itu tidak dihargai secara financial. Sehingga harus ada  pengembangan dalam hal-hal seperti wirausaha.
5.       Etika,  Etika sangat dibutuhkan disemua Profesi ini menjadi standar bagi profesi yang baik harus memiliki  etika yang baik.
Demikian pelajaran yang bisa saya berikan dari pengalaman saya. Dan mari kita budayakan berbagi pengalaman dan ilmu yang kita dapatkan dari pengalaman kita. J

0 komentar: