KEUTAMAAN PUASA
Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (Qath'i)
dalam kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana
untuk Taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Azza wa Jalla dan menjelaskan
keutamaan-keutamaannya, seperti firman Allah Ta'ala yang artinya :
"Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat,
kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh,
dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta wanita yang
sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu', dan kaum priaa
serta wanitaa yang bersedeekah, dan kaum pria serta wanita yang berpuasa, dan
kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum
pria serta kaum wanita yang banyak mengingat Allah. Allah menyediakan bagi
mereka ampunan dan pahala yang besar." (Surat Al-Ahzab : 35)
Dan firman Allah yang artinya :
"Dan kalau kalian puasa itu lebih baik bagi kalian kalau kalian
mengetahuinya". (Surat Al-Baqoroh : 184)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam telah
menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat,
perisai dari neraka, Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan satu pintu
syurga untuk orang yang puasa, puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya,
menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang
tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung, dijelaskan secara rinci
dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.
1. Puasa adalah perisai (pelindung)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyuruh
orang yang sudah kuat syah watnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa,
menjadikan nya sbagai wijaa (pemutus syahwat jiwa) bagi syahwat ini, karena
puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh
anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan
dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh
yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan batin.
Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda (yang artinya):
"Wahai sekalian para pemuda, barang siapa
diantara kalian telah mampu baah (menikah dengan berbagai macam persiapannya),
hendaknya menikah, karena menikah lebih menundukan pandangan, dan lebih menjaga
kehormatan. Barang siapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa
merupakan wijaa (pemutus syahwat) baginya." HR. Bukhori (4/106) dan Muslim
(no. 1400) dari Ibnu Mas'ud
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam telah
menjelaskan bahwa syurga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi,
dan neraka diliputi dengan syah- wat, jika telah jelas demikian -wahai muslim-
sesungguhnya puasa itu menghan curkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang
bisa mende- katkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa
dari neraka, oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah
benteng dari neraaka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.
Bersabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam
(yang artinya):
"Tidaklah ada seorang hamba yang puasa di
jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh
tujuh puluh musim ". (HR.
Bukhori (6/35), Muslim (1153) dari Abu Sa'id AlKhudri, ini adalah lafadh
Muslim. Sabda Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasalam : 70 musim yakni :
perjalanan 70 tahun demikian dikatakan dalam "Fathul Bari" (6/48))
"Puasa adalah perisai, seoramg hamba
berperisai dengannya dari api neraka". (HR. Ahmad (3/241), (3/296) dari
Jabir, Ahmad (4/22) dari Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shohih).
"Barang siapa yang berpuasa sehari di jalan
Allah maka diantara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit
dengan bumi". (Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 1624) dari hadits Abi
Umamah)
Sebagian Ahlul Ilmi telah memahami bahwa
hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika
jihad dan berperang di jalan Allah, namun dhahir hadits ini mencakup semua
puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta'ala,
sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam
termasuk puasa di jalan. (yang disebut kan didalam hadits ini)
2. Puasa bisa memasukan seorang hamba ke dalam
syurga.
Engkau telah tahu wahai hamba Allah yang taat,
mudah-mudahan Allah memberimu taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan
ruh dari-Nya, bahwa puasa menjauhkan orang yang mengamalkannya dari neraka.
Jika demikian berarti mendekatkannya ke bagian pertengahan syurga.
Dari Abi Umamah radhiallahu 'anhu :
"Aku berkata : "Ya Rasulullahu
Shalallahu 'alaihi wasallam tunjukkan padaku amalan yang bisa memasukanku ke
syurga; beliau menjawab: "Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal
dengan itu. (HR Nasa'I (4/165), Ibnu
Hibban (hal. 232 Mawarid), Al-Hakim (1/421) sanadnya SHAHIH)
3. Orang puasa yang diberi pahala yang tidak
terhitung
4. Orang yang berpuasa punya dua kegembiraan
5. Bau mulutnya orang yang puasa lebih wangi dari
baunya misk
Dari Abi Hurairah radhiallahu 'anhu : Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Semua amalan bani Adam untuknya kecuali
puasa (pahalanya tak ter- batas), karena puasa itu untuk Aku dan Aku akan
membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang kalian sedang puasa
janganlah berka ta keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya
atau me- meranginya, ucapkankanlah : "Aku orang yang sedang puasa (ucapan
dengan lisan), demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya sesung- guhnya bau
mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak misk ,
orang yang puasa punya dua kegembiraan, jika berbuka gembira, jika bertemu
dengan Rabbnya gembira karena puasa yang dia lakukan. (HR. Bukhri (4/88),
Muslim (no. 1151) ini lafadz Bukhori)
Dalam riwayat Bukhori :
"Meninggalkan makan. minum dan syahwatnya karena Aku, puasa itu
untuk-Ku. dan Aku yang akan membalasnya. kebaikan dibalas dengan sepuluh kali
lipat."
Dalam riwayat Muslim :
"Semua amalan Ibnu Adam dilipat gandakan,
kebaikan dibalas dengan sepuluh kali, sampai tujuh ratus kali lipat, Allah
Ta'ala berfirman : Kecuali puasa, karena dia itu untuk-Ku dan Aku yang akan
membalasnya, dan meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku, bagi orang
yang puasa ada dua kegembiraan : gembira ketika berbuka, dan gembirabertemu
dengan Rabbnya, dan sungguh bau mulut orang yang puasa disisi Allah adalah
lebih wangi dari pada baunya misk."
6. Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat
kepada ahlinya :
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda
(yang artinya) :
"Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat
kepada hamba di hari kiamat, puasa akan berkata : "Wahai Rabbku, aku
menghalanginya dari makan dan syahwat, berilah dia syafaat karenaku, Al-Qur'an
pun berkata : "Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, berilah
dia syafaat. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : "maka
keduanya memberi syafaat." (Diriwayatkan
oleh Ahmad (no.6626), Hakim (1/554), Abu Nu'aim (8/161) dari jalan Huyyay bin
Abdullah, dari Abdurrahman Al-Hubuli, dari Abdullah bin Amr. Dan sanadnya
HASAN)
7. Puasa merupakan kafarat.
Diantara keistimewaan puasa, yang tidak ada dalam
amalan lain adalah; Allah men jadikannya sebagai kafarat bagi orang yang
memotong rambut kepalanya (ketika Haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di
kepalanya, dan kafarat bagi yg tidak mampu untuk membeli kurban, kafarat bagi
pembunuh orang kafir yang punya per janjian karena tidak sengaja, juga sebagai
kafarat bagi yang membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di
tanah haram, dan sebagai kafarat dhihar, akan jelas bagimu dalam ayat-ayat
berikut ini;
Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) :
"Dan sempurnakanlah olehmu ibadah haji dan
umrah karena Allah; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit),
maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur
rambut kepala mu, hingga kurban itu sampai ketempatnya, maka barang siapa sakit
atau ada gangguan di kepalanya, maka hendaklah memberi fidyah, yaitu berpuasa
atau memberi shodaqoh, menyembelih kurban maka ketika telah aman maka barang
siapa yang melaksanakan ibadah haji dengan cara tamathu' maka wajiblah
menyembelih kurban yang sudah di dapat (membayar dam) maka barang siapa yang
tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah kembali itulah
sepuluh hari yang sempurna. Demikianlah bagi orang yang bukan dari penduduk
Masjidil Haram, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwasanya Allah
Maha keras siksanya. (Surat al-Baqoroh : 196)
Allah Ta'ala juga berfirman yang artinya :
"Dan jika ia dari golongan orang yang
mengikat perjanjian antara kamu dengan mereka, maka hendaklah dibayar uang
tebusan yang diserahkan kepada keluarganya, dan merdekakan budak mu'mtetapi
barang siapa tak mampu, maka berpuasalah dua bulan berturut-turut, untuk
penerimaan taubat dari pada Allah (sebagai suatu jalan bertaubat) karena Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Surat An-Nisaa' :92)
Allah Ta'ala berfirman yang artinya :
"Allah tidak menghukum kamu karena
keterlanjuran sumpah-sumpahmu yang tidak di sengaja, tetapi ia menghukum kamu
karena sumpah yang kamu sengaja (apabila kamu merusakannya) maka kifarat sumpah
itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu atau memberikan pakaian kepada mereka atau
memerdekan hamba sahaya. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang
demikian, hendaklah ia berpuasa tiga hari. Itulah kifarat sumpahmu jika kamu
bersumpah. Dan peliharalah sumpah-sumpahmu (jangan terlalu mudah bersumpah).
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu, supaya kamu mensyukuri."
(Surat Al-Maidah ayat : 89)
Allah Ta'ala berfirman yang artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barang siapa diantara
kamu yang membunuhnya dengan sengaja, maka wajiblah atasnya denda, ialah
mengganti dengan binatang ternak yang seperti binatang yang dibunuhnya yang
ditetapkan oleh dua orang yang adil (penduduk Mekkah) atau kifaratnya memberi
makanan kepada orang-orang miskin. atau berpuasa seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu supaya merasakan akibat perbuatannya barang siapa yang
mengulangi lagi mengerjakannya, maka Allah akan menyiksanya, Allah Maha Perkasa
lagi mempunyai hak siksa."(Surat Al-Maidah : 95)
Allah Ta'ala berfirman yang artinya :
"Orang-orang yang mendhihar istrinya,
kemudian ingin kembali kepada apa yang mereka katakan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum keduanya bercampur (bersetubuh). Demikian
itu dijadikan nasihat kepadamu untuk mengerjakannya, dan Allah senantiasa
mengetahui rahasia apa yang kamu kerjakan maka barang siapa yang tidak
memperoleh budak (karena tidak kuat mengadakannya, atau memang tidak ada), maka
ia berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bersentuhan maka barang
siapa yang tiada berkuasa puasa, hendaklah memberi makan enam puluh orang
miskin (keringanan) yang demikian itu agar kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkari
(hukum-hukum Allah itu) adzab yang pedih." (Surat Al-Mujadalah :3-4)
Demikian pula, puasa dan shodaqoh bisa
menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarganya dan anaknya. Dari
Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu 'anhu, berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam (yang artinya):
"Fitnah pria dari keluarga (istri), harta
dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shodaqoh." (HR. Bukhori (2/7) Muslim (144))
8. Rayyan bagi orang yang puasa.
Dari Sahl bin Sa'ad radhiallihu 'anhu, dari Nabi
Shalallahu 'alaihi wasallam bersab da (yang artinya) : "sesungguhnya dalam
syurga ada satu pintu yang disebut dngan rayyan, orang-orang yang puasa akan
masuk di hari kiamat nanti dari pintu terse- but, tidak ada orang selain mereka
yang memasukinya. jika telah masuk orang ter- akhir yang puasa ditutuplah pintu
tersebut, barang siapa yang masuk akan minum, dan barang siapa yang minum tidak
akan merasa haus untuk selamanya." (HR. Bukhori (4/95). Muslim (1152)
tambahan akhir dalam riwayat Ibnu Khuzhaimah dalam kitab Shahihnya (1903))
KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN
Ramadhan adalah bulan kebaikan dan barakah, Allah
memberkahinya dengan banyak keutamaan sebagaimana penjelasan berikut:
1. Bulan Al-Qur'an.
Allah menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk
bagi manusia, obat bagi kaum mukminin, membimbing kepada yang lebih lurus,
menjelaskan jalan petun- juk, diturunkan pada malam Lailatul Qodar satu malam
di bulan Ramadhan, Allah berfirman yang artinya :
"Bulan Ramadhan itulah bulan yang di
dalamnya diturunkan Al-Qur'an yang menjadi petunjuk bagi manusia, dan menjadi
keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan membedakan antara yang hak dan yang
bathil. Maka barang siapa diantara kamu melihat bulan itu hendaklah ia
berpuasa." (Surat Al-Baqoroh :185)
Ketahuilah saudaraku –mudah-mudahan Allah
memberkatimu- sifat bulan Ramadhan sebagai bulan yang diturunkan padanya
Al-Qur'an dan kalimat sebelumnya dengan huruf fa ( ) yang menyatakan ilat dan
sebab: "barangsiapa yang melihatnya hendaklah berpuasa".
Memberikan isyarat illat (penjelasan sebab),
yakni sebab dipilihnya Ramadhan adalah agar bulan tersebut adalah bulan yang
diturunkan padanya Al-Qur'an.
2. Dibelenggunya syaithan dan ditutupkan padanya
pintu-pintu neraka dan di bukanya pintu-pintu surga.
Pada bulan ini kejelekan menjadi sedikit, karena
belenggu dan diikatnya jin-jin jahat dengan salasil (rantai), belenggu dan
"Ashfad", mereka tidak bisa bebas merusak manusia sebagaimana
bebasnya di bulan yang lain, karena kaum muslimin sibuk dengan puasa, hingga hancurlah
syahwat, dan juga karena bacaan Al-Qur'an serta seluruh ibadah yang mengatur
dan membersihkan jiwa, Allah berfirman (yang artinya) :
"Telah diwajibkan atas kamu berpuasa,
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang dahulu sebelum kamu, supaya kamu
bertaqwa." (Surat Al-Baqoroh :183)
Karena banyaknya perkataan amalan shalih.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam bersabda (yang artinya) : "Jika
datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu syur ga (Dalam riwayat Muslim :
"Dibukakan pintu-pintu rahmat") dan ditutup pintu-pintu neraka dan
dibelenggulah syaithan." (HR Bukhori
(4/97) dan Muslim (1079)
Semuanya itu sempurna diawal malam bulan Ramadhan
yang diberkahi, berdasar- kan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam (yang
artinya):
"Jika telah datang awal malam bulan
Ramadhan, diikatlah para syaithan dan jin-jin yang jahat, ditutup pintu-pintu
neraka tidak ada satu pintu pun yang dibuka, dan dibukalah pintu-pintu syurga
tidak ada satu pun yang tertutup, menyerulah seorang penyeru : "Wahai orang
yang ingin kebaikan lakukan- lah, wahai orang yang ingin kejelekan kurangilah,
Allah mempunyai orang-orang yang dibebaskan dari neraka, itu terjadi pada
setiap malam. (Diriwayatkan oleh
Tirmidzi (682) dari Ibnu Majah (1642) dan Ibnu Khuzaimah (3/188) dari jalan Abi
Bakar bin Ayyash drai Al-A'masy dari Abi Hurairah. Dan sanad hadits ini HASAN).
3. Malam Lailatul Qodri
Engkau telah tahu wahai hamba mukmin bahwa Allah
Jalla Jalaluh memilih bulan Ramadhan karena diturunkan padanya Al-Qur'an Karim,
dan mungkin untuk mengetahui hal ini dibantu qiyas dengan berbagai macam cara,
diantaranya :
1. Hari yang paling mulia di sisi Allah adalah di
bulan yang diturunkan padanya Al-Qur'an, hingga harus dikhususkan dengan
berbagai macam amalan. Hal ini akan dijelaskan secara rinci dalam pembahasan
malam Lailatul qadar, Insya Allah.
2. Sesungguhnya jika satu nikmat dicapai oleh
kaum muslimin mengharuskan adanya tambahan amal sebagai perwujudan rasa syukur
kepada Allah, hal ini berdasarkan firman Allah setelah menceritakan sempurnanya
nikmat bulan Ramadhan (yang artinya) :
"Dan hendaklah kamu menyempurnakan
bilangannya, dan supaya kamu mengagungkan Allah terhadap sesuatu yang Allah
telah menunjukan kamu (kepadanya) dan mudah-mudahan kamu mensyukuri-Nya."
(Surat Al-Baqoroh : 185)
Firman Allah tabaroka wata'ala setelah selesai
nikmat haji yang artinya :
"Apabila kamu telah menyelesaikan hajimu,
maka berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana kamu menyebut orang-orang
tuamu atau lebih sangat lagi." (Surat Al-Baqoroh :200)
WAJIBNYA PUASA RAMADHAN
1. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati berbuat
kebajikan maka itu lebih baik baginya.
Karena keutamaan-keutamaan diatas, maka Allah
mewajibkan kaum muslimin puasa Ramadhan, oleh karena memutuskan jiwa dari
syahwatnya dan menghalangi nya dari apa yang biasa dilakukan termasuk perkara
yang paling sulit, kewajiban puasa pun diundur sampai tahun kedua Hijriyah,
setelah hati kaum mukminin kokoh dalam bertauhid dan dalam mengagungkan
syiar-syiar Allah, maka Allah membimbing mereka untuk melakukan puasa dengan
bertahap, pada awalnya mereka diberi pilihan untuk berbuka atau puasa beserta
diberi spirit untuk puasa, karena puasa masih terasa berat bagi para shahabat
Radhiallahu 'anhum. Barangsiapa yang ingin berbuka kemudian membayar fidyah
dibolehkan, Allah berfirman yang artinya :
"...Berpuasa, wajib membayar fidyah,
memberikan makanan seseorang miskin, maka barangsiapa yang mendermakan lebih
dengan sukanya sendiri, maka itu lebih baik baginya; bahwa puasa itu lebih baik
baginya, jika kamu mengetahui." (Surat Al-Baqoroh : 184)
2. Barangsiapa yang melihat bulan Ramadhan
berpuasalah.
Kemudian turunlah kelanjutan ayat tersebut yang
menghapus hukum diatas, hal ini dikhabarkan oleh dua orang shahabat yang mulia
: Abdullah bin Umar dan Sala- mah bin Al-Akwa' –Radhiallahu 'anhum- keduanya
berkata : "Kemudian dihapus oleh ayat : "Bulan Ramadhan itulah bulan
yang di dalamnya diturunkan Al-qur'an yang menjadi petunjuk bagi manusia dan
menjadi keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan yang membedakan antara yang
hak dan yang bathil, maka barang- siapa diantara kamu melihat bulan itu,
hendaklah ia berpuasa dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka
(wajib ia berpuasa) beberapa hari (yang keting- galan itu) di hari-hari yang
lain, Allah menghendaki kelapangan bagimu dan Allah tidaklah menghendaki
kesulitan bagimu. Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap sesuatu yang Allah telah menunjukan kamu
(kepada-Nya) dan mudah-mudahan kamu mensyukuri-Nya." (Surat Al- Baqoroh:
185)
Dan dari Ibnu Abi Laila dia berkata :
"Shahabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam telah menyampaikan kpd kami
: "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan terasa memberatkan mereka,
barangsiapa yang tidak mampu dibolehkan meninggal kan puasa dan memberi makan
seorang miskin, sebagai keringanan bagi mereka, kemudian hukum ini dihapus oleh
ayat : "Berpuasalah itu lebih baik bagi kalian". Akhirnya mereka
disuruh puasa. (Diriwayatkan oleh Bukhori
secara mu'allaq (8/181-fath), dimaushulkan oleh Baihaqi dalam (sunan) (4/200)
sanadnya hasan).
Sejak itu jadilah puasa salah satu simpanan
Islam, dan menjadi salah satu rukun agama berdasarkan sabda Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasalam (yang artinya):
" Islam
dibangun atas lima perkara : Syahadata alla ilaaha illallahu, wa anna Muhammd
rasulullah, menegakan shalat, menunaikan zakat, dan naik haji ke baitul haram,
serta puasa Ramadhan". (Diriwayatkan oleh Bukhori (1/47), Muslim
(16) dari Ibnu Umar).
TARGHIB PUASA RAMADHAN
1. Pengampunan Dosa
Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit)
untuk melakukan puasa Rama- dhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya
kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti
buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan
diberkahi ini.
Dan dari Abi Hurairah radhiallahu 'anhu dari Nabi
Shalallahu 'alaihi wasalam bersabda (yang arti nya) : "Barangsiapa yang
berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu." (HR Bukhori (4/99), Muslim (759). Makna:
" Pe nuh iman dan Ihtisab" yakni membenarkan wajibnya puasa,
mengharapkan pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya,
tidak merasa berat dalam mengamalkannya)
Dari Abi Hurairah radhiallahu 'anhu juga
rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam pernah bersabda (yang artinya) :
"Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at,
Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi diantara senggang waktu
tersebut jika menjauhi dosa besar". (Muslim (233))
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu juga, bahwa
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam pernah naik mimbar kemudian berkata:
"Amin, Amin, Amin", ditanyakan kepadanya:"Ya Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasalam : Engkau naik mimbar kemudian mengucapkan : Amin,
Amin, Amin ? Beliau bersabda :
"Sesungguhnya Jibril alaihissalam datang
kepadaku dia berkata :"barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi
tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia,
katakan: "Amin", maka akupun mengucapkan : Amin ……". (HR Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246 dan 254) dan Al-Baihaqi
(4/204) dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini SHAHIH, asalnya terdapat dalam
"shahih Muslim" (4/1978))
2. Dikabulkannya do'a dan pembebasan dari api
neraka :
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam bersabda
(yang artinya): "Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka
setiap siang dan malam bulan ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan
dikabulkan do'anya." (HR Bazzar (3142), Ahmad (2/254) dari jalan
A'mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1643) darinya
dengan ringkas dari jalan lain, hadits shahih . Do'a yang dikabulkan itu ketika
berbuka, sebagaimana akan datang penjelasannya lihat "Misbahuh
Azzujajah" (no. 604) karya Al-Bushiri).
3. Orang yang puasa termasuk shidiqin dan
syuhada.
Dari Amr bin Murrah Al-Juhani -Radhiallahu 'anhu- berkata: Datang seorang
pria yang datang kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasalam kemudian berkata :
"Ya Rasul Lullah! Apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah
Shalallahualaihi wasalam, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku
lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang
manakah aku ? Beliau menjawab : "Termasuk dari shidiqin dan syuhada". (HR
Ibnu Hibban (no. 11-zawaidnya) sanadnya SHAHIH).
ANCAMAN BAGI ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA
RAMADAHAN DENGAN SENGAJA
Dari Abi Umamah Al-Bahili -Radhiallahu 'anhu- Aku
pernah mendengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria
kemudian memegang dhobaya (dua lenganku) membawaku kesatu gunung yang kasar
(tidak rata), keduanya berkata : "Naik, aku katakan : "aku nggak
mampu, keduanya berkata: "kami akan memudah kanmu," akupun naik
hingga ketika aku sampai ke puncak gunung ketika itulah aku mendenganr suara
yang keras. Akupun bertanya : "Suara apakah ini ? Mereka berkata:
"Ini adalah teriakan penghuni neraka kemudian keduanya membawaku, ketika
aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki diatas, mulut mereka
rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya: "Siapakah
mereka ? keduanya menjawab : "mereka adalah orang-orang yang berbuka
sebelum halal puasa mereka." (Riwayat An-Nasa'I dalam "Al-Kubra"
sebagaimana dalam "tuhfatul Asyraf" (4/166) dan Ibnu Hibban (no.
1800-zawahidnya) dan Al-Hakim (1/430) dari jalan Abdur Rahman bin Yazid bin
Jabir, dari Salim bin Amir, dari Abu Umamah. Sanadnya SHAHIH).
Adapun yang diriwayatkan bahwa Nabi Shalallahu
'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Barangsiapa berbuka satu hari
saja pada bulan Ramadhan dengan sengaja, tidak akan bisa diganti walau dengan
puasa sepanjang jaman kalau dia lakukan".
Hadits ini LEMAH, TIDAK SHAHIH, pembahasan hadits
ini akan dibahas di akhir kitab ini.
HUKUM-HUKUM DALAM PUASA
Ketahuilah wahai muslim hamba Allah
-mudah-mudahan Allah mengajarimu dan aku - bahwasanya ada pahala yang amat
besar, kebaikan yang merata ini, yang tidak bisa menghitungnya kecuali Allah,
tidak akan di dapat kecuali oleh orang yang menunaikan puasa Ramadhan sesuai
dengan tuntunan dan sunnah penutup para Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
yakni dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban yang besar, di
bulan yang diberkahi ini.
Sekarang kami akan mulai menerangkan hukum-hukum
tersebut tanpa taklid pada seorangpun, mengambil dari Al-Qur’anul ‘Adhim,
hadits-hadits yang shahih dan hasan dari sunnah yang suci dengan pemahaman
salafush shalih, imam yang empat dan orang sebelum mereka dari kalangan sahabat
dan tabi’in, cukuplah ini bagimu sebagai dalil.
Kami juga telah memilih pendapat-pendapat madzhab
fiqih yang paling cocok dangan dalil serta ijtihad mereka yang paling adil.
MENJELANG BULAN RAMADHAN
1. Menghitung hari bulan Sya'ban
Umat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya'ban
sebagai persiapan untuk Ramadhan, karena satu bulan itu kadang dua puluh
sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, mereka hendaknya berpuasa ketika
melihat hilal bulan Ramadhan, jika terhalang awan dihitung hendaknya menyempurnakan
bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, karena Allah pencipta langit-langit dan
bumi menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan
hisab, satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata:
"Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Puasalah kalian karena melihat hilal, dan
berbukalah karena melihat melihat hilal, jika kalian terhalangi awan,
sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari." (HR. Bukhori (4/106) dan Muslim (1081))
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
"Janganlah kalian puasa hingga melihat
hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi
awan hitunglah bulan Sya'ban." (HR. Bukhori (4/102) dan Muslim (1080))
Dari Adi bin hatim radhiallahu 'anhu berkata:
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga
puluh hari, kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.”
(HR At-Thahawi dalam "Musykilul Atsar" (no. 501), Ahmad
(4/377), At-Thabrani dalam "Al-kabir" (17/171))
2. Barangsiapa yang berpuasa di hari yang
diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qosim Shalallahu 'alaihi wasallam
Oleh karena itu, seorang muslim tidak seyogyanya
mendahului bulan puasa, dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya
dengan alasan ihtiath (hati-hati) kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah
yang biasa ia lakukan.
Dari Abi Huarairah radhiallahu 'anhu Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan
melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang telah rutin
berpuasa maka berpuasalah." (HR Muslim (573-Mukhtashar dengan
mu'laqnya)).
Ketahuilah wahai saudaraku dalam Islam,
barangsiapa yang puasa pada hari yang diragukan, telah durhaka kepada Abal
Qosim Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, Shilah bin Zufar dari Ammar
membawakan perkataan Amar bin Yasar :
"Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang
diragukan berarti telah durhaka kepada Abal Qosim Shalallahu 'alaihi wasallam ."
(Dibawakan oleh Bukhori (4/119))
3. Jika ada seorang yang melihat hilal hendaknya
seluruh kaum muslimin berpuasa atau berbuka.
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi
yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :
"Puasalah kalian karena melihat hilal,
berbukalah karena melihatnya, berhajilah karena melihatnya, jika kalian
tertutup mendung sempurnakanlah tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah
kalian dan berbukalah." (HR. An-nasa'I (4/133), Ahmad (4/321),
Ad-daruquthni (2/167) dan dari jalan Husain bin al-Harits Al-Jadali dari Abdur
Rahman bin Zaid bin Al-Khaththab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasallam sanadnya HASAN, lafadz di atas dalam riwayat Nasa'I, Ahmad
menambahkan : "dua orang muslim")
Tidak diragukan lagi bahwa diterimanya persaksian
dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukan persaksian seorang diri itu
ditolak, oleh karena itu persaksian se- orang saksi dalam melihat hilal tetap
teranggap (sebagai landasan untuk mulai ber- puasa), dalam satu riwayat yang
shahih dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma berkata :
"Manusia mencari-cari hilal, maka aku
kabarkan kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa aku melihatnya,
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam pun menyuruh manusia berpuasa."
(HR Abu Daud (2342), Ad-Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al-hakim
(1/423), Al-Baihaqi (4/212) dari dua jalan dari Yahya bin Abdullah bin Salim
dari Abu Bakar bin Nafi' dari bapaknya dari Ibnu Umar sanadnya hasan
sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar Al-Atsqolani dalam "At-Talkhisul
habir" (2/187)).
NIAT
1. Wajibnya berniat puasa sebelum datang waktu
subuh ketika puasa wajib.
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan
penglihatan mata atau persaksi an atau dengan menyempurnakan bulan Sya'ban
menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk
berniat puasa di malam harinya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam (yang artinya): "Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar
untuk puasa maka tidak ada puasa baginya". (HR
Abu Daud (2454), Ibnu Majah (1933), Al-Baihaqi (4/202)).
Dan Sabdanya (yang artinya): "Barangsiapa
yang tidak berniat puasa pada malam harinya maka tidak ada puasa baginya."
(HR An-Nasa'I (4/196), Al-Baihqi (4/202),
Ibnu Hazm (6/162), dari jalan Abdur Razaq dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab.
Sanadnya SHAHIH kalau tidak ada 'an 'anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih
dengan riwayat sebelumnya).
Niat itu tempatnya di hati, melafadzkannya adalah
bid'ah yang sesat walaupun manusia menganggapnya baik, kewajiban untuk berniat
sejak malam itu khusus bagi puasa wajib, karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam pernah datang ke Aisyah selain bulan ramadhan beliau berkata :
"Apakah engkau punya santapan siang ? kalau nggak ada aku berpuasa". (HR Muslim (1154))
Hal in juga dilakukan oleh para shahabat: Abu
Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman
radhiallahu 'anhum kita dibawah bendera sayyidnya bani Adam.
Ini berlaku dalam puasa sunnah menunjukan
wajibnya niat di malam hari sebelum terbit fajar dalam puasa wajib, Wallahu
Ta'ala A'lam.
2. Kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at.
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan, tapi
dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum kemudian tahu, maka dia harus
menahan diri serta menyempurnakan puasanya, cukuplah puasanya tersebut (tidak
perlu di qodho'). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tapi tidak tahu telah
masuk Ramadhan) tidak disyari'atkan niat malam hari karena dia tidak mampu
(tidak mengetahui telah masuknya bulan Ramadhan), padahal diantara ushul
syari'at yang sudah ditetapkan. "kemampuan adalah dasar pembebanan
syari'at."
Dari Aisyah radhiallahu 'anha : "Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam pernah memerintahkan puasa 'Asyura,maka ketika
diwajibkan puasa Ramadhan, orang yang mau puasa 'Asyura dibolehkan, yang mau
berbuka pun dipersilahkan." (HR Bukhori (4/212) dan Muslim (1125)).
Dan dari Salamah bin Al-Akwa' radhiallahu 'anhu
berkata : "Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menyuruh seseorang dari bani
Aslam untuk mengumumkan kepada manusia bahwasanya barangsiapa ynag sudah makan
hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah
berpuasa karena hari ini adalah hari 'Asyura." (HR
Bukhori (4/216) dan Musllim (1135)).
Puasa hari 'Asyura dulunya adalah wajib kemudian
dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak
makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka, puasa Ramadhan adalah puasa
wajib maka hukumnya sama dengan puasa 'Asyura ketika masih wajib, tidak berubah
(berbeda) sedikitpun.
3. Sebagian Ahli Ilmu berkata harus mengqodho'
dan 'Asyura bukan wajib.
Ketahuilah saudara seiman bahwa seluruh dalil
menerangkan bahwa puasa 'Asyura itu wajib karena adanya perintah untuk puasa
dihari tersebut., sebagaimana dalam hadits Aisyah, kemudian kewajiban
ditekankan lagi karena diserukan secara umum kemudian ditambah pula dengan
perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaimana
dalam hadits Salamah bin Al-Akwa' tadi, serta hadits Muhammad bin Shaifi
Al-Anshary: "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam keluar menemui kami
pada hari 'Asyura kemudian berkata : "Apakah kalian puasa hari ini ?
sebagian mereka berkata : tidak. Beliau berkata : "Sempurnakanlah puasa
disisa hari ini". Dan menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud
kota madinah –Untuk menyempurnakan sisa hari mereka."(HR Ibnu Khuzaimah (3/389) ahmad
(4/388), An-nasa'I (4/192), Ibnu Majah (1/552), Ath-thabrani dalam
"Al-Kabir" (18/238) dari jalan Asy-Sya'bi darinya. Dengan sanad
SHAHIH).
Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan
Ibnu Mas'ud: "Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah
'Asyura,"
Dan ucapan Aisyah
juga: "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Rama- dhanlah
yang wajib, dan ditinggalkanlah 'Asyura (tidak wajib lagi). Walaupun demikian,
sunnahnya puasa 'Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz
(4/264) dari Ibnu Abdil Barr, jelaslah bahwa sunnahnya puasa 'Asyura masih ada,
yang dihapus itu hanyalah kewajibannya. Wallahu A'lam.
Sebagian lagi berkata : Jika puasa wajib niscaya
telah mansukh (dihapus) juga hukum-hukumnya. Yang benar hadits-hadits tentang
'Asyura menunjukan beberapa perkara :
1. Wajibnya puasa 'Asyura.
2. Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari
ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu tidaklah rusak
puasanya.
3. Barangsiapa yang makan minum kemudian tahu
disisa hari tersebut tidak wajib mengqodho'.
Yang mansukh adalah masalah perkara yang pertama
(wajibnya), hingga 'Asyura hanyalah sunnah sebagaimana telah kita jelaskan,
dimansukhnya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya.
Wallahu A'lam. Mereka berdalil dengan hadits Abu Daud (2447) dan Ahmad (5/409)
dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya : "bahwa
Aslam pernah mendatangi Nabi kemudian Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Kalian puasa hari ini ? mereka menjawab : Tidak. Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian
qadhalah kalian. Hadits ini lemah, karena ada dua illat (cela):
Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin
Salamah, Adz-Dzahabi berkata tentangnya :"Al-Mizan" (2/567):
"Tidak dikenal". Al-Hafidz berkata dalam "At-Tahzib"
(6/239):"keadaaannya majhul". Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam
"Aj-Jarhu wa At-Ta'dil" (5/288), tidak disebutkan padanya jarh atau
ta'dil. Juga ada 'an 'anah Qatadah padahal dia seorang mudallis.
WAKTU PUASA
Pada awalnya para shahabat Nabiyul ummi Muhammad
Shalallahu 'alaihi wasallam, jika berpuasa dan hadir waktu berbuka mereka makan
dan minum serta menjimai istrinya selama belum tidur, Namun jika seorang
diantara mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka) dia tidak
boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara diatas, kemudian Allah dengan
keluasan rahmat-Nya, memberikan rukhshoh hingga orang yang tertidur disamakan
hukumnya dengan orang yang tidak tidur, hal ini diterangkan dengan rinci dalam
hadits berikut :
Dari Al-Barraa' bin Ajib radhiallahu 'anhu berkata
: "Dahulu shahabat nabi Shalallahu 'alaihi wasallam jika salah seorang
diantara mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka,
tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore lagi. Sungguh Qois bin
Shirmah Al-Anshary pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi
istrinya kemudian berkata : "Apakah engkau punya makanan ? Istrinya
menjawab: "Tidak". Namun aku akan pergi mencarinya untukmu, dia
bekerja pada hari itu hingga terkantuk dan tertidur, ketika istrinya kembali
dan melihatnya, istrinya pun berkata : "Khaibah (diharamkan) untukmu ketika pertengahan hari diapun terbangun,
kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi hingga turunlah ayat ini
yang artinya :
"Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur
(berjima) dengan istri-istrimu" (Surat Al-Baqoroh : 187).
Mereka sangat gembira dan turun pula : (yang
artinya) "Dan makan dan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih
dari benang hitam dari fajar." (HR Bukhori (4/911)).
Inilah rahmat rabbani yang dicurahkan oleh Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata :
"Kami mendengar dan taat wahai Rabb kami ampunilah dosa kami kepada-Mulah
kami kembali" yakni dengan memberikan batasan waktu puasa : batasan mulai
dan berakhirnya yakni dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang
dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnyaa bundaran matahari di ufuk.
1. Benang Putih dan benang Merah
Ketika turun ayat tersebut sebagian shahabat Nabi
Shalallahu 'alaihi wasallam sengaja mengambil Iqol hitam dan putih (tali yang
dipakai untuk mengikat Unta "Mashabih") kemudian mereka letakan
dibawah bantal-bantal mereka, atau mereka ikatkan dikaki mereka. Dan mereka
terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat keduanya iqol tersebut
(membedakan antara yang putih dari yang hitam).
Dari Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata :
"ketika turun ayat: "Jelas bagi kalian benang putih dari benang
hitam."
Aku mengambil iqol hitam digabungkan dengan iqol
putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga
jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Beliaupun berkata :
"Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang". (HR.
Bukhori (4/133), Muslim (1090)).
Dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu 'anhu berkata,
ketika turun ayat : "makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benag
putih dari benang hitam."
Ada seorang pria jika ingin puasa, mengikatkan
benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas
melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah turunkan ayat: "Karena
terbitnya fajar", mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam
(gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang". (HR
Bukhori (4/114) dan Muslim (1091)).
Setelah penjelasan Qur'ani ini, sungguh telah
dijelaskan oleh Rasul Shalallahu 'alaihi wasallam kepada shahabatnya batasan
untuk membedakan serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk
ragu atau tidak mengetahuinya.
Bagi Allah-lah mutiara penyair : Tidak benar
sedikitpun dalam akal jikalau siang butuh bukti
2. Fajar Ada dua.
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu
ada dua :
1. Fajar Yang Kadzib, tidak dibolehkan ketika itu
shalat subuh, dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
2. Fajar Shadiq : yang mengharamkan makan bagi
yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat subuh.
Dari Ibnu Abbas radhallahu 'anhuma : Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam ber- sabda (yg artinya): "Fajar itu ada dua :
Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat
ketika itu, yang kedua : mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika
terbit fajar tersebut." (HR Ibnu Khuzaimah (3/210), Al-Hakim (1/191
dan 495), Daruquthni (2/165), Baihaqi (4/261) dari jalan Sufyan dari Ibnu
Juraij dari Atha' dari Ibnu Abbas. sanadnya SHAHIH).
Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :
1. Fajar kadzib adalah warna putih yang memancar
panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
2. Fajar shadiq adalah warna yang memerah yg
bersinar dan tampak diatas puncak di bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di
jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah, fajar inilah yang berkaitan
dengan hukum-hukum puasa dan shalat.
Dari Samurah radhiallahu 'anhu Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Janganlah kalian
tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang
memancar keatas sampai melintang."
(HR Muslim (1094)).
Dari Thalq bin Ali: Nabi Shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): "Makan dan minumlah jangan kalian
tertipu oleh fajar yang memancar keatas, makan dan minumlah sampai warna merah
membentang." (HR Tirmidzi (3/76), Abu Daud (2/304), Ahmad (4/66), Ibnu Khuzaimah
(3/211) dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya,
Sanadnya SHAHIH).
Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq
untuk mentaati Rabbmu- bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang
bercocokan dengan ayat yang mulia: "Hingga jelas bagi kalian benang putih
dari benang hitam karena fajar."
Karena cahaya fajar jika membentang diufuk di
atas lembah dan gunung-gunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak
diatasnya benang hitam yakni sisa-sia kegelapan malam yang pergi menghilang.
Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah
dari makan, minum dan berjima' , kalau ditanganmu ada gelas berisi air atau
minuman, minumlah dengan tenang. Karena itu merupakan rukhshah (keringanan)
yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa,
minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan:
Raslullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda
(yang artinya): "Jika salah seorang kalian mendengar adzan padahal gelas
ada ditangannya, janganlah ia letakan hingga memenuhi hajatnya." (HR
Abu Daud (235), Ibnu Jarir (3115), Al-Hakim (1/426), Al-Baihaqi (2/218), Ahmad
(3/423), dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abu
Hurairah sanadnya HASAN)
Yang dimaksud adzan dalam hadits diatas adalah
adzan subuh yang kedua karena telah terbitnya fajar shadiq dengan dalil
tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/510), Ibnu Jarir Ath-Thabari
(2/102) dan selain keduanya setelah hadits diatas.
"Dahulu seorang muadzin melakukan adzan
ketika terbit fajar."
Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat
Abu Umamah radhiallahu 'anhu: "telah dikumandangkan iqomah shalat ketika
itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata: "Boleh aku meminumnya, ya
Rasulallah ? Rasulullah bersabda : Ya minumlah." (HR
Ibnu Jarir (2/102) dari dua jalan dai Abu Umamah).
Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit
fajar shadiq dengan dalih Ihtiyath (hati-hati) adalah perbuatan bid'ah yang
diada-adakan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
(Fath) (4/199): "Termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar adalah yang
diada-adakan pada zaman ini, yaitu menguman- dangkan adzan kedua sepertiga jam
sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan
sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa, mereka
mengaku perbuatan ini dalam rangka ihtiyath dalam ibadah, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret
mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat,
untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan mereka- mereka mengakhirkan
buka dan menyegerakan sahur, hingga menyelisihi sunnah, oleh karena itu sedikit
pada mereka kebaikan dan kejahatan banyak tersebar pada mereka, Allahul
Musta'an.
Kami katakan : Bid'ah ini, yakni menghentikan
makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu buka, tetap ada dan terus
berlangsung di zaman ini, kepada Allahlah kita mengadu.
3. Kemudian menyempurnakan Puasa hingga malam.
Jika telah datang malam dari arah timur,
menghilangnya siang dari barat dan matahari telah terbenam berbukalah orang
yang berpuasa.
Dari Umar radhiallahu 'anhu berkata Rasulullah
Shalalla'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Jika malam datang dari
sini, siang menghilang dari sini, dan terbenam matahari telah berbukalah orang
yang puasa." (HR Bukhari (4/171), Muslim (1100) perkataanya:"telah berbuka
orang yang puasa" yakni dari sisi hukum bukan kenyataan, karena telah
masuk waktu puasa).
Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari,
walaupun sinarnya masih ada, termasuk petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi
wasallam, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian,
jika orang berkata: "Matahari telah terbenam", beliaupun berbuka. (HR
Al-Hakim (1/434), Ibnu Khuzaimah (2061) diSHAHIHkan oleh Al-Hakim menurut
syarat Bukhori-Muslim. Perkataan aufa: yakni: naik atau melihat).
Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud
langsung setelah terbenam nya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan
menyebar di timur dan di barat, sangkaan seperti ini pernah terjadi pada
shahabat Rasulullah, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya
awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.
Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu 'anhu:
"Kami pernah bersama Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dalam satu
safar ketika itu kami berpuasa (di bulan Ramadhan) ketika terbenam matahari
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada sebagian kaum: "Wahai
fulan, (dalam riwayat Abu Daud: "Wahai bilal) berdiri ambilkan kami air,
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Rasulullah kalau
engkau tunggu sore (dalam riwayat: "kalau engkau tunggu hingga sore, dalam
riwayat lain: Matahari) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Turun ambilkan air, Bilalpun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda:
"Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas unta, yakni:
Matahari, kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat: berisyarat dengan tangannya).(Dalam
riwayat Bukhori-Muslim: berisyarat dengan telunjuknya kearah kiblat) kemudian
berkata: "Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah
berbuka orang yang puasa." (HR Bukhori (4/199), Muslim (1101), Ahmad
(4/381), Abu Daud (2352)).
Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para
shahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam mengikuti perkataannya, dan perbuatan
mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, Abu Said
Al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. (Diriwayatkan
oleh Bukhori dengan Mu'allaq (4/196)).
[Peringatan]
Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan
dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan
mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru, atau
berpegangan dengan tanggalan ahlun nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari
sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, hingga menjadi sebab sedikitnya
kebaikan pada mereka, wallahu a'lam.
Peringatan Kedua:
Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan
jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun!! Hingga
mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka
menentang petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang
yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada
matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka,
jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan
makan dan minum, inilah perbuatan syar'I yang shahih, tidak diragukan lagi,
barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, telah berprasangka salah,
tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah
puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi
qaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan
mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, tetap mengamalkan
ushul/pokok yang diajarkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam adalah wajib,
hafalkan ini dan fahamilah !
SAHUR
1. Hikmahnya.
Allah mewajibkan puasa kepada kita
sebagaimana telah mewajibkan kepada orang -orang sebelum kita dari kalangan
Ahlul Kitab, Allah berfirman, (yang artinya) :
"Wahai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebeleum kalian agar kalian bertaqwa." (Surat Al-Baqoroh :183)
Waktu dan hukumya pun sesuai dengan
apa yang diwajibkan pada Ahlil Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan
menikah setelah tidur. Yaitu jika salah seorang mereka tidur, tidak boleh makan
hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkn atas kaum muslimin
sebagaimana kami telah terangkan di muka, karena dihapus hukum tersebut,
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyuruh sahur sebagai pembeda antara
puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab.
Dari Amr bin 'Ash radhiallahu 'anhu
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Pembeda
antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur".
(HR Muslim
(1096)).
2. Keutamaannya.
a. Sahur Barokah.
Dari Salman radhiallahu 'anhu
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda(yang artinya): "Barokah
ada pada tiga perkara : Jama'ah, Tsarid dan makan sahur." (HR. Thabrani dalam "Al-Kabir" (6127),
Abu Nu'aim pada "Dzikru Akhbari Ashbahan" (1/57))
Dan dari Abu Hurairah, Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sesungguhnya Allah
menjadikan barakah itu pada makan shaur dan kiloan". (HR. Asy-Syirasy (Al-Alqab) sebagaimana dalam
(Jami'as Shaghir) (1715) dan Al-Khatib (Al-Muwaddih) (1/263) dari Abi Hurairah
dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN)
Dari Abdullah bin Al-Harits dari
seorang sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : Aku masuk menemui Nabi
Shalallahu 'alaihi wasallam ketika dia makan sahur beliau berkata (yang
artinya): "Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang Allah berikan pada
kalian maka janganlah kalian tinggalkan".
(HR
Nasa'I (4/145) dan Ahmad (5/270) sanadnya SHAHIH).
Keberadaan sahur sebagai barokah
sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan
dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa, karena merasa ringan orang
yang puasa, dalam makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab karena mereka tidak
melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasallam
menamainya makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin
Sariyah dan Abi Darda' radhiallahu 'anhuma "Marilah menuju makan pagi yang
diberkahi : yakni sahur." (hadits
Al-Irbath: diriwayatkan oleh Ahmad (4/126) dan Abu Daud (2/303)).
b. Allah dan malaikat-Nya bershalawat
kepada orang-orang yang sahur.
Mungkin barokah sahur terbesar adalah
Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan
ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan
ampunan bagi mereka, berdo'a kepada Allah agar memaafkan mereka, agar mereka
termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu
'anhu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
"Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun
hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada
orang-orang yg sahur."
Oleh sebab itu seorang muslim
hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb yang Maha
Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam (yang
artinya): "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma." (HR Abu Daud (2/303), Ibnu Hibban (223) Baihaqi
(4/237)).
Barangsiapa yang tidak menemukan
korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk berbuka walau hanya dengan meneguk
satu teguk air, karena fadhilah (keutamaan) yang disebutkan tadi, dan karena
sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Makan
sahurlah kalian walau dengan seteguk air."
3. Mengakhirkan sahur.
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat
sebelum fajar, karena Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit
radhiallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shalallahu
'Alaihi wasallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara
sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat
di kitabullah.
Anas radhiallahu 'anhu meriwayatkan
dari Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu: "Kami makan sahur bersama
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau shalat, aku tanyakan
(kata Anas): "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur? Beliau menjawab:
"Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an." (HR. Bukhori (4/118), Muslim (1097)).
Ketahuilah wahai hamba Allah
–mudah-mudahan Allah membimbingmu- kamu diperbolehkan makan, minum, dan jima'
selama ragu telah terbit fajar atau belum, dan Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan
batasan-batasannya, hingga jelaslah sudah, karena Allah Jalla Sya'nuhu
memaafkan kesalahan, kelupaan, serta membolehkan makan, minum dan jima' ada
penjelasan, sedangkan orang ragu belum mendapat penjelasan. Sesungguhnya
kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi, jelaslah.
4. Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasallam memerintahkannya –dengan perintah yang sangaat ditekankan-
Beliau bersabda (yang artinya): "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah
sahur dengan sesuatu."
Dan bersabda (yang artinya):
"Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah." (HR Bukhori (4/120), Muslim (1095) dari Anas).
Kemudian menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya,
beliau bersabda (yang artinya):
"Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab makan
sahur."
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam
melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya):
"Sahur adalah makanan yang
barokah, janganlah kalian tinggalkan, walaupun hanya meminum seteguk air,
karena Allah dan Rasul-Nya memberi shalawat kepada orang yang sahur".
(HR Ibnu Abi
Syaibah (3/8), Ahmad (3/12,3/44) dari tiga jalan dari Abi Said al-Khudri.
sebagiannya menguatkan yang lain).
Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): "Sahurlah kalian walaupun dengan
setengah air." (HR
Abu Ya'la (3340) dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin
Amr di Ibnu Hibban (no.884) padanya An'anah, Qatadah: Hadits hasan).
Saya katakan: kami berpendapat
perintah nabi Shalallahu 'Alaihi wasallam ini sangat ditekankan anjurannya, hal
ini terlihat dari tiga sisi :
1.
Perintahnya.
2.
Sahur adalah
syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul
Kitab.
3.
Larangan
meninggalkan sahur
Inilah qarinah yang kuat dan dalil
yang jelas. Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya
"Fathul Bari" (4/139) ijma' atas sunnahnya!! Wallahu A'lam
YANG WAJIB DIJAUHI OLEH ORANG YANG PUASA
Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk
mentaati Rabbnya Jalla Sya'nuhu yang dinamakan orang puasa adalah yang
mempuasakan seluruh anggota badannya dari dosa, dan mempuasakan lisannya dari
perkataan dusta, kotor, dan keji, mempuasakan perutnya dari makan dan minum,
dan mempuasakan kemaluannya dari jima'. Jika bicara dia berbicara dengan perkataan
yang tidak merusak puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya
shalih.
Inilah puasa yang disyari'atkan Allah hanya
semata tidak makan dan minum serta tidak menunaikan syahwat, puasa adalah
puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum,
sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa
merusak pahalanya, merusak buah puasa sehingga menjadikan dia seperti orang
yang tidak berpuasa.
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam telah
menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk behias dengan akhlak yang mulia
dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek
ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun
larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib.
Seorang muslim yang berpuasa wajib menjauhi
amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah
ketaqwaan yang Allah sebutkan (yang artinya): "Wahai orang-orang yang
beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagai mana telah diwajibkan atas
orang-orang sebelum kalian" (Surat Al-Baqoroh: 183). Karena puasa adalah
pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak perbuatan maksiat,
berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasallam (yang artinya):
"puasa adalah perisai", telah kami jelaskan masalah ini dalam bab
keutamaan puasa.
Inilah saudaraku seislam, amalan-amalan jelek
yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh dalamnya,
bagi Allah lah untaian syair:
Aku mengenal kejelekan bukan untuk berbuat jelek
tapi untuk menjauhinya
barangsiapa yang tidak tahu kebaikan
dari kejelekan akan terjatuh kedalamnya..
1. Perkataan palsu
Dari Abi Hurairah : Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): "Barangsiapa yang tidak meninggalkan
perkataan dusta dan mengamalkannya, Allah tidak ada butuh perbuatannya
meninggalkan makan dan minumnya." (HR Bukhori (4/99)).
2. Berkata/berbuat sia-sia dan kotor.
Dari Abu Hurairah : Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): "Puasa bukanlah dari makan, minum
(semata), tapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji, jika ada
orang yang mencelamu, katakanlah : "Aku sedang puasa, Aku sedang
puasa." (HR Ibnu Khuzaimah (1996), Al-Hakim (1/430-431). sanadnya SHAHIH)
Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasallam mengancam dengan ancaman yang keras orang-orang yang berbuat
sifat-sifat tercela ini.
Beliau pernah bersabda (yang artinya):
"Banyak orang yang puasa, bagiannya dari puasa hanyalah lapar dan
haus." (HR Ibnu Majah (1/539), Darimi (2/221), ). Ahmad (2/441, 373), Baihaqi
(4/270) dari jalan Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah, sanadnya SHAHIH).
Dan sebab terjadinya demikian adalah bahwa
orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahaminya, sehingga Allah
memberikan keputusan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala
kepadanya. (lihat Riyadhush Shalihin (1215)).
Oleh sebab itulah Ahlul Ilmi dari generasi
salafus shalih membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah
hingga membatalkannya dan larangan yang tidak khusus dengan ibadah dan ini
tidak membatalkannya. (Rujuklah : Jami'ul ulum wal Hikam (hal 58)
oleh Ibnu Rajab).
YANG BOLEH DILAKUKAN OLEH SEORANG YANG PUASA
Seorang hamba yang taat yang faham Al-Qur'an dan
sunnah tidak ragu bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi hambanya dan tidak
menginginkan kesulitan. Allah dan Rasul-Nya telah membolehkan beberapa hal bagi
orang yang puasa, dan tidak menganggapnya suatu kesalahan jika mengamalkannya,
Inilah perbuatan-perbuatan tersebut beserta dalil-dalilnya :
1. Seorang yang puasa dibolehkan memasuki waktu
subuh dalam keadaan junub.
Diantara perbuatannya Shalallahu 'alaihi wasallam
masuk fajar dalam keadaan junub karena jima' dengan istrinya, beliau mandi
setelah fajar kemudian shalat.
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu 'anhuma
(yang artinya): "Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam memasuki waktu subuh
dalam keadaan junub karena jima' dengan istrinya, kemudian ia mandi dan
berpuasa." (HR. Bukhori (4/123), Muslim (1109))
2. Seorang yang puasa boleh bersiwak
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda
(yang artinya): "Kalaulah tidak memberatkan umatku niscaya aku suruh
mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu".
(HR. Bukhori (2/311), Muslim
(252))
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam tidak
mengkhususkan orang yang puasa ataupun yang lainnya, ini sebagai dalil bahwa
siwak bagi orang yang puasa dan lainnya ketika setiap wudhu dan shalat. (Inilah
pendapat Bukhori rahimahullah, demikian pula Ibnu Khuzaimah dan selain
keduanya. Lihat (Fathul Bari) (4/158) (shahih Ibnu khuzaimah) (3/247) (Syarhus
Sunnah) (6/298)).
Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu
sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Wallahu a'lam.
3. Berkumur-kumur dan memasukan air ke hidung.
Karena Beliau Shalallahu 'alaihi wasallam
berkumur dan beristinsyaq dalam keadaan puasa, tetapi melarang orang yang
berpuasa berlebihan ketika istinsyaq (memasukan air ke hidung) Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
"…..bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan
puasa." (HR. Tirmidzi (3/146), Abu Daud (2/308), Ahmad (4/32), Ibnu Abi Syaibah
(3/101), Ibnu majah (407), An-Nasa'I (no. 87) dari Laqith bin Shabrah sanadnya
SHAHIH)
4. Bercengkrama dan mencium istri.
Aisyah radhiallahu 'anha pernah berkata:
"Rasulullah mencium dalam keadaan puasa dan bercengakrama dalam keadaan
puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri." (HR
Bukhori (4/131), Muslim (1106)).
Seorang pemuda dimakruhkan berbuat demikian,
Abdullah bin Amr bin 'Ash berkata: "Kami pernah berada di sisi Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam : Datanglah seorang pemuda seraya berkata: "Ya
Rasulallah bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ? Beliau menjawab:"Tidak",
datang pula seorang yang sudah tua dia berkata:"Ya Rasulullah: Bolehkah
aku mencium dalam keadaan puasa? Beliau menjawab: “Ya” ; sebagian kamipun
memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya orang tua bisa menahan dirinya.” (HR
Ahmad (2/185, 221)).
5. Mengeluarkan darah, suntikan yang tidak
mengandung makanan.
Semua ini bukan pembatal puasa. Lihat pada
pembahasan di halaman 50 (buku aslinya –pent)
6. Berbekam
Dulu bekam merupakan salah satu pembatal wudhu,
kemudian dihapus, telah ada hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bahwa beliau berbekam ketika puasa, berdasaarkan satu riwayat dari Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma: “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berbekam dalam
keadaan puasa.” (HR. Bukhari (4/155 – Fath), lihat “Nasikhul hadits wa mansukhuhu”
(334-338) karya Ibnu Syakin)
7. Mencicipi makanan
Ini dibatasi selama tidak sampai tenggorokan,
karena riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma: “Tidak mengapa mencicipi
sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaaan puasa selama tidak sampai ke
tenggorokan.” (HR. Bukhari secara muallaq (4/154-fath), dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah
(3/47), Baihaqi (4/261) dari dua jalannya. Hadits hasan, lihat “Taqliqut
Taqliq” (3/151-152)).
8. Bercelak dan tetes mata dan lainnya yang masuk
ke mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik
rasanya dirasakan di tenggorokan atau tidak, inilah yang dikuatkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalahnyaa yang bermanfaat “Haqiqatus Shiyam”
serta muridnyaa Ibnu Qoyyim dalam kitabnya ‘Zaadul Ma’ad”, Imam Bukhari berkata
dalam kitab “Shahihnya” : “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim
An-Nakhai’ memandang tidak mengapa bagi yang berpuasa.”
9. Mengguyurkan air dingin ke atas kepalanya dan
mandi
Bukhari menyatakan di dalam kitab Shahihnya
“Bab mandinya orang yang puasa”, Umar membasahi (membasahi dengan air,
untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa) bajunya kemudian dia
memakainya ketika dalam keadaan puasa, As Sya’bi masuk kamar mandi dalam
keadaan puasa, Al-Hasan berkata: “Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air
dingin dalam keadaan puasa.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan,” (HR. Abu
Dawud (2365), Ahmad (5/376,380,408,430) sanadnya SHAHIH).
ALLAH MENGINGINKAN KEMUDAHAN BAGI KALIAN DAN
TIDAK MENGINGINKAN KESULITAN
1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk
tidak puasa, Kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah kitab yang
mulia, Allah berfirman: (yang artinya): "Barangsiapa yang sakit atau dalam
safar gantilah pada hari yang lain, Allah menginginkan kemudahan bagi kalian
dan tidak menginginkan kesulitan." (QS. Al Baqarah:185)
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam : "Apakah boleh aku berpuasa
dalam safar? -dia banyak melakukan puasa- maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda (yang artinya): "Puasalah jika kamu mau dan berbukalah
kalau mau." (HR Bukhari (4/156), Muslim (1121))
Dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu berkata:
"Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam di bulan Ramaadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang
berbuka tidak mencela yang puasa." (HR
Bukhari (4/163), Muslim (1118))
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih,
tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita nyatakan juga afdhal
adalah berbuka dengan hadits-hadits yang umum; seperti sabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya): "Sesungguhnya Allah senang
didatangi rukhsah yang ia berikan, sebagaimana membenci orang yang melakukan
maksiat." (HR Ahmad (2/108), Ibnu Hibban (2742) dari Ibnu Umar dengan sanad yang
SHAHIH)
Dalam satu riwayat yang lain: "Sebagaimana
Allah senang diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan." (HR
Ibnu Hibban (354), Bazzar (990), Thabrani di (Al-Kabir) (11881) dari Ibnu
Abbas, dengan sanad yang SHAHIH)
Tapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang
tidak merasa berat dalam mengqadha dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut
tidak melencengkan dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan
segamblang-gamblangnya, dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiallahu 'anhu
: "Para shahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa itu
baik, dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka juga bagus." (HR
Tirmidzi (713), Al-Baghawi (1763) dari Abu Said, sanadnya SHAHIH)
Ketahuilah saudaraku seiman mudah-mudahan Allah
membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa
pemahaman dalam agama- sesungguhnya puasa dalam safar jika memberatkan hamba
bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tapi berbuka lebih utama dan lebih
disenangi Allah, yang menjelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa
orang shahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda
(yang artinya): "Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam
safar." (HR Bukhari (4/161), Muslim (1110) dari Jabir)
Peringatan
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada
zaman kita sekarang tidak diperbolehkan berbuka, hingga mencela orang yang
mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat puasa itu lebih baik karena mudah
dan banyaknya sarana transportasi saat ini, orang-orang seperti ini perlu kita
"usik" ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui
perkara ghaib dan nyata (yang artinya): "Rabmu tidak pernah lupa."
(QS. Al-Maryam:64)
dan firman-Nya (yang artinya): "Allah telah
mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahuinya." (QS. Al-Baqarah:232)
Dan perkataan-Nya di tengah ayat tentang rukhshah
berbuka dalam safar (yang artinya): "Allah menginginkan kemudahan bagi
kalian dan tidak menginginkan kesulitan." (QS. Al- Baqarah:185)
Yakni: Kemudahan bagi orang yang safar adalah
perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syariat, cukup bagimu
bahwa Dzat yang mensyariatkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan
manusia, Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang maslahat bagi
mereka. Allah berfirman (yang artinya): "Tidakkah kalian tahu siapa yang
mencipta Dialah Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui." (QS. Al-Mulk:14)
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu
jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain
bagi manusia bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mu'min yang tidak
mendahulukan perkataaan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya:
"Wahai Rabb kami mendengar dan taat,
ampunilah kami, wahai Rabb kepada-Mu-lah kami kembali." (Al-Baqarah:285)
2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka
sebagai rahmat dari-Nya, kemudahan bagi orang yang sakit, sakit yang
membolehkan berbuka adalah sakit yang bila dibawa berpuasa akan menyebabkan
satu madharat atau semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat
kesembuhannya. Wallahu A'lam.
3. Haid dan Nifas
Ahlul Ilmi telah ijma bahwa orang yang haid dan
nifas tidak dihalalkan puasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha kalaupun
keduanya puasa tidaklah sah, akan datang penjelasannya. Insya Allah
4. Kakek dan Nenek yang sudah tua
Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma berkata:
"Kakek dan nenek tua yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap
harinya seorang miskin." (HR Bukhari (4505), lihat Syarhus Sunnah
(6/316))
Diriwayatkan dari Daruquthni (2/207) dan
dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau
membaca: (yang artinya): "Orang-orang yang ridak mampu puasa harus
mengeluarkan fidyah makanan bagi orang miskin." (QS. Al-Baqarah:184)
Kemudian beliau berkata: "Yakni lelaki tua
yang tidak mampu puasa dan kemudi- an berbuka, harus memberi makan seorang
miskin setiap harinya ½ sha gandum.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu:
"Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan,
harus mengeluarkan setiap harinya 1 mud gandum." (HR
Daruquthni (2/208) dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih, dia dhaif, tapi
punya syahid).
Dari Anas bin Malik: "Beliau lemah (tidak
mampu untuk puasa) pada suatu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid,
dan mengundang 30 orang miskin hingga mereka kenyang." (HR
Daruquthni (2/207), sanadnya SHAHIH).
5. Orang hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada
hamba-hamba-Nya yang lemah, Allah memberi rukhshah pada mereka untuk berbuka,
dan di antara mereka adalah orang hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik (Dia adalah Al Ka'bi, bukan Anas
bin Malik Al-Anshori, pembantu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , tapi
ini adalah seorang pria dari Bani Abdullah bin Ka'ab, pernah tinggal di
Bashrah, beliau hanya meriwayat kan hadits ini saja dari Nabi Shallallahu
'Alaihi wa Sallam): "Kudanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ,
aku temukan dia sedang makan pagi, beliau bersabda: "mendekatlah, aku akan
ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnyaa Allah Tabaroka wa
Ta'ala menggugurkan ½ shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil
dan menyusui kewajiban puasa. Demi Allah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, aduhai lahfa jiwaku
kenapa tidak makan makanan nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . (HR Tirmidzi (715), Nasai (4/180), Abu Dawud
(3408), Ibnu Majah (16687). Sanadnya HASAN sebagimana pernyataan Tirmidzi).
1. Kapan Orang yang Puasa Berbuka?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Kemudian sempurnakanlah puasa hingga
malam." (Al Baqarah : 187)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya
bundaran matahari. kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembahasan yang
telah lalu) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul
huda.
wahai hamba Allah inilah perkataan-perkataan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada di hadapanmu dapatlah engkau
mambacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta
perbuatan para sahabatnya Radhiyallahu'anhum telah kau lihat, mereka telah
mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.
Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam
Mushannaf (7591) dengan sanad yang dishahihkan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari
(4/199) dan al Haitsami dalam Majma' Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al
Audi:
"Para sahabat Muhammad Shallallahu'alaihi wa
sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir
dalam sahur."
2. Menyegerakan Berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka
ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih
terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam dan menyelisihi Yahudi dan Nashrani, karena mereka
mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu, yakni
hingga terbitnya bintang. maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama,
memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia
berkumpul di atasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.
a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan
kebaikan
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu, Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama
menyegerakan berbuka." (HR. Bukhari (4/173) dan Muslim (1093))
b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul
Shallallahu 'alaihi wasallam
Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti
mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan manhaj
Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama 'berpegang
dengan sunnah Rasul mereka dan menolak semua yang merubah sunnah'.
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu, Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Umatku akan senantiasa dalam sunnahku
selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR Ibnu Hibban (891)
dengan sanad shahih)
c. Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi
dan Nashrani
Tatkala manusia senantiasa berada di atas
kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya,
karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan
memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi
singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena
mereka tidak mejadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang
berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin itu bertiup.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Agama ini akan senantiasa menang selama
manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani
mengakhirkannya." (HR. Abu Dawud (2/305), Ibnu Hibban (223),
sanadnya hasan)
Kami katakan:
Hadits-hadit di atas mempunyai banyak faedah dan
catatan-catatan penting, sebagai berikut:
1) Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera
akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan
Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Isalm, bahwa mereka akan
mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke
Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Karmelin atau mencari makan di
Gedung Putih -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat
demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat
perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan
kembali kepada Islam, berpegang dengan Al Qur-an dan As Sunnah dalam masalah
aqidah dan manhaj.
2) Berpegang dengan Islam baik secara global
maupun rinci, berdasarkan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam secara Kaffah." (Al Baqarah : 208)
Atas dasar inilah, maika ada yang membagi Islam
menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid'ah jahiliyah modern yang
bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam
lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan
akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah,
(yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian lainnya;
kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci,
dan sungguh kita mengetahui bahwa buah dari menyelisihi Yahudi dan Nashrani
adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.
3) Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan
kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkaran baru yang menimpa umat
Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita
mengatakan seperti perkataan kebanyakan dari mereka, "Ini perkara-perkara
kecil, furu', khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita
pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan
mencerai-beraikan barisan kita!"
Perhatikan wahai kaum muslimin, da'i ke jalan
Allah di atas bashirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa
jayanya agama ini bergantung kepada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan
tatakala lingkaran matahari telah terbenam. Maka bertaqwalah kepada Allah
(wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenambya matahari adalah
fitnah, dan seruan untuk menghidup kan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan
bodoh, menjauhkan umat Islam ini dari agamanya atau menyangka (hal tersebut)
sebagai dakwah yang tidak ada nilai nya, (yang) tdk mungkin seluruh muslimin
berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu', khilafiyah atau
masalah kulit, walaahaula walaaquwwata illa billah.
d. Berbuka sebelum Shalat Maghrib
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berbuka
sebelum shalat Maghrib (HR. Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan
sanad hasan) karena menyegerakan berbuka adalah termasuk akhlaqnya para nabi.
Dari Abu Darda' Radhiyallahu'anhu:
"Tiga perkara yang merupakan akhlaq para
nabi: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan di atas
tangan kiri dalam shalat." (HR Thabrani dalam Al Kabir sebagaimana
dalam Al Majma' (2/105)).
3. Berbuka Dengan Apa?
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berbuka
dengan kurma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih
sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam (untuk kebaikan)
umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman:
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang
Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At Taubah : 128)
Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu
yang manis lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan
yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (kurma). Adapun air, karena badan
ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna
manfaatnya dengan makanan.
Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya
kurma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya
terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahui kecuali orang yang
beritiba'. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu'anhu, (ia berkata):
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam berbuka dengan kurma basah (ruthtah), jika tidak ada ruthtah maka
berbuka dengan kurma kering (tamar), jika tidak ada tamar maka minum dengan
satu tegukan air." (HR. Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu
Khuzaimah (3/277. 278), Tirmidzi (3/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya
shahih).
4. Yang Diucapkan Ketika Berbuka
Ketahuilah wahai saudaraku yang berupasa -mudah-mudahan
Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu
'alaihi wasallam- sesungguhnya engkau mempunyai do'a yang dikabulkan, maka
manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dengan keadaan engkau yakin akan
dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do'a dari hati
yang lalai- Berdo'alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam
do'a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan
akhirat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Tiga do'a yang dikabulkan: do'anya orang
yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan do'anya musafir." (HR.
Uqaili dalam Adh Dhu'afa (1/72)).
Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu
engkau berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwasanya Nabi
Shallallahu'alaihi wasallam:
"Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya:
orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang
didhalimi." (HR. Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752),
Ibnu Hibban (2407). Ada jalalah Abu Mudilah)
Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya orang yang puasa ketika
berbuka memiliki do'a yang tidak akan ditolak." (HR.
Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua
jalan)
Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan
(yang artinya): "Telah hilang dahaga dan
telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala, Insya Allah." (HR.
Abu Dawud (2/306), Baihaqi (4/239), Al Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128))
5. Memberi Makan Orang Yang Puasa
Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan
Allah memberkatimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan
taqwa- untuk mem beri makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan
kebaikannya banyak.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi buka orang yang
puasa, akan mendapatkan pahala seperti pahala nya orang yang berpuasa tanpa
mengurangi pahalanya sedikitpun." (HR. Ahmad (4/144, 115, 116, 5/192),
Tirmidzi (804), Ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh
Tirmidzi.)
Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan)
saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah
durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wasallam, dia harus berkeyakinan
bahwa Allah tidak akan menyiakan-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak
akan dikurangi pahalanya sedikitpun.
Orang yang diundang disunnahkan mendo'kan
pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam:
"Telah makan makanan kalian orang-orang
bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'kan kebaikan) atas kalian,
orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian." (HR. Ibnu Abi Syaibah
(3/100), Ahmad (3/118), Nasa-i dalam 'Amalul Yaum (268), Ibnu Sunni (129),
Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sanadnya shahih. Peringatan:
Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini, yaitu "Allah
menyebutkan di majelis-Nya" adalah tidak ada asanya)
"Ya Allah, berilah makan orang yang
memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku makan, berilah minum orang
yang memberiku minum." (HR. Muslim (2055) dari Miqdad)
Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah,
berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan." (HR.
Muslim (2042) dari Abdullah bin Busrin)
PERKARA-PERKARA YANG MERUSAK PUASA
Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang
yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan
akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut
adalah:
1. Makan dan Minum Dengan Sengaja
Allah 'Azza Sya'nuhu berfirman:
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datangnya) malam." (Al Baqarah : 187)
Difahami bahwa puasa itu (mencegah) dari makan
dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan
kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah
atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan
dalil-dalil:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah
menyempurnakan puasanya, karena sesung- guhnya Allah yang memberinya makan dan
minum." (HR. Bukhari (4/135) dan Muslim (1155))
"Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku
karena salah atau lupa dan karena dipaksa." (HR. Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Atsar
(2/56), Al Hakim (2/198))
2. Muntah Dengan Sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa
tidak membatalkan puasanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka
tidak wajib baginya untuk meng-qadha puasanya, dan barangsiapa muntah dengan
sengaja, maka wajib baginya meng-qadha puasanya." (HR. Abu Dawud (3/310),
Tirmidzi (3/79), Ibnu Majah (1/536))
3. Haidh dan Nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu
bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan
meng-qadha kalau puasa tidak mencukupinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Bukankah jika haidh dia tidak shalat dan
puasa?" Kami katakan, "Ya." Beliau berkata, "Itulah (bukti)
kurang agamanya." (HR. Muslim (79) dan (80) dari Ibnu Umar dan
Abu Hurairah)
Dalam riwayat lain:
"Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan
Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya."
Perintah meng-qadha puasa terdapat dalam riwayat
Mu'adzah, dia berkata:
"Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah,
"Mengapa orang haidh meng-qadha puasa tetapi tidak meng-qadha
sholat?" 'Aisyah berkata, "Apakah engkau wanita Haruri" ( Haruri
nisbat kepada Harura' (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah)Aku
menjawab, "Aku bukan Haruri, tetapi hanya (sekedar) bertanya."
'Aisyah berkata, "Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya
diperintahkan untuk meng-qadha puasa, tidak diperintahkan untuk meng-qadha
shalat." (HR. Bukhari (4/429) dan Muslim (335))
4. Suntikan Yang Mengandung Makanan
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan
maksud memberi makanan bagi orang yang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan
puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa. Adapun jika suntikan
tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka inipun juga membatalkan
puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan
minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan
makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang
dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalkan puasa.
5. Jima'
Imam Syaukani berkata (Dararul Mudhiyah 2/22):
"Jima' dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya
bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapun jika jima' tersebut terjadi karena
lupa, maka sebagian ahli ilmu mengang- gapnya sama dengan orang yang makan dan
minum dengan tidak sengaja."
Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma'ad 2/66),
"Al Qur-an menunjukkan bahwa jima' membatalkan puasa seperti halnya makan
dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini."
Dalilnya adalah firman Allah:
"Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa
yang telah ditetapkan Allah untuk kalian." (Al Baqarah : 187)
Diizinkan bergaul (dengan istrinya) di malam
hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan
jima'. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima' harus meng-qadha dan
membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, (dia berkata):
"Pernah datang seseorang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata, "Ya Rasulullah, binasalah
aku!" Rasulullah bertanya, "Apakah yang membuatmu binasa?" Orang
itu menjawab, "Aku menjima'i istriku di bulan Ramadhan." Rasulullah
bersabda, "Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?" Orang itu
menjawab, "Tidak." Rasulullah bersabda, "Apakah engkau mampu
memberi makan enam puluh orang miskin?" Orang itu menjawab,
"Tidak." Rasulullah bersabda, "Duduklah." Diapun duduk.
Kemudian ada yang mengirim satu wadah kurma kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam. Rasulullah bersabda, "Bersedekahlah." Orang itu berkata
"Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari
kami." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun tertawa hingga terlihat
gigi serinya, lalu beliau bersabda, "Ambilah, berilah makanan
keluargamu." (Hadits shahih dengan
berbagai lafadz yang berbeda dari Bukhari (11/516), Muslim (1111), Tirmidzi
(724), Baghawi (6/288), Abu Dawud (2390))
QADHA
1. Qadha Tidak Wajib Segera Dilakukan
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam
-mudah-mudahan Allah memberikan pemahanman agama kepada kita- bahwasanya
meng-qadha puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajiban dengan jangka
waku yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah 'Aisyah
Radhiyallahu'anha:
"Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tidak
bisa meng-qadhanya kecuali di bulan Sya'ban." (HR. Bukhari (4/166), Muslim (1146))
Berkata Al Hafidz di dalam Al Fath (4/191):
"Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha Ramadhan
secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak."
Sudah dikatahui dengan jelas bahwa bersegera
dalam meng-qadha lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam
keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak
mendunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al Qur-an:
"Bersegeralah kalian utuk mendapatkan
ampunan dari Rabb kalian." (Ali Imran : 133)
"Mereka itu bersegera untuk mendapatkan
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya."
(Al Mu'minun : 61)
2. Tidak Wajib Berturut-Turut Dalam Meng-qadha
Karena Ingin Menyamakan Sifat Penunaiannya
Berdasarkan firman Allah pada surah Al Baqarah
185:
"Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
Dan Ibnu Abbas berkata:
"Tidak mengapa dipisah-pisahkan (tidak
berturut-turut)." (Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq
(4/189), di maushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan
sanad shahih. Lih: Taghliqut Ta'liq (3/186))
Abu Hurairah berkata, "Diseling-selingi
kalau mau." (Lih: Irwa-ul Ghalil (4/95))
Adapun yang diriwayatkan Al Baihaqi (4/259),
Daruquthni (2/191-192) dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al 'Ala bin
Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu:
"Barangsiapa yang punya hutang puasa
Ramadhan, hendaknya di qadha secara berturut-turut tidak boleh
memisahnya."
ini adalah riwayat yang dhaif. Daruquthni
berkata: Abdurrahman bin Ibrahin dhaif.
Al Baihaqi berkata, "Dia (Abdurrahman bin
Ibrahim) didhaifkan oleh Ma'in, Nasa-i dan Daruquthni."
Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir
(2/206) dari Ibnu Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena
Abdurrahman.
Syaikh kami Al Albani rahimahullah telah membuat
penjelasan dhaifnya hadits ini dlam Irwa-ul Ghalil (943)
Adapun yang terdapat dalam Silsilah hadits dhaif
(2/137) yang terkesan bahwa beliau menghasankannya, dia ruju' dari pendapat
ini.
Peringatan: Kesimpulannya, tidak ada satupun
hadits yang marfu' dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang menjelaskan
keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam meng-qadha, namun yang
lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin)
adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad
bin Hambal Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Masail-nya (95), "Aku
mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha Ramadhan, beliau menjawab kalau mau
boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut." Wallahu'alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak
menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
3. Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang
Wafat dan Punya Hutang Shalat, Maka Walinya Apalagi Orang Lain Tidak Bisa
Meng-qadhanya
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak
boleh diuasakan oleh ahaknya selama dia hidup, tetapi dia harus mengeluarkan
makanan setiap harinya utuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas
dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan
mempunyai hutang nazar puasa, harus dipuasakan oleh walinya, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang
puasa nazar hendaknyanya diganti oleh walinya." (Bukhari (4/168), Muslim (1147))
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia
berkata, "Datang seorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
kemudian berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya
hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Ya, hutang kepada Allah lebih
berhak untuk dibayar." (Bukhari (4/169), Muslim (1148))
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya
seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa,
demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan,
seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nazar, demikian
pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masail Imam Ahmad riwayat Abu
Dawud (96) dia berkata, "Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata bahwa
tidak berpuasa mayit kecuali puasa nazar." Abu Dawud berkata,
"(Sedangkan) Puasa Ramadhan?" Beliau (Imam Ahmad) menjawab,
"Memberi makan."
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan
mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh
hadits yang ada tanpa meno lak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat
khususnya hadits yg pertama. 'Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut
secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat
untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan,
padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat
'Amarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramdhan kemudian dia
berkata kepada 'Aisyah, "Apakah aku harus meng-qadha puasanya?"
'Aisyah menjawab, "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya
setengah gantang untuk setiap muslim."
Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilal Atsar
(3/142), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (7/4), ini lafadz dalam Al Muhalla, dengan
sanad shahih.
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu
makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula
adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhum, beliau berkata, "Jika
salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat
puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha, kalau punya hutang nazar
diqadha oleh walinya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih dan
Ibnu Hazm dalam Al Muhallah (7/7), beliau menshahihkan sanadnya.
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma
adalah periwayat hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits
yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nazar. Sa'ad bin Ubadah
minta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, "Ibuku wafat dan
beliau punya hutang puasa nazar." Baliau bersabda, "Qadha-lah
untuknya." Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul
syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibndul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan
ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud (3/279-282).
(Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat
dan punya hutang puasa nazar dibolehkan diqadha oleh beberapa orang sesuai
dengan jumlah hutangnya.
Al Hasan berkata, "Kalau yang mempuasakannya
tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan. (Bukhari (4/112)
secara mu'allaq, di maushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbij,
dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari
(1/58))Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin
sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas
bin Malik Radhiyallahu 'anhu.
KAFARAT
1. Kafarat Bagi Laki-Laki yang
Menjama'i Istrinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah,
tentang laki-laki yang menjima'i istrinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa
dia harus meng-qadha puasanya dan membayar kafarat, yaitu membebaskan seorang
budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu
maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan kalimat kafarat
jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang
dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib
(sesuai urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih, karena
perawinya lebih banyak jumlah dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka
sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'. Tidak pernah terjadi
hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi
hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib
disebabkan dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih
atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
2. Gugurnya Kafarat
Barangsiapa yang telah wajib membayar
kafarat, namun tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan
berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin),
maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at
kecuali kalau ada kemampuan. Allah berfirman:
"Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai
kemampuannya." (Al Baqarah : 286)
Dan dengan dalil Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika
mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah kurma untuk diberikan
keluarganya.
3. Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang
wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, kaena ketika dikabarkan kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki
dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja, Wallahu a'lam.
FIDYAH
1. Bagi Siapa Fidyah Itu?
Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan
keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya
seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah:
"Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa
hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin." (Al
Baqarah : 184)
Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah
khusus bagi orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang
sakit yang tidak ada harapan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika
dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaiman akan datang penjelasannya dari Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhuma.
2. Penjelasan Ibnu Abbas Rhadiyallahu anhuma
Engkau telah mengetahui wahai saudarakau seiman,
bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansuhk berdasarkan dua hadits
Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, tetapi ada
riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini
berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak
mampu berpuasa, maka hendaknya memberi makan setiap hari seorang miskin. (HR
Bukhari (8/135))
Oleh karena itulah Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling
bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau
menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan):
"Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan
yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya bebuka kalau mau, atau
memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha"
Kemudian dimansukh oleh ayat:
"Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Al Baqarah :
185).
Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua
jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan
keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang
miskin. (Ibnu Jarud (381), Al Baihaqi (4/230), Abu Dawud (2318) sanadnya
shahih)
Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat
yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang
menegaskan tidak adanya naskh, sehingga mereka menyangka Hibarul Ummat (Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan
riwayat yang menegaskan adanya naskh mereka menyangka adanya saling
pertentangan.
3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah : 185)
Mansukh
Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut
adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafus
shalih Ridhwanullahu 'alaihim menggunakan kata naskh untuk menghilangkan
pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan
mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlaj kepada muqayyad,
penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istitsna'
(pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung
penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab
menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan
sebab dari luar. (Lihat I'lamul Muwaq i'in (1/35) karya Ibnul Qayyim dan Al Muwaqafat
(3/118) karya Imam Syatibi)
Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang
memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh
maslah tersebut, sehingga akan hilanglau musykilat (problema) yang disebabkan
memaknakan perkataan salafus shalih dengan pengertian yang baru yang mengandung
penghilangan hukum syar'i yang dinisbatkan kepada mukallaf.
4. Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah
bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup oran yang biasa berpuasa atau
tidak berpuasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam
Muslim dari Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, "Kami pernah pada
bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, barangsiapa
yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah,
tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun
ayat:
"Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Al Baqarah :
185).
Mungkin adanya masalah itu karena hadits Ibnu
Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa ruskhsah itu untuk laki-laki dan wanita
yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang
jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi
orangnua, dalil untuk memahami hal ini tersepat pada hadits itu sendiri. Jika
rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja
kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang
sudah lanjut usia, maka apa makna rukhshah yang ditetapkan dan yang dinafikan
itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan?
JIka engkau telah merasa jelas dan yakin, serta
berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak
mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil
Al Qur-an adapun hukum yang kedua dengan dalil dari sunnah dari tidak akan
dihapus sampai hari kiamat.
Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan
Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh, "Telah tetap bagi
laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta
wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka
dan memberi makan orang miskin setiap harinya."
Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin
Jabal Radhiyallahu'anhu, "Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga
hari setiap bulannya, puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah
ayat:
"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan
atas kalian berpuasa..." (Al Baqarah : 183)
Kemudian Allah menurunkan ayat:
"Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan
padanya Al Qur-an..." (Al Baqarah : 185).
Allah menetapkan puasa bagi orang mukmin yang
sehat, dan memberi rukhshah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan
fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan
keduanya..." (HR. Abu Dawud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam Sunannya (4/200),
Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih)
Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh
bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu
berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.
oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma
mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya yaitu hadits
Ibnu Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling
bertentangan. Perkataannya 'tidak mansukh' ditafsirkan oleh perkataannya: itu
mansukh, yakni ayat ini dikhususkan. Dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh
dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di
kalangan ahli ushul mutaakhirin, demikian diisyaratkan oleh Al Qurtubi dalam
tafsirnya. (Al Jami' li Ahkamil Qur-an (2/288))
5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad?
Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim
bahwa hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran
hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadits marfu' yang bisa mengkhususkan
pengumuman dalam Al Qur-an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang
global. Jawabannya sebagai berikut:
a. Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut
kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua
hadits ini jika ia anggap shahih, karena hadits ini ada dalam tafsir ketika
menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya
Al Qur-an, bahwa turunnya begini, maka ia adalah hadits yang musnad.
b. Ibnu Abbas menetapkan hukum inbi bagi wanita
yang menyusui dan hamil. Dari mana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragunak
lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi
disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.
Dari Malik bin Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya
tentang seorang wanita yang hamil jika ia mengkhawatirkan anaknya. Beliau
berkata, "Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap
harinya kepada seorang miskin."7
Daruquthni meriwayatkan (1/270) dari Ibnu Umar
dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata, "Seorang
wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak meng-qadha." Dari jalan
lain beliau meriwayatkan bahwa seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar,
beliau menjawab, "Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap
harinya dan tidak perlu meng-qadha." sanadnya jayyid Dan dari jalan yang
ketiga, yaitu anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil.
Dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan
memberi makan seorang miskin.
c. Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma.
6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Kewajiban
Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna, "Allah
menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui" yang terdapat
dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi 'kalau mengkhawatirkan diri dan
anaknya', dia bayar fidyah tidak meng-qadha.
7. Musafir Gugur Kewajiban Puasanya dan Wajinb
Meng-qadha
Barangsiapa menyangka gugurnya kewajiban puasa
wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha',
perkataan ini tertolak karena Al Qur-an menjelaskan makna gugurnya kewajiban
puasa dari musafir:
"Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al Baqarah
: 184)
Dan Allah menjelaskan makna gugurnya kewajiban
puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya:
"Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi
makan seorang miskin." (Al Baqarah : 184).
Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan
menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah
kusus untuk mereka.
MALAM LAILATUL QADAR
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini
menyaksikan turunnya Al Qur-an Al Karim, yang membimbing orang-orang yang
berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkat ke derajat yang mulia dan
abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda
tertentu dan tidak pula menacapkan anak-anak panah untuk memperingati malam
ini, akan tetapi mereka berlomba-lomba untuk bangun di malam harinya dengan
penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat
Qur-aniyah dan hadits-hadits Nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam
tersebut.
1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan
Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu
bulan, Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur'an pada
malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam
Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, Pada malam itu turunlah
malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Rabb mereka (untuk membawa) segala
urusan, Selamatlah malam itu hingga terbit fajar." (Al Qadar : 1-5)
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yagn
penuh hikmah:
"Sesungguhnya Kami menurunkan pada suatu
malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada
malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar
dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (Ad Dukhan : 3 - 6)
2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21, 23, 25, 27, 29 dan
akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah
ini berbeda-beda, Imam Iraqi telah mengaran suatu risalah khusus diberi judul
Syarh Shadr bi Dzikri Lailatul Qadar, membawakan perkataan para ulama dalam
masalah ini)
Imam Syafi'i berkata, "Menurut pemahamanku,
wallahu a'lam, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang
ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau, 'Apakah kami mencarinya di malam
ini?' Beliau menjawab, 'Carilah di malam tersebut.'"
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam
Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits
'Aisyah Radhiyallahu 'anha, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau
bersabda:
"Carilah malam Lailatul Qadar di (malam
ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan." (Bukhari
(4/225) dan Muslim (1169))
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu,
janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu
Umar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Carilah di sepuluh hari terakhir, jika
tidak mampu maka janganlah sampai terluput tujuh hari sisanya."
(HR. Bukhari (4/221) dan Muslim (1165))
"Aku melihat mimpi kalian telah terjadi,
barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh nari terakhir."
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini
ada karena perdebatan para shahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu,
ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam keluar pada malam
Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdabat, beliau bersabda:
"Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada
kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak
bisa lagi diketahui kapannya, mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di
malam 29, 27, 25 (dan dalam riwayat lain, tujuh, sembilan dan lima)."
(HR. Bukhari (4/232))
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa
amalan Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan
dimalam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang
hadits keuda adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada
yang umum. Dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul
Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi
kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah
hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak
terpisah.
Kesimpulannya, jika seorang muslim mencari malam
Lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27
dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka
carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu
a'lam.
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini barangsiapa
yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh
kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu melainkan (bagi) orang
yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi
muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk
menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan pengharapan
pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah
dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Barangsiapa berdiri
(shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala
dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari (4/217) dan Muslim (759))
Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam
tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa dia
bertanya, "Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam
Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?" Beliau menjawab"
"Ucapkanlah, Ya Allah Engkau Maha Pengampun
dan Mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku." (HR.
Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850) dari 'Aisyah, sanadnya shahih)
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi
taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan
Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada
sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita,
perintahkan kepada istrimu dan keluargamu utu ktu, perbanyaklah perbuatan
ketaatan.
Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau
mengencangkan kainnya menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya."
(HR. Bukhari (4/233) dan Muslim (1174))
Juga dari 'Aisyah, dia berkata:
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh
(terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya." (Muslim
(1174))
4. Tanda-Tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah
menguatkanmu dengan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya-
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menggambarkan paginya
malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari 'Ubai Radhiyallahu 'anhu ia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari
terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi." (Muslim
(762))
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata,
kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, dan beliau bersabda:
"Siapa di antara kalian yang ingat ketika
terbit bulan seperti syiqi jafnah." (Muslim (1170 /Perkataan, syiqi jafnah, syiq
artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadhi 'Iyadh berkata, "Dalam
hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan,
karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir
bulan.")
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia
berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang
indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya
sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." (Thayalisi (394), Ibnu Khuzaimah (3/231),
Bazzar (1/486), sanadnya hasan)
I’TIKAF
1. Hikmahnya
Al Allamah Ibnul Qayyim berkata : "Manakala
hadir dalam keadaann sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan
menuju Allah Ta'ala tergantung pada berkumpulnya (unsur pendukung) hati
tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut
kepada Allah Ta'ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat
sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta'ala, sedangkan makan
dan minum yang berlebih-lebihan dan ber- lebih-lebihan dalam bergaul, terlalu
banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati
bertambah berantakan (kusut) dan menceraiberikan hati di setiap tempat, dan
(hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan
melemah- kan, menghalagi dan menghentikannya."
"Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi
Penyayang menghendaki untuk mensyari- 'atkan bagi mereka puasa yg bisa
menyebabkan hilangnya kelebihan makanan dan minuman pada hamba-Nya, dan akan
membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat
merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta'ala, dan disyari'atkannya (i'tikaf)
berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat
mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak
akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh)
kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak."
"Dan disyari'atkannya i'tikaf bagi merek
yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta'ala dan
kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala)
kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga
jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti
kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan
kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuannya kepadanya dan semua betikan-betikan
hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu
yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat
dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia
berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari
kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut
kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya)
selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i'tikaf yang agung itu."
2. Makna I'tikaf
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu. Dan
dapat dikatakan bagi orang-orang yg tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di
dalamnya sebagai mu'takif dan 'akif.
3. Disyari'atkannya I'tikaf
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang
lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
beri'tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal. Dan Umar pernah
bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku ini pernah bernazar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu)
aku akan beri'tikaf pada malam hari di Masjidil Haram." Beliau bersabda,
"Tunaikanlah nazarmu." Maka ia (Umar Radhiyallahu 'anhu) pun
beri'tikaf pada malam harinya." (Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656))
Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan
berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam sering beri'tikaf pada setiap Ramadhan selama
sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana baliau diwafatkan, beliau
beri'tikaf selama dua puluh hari. (Riwayat Bukhari (4/245))
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan
Ramadhan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam seringkali beri'tikaf pada
sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allan Yang Maha Perkasa dan Mulia
mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173)
dari 'Aisyah)
4. Syarat-Syarat I'tikaf
a. Tidak disyari'atkan kecuali Masjid,
berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu,
sedangkan kamu beri'tikaf di Masjid." (Al Baqarah : 187)
b. Dan masjid-masjid di sini bukanlah secara
mutlak (seluruh masjid), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia
(yaitu) sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Tidak ada i'tikaf
kecuali pada tiga masjid." (Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh
para imam serta para ulama)
Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf
(yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) 'Aisyah Radhiyallahu
'anha yang telah disebutkan.
5. Perkara-perkara yang Boleh Dilakukan:
a. Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada
hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir
(rambutnya). 'Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
"Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang
i'tikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya
(dalam riwayat lain: aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau ada
pintu][dan waktu itu aku sedang haidh] dan Rasulullah tidak masuk ke rumah
kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang i'tikaf."
(HR. Bukhari (1/342) dan Muslim (297))
b. Orang yang sedang i'tikaf dan yang lainnya
diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang
pembantu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu
di dalam masjid dengan wudhu yang ringan."
(Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364)
dengan sanad yang shahih)
c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang
i'tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian dibelakan masjid
sebagai tempat dia beri'tikaf, karena 'Aisyah Radhiyallahu 'anhu (pernah)
membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau
tiga tiang) apabila beliau beri'tikaf (Sebagaimana dalam Shahih Bukhari
(4/226).dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
(Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)).
d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang
beri'tikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut,
sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu'anhuma bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam jika i'tikaf dihamparkan kasur dan diletakkan
ranjang untuknya dibelakang tiang At Taubah.
(Dikeluarkan oleh Ibnu Majah
(642-zawaidnya) dan Al Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Bushairi
dari dua jalan. Dan sanadnya hasan)
6. I'tikafnya Wanita dan Kunjungannya ke Masjid
a. Diperbolehkan bagi seorang istri untuk
mengunjungi suaminya yang berada di tempat i'tikaf, dan suami diperbolehkan
mengantar istri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu 'anha berkata:
"Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
(tatkala beliau sedang) i'tikaf (pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan) aku
datang mengunjunginya pada malam hari [ketika itu disisinya ada beberapa istri
beliau sedang bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku
bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa
sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri bersamaku untuk
mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usama bin Zaid-
[sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu
Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya
melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam maka keduanyapun bergegas. Kemudi an
Nabi pun bersabda, "Tenanglah, ini adalah Shafiyyah bintu Huyai."
Kemudian keduanya berkata, "Subhanallah ya Rasulullah." Beliaupun
bersabda, "Sesungguhnya syaitan itu menjalar anak Adam pada aliran
darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarang kejelekan di hati kalian
-atau beliau berkata sesuatu-."(Dikeluarkan
oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada pada Abu
Dawud (7/142-143 di dalam Aunul Ma'bud). (
b. Seorang wanita boleh i'tikaf dengan didampingi
suaminya ataupun sendirian. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyyallahu 'anha,
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan
Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliaum kemudian istri-istri beliau i'tikaf
setelah itu"
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah, "Pada
atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita beri'tikaf
dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) ada izin dari
wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak
mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah: Menolah kerusakan lebih
didahulukan daripada mengambil manfaat."
SHALAT TARAWIH
1. Pensyari'atannya
Shalat tarawih disyari'atkan secara
berjama'ah berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orangpun ikut
shalat bersamanya, dan merekapun memperbincangkan shalat tersebut, merekapun
ikut shalat bersamanya, mereka memperbincangkan lagi, hingga bertambah
banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam keluar dan shalat, ketika malam ke empat masjid tidak mampu menampung
jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat subuh. Setelah
selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda,
'Amma ba'du, sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku
khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya'.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam wafat dalam keadaan tidak pernal lagi
melakukan shalat tarawih secara berjama'ah." (HR.
Bukhari (3/220) dan Muslim (761))
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits di atas) maka
berarti syari'at telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan
karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan 'illat telah hilang. Sesungguhnya
'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah
ini adalah Khulafa'ur Rasyid Umar bin Khaththab Radhiyyallahu 'anhu sebagaimana
dikabarkan demikian oleh Abdurrahman bin Abidin Al Qariy, beliau berkata,
"Aku keluar bersama Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di
bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok ada yang
shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata, 'Aku berpendapat
kalai mereka dikupulkan dalam astu imam, niscaya akan lebih baik'. Kemudian
beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab,
setelah itu aku keluar bersama imam mereka, Umarpun berkata,'Sebaik-baik bid'ah
adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia
shalat di awal malam'." (Dikeluarkan Bukhari (4/218) dan tambahannya dalam
riwayat Imam Malik (1/114) dan Abdur Razaq (7733))
2. Jumlah Raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang
batasan rakat'at, pendapat yang paling mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits 'Aisyah
Radhiyallahu 'anha:
"Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah shalat
malam di bular Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at." (Dikeluarkan oleh Bukhari (3/16) dan Muslim (736))
Yang telah mencocoki 'Aisyah
Radhiyallahu 'anha adalah Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, beliau menyebutkan,
"Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menghidupkan malam Ramadhan bersama
manusia delapan raka'at kemudian witir."
(Dikeluarkan
oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (920))
Ketika Umar bin Khaththab
menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at
sesuai dengan sunnah shahihah sebagaimana yang diriwayatian oleh Malik (1/115)
dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia
berkata, "Umar bin Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad Dari
untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at." Ia berkata, "Ketika
itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat
karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu'
fajar." (Furu' Fajar
: awalnya, permulaan)
Riwayat beliau ini diselisihi oleh
Yazid bin Khashifah, beliau berkata, "Dua puluh raka'at."
Riwayat Yazid ini syadz
(ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad binm Yusuf lebih tsiqah
dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah
kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan,
tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama
sebagaimana yang disebutkan dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah
(hal. 185), Al Kifayah (hal. 424-435). Kalaulah seandainya riwayat Yazid
tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf
adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan, sebagaimana
telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.
Abur Razaq meriwayatkan dalam Al
Mushannaf (7730) dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari
Saib bin Yazid, bahwa Umar mengumpulkan manusia di dalam bulan Ramadhan dengan
dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika fajar."
Riwayat ini menyelisihi yang
diriwayatkan oleh Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir
sanad Abdur Razaq shahih, seluruh rawinya tsiqah.
Sebagaimana orang yang berhujjan
dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf adalah
mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh rakaat yang terdapat
dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena
hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali
atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang
berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang
lebih kuat).
Kami ketengahkan hal ini kalau kita
anggap sanad Abdur Razaq selamat dari 'illat (cacat), akan tetai kenyataannya
tidak demikian, kita jelaskan sebagai berikut:
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari
seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad Dabari dari Abdur Razaq, dia
pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum.
3. Ad Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya
ketika berumur tujuh tahun.
4. Ad Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih
haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini.
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari
Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang
mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad Dabari
dan tashif-tashifnya dalam Mushannan Abdur Razaq, dalam Mushannaf.
Dari keterangan di atas maka jelaslah
bahwa riwayat ini mungkar, Ad Dabari dlm meriwayatian haditsnya diselisihi oleh
orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita
nyatakan hadits inipun termasuk tashifnya Ad Dabari, dia mentashifkan dari
sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu raka'at) dan engkau telah
mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif.
Oleh karena itu riwayat ini mungkar
dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi
tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al Muwatha' (1/115)
dengan sanad shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saibn bin Yazid. Wallahu
a’lam.
Oleh Cyber
Muslim Salafy
Sumber
: http://salafyoon.cjb.net
Yayasan
Artikel Bebas (Free Article Foundation) Proyek Cyber Moslem Salafy
0 komentar:
Posting Komentar