Jumat, 10 Mei 2013

Perpustakaan Hibrida


BAB I
A.LATAR BELAKANG
Keterbatasan akses di perpustakaan perguruan tinggi adalah masalah klasik yang belum terselesaikan dengan baik. Masalah ini muncul mengingat pemakai perpustakaan banyak, namun ketersediaan bahan perpustakaan terbatas. Sebagai ilustrasi, seorang dosen memberi tugas pada mahasiswa untuk membuat makalah dengan tema ”Pemikiran salah satu tokoh kritis dalam filsafat”. Tugas ini harus dikumpulkan satu minggu kemudian. Yang terbayang dalam benak mahasiswa adalah dia harus cepat-cepat untuk meminjam buku yang ada di perpustakaan fakultas maupun di perpustakan pusat. Langkah yang diambil adalah bergegas cepat-cepat melihat katalog (OPAC) untuk browsing apakah buku yang dibutuhkan tersedia atau tidak. Hati mahasiswa lega ternyata buku filsafat yang dibutuhkan ada sehingga dia harus cepat-cepat pergi untuk mengambil buku tersebut. Namun sayang, buku yang jelas-jelas dia butuhkan ternyata sudah dipinjam rekannya yang akan dikembalikan setidaknya 2 minggu kemudian.
Dia meneruskan pencariannya ke perpustakaan pusat. Langkahnya sama dengan yang ditempuh dengan di perpustakaan fakultas, yaitu brwosing OPAC dulu. Tanpa membuang waktu, dia menuju koleksi filsafat. Dia sudah merasa tenang melihat deretan buku-buku filsafat. Namun untuk kedua kalinya dia harus kecewa karena hanya ada sebuah buku yang memuat pemikiran tokoh krtitis. Itu saja teman sekelasnya sudah mengantri mau pinjam. Tentu kebingungannya tidak berhenti di situ saja. Tugas-tugas lain ternyata juga sudah menunggu, di luar mata kuliah filsafat, yaitu dia harus menyelesaikan sebuah paper untuk tugas mata kuliah Metodologi Penelitian.
Mengacu dari kasus di atas, ternyata ketersediaan buku atau koleksi yang ada`di perpustakaan mengenai topik tertentu sangat terbatas. Keterbatasan inilah menyebabkan akses untuk mendapatkan informasi tertentu jadi terhambat. Maka harus ada upaya lain untuk membuat akses informasi tersedia.


BAB II
Pembahasan
            Sebelum banyak ahli membincangkan perpustakaan digital, sesungguhnya mereka sudah mewacanakan perpustakaan hibrida. Istilah perpustakaan hibrida (Hybrid library) pertama kali dikemukakan oleh Chris Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di D-Lib Magazine pada tahun 1998. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu perpustakaan yang koleksinya terdiri atas bahan cetak dan bahan noncetak. Perpustakaan hibrida adalah campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah, dan juga bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.
            Perpustakaan hibrida merupakan continuum antara perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital, dimana informasi yang dikemas dalam media elektronik maupun cetak digunakan secara bersamaan. Tantangan pengelola perpustakaan hibrida adalah mendorong pemakai untuk menemukan informasi dalam berbagai format.
Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian guna mewujudkan perpustakaan digital. D-lib Magazine edisi Oktober 1998 mencatat, setidaknya ada lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan impiannya menciptakan perpustakaan hibrida. Yaitu:
1) HyLife (Hybrid Library of the Future) Proyek ini berusaha mendirikan, menguji, mengevaluasi, serta menyebarkan sekitar teori dan praktik perpustakaan hibrida yang terdiri atas layanan lektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University of Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasilnya adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik sesuai dengan kebutuhan.
2) Malibu (Managing the hybrid Library for the Benefit of Users). Proyek ini memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk organisasi dan layanan perpustakaan hibrida. Malibu didirikan oleh tiga lembaga yaitu King’s College London, University of Oxford, dan University of Southamton, yang mengembangkan perpustakaan hibrida dalam kajian humanities. Proyek ini menarik sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem yamg memudahkan dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan model institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan perpustakaan hibrida.
3) HeadLine (Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment)
Proyek ini dikerjakan oleh London School of Economics, The London Business School, dan The University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan mrerancang dan mengimplementasikan model perpustakaan hibrida dalam dalam lingkungan akademik yang nyata. Pproyek ini bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal alias Personal Information Environment dengan mengembangkan portal yang memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun nonelektronik secara terintegrasi.
4) Builder (Birmingham University Integrated Library Development and Electronic Resource)
Dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tingi, mulai dari mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola perpustakaan sendiri.
5) Agora, membangun sistem manajemen perpustakaan hibrida ( a hybrid library management system /HLMS) merupakan konsorsium yang terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing Informatics, dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information Management) dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian utama dalam proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada konsep search, locate, request, an deliver.
Dari temuan di atas akhirnya para pustakawan dan para teknolog berkolaborasi mengembangkan suatu konsep perpustakaan hibrida yang tetap mempertahankan koleksi tercetak, dan digital secara terintegrasi tanpa harus menomorduakan macam koleksi tententu.


Yang membedakan perpustakaan digital dangan hibrida adalah:
1.      hibrida masih memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya, dimana perpustakaan digital berusaha ingin mengubah semua koleksinya ke dalam bentuk digital.
2.      perpustakan hibrida memperluas konsep cakupan jasa informasi sehingga perubahan koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak dipisahkan dari yang berbasis tercetak.
Konsep perpustakaan hibrida sangat jelas yaitu mempertahankan keberadaan perpustakaan tercetak dengan alasan bahwa pemakai masih saja memerlukan koleksi tercetak untuk memenuhi keperluan mereka. Tetap saja buku tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk itulah koleksi tercetak harus tetap dipertahankan.

0 komentar: