Jumat, 03 Mei 2013

upaya penghapusan identitas dan integritas muslim di Eropa



Upaya Penghapusan Identitas dan Integritas Muslim dengan Masyarakat Eropa, serta Perlakuan Diskriminasi dari Masyarakat Eropa

Eropa sangat dikenal dengan multikulturalisme. Sehingga, mereka tidak akan segan-segan untuk memberi sanksi bagi pelaku rasis, diskriminasi, dan lain sebagainya. Maka dari itu, mereka sangat menjungjung nilai-nilai universal, seperti demokrasi, hak sasari manusia (HAM), dan toleransi pada perbedaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan hal ini sudah menjadi nilai-nilai bersama di antara mereka. Dari situlah multikulturalisme sangat kuat mengakar di Eropa.[1]
Fakta yang sangat mengherankan adalah ketika mereka bersinggungan dengan Islam, sesuatu (baca:multikulturalisme) yang dipujajanya gugur sekita juga. Bahkan, Islam sepertinya suatu peradaban yang sangat asing atau peradaban asing dari planet lain. Padahal, mereka sudah bersinggungan kurang lebih seribu tahunan. Islam bagi mereka adalah antitesis bagi dunia Barat. Dengan sikapnya itulah, Eropa dikhawatirkan oleh sebagian cendikiawannya  akan kehilangan ciri khas atau identitasnya sendiri, yaitu multikulturalisme.[2]
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Eropa sangat menolak terhadap Islam dan terbukti di beberapa negaranya menunjukkan sikap-sikap demikian dengan terang-terangan, baik dari kalangan masyarakat biasa maupun dari kalangan tinggi, seperti anggota salah satu partainya yang sedang berkuasa di negaranya. Seperti yang terjadi di Swiss, Jerman, Belanda, Perancis, dan lain sebagainya.
Di Swiss, sebagian upaya yang dilakukan untuk menghapus identitas muslim yang ada di dalamnya telah menjadi undang-undang negara, yaitu larangan bagi umat Islam untuk membangun menara masjid. Penjegalan ini jelas diusung oleh salah satu kelompok sayap kiri Partai Rakyat Swiss (SVP). Selain itu, mereka masih mengupayakan pelarangan menggunakan burqa, jilbab, melaksanakan sunnah, dan melarang adanya dispensasi bagi muslimah dalam mengikuti pelajaran olahraga (renang). Demikian ini jelas diungkapkan oleh salah satu anggota legislatif Swiss dari SVP, Adrian Amstutz mengatakan:[3]

“Oleh sebab itu, SVP sebagai partai yang paling besar di parlemen juga akan mendorong diberlakukannya larangan burqa, jilbab, kawin paksa, sunat bagi perempuan dan larangan dispensasi khusus dalam mata pelajaran renang. Ini akan menjadi prioritas kami.”

Berdasarkan pernyataan Amstutz yang lain, mereka menghawatirkan umat Islam tidak mengikuti kebudayaannya atau membedakan diri dari masyarakat lainnya. Bahkan, mereka dengan tegas menyampaikan, jika Pengadilan HAM Eropa memerintahkan untuk mencabut undang-undang di atas tersebut, maka mereka akan keluar dari lingkaran Uni Eropa. Selain alasan tersebut, mereka khawatir Islam akan menguasai negaranya. Sebab, Islam merupakan agama kedua setelah Kristen, dengan presentasi 4,5 persen dari jumlah penduduk, yaitu sekitar 400.000 orang.[4]
Sebuah hasil penelitian yang lebih mengerikan dengan kondisi umat Islam di Eropa dari Badan Persatuan Eropa untuk Hak-hak Dasar (European Union Agency for Fundamental Rights – FRA) yang dipubilkasikan di bulan Mei 2009. Bahwa banyak umat Islam yang tidak melaporkan perlakuan buruk (seperti rasis, diskriminasi, dan lain-lain) dari masyarakat Eropa kepada pihak yang berwenang, seperti polisi atau organisasi apa pun. Hal tersebut dilakukan (tidak melaporkan) disebabkan sulit untuk menemukan institusi-intitusi yang dapat mendukung atau membela mereka. Penelitian tersebut berdasarkan wawancara FRA dengan 8.000 lebih muslim di 14 negara Eropa.[5]
Menurut seorang sosiolog dari Universitas Albert Ludwig di Freiburg, Ercument Celik, kondisi ini tidak hanya membahayakan umat Islam, tetapi berbahaya bagi “jati diri” bangsa Eropa sendiri.[6]
Di Eropa, khususnya di Jerman (mungkin negara lain juga terjadi), sangat sulit untuk menemukan “tempat perlindungan” bagi umat Islam yang mendapatkan perlakuan berbau pelecehan, rasis, diskriminasi, dan lain sebagainya. Fakta telah membuktikan, hasil wawancara dengan salah satu korban di Jerman, keturunan Bosnia-Jerman.[7]

Mohamed Jovoski mengatakan bahwa fakta pelecehan yang dilakukan para pemuda itu terhadap dirinya dikarenakan mereka tahu bahwa mereka dapat lolos dari hal itu. “Anda melihat ukuran badan saya kan?  Saya bukan pria kecil dan mereka pun hampir separuh lebih kecil dari saya. Apakah biasanya mereka akan berani menyinggung seseorang yang berukuran dua kali lipat lebih besar dari mereka? Fakta bahwa mereka berani melecehkan istri saya di hadapan saya menunjukkan bahwa mereka tahu saya tidak akan melakukan apa-apa tentang hal itu.”

Terjadinya hal demikian ini sedikit membebani umat Islam di Eropa, selain mengupayakan penghapusan identitas, mereka juga terasing di dalam keramaian atau integrasi dengan masyarakat mayoritas tidak akan terlaksana. Secara umum, menurut pakar Politik Universitas Boston, Jonathan Laurance, ada tiga faktor penyebab sulitnya umat Islam berintegrasi dengan masyarakat Eropa, yaitu:[8]
1.       Sikap negatif para politikus sayap kanan Eropa terhadap Islam.
2.      Negara Eropa merasa khawatir dengan diadakannya studi Islam, publik atau masyarakat Eropa takut dianggap mengakui dan memberikan tempat bagi komunitas Islam.
3.      Mereka tidak merangkul organisasi-organisasi muslim.
Meskipun demikian kenyataannya, tidak semua masyarakat Eropa memandang Islam dengan kacamata negatif. Terbukti meningkatnya masyarakat Eropa yang memeluk Islam sebagai agama barunya. Selain itu, juga terbukti adanya pembelaan dari masyarakat sipilnya sendiri.


[1] Mochamad Faisal Karim, “Proses Munculnya Euro-Muslim sebagai Transnasional Norms di Kalangan Muslim Eropa”, Jurnal Kajian Wilayah PSDR LIPI, Vol. 1, No. 1, 2010, Hal. 41.
[2] Ibidi. Hal. 42-43.
[3] http://www.eramuslim.com/berita/dunia/setelah-larangan-menara-masjid-lantas-apa-lagi.htm, yang diposkan pada tanggal 02 Desember 2009.
[4] Ibid.
[5]Nasib Muslim Eropa, Korban Diskriminasi Kaum Mayoritas”, diambil dari voa-islam.com yang diposkan pada tanggal 10 Juli 2009.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Inilah Tiga Alasan Kaum Muslim Sulit Berintegrasi dengan Masyarakat Eropa”, diambil dari republika.co.id yang diposkan pada tanggal 24 Januari 2012.

0 komentar: