BAB I
A.LATAR BELAKANG
Keterbatasan akses di perpustakaan perguruan tinggi adalah masalah klasik
yang belum terselesaikan dengan baik. Masalah ini muncul mengingat pemakai
perpustakaan banyak, namun ketersediaan bahan perpustakaan terbatas. Sebagai
ilustrasi, seorang dosen memberi tugas pada mahasiswa untuk membuat makalah
dengan tema ”Pemikiran salah satu tokoh kritis dalam filsafat”. Tugas ini harus
dikumpulkan satu minggu kemudian. Yang terbayang dalam benak mahasiswa adalah
dia harus cepat-cepat untuk meminjam buku yang ada di perpustakaan fakultas
maupun di perpustakan pusat. Langkah yang diambil adalah bergegas cepat-cepat
melihat katalog (OPAC) untuk browsing apakah buku yang dibutuhkan tersedia atau
tidak. Hati mahasiswa lega ternyata buku filsafat yang dibutuhkan ada sehingga
dia harus cepat-cepat pergi untuk mengambil buku tersebut. Namun sayang, buku yang
jelas-jelas dia butuhkan ternyata sudah dipinjam rekannya yang akan
dikembalikan setidaknya 2 minggu kemudian.
Dia meneruskan pencariannya ke perpustakaan pusat. Langkahnya sama dengan yang ditempuh dengan di perpustakaan fakultas, yaitu
brwosing OPAC dulu. Tanpa membuang
waktu, dia menuju koleksi filsafat. Dia sudah merasa tenang melihat deretan
buku-buku filsafat. Namun untuk kedua kalinya dia harus kecewa karena hanya ada
sebuah buku yang memuat pemikiran tokoh krtitis. Itu saja teman sekelasnya
sudah mengantri mau pinjam. Tentu kebingungannya tidak berhenti di situ saja.
Tugas-tugas lain ternyata juga sudah menunggu, di luar mata kuliah filsafat,
yaitu dia harus menyelesaikan sebuah paper untuk tugas mata kuliah Metodologi
Penelitian.
Mengacu dari kasus di atas, ternyata ketersediaan buku atau koleksi yang
ada`di perpustakaan mengenai topik tertentu sangat terbatas. Keterbatasan inilah menyebabkan akses untuk mendapatkan informasi tertentu
jadi terhambat. Maka harus ada upaya lain untuk membuat akses informasi
tersedia.
BAB II
Pembahasan
Sebelum
banyak ahli membincangkan perpustakaan digital, sesungguhnya mereka sudah
mewacanakan perpustakaan hibrida. Istilah
perpustakaan hibrida (Hybrid library) pertama kali dikemukakan oleh Chris
Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di D-Lib Magazine pada tahun 1998.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan
suatu perpustakaan yang koleksinya terdiri atas bahan cetak dan bahan noncetak.
Perpustakaan hibrida adalah campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah,
dan juga bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.
Perpustakaan
hibrida merupakan continuum antara perpustakaan konvensional dan
perpustakaan digital, dimana informasi yang dikemas dalam media elektronik
maupun cetak digunakan secara bersamaan. Tantangan pengelola perpustakaan
hibrida adalah mendorong pemakai untuk menemukan informasi dalam berbagai
format.
Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian guna
mewujudkan perpustakaan digital. D-lib Magazine edisi Oktober 1998 mencatat,
setidaknya ada lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan impiannya
menciptakan perpustakaan hibrida. Yaitu:
1) HyLife
(Hybrid Library of the Future) Proyek ini berusaha mendirikan, menguji,
mengevaluasi, serta menyebarkan sekitar teori dan praktik perpustakaan hibrida
yang terdiri atas layanan lektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University
of Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami
bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasilnya
adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah
implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa
elektronik sesuai dengan kebutuhan.
2) Malibu
(Managing the hybrid Library for the Benefit of Users). Proyek ini
memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk organisasi dan layanan
perpustakaan hibrida. Malibu didirikan oleh tiga lembaga yaitu King’s
College London, University of Oxford, dan University of Southamton, yang
mengembangkan perpustakaan hibrida dalam kajian humanities. Proyek ini menarik
sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem yamg memudahkan
dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan model
institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan perpustakaan hibrida.
3) HeadLine
(Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment)
Proyek ini
dikerjakan oleh London School of Economics, The London Business School, dan The
University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan mrerancang dan
mengimplementasikan model perpustakaan hibrida dalam dalam lingkungan akademik
yang nyata. Pproyek ini bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal
alias Personal Information Environment dengan mengembangkan portal yang
memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun
nonelektronik secara terintegrasi.
4) Builder (Birmingham University Integrated
Library Development and Electronic Resource)
Dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk mempelajari
dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tingi, mulai dari
mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola perpustakaan
sendiri.
5) Agora,
membangun sistem manajemen perpustakaan hibrida ( a hybrid library
management system /HLMS) merupakan
konsorsium yang terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing
Informatics, dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information
Management) dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian
utama dalam proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada
konsep search, locate, request, an deliver.
Dari temuan
di atas akhirnya para pustakawan dan para teknolog berkolaborasi mengembangkan
suatu konsep perpustakaan hibrida yang tetap mempertahankan koleksi tercetak,
dan digital secara terintegrasi tanpa harus menomorduakan macam koleksi
tententu.
Yang
membedakan perpustakaan digital dangan hibrida adalah:
1.
hibrida
masih memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi
digitalnya, dimana perpustakaan digital berusaha ingin mengubah semua
koleksinya ke dalam bentuk digital.
2.
perpustakan
hibrida memperluas konsep cakupan jasa informasi sehingga perubahan koleksi
elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak dipisahkan
dari yang berbasis tercetak.
Konsep
perpustakaan hibrida sangat jelas yaitu mempertahankan keberadaan perpustakaan
tercetak dengan alasan bahwa pemakai masih saja memerlukan koleksi tercetak
untuk memenuhi keperluan mereka. Tetap saja buku
tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk itulah koleksi tercetak
harus tetap dipertahankan.
0 komentar:
Posting Komentar