Upaya Penghapusan Identitas dan Integritas Muslim dengan
Masyarakat Eropa, serta Perlakuan
Diskriminasi dari Masyarakat Eropa
Eropa sangat dikenal dengan multikulturalisme. Sehingga, mereka tidak
akan segan-segan untuk memberi sanksi bagi pelaku rasis, diskriminasi, dan lain
sebagainya. Maka dari itu, mereka sangat menjungjung nilai-nilai universal,
seperti demokrasi, hak sasari manusia (HAM), dan toleransi pada perbedaan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan hal ini sudah menjadi nilai-nilai
bersama di antara mereka. Dari situlah multikulturalisme sangat kuat mengakar
di Eropa.[1]
Fakta yang sangat mengherankan adalah ketika mereka bersinggungan dengan
Islam, sesuatu (baca:multikulturalisme) yang dipujajanya gugur sekita juga.
Bahkan, Islam sepertinya suatu peradaban yang sangat asing atau peradaban asing
dari planet lain. Padahal, mereka sudah bersinggungan kurang lebih seribu
tahunan. Islam bagi mereka adalah antitesis bagi dunia Barat. Dengan sikapnya
itulah, Eropa dikhawatirkan oleh sebagian cendikiawannya akan kehilangan ciri khas atau identitasnya
sendiri, yaitu multikulturalisme.[2]
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Eropa sangat menolak terhadap Islam dan
terbukti di beberapa negaranya menunjukkan sikap-sikap demikian dengan
terang-terangan, baik dari kalangan masyarakat biasa maupun dari kalangan
tinggi, seperti anggota salah satu partainya yang sedang berkuasa di negaranya.
Seperti yang terjadi di Swiss, Jerman, Belanda, Perancis, dan lain sebagainya.
Di Swiss, sebagian upaya yang dilakukan untuk menghapus identitas muslim
yang ada di dalamnya telah menjadi undang-undang negara, yaitu larangan bagi
umat Islam untuk membangun menara masjid. Penjegalan ini jelas diusung oleh
salah satu kelompok sayap kiri Partai Rakyat Swiss (SVP). Selain itu, mereka
masih mengupayakan pelarangan menggunakan burqa, jilbab, melaksanakan sunnah,
dan melarang adanya dispensasi bagi muslimah dalam mengikuti pelajaran olahraga
(renang). Demikian ini jelas diungkapkan oleh salah satu anggota legislatif
Swiss dari SVP, Adrian Amstutz mengatakan:[3]
“Oleh
sebab itu, SVP sebagai partai yang paling besar di parlemen juga akan mendorong
diberlakukannya larangan burqa, jilbab, kawin paksa, sunat bagi perempuan dan
larangan dispensasi khusus dalam mata pelajaran renang. Ini akan menjadi
prioritas kami.”
Berdasarkan pernyataan Amstutz
yang lain, mereka menghawatirkan umat Islam tidak mengikuti kebudayaannya atau
membedakan diri dari masyarakat lainnya. Bahkan, mereka dengan tegas
menyampaikan, jika Pengadilan HAM Eropa memerintahkan untuk mencabut
undang-undang di atas tersebut, maka mereka akan keluar dari lingkaran Uni
Eropa. Selain alasan tersebut, mereka khawatir Islam akan menguasai negaranya.
Sebab, Islam merupakan agama kedua setelah Kristen, dengan presentasi 4,5
persen dari jumlah penduduk, yaitu sekitar 400.000 orang.[4]
Sebuah hasil penelitian yang lebih
mengerikan dengan kondisi umat Islam di Eropa dari Badan Persatuan Eropa untuk
Hak-hak Dasar (European Union Agency for Fundamental Rights – FRA) yang
dipubilkasikan di bulan Mei 2009. Bahwa banyak umat Islam yang tidak melaporkan
perlakuan buruk (seperti rasis, diskriminasi, dan lain-lain) dari masyarakat
Eropa kepada pihak yang berwenang, seperti polisi atau organisasi apa pun. Hal
tersebut dilakukan (tidak melaporkan) disebabkan sulit untuk menemukan
institusi-intitusi yang dapat mendukung atau membela mereka. Penelitian
tersebut berdasarkan wawancara FRA dengan 8.000 lebih muslim di 14 negara
Eropa.[5]
Menurut seorang sosiolog
dari Universitas Albert Ludwig di Freiburg, Ercument
Celik, kondisi ini tidak hanya membahayakan umat Islam, tetapi berbahaya bagi
“jati diri” bangsa Eropa sendiri.[6]
Di Eropa, khususnya di
Jerman (mungkin negara lain juga terjadi), sangat sulit untuk menemukan “tempat
perlindungan” bagi umat Islam yang mendapatkan perlakuan berbau pelecehan,
rasis, diskriminasi, dan lain sebagainya. Fakta telah membuktikan, hasil
wawancara dengan salah satu korban di Jerman, keturunan Bosnia-Jerman.[7]
Mohamed
Jovoski mengatakan bahwa fakta pelecehan yang dilakukan para pemuda itu
terhadap dirinya dikarenakan mereka tahu bahwa mereka dapat lolos dari hal itu.
“Anda melihat ukuran badan saya kan? Saya bukan pria kecil dan mereka pun
hampir separuh lebih kecil dari saya. Apakah biasanya mereka akan berani
menyinggung seseorang yang berukuran dua kali lipat lebih besar dari mereka?
Fakta bahwa mereka berani melecehkan istri saya di hadapan saya menunjukkan
bahwa mereka tahu saya tidak akan melakukan apa-apa tentang hal itu.”
Terjadinya hal demikian ini sedikit membebani umat
Islam di Eropa, selain mengupayakan penghapusan identitas, mereka juga terasing
di dalam keramaian atau integrasi dengan masyarakat mayoritas tidak akan
terlaksana. Secara umum, menurut pakar
Politik Universitas Boston, Jonathan Laurance, ada tiga
faktor penyebab sulitnya umat Islam berintegrasi dengan masyarakat Eropa,
yaitu:[8]
1. Sikap negatif para politikus
sayap kanan Eropa terhadap Islam.
2. Negara Eropa merasa khawatir
dengan diadakannya studi Islam, publik atau masyarakat Eropa takut dianggap
mengakui dan memberikan tempat bagi komunitas Islam.
3. Mereka tidak merangkul
organisasi-organisasi muslim.
Meskipun demikian kenyataannya, tidak semua
masyarakat Eropa memandang Islam dengan kacamata negatif. Terbukti meningkatnya
masyarakat Eropa yang memeluk Islam sebagai agama barunya. Selain itu, juga
terbukti adanya pembelaan dari masyarakat sipilnya sendiri.
[1] Mochamad Faisal Karim, “Proses Munculnya Euro-Muslim sebagai Transnasional
Norms di Kalangan Muslim Eropa”, Jurnal
Kajian Wilayah PSDR LIPI, Vol. 1, No. 1, 2010, Hal. 41.
[2] Ibidi. Hal. 42-43.
[3] http://www.eramuslim.com/berita/dunia/setelah-larangan-menara-masjid-lantas-apa-lagi.htm,
yang diposkan pada tanggal 02 Desember 2009.
[4] Ibid.
[5]“Nasib Muslim Eropa, Korban
Diskriminasi Kaum Mayoritas”,
diambil dari voa-islam.com
yang diposkan pada tanggal 10 Juli 2009.
[8] “Inilah
Tiga Alasan Kaum Muslim Sulit Berintegrasi dengan Masyarakat Eropa”, diambil dari republika.co.id yang diposkan pada
tanggal 24 Januari 2012.
0 komentar:
Posting Komentar