Rabu, 24 April 2013

SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM

Sumber utama ilmu kalam adlah Al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW. yang berisi tentang penjelasan tentang wujud Allah, keesaan-Nya , dan persoalan-persoalan lainnya.

Ilmu kalam sebagai disiplin ilmu , baru muncul setelah Rasullah saw. wafat. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa munculnya ilmu kalam adalah berawal dari persoalan politik. Persoalan politik yang paling hangat yang telah menimbulkan munculnya ilmu ini adalah perang saudara antara kelompok Ali bin Abu Thalib melawan kelompok Muawiyah bin Abi Sofyan. BErawal dari inilah muncul beberapa kelompok yang mempersoalkan masalah-masalah yang berhubungan dengan Tuhan.

LATAR BELAKANG
Dalam sejarah munculnya ilmu kalam terdapat dua aliran pokok, yaitu aliran rasional dan tradisional. Aliran rasional di cetuskan oleh kaum Muktazilah dengan tokohnya Abu Huzil Al-Allaf, An-Nazzam, Muamar bin Abbad, Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar, dan Al-Jubba'i. Tokoh-tokoh kaum Muktazilah ini telah mempelajari dan memanfaatkan filsafat dalam menangkis argumen-argumen filosofis yang dikemukakan oleh lawan mereka. Akal, menurut aliran Muktazilah dapat mengetahui adanya Allah, kewajiban berterima kasih kepada Allah, perbedaan antara yang baik dan jahat, serta kewajiban manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan.
Dengan demikian akal dalam aliran ini menempati kedudukan paling tinggi. Di pihak lain aliran tradisional tidak memberikan kedudukan dan kemampuan terhadap akal. Hal ini disebabkan sebelum lahirnya agama, kemampuan akal hanya terbatas mengetahui adanya Allah dan untuk mengetahui selain itu adalah di luar kemampuan akal.Kaum Asy'ariah termasuk yang mempelopori aliran tradisional dengan tokoh-tokohnya, antara lain Al-Baqilani, Al-Juwaini dan Al-Gazaali.
Selain dua aliran tersebut, terdapat aliran lain, yaitu aliran Maturidiah. Aliran ini mencoba menempuh jalan tengah dari kedua aliran pokok di atas. Meskipun kurang populer aliran ini banyak dianut oleh masyarakat muslim.
PENGARUH SOSIAL POLITIK TERHADAP ILMU KALAM
Pada masa awak Khulafaur Rasyidin, umat islam tetap berpegang teguh pada pangkal aqidah yang diwarisi dari masa nabi Muhammad saw., meskipun pada masa itu muncul persoalan yang menimbulkan pertentangan diantara umat islam, yaitu masalah khilafah. Perbedaan pendapat ini masih belum menonjol ke masalah politik. Selain itu, pembahasan yang menyangkut aqidah secara ilmiah pada masa tersebut belum menonjol karena kesibukan dalam menghadapi musuh dalam mempertahankan keutuhan kesatuan umat.
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan terjadi kekacauan politik yang menimbulkan bibit perpecahan sehingga timbul golongan atau kelompok yang masing-masing mempertahankan pendiriannya. Persoalan tentang dosa besar muncul, yakni apa hakiakat dan bagaimana hukum orang yang mengerjakan sesuatu. Pembicaraan tentang dosa besar bermula dari adanya pembunuhan terhadap Khalifa Usman bin Affan oleh kelompok pemberontak dari Irak. Setelah itu, timbul perbedaan pendapat tentang iman dan kafir. Hal-hal yang dipertanyakan dalam persoalan (iman dan kafir) ini adalah apa pengertian dan bagaimana batas-batas iman dan kafir, bagaimana pertalian iman dan kafir dengan perbuatan lahir, dan apakah pelaku dosa besar itu masih dianggap mukmin atau kafir karena berbuat dosa besar. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran kalam, yaitu Khawarij yang menyatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, Murji'ah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir, serta Muktazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi berada diantara kedua itu.
Sejarah Munculnya Ilmu Kalam

A.    SEJARAH  MUNCULNYA ILMU KALAM DALAM ISLAM.
Munculnya Ilmu Kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekholifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Tholib mengkristal menjadi Perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim yakni tawaran yang diusulkan untuk memecah kubu Sayyidina ali menjadi dua bagian yaitu Syi’ah dan Khowarij (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, ia dalam keadaan terpaksa, itu tidak disetujui oleh sebagian tentaranya dalam arti menentang. Mereka memandang Ali bin Abi Tholib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan sebutan Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.Sedangkan, sebagian besar pasukan yang membela dan tetap mendukung Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syi’ah.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Ilmu Kalam dapat dibagi menjadi dua , yaitu faktor dari dalam ( intern) dan faktor dari luar ( extern).
1.    Faktor Intern
Adapun faktor-faktor intern dari ilmu kalamada tiga macam, yaitu:
a.    Sesungguhnya Al-Qur’an itu sendiri disamping merupakan seruan dakwahnya kepada tauhid dan mempercayai kenabian, terdapat pula perkara yang berhubungan soal menyinggung golongan-golongan dan agama yang tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW.lalu Al-Qur’an itu menolaknya dan membatalkan pendapat-pendapatnya.
b.    Sesungguhnya kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah rezekinya,disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama.
c.    Masalah –masalah politik, yakni pada detik-detik saat Rasullullah wafat, beliau tidak memberikan satu isyaroh pun tentang siapa yang akan menggantikan beliau dalam masalah Khilafah dan Imamah, sehingga terjadilah pro dan kontra di kubu umat Islam pada waktu itu.
2.    Faktor Extern
Adapun faktor-faktor extern ada tiga, yaitu:   
a.    Sesungguhnya kebanyakan orang-orang memeluk islamitu sesudah kemenangannya, semula mereka memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme dan lain-lain.
b.    Sesungguhnya golongan islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah telah memutuskan perhatiannya yang terpenting yaitu untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang yang memusuhi islam.
c.    Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan faktor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan para mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan (mengimbangi) musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika, terutama dari segi Ketuhanan. Kita mengetahui An-Nadhami (tokoh Mu’tazilah) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak baberapa pendapatnya.
B.    PERBEDAAN GOLONGAN – GOLONGAN DALAM ILMU KALAM.
Adapum golongan atau firqoh yang pokok itu ada 7, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Kitab Syarah Arba’in Littaftazani hal 230 dan Kitab Bughyat Al Mutarsyidin hal 298, yaitu:
1.    Mu’tazilah, bercabang menjadi 20 Firqoh/golongan
2.    Syi’ah, bercabang 22 Firqoh/golongan
3.    Khawarij, bercabang 20 Firqoh/golongan
4.    Murji’ah, bercabang 5 Firqoh/golongan
5.    Najjariyah, bercabang 3 Firqoh/golongan
6.    Musyabbihah, bercabang 1 Firqoh/golongan
7.    Jabbariyah, bercabang 1 Firqoh/golongan
8.    Ahlussunnah Wal jama’ah, hanya 1 Firqoh/golongan
Jumlah semuanya 73 Firqoh atau golongan.
1.    Mu’tazilah
Tokoh utama mereka bernama Wasil Bin Atho’ dengan dibantu kawannya yang bernama Amr bin Ubaid. Mu’tazilah ini timbul akibat pertikaian yang memuncak sesudah Sayyidina Ali bin Abi Thalib terbunuh dan waktu diserahkannya Khilafah kepada putra beliau Sayyidina Hasan Bin Ali pada Sayyidina Mu’awiyyah Bin Abi Sufyan.
Golongan ini berkeyakinan bahwa :
a.    Kalam Allah itu makhluk (baru/hadis )
b.    Syafa’at nabi tidak ada.
c.    Surga dan neraka belum diwujudkan oleh Allah.
d.    Manusia tidak dapat melihat Allah kelak di akhirat.
e.    Sebagian glongan ini tidak percaya pada Dajjal, serta tidak mengakui adanya Mizan, Nikmat dan Siksa Kubur.
f.    Orang yang melakukan dosa besar itu bukan mukmin dan bukan kafir dan jika ia mati sebelum bertaubat maka ia tergolong berada di Manzilah Baina Manzilatain
2.    Khawarij
Golongan yang mengakui kekuasaan kholifah Abu Bakar, Umar dan mengakui kholifah Usman hanya dalam 6 tahun saja, serta tidak mengakui pemerintahan Sayyidina Ali dan tidak pula Muawiyyah. Oleh karena itu mereka tidak mau taat pada kedua-duanya. Tokoh utamanya bernama Abdullah Bin Wahab Arrasi, golongan ini secara extrim reaksioner dari golongan syi’ah. Di bidang kepercayaan, mereka tidak berbeda jauh dari golongan Syi’ah, yang kedua-duanya menurut analsa orang-orang ahli adalah hasil dari infeltrasi ajaran Yahudi, Kristen, hindu dan majusi. Sebagian dari keyakinan mereka :
a.    Melanggar dosa besar adalah kafir
b.    Barangsiapa berdusta sekali atau berbuat dosa kecil dan terus-menerus mengerjakannya maka ia termasuk orang musyrik.
c.    Kafirlah orang muslim yang tidak tahu hukum Syara’ secara terperinci.
d.    Bahwa yang berhak menghukum manusia adalah Allah yang menguasai gerak-geriknya
e.    Tidak membutuhkan adanya imam karena yang wajib hanya mengetahui kitab Allah saja
3.    Syi’ah
Golongan yang berkeyakinan bahwa kepala Negara yang sebenarnya sepeninggal nabi adalah Sayyidina Ali, kemudian putranya dan seterusnya, hali ini menurut mereka atas tunjukan nabi, selanjutnya pimpinan islam tidak boleh lepas dari Dinastinya sampai hari kiamat. Jikalau terpakasa orang lain yang memegang pimpinan tersebut, haruslah seizing dan atas kerelaan beliau-beliau seta harus didasarkan untuk kemaslahatan umum. Akan tetapi bila tidak demikian maka orang tersebut Dholim karena merebut hak orang lain.
Tokoh utama mereka bernama Mukhtar Bin Ubaid.Karena terlalu dalam cintanya kepada Sayyidina Ali sehingga mereka mendewa-dewakannya sampai ada yang berkeyakinan bahwa Tuhan Allah itu menjelma atau reinkarnasi pada diri Sayyidina Ali, dimana semua hal-hal ini menyimpang dari ajaran Islam.

4.    Murji’ah
Golongan yang beri’tikad bawha melakukan dosa besar itu tidak membahayakan iman.Ia tetap mukmin, seperti halnya ta’at itu tidak bergunabila disetai kufur. Sedangkan ketentuan nasibnya itu terserah pada Allah kelak di akhirat, apakah ia disiksa atas keadilanNya Allah atau dimaafkan atas rahmatnya. Pikiran ini timbul pada masa akhir kholifah Usman r.a dimana mulai timbulsampai memuncaknya fitnah dikalangan umat islam sehingga mengakibatkan tewasnya khalifah utsman. Gembong golongan ini bernama Abdullah Bin Saba’. Dalam persoalan ini golongan Khawarij dengan tegas mengatakan bahwa mereka ( Murji’ah ) itu adalah Kafir. Sedangkan golongan Mu’tazilah mengatakan bahwa mereka ( Murji’ah ) iti tidak mikmin dan tidak kafir tapi fasiq. Sedangkan Imam Hasan Al Basri dari golongan Ahlusunnah waljama’ah mengatakan bahwa mereka itu adalah munafiq.

5.    Najjariyah
Golongan yang sefaham dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah dalm I’ tikad bahwa semua perbuatan makhluk itu ciptaan Allah dan sefaham dengan Mu’tazilah dalam I’tikad bahwa kalam Allah itu hadis atau baru. Tokoh pembinanya bernama Husen Bin Muhammad An-Najjar hidup pada masa khalifah Makmun
6.    Jabbariyah
Golongan yang ber I’tikad bahwa segala perbuatan manusia itu mutlak terjadi karena irodah Allah dan lepas dari ikhtiyar manusia sendiri. Pikiran ini timbul dari seorang Yahudi bernama Tholut Bin Ashom yang di infiltrasikan dalam ajaran islam di akhir hayat nabi dan permulaan Khulafaur rasyidin, kemudian  diteruskan oleh Ja’ab Bin Dirham dan Abban Bin Sam’an. 
7.    Musyabbihah
Golongan yang berkeyakinan bahwa Allah itu serupa dengan makhluk, berjisim, bertubuh, beranggota serta bergerak,berpindah-pindah kedalam makhluknya, serta Tuhan Allah itu bertempat di Arsy.
8.    Ahlusunnah Wal Jama’ah
Setelah kejadian-kejadian yang mengancam I’tikad umat islam khusunya, dan syari’at islam umumnya maka tampillah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari lahir pada tahun 270 H wafat 324 H. Mula-mula beliau ini pengikut Mu’tazilah selama 30 tahun, beliau berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah bernama Abi Ali Al-Juba’I kemudian terjadilah munadzoroh (tukar pikiran) antara beliau dengan gurunya yang akhirnya guru tersebut dapat dikalahkannya.Maka sejak saat itu beliau menyatakan keluar dari golongan Mu’tazilah. Pernyataan keluarnya itu diucapkan pada hari Jum’at di atas mimbar Masjid Bashroh, sebagai berikut:
“Hai sekalian manusia, ketahuilah bahwa aku sekarang sudah taubat dari faham-faham Mu’tazilah, dan saya akan menentangnya mati-matian faham itu”.   
Pernyataan itu dikuatkan oleh beliau dalam bentuk karangan-karangan kitab yang menentang faham Mu’tazilah, serta terus meneruskan dan mempertahankan faham-faham yang telah ditetapkan oleh Al Quran dan Hadist, serta yang diamalkan oleh sahabat-sahabat Nabi.Maka sejak saat itulah pengikut-pengikut beliau, yakni Abu Hasan Al Asy’ari dinamakan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Abu Hasan Al Asy’ari itu pengikut madzhab Imam Syafi’I dan faham beliau itu dikuatkan dan dipertahankan oleh Imam Abu Mansur Al Maturidi (wafat tahun 333H) dan Imam Abu Mansur ini bermadzhab Imam Hanafi.Dua tokoh ini tidaklah membawa faham baru melainkan mempertahankan dan mengembalikan faham-faham Salafus Sholihin (orang-orang yang sholeh dahulu).Dan dua imam ini pemimpin dari Madzahibul Arba’ah di bidang i’tikad/kepercayaan.
Adapun golongan yang benar-benar selamat itu ialah golongan atau orang yang masuk surga tanpa dihisab terlebih dahulu dan tiada pula mereka memerlukan syafa’at, mereka ini adalah golongan yang menempuh jalannya Rasullullah serta sahabat-sahabatnya, sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam beberapa hadist.

SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM
Posted on January 4, 2011 by didanel
SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM
Latar belakang persoalan Sosiologis
Pasca wafatnya Rasulullah Saw, kaum muslimin berkumpul di Saqifah bani Sâ’adah untuk memilih khalifah pengganti Rasulullah Saw.. Pertemuan tersebut dihadiri oleh dua partai besar, yaitu Anshar dan Muhajirin. Di antara pendukung partai Anshar adalah Saad bin Ibadah, Qais bin Saad dan Habab bib Mundzir. Partai Anshar menginginkan agar khalifah dipilih dari golongan mereka. Menurutnya, golongan Anshar adalah orang-orang yang membantu perjuangan Rasulullah Saw. dalam pengembangan dakwah Islam dari Madinah. Merekalah yang memberikan tempat bagi Rasulullah dan kaum muhajirin setelah pindah dari Makkah ke Madinah.
Sementara Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah menginginkan agar khalifah dipilih dari partai mereka. Bagi mereka, orang pertama yang membantu perjuangan Rasulullah Saw., disamping itu, mereka masih kerabat dekat dengan Rasulullah Saw.. Abu Bakar al-Shidiq lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar al-Shiddiq dengan alasan karena beliau orang yang ditunjuk Rasulullah sebagai imam shalat ketika Rasul sakit.
Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut jika dibiarkan dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam. Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada para peserta sidang bahwa semua yang dilakkan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt.. Tidak layak jika kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan politik. Kemudian Basyir bin Saat membait Abu Bakar al-Shidiq. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari partai Anshar. Ia dianggap telah menyalahi kesepakatan Anshar untuk memilih khalifah dari partainya. Namun Basyir menjawab, “Demi Allah tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku yang memang memiliki hak untuk menjadi khalifah”.
Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar. Ia menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangkit ikut membaiat dan memberikan dukungan pada Abu Bakar al-Shidiq. Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat Islam.[1]
Kenyataannya, persatuan kaum muslimin tidak berlangsung lama. Kaum muslimin kembali mengalami perselisihan politik pasca terbunuhnya Utsman bin Affan, terutama antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah.
Muawiyah menuntut agar Ali bin Abi Thalib segera menyelesaikan persoalan tersebut serta menarik pelaku pembunuhan ke pengadilan. Tanpa itu, Muawiyah tidak akan mengakui eksistensi kekhalifahan Ali. Sementara Ali melihat bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman.
Perselisihan antara kubu Ali dan Muawiyah akhirnya semakin meruncing. Muawiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Ali. Pada akhirnya, Muawiyah memutuskan untuk melawan Ali dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Ali dengan Muawiyah. Hampir saja, pasukan Ali dapat memenangkan pertempuran. Namun kemudian Muawiyah menawarkan perdamaian. Peristiwa itu disebut dengan al-tahkîm. Pendukunga Ali selanjutnya disebut dengan partai Syiah. Kenyataannya, tidak semua pengikut Ali menyetujui tahkîm. Mereka menganggap bahwa tahkîm hanyalah sekedar makar politik Muawiyah. Kelompok itu kemudian memisahkan diri dan membentuk partai baru yang disebut dengan partai Khawarij. Kubu Muawiyah sendiri sering dianggap sebagai embrio kemunculan partai Ahlusunnah.
Khawarij sebagai partai baru yang memang berawal dari perselisihan mereka dengan Ali di satu sisi dan  Muawiyah di sisi lain, memiliki kepentingan dan tujuan politik sendiri. Dalam hal ini mereka berusaha menyerang dua kubu sekaligus dengan ide-ide yang mungkin dapat diterima oleh orang banyak. Mereka kemudian mempersalahkan dua partai di atas karena dianggap telah melakukan dosa besar. Di sini karena dua partai tersebut pernah melakukan pertempuran yang mengakibatkan pertumpahan darah antara sesama muslim.
Partai Khawarij mempersoalkan mengenai ketetapan hukum bagi mereka yang membunuh saudaranya sendiri sesama muslim. Bagi Khawarij, mereka itu adalah pelaku dosa besar yang berarti akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Untuk mendukung terhadap validitas pendapatnya, partai Khawarij kemudian menukil berbagai nash al-Qur’an maupun al-Sunnah. Di sini pandangan Khwarij sangat kental dengan nuansa politik.
Sebagai sebuah partai, Khawarij tentu juga memiliki pandangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan. Bagi Khawarij, khalifah dapat diangkat dari partai manapun asalkan sesuai dengan kriteria seorang imam sebagaimana termaktub dalam ajaran Islam. Tentu ini berbeda dengan pandangan partai Syiah yang menganggap bahwa khalifah hanya dapat diangkat dari Ali dan keturunannya. Juga berbeda dengan partai Ahlusunnah yang menganggap bahwa khalifah harus berasal dari suku Quraisy.
Persoalan politik dengan isu sentral seputar pelaku dosa besar sebagaimana dilontarkan partai Khawarij tersebut kenyataannya menyulut kelomok lain yang tidak sepaham denganya untuk membentuk partai baru, yaitu partai Murji’ah. Bagi partai ini, mereka menganggap bahwa ketentuan hukum hanya berada dalam genggaman Tuhan. Manusia tidak memiliki otoritas untuk menentukan ketetapan hukum bagi pelaku dosa besar.
Pada masa akhir khalifah Muawiyah, wacana seputar pelaku dosa besar masih cukup santer. Washil bin Atha’, salah seorang murid dari Hasan Bashri kemudian melontarkan ide yang berbeda dari pendapat-pendapat sebelumnya. Baginya, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin, namun juga tidak dapat dikatakan kafir. Mereka itu antara mukmin dan kafir, atau dalam istilah mereka disebut sebagai “manzilah baina manzilataini”. Washil bin Atha’ kemudian membentuk partai baru yang disebut dengan partai Muktazilah. Sebagai layaknya sebuah partai, Muktazilah juga memiliki pandangan politik yang berbeda dari partai-partai sebelumnya.[2] Baginya, khalifah dapat berasal dari golongan manapun asal dapat menerapkan prinsip keadilan. Hanya saja, jargon Muktazilah hanya tertulis di atas kertas tanpa ada realitas dalam tataran praktis. Ketika partai Muktazilah dapat menjadi partai penguasa pada masa al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, mereka justru memaksakan ideologi kepartaiannya kepada kelompok lain. Anggota partai oposisi yang tidak sepaham dengannya mendapat berbagai tekanan, baik politik maupun fisik. Inilah barangkali yang menjadi cacat bagi partai tersebut. Pemaksaan ideologi paling kentara pada persoalankhalqu’l qur’an. Muktazilah sebagai sebuah partai penguasa pada mulanya dibangun dari reaksi terhadap wacana ilmu kalam. Berbeda dengan partai lain yang murni bias politik.
Namun ide ilmu kalam Muktazilah tidak diamini oleh semua kelompok dalam partai tersebut. Abu Hasan al-Asy’ariy, pengikut setia Muktazilah selama 40 tahun, kemudian memisahkan diri dan membentuk partai baru yang disebut dengan partai Asy’ariyah.[3] Ide dasar Abu Hasan al-Asy’ariy tidak jauh berbeda dengan partai Ahlusunnah, bahkan terkesan sebagai penguat dan pendukung mereka. Hanya perbedaannya, Abu Hasan al-Asy’ariy menggunakan logika sebagai penguat terhadap argumentasi nash. Oleh karenanya, Asy’ariyah juga sering disebut dengan Ahlusunnah wa’l Jama’ah. Sebagian lain menyebutnya dengan Aliran fatalistik moderat.
Dalam satu waktu, di daerah Asia tengah juga muncul partai baru yang hampir sepaham dengan apa yang dilontarkan Abu Hasan al-Asy’ari. Partai baru tersebut didirikan oleh Abu Manshur al-Maturidiy. Pengikut al-Maturidiy juga sering dimasukkan dalam golongan partai Ahlusunnah.
Ilmu kalam yang berkembang dalam berbagai partai Islam sedikit banyak terpengaruhi oleh pemikiran dari kelompok lain di luar Islam. Untuk menopang pendapatnya, masing-masing berusaha menggunakan berbagai argumentasi, termasuk dengan logika Aristotelian. Maka persoalan ilmu kalam menjadi sebuah perdebatan dan wacana yang sangat rasional. Nash bahkan hanya dijadikan sebagai argumentasi sekunder. Inilah yang kemudian memunculkan partai baru yang disebut dengan partai Salafiyah. Partai ini menolak argumentasi Aristotelelian dan berusaha memahami nash al-Qur’an secara literal. Pendiri partai ini adalah Ibnu Timiyah yang dilanjutkan dan direalisasikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Belakangan, partai Wahabiyah dapat memegang tampuk pemerintahan di negara Arab Saudi hingga saat ini.[4]
Persoalan yang bermula dari isu politik, kemudian berkembang menjadi perdebatan kalam. Uraian di atas adalah faktor intern terbentuknya berbagai partai yang muncul dari dalam umat Islam sendiri. Selain faktor politik, munculnya perdebatan kalam dimotori oleh faktor lain, di antaranya adalah:
1.    Al-Qur’an ketika menawarkan ajaran tauhid, berhadapan dengan berbagai agama dan aliran kepercayaan. Dalam hal ini, al-Qur’an menggunakan metodologi jadal (dialog) untuk menggugurkan berbagai argumentasi mereka. Metodologi dialog tersebut selanjutnya dikembangkan oleh para politisi dan ahli kalam sesuai dengan partai politiknya masing-masing.
2.    Stabilitas sosial dan politik juga memiliki andil yang cukup besar. Tiap partai politik lebih dapat konsen dalam menanggapi berbagai wacana yang dilontarkan oleh partai lain.
Selain faktor internal, juga terdapat faktor eksternal yang turut andil dalam mengembangkan berbagai wacana kalam, di antaranya adalah:
1.    Banyak orang yang masuk Islam dari berbagai agama dan aliran kepercayaan. Mereka memeluk Islam, namun ideologi lama masih kental. Islam akhirnya bercampur dengan paham dan pengaruh ajaran lain yang berasal dari luar Islam.
2.    Golongan lain yang berada di luar Islam juga berusaha menyerang paham tauhid umat Islam. Paratai Islam, khususnya Muktazilah kemudian berusaha membela ajaran Islam serta menanggapi berbagai isu tauhid tersebut. Orang-orang Yahudi dan Kristen dalam melonatarkan wacana teologi sering menggunakan ilmu logika. Dari sini maka Muktazilah mulai belajar ilmu logika sehingga dapat melawan mereka sesuai dengan senjata yang mereka gunakan.
3.    Para ulama kalam merasa perlu belajar ilmu filsafat dan logika agar dapat melawan paham lain tersebut.[5]
Karena partai dalam dunia Islam klasik cukup beragam, di samping ide mereka yang berkaitan dengan ilmu kalam juga sangat luas, maka di bawah ini penulis hanya akan mencantumkan secara singkat parta-partai tersebut di tinjau dari kacamata historis-sosiologis.
Latar belakang persoalan Filosofis
Bermula dari timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siap yang masih tetap dalam islam. Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-As itu kafir, karena Al-Qur’an mengatakan dalam surat Al-Maidah : 44
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah, karena ke-empat pemuka islam diatas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari islam.
Al Hasan Al-Bisri menetapkan bahwa yang menjadi anutan umum umat islam, yaitu orang yang mengerjakan dosa besar dipandang fasiq, tidak keluar dari gelanggang mu’min.
Pendapat Al-Hasan ini dibantah keras oleh muridnya Washil Ibn Atha’. Dia mengatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa besar berada diantara dua martabat. Pendapatnya ini diikuti oleh Ibn Ubaid. Karena mereka mengasingkan diri dari majlis gurunya Al Hasan atau dari pendapat umum, dinamakanlah mereka dengan mu’tazilah.
Oleh karena golongan Qadariyah dan Jabariyah tidak dapat berdiri sebagai golongan tetapi lebur dalam kelompok – kelompok lain, maka nama Qadariyah dan Jabariyah menjadi nama faham saja, tidak menjadi nama golongan. Maka Qadariyah berpindah kepada nama Mu’tazilah. Mereka juga dinamakan Qudriyah, lantaran mereka sendiri tidak menerima nama – nama itu. Mereka menanamkan dirinya dengan Ahlul ‘ad-li wat Tauhid.

Perbedaan Mendasar Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf
Posted on December 20, 2012 by taufikrahmatullah
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
 Apa sebenarnya Filsafat Islam, Ilmu Kalam dan Tasawuf itu? Apakah mereka itu sama atau berbeda? Mungkin pertanyaan ini sempat terlintas di benak kita. Seiring dengan ilmu-ilmu pengetahuan di dalam Islam yang semakin berkembang setelah wafatnya Nabi penutup Muhammad SAW, banyak ilmu-ilmu keislaman yang lahir dan melahirkan berbagai pemikiran dari para ulama hingga akhirnya umat Islam terpecah-pecah menjadi beberapa golongan dan aliran. Khususnya pada ilmu kalam, filsafat islam dan tasawuf. Lalu sebenarnya topic apakah yang mereka bahas sehingga mereka menjadi terpecah-pecah kedalam aliran-aliran Ilmu yang berbeda? Jika mereka sama-sama membahas tentang Tuhan lalu mengapa nama ilmunya berbeda-beda? Mengapa tidak sama?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kami coba jawab di dalam makalah ini, tentang bagaimana ketiga ilmu itu lahir, objek apa yang mereka bahas, metode apa yang mereka gunakan sehingga kita dapat menemukan dan mengetahui perbedaan antara ketiga ilmu itu meskipun di sisi yang lain mereka memiliki kesamaan.
2. Tujuan
Selain demi memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen kami, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk dapat mengetahui perbedaan yang mendasar antara Filsafat Islam, Ilmu Kalam, dan Tasawuf, juga untuk dapat memahami dasar-dasar pokok pembahasan dari masing-masing ketiga ilmu itu.


BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Singkat Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf Beserta Aliran-alirannya
A. Sejarah Singkat lahirnya Ilmu Kalam beserta Aliran-alirannya
Kelahiran Ilmu Kalam dilatarbelakangi oleh topik-topik pembahasan seputar Ketuhanan seperti jabr (doktrin yang menganggap bahwa Tuhan telah menetapkan sebelumnya apa yang akan terjadi, sehingga garis ketetapan itu tak dapat diubah. Dan mengenai kehendak bebas (ikhtiyar), serta topic mengenai keadilan Ilahi berlangsung di kalangan Muslim pada paro pertama abad kedua hijriah. Ada tokoh-tokoh yang senantiasa mendukung kehendak bebas (ikhtiyar) seperti Ma’bad Al-Juhani paro abad kedua pertama (wafat tahun 80 H/699 M). Dan ada juga yang menentang kehendak bebas dan lebih mendukung jabr. Kaum yang memiliki kehendak bebas dinamakan Qodariah sedangkan lawannya adalah Jabariyah. Maka berangsur-angsur pokok-pokok perselisihan antara kedua kelompok ini meluas ke bidang teologi dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan manusia dan kebangkitan, diantaranya juga masalah jabr dan ikhtiyar.[1] Maka bermunculan aliran-alirab teologi dengan dasar ajaran dan keyakinannya masing-masing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai aliran-aliran kalam :
1.    1.        Aliran Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al_syahrastani, Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Khawarij sebagai sebuah aliran teologi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisan, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Ibn Abi Thalib yang menerima kesepakatan damai sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awyiyah Ibn Abi Sufyan.
Mereka pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya dipadang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun cara berpikir. Golongan-golongan Khawarij yangterbesar menurut al-Syahrastani ada delapan. Yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Baihasiyyah, al-Ajaridah, al-Sa’alibah, al-Ibadiah dan al-Shufriyah.
a. Al-Muhakkimah.
Al-Muhakkirnah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim. Pimpinan mereka diantaranya Abdullah bin Al-Kawa, Utab bin al- A’war, Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah golongan Khawarij pertama yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibnu al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah dan menjadi kafir.
b. AI-Azariqah
Al-Azarigah adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang besar dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak di perbatasan Irak dan. Iran. Khalifah yang pertama mereka pilih adalah Nafi’ sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir al- Mu’minin. Sub sekte al-Azariqah ini sikapnya lebih radikal dari Muakimah. Mereka mengubah term kafir menjadi term musyrik.
c. Al-Najdat
            Al-Najdat adalah golongan khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diabil dari nama pemimpinnya yang bernama Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah. Mereka ini pada mulanya ingin bergabung dengan kaum Azariqah. Namun rencanan ini tidak terwujud, karena terjadi perselisihan paham antara pengikut al-Azariqah dengan al-najdat. Para pengikut Nafi’ Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid al_Tawil dan Atiah al-Hanafi dalam tidak menyetujui paham al-Azariqah yang mengatakan bahwa orang Azraqy yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik.
Najdah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan dapat menjadi kafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang, tak sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.
2. Aliran Murji’ ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Pada golongan Murji’ah yang moderat ini terdapat nama al-Hasan Ibnu Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Au Yusuf dan beberapa ahli hadis.
3. Aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu Kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang mempunyai gudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada Tuhan. Aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Qodariah dosebut juga dengan aliran Mu’tazilah.
4. Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Paham Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini tidak memilki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Aliran Jabariyah ini selanjutnya mengembangkan pahamnya sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa itu.  Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Jabariyah ini mengajarkan paham bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya berada dalam keadaan terpaksa. Manusia dianggap tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
Dalam sejarah tercatat, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah di kalangan umat Islam adalah Al-Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Mad ini kemudian disebarluaskan oleh para pengikutnya.
B. Sejarah Singkat Tasawuf beserta Aliran-alirannya
Kata tasawuf dan sufi belum dikenal pada masa awal Islam, namun tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada walaupun istilah sufi dan nama ilmu tersebut belum muncul. Ilmu kesufian atau ilmu tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh al-Qur’an dan al-Hadits dengan tujuan utama mengesakan Allah dengan amar ma’ruf nahi munkar. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyah oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya menjadi Abu Hasyim Al-Sufi. Dalam sejarah Islam sebelum muncul aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyah. Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[2]
Akan tetapi setelah tasawuf menjadi sebuah ilmu pengetahuan maka pengertian tentang tasawuf sebagai ilmu kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam, masih perlu dilihat dari tipe-tipe atau mazhab-mazhab tasawuf.  tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu; tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis. Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya agar berada sedekat  mungkin dengan Tuhan maka tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” antara manusia dengan Tuhan. Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf Syi’I dan tipe pertama disebut tasawuf Sunni. Apabila konsepnya dipandang telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam,” maka ia dikelompokkan kepada tasawuf Syi’i, sebaliknya apabila ajaran tasawuf itu masih berada dalam garis garis islam disebut tasawuf Sunni. Dalam Ilmu tasawuf terminologi tarekat tidak hanya berarti sebagai metoda tertentu atau jalan yang dapat mengantarkan seorang agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, tatpi ia juga bermakna segenap ajaran Islam adalah tarekat menuju umat menuju perjumpaan Tuhan. Tarekat dalam terminologi tasawuf adalah gaya yang ditempuh seseorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh aspek ajaran islam agar ia selalu berada dekat dengan Tuhan. Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian yang lebih bersifat akademik, maka penulis membedakan tasawuf kepada dua aliran, vaitu TASAWUF SUNNI dan TASAWUF FALSAFI.
Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf Sunni dengan tasawuf falsafi, ada sejumlah kesamaaan yang jelas disamping adanya perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari al-Quran dan sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuen. Tasawuf sunni berpendapat, bahwa antara makhluk dengan Khalik tetap ada Jarak yang terpisah sehingga tidak mungkin tumbuh karena keduanya tidak seesensi. Lain halnya dengan tasawuf falsafi, mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya.
Terjadinya perbedaan itu bersumber dari perbedaan kecenderungan dan minat terhadap pemikiran-pemikiran spekulatif filsafat. Tasawuf ini kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena mereka sudah, merasa puas dengan argumentasi yang bersifat naqli agamawi.  Nampaknya perbedaan dan sebab penamaan itu tidak terletak pada menyimpang atau tidaknya dari ajaran Islam atau karena perbedaan nilai, tetapi perbedaan itu hanyalah bersifat instrumental belaka yakni sistem pemecahan masalah. Di satu pihak membatasi diri hanya menggunakan landasan naqli, sedangkan dipihak lainnya menggunakan alat bantu yang bersifat aqli filsafati, filsafati timur, filsafat dari belahan dunia barat.
C. Sejarah Singkat Filsafat Islam beserta aliran-alirannya
Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al-rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Penerjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca oleh ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filosof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam. Dan muncullah beberapa aliran filsafat Islam. Aliran-alirannya adalah yang akan kami jelaskan sebagai berikut :
A. Aliran Paripatetik
Istilah paripatetik merujuk kepada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya. Dengan demikian istilah paripatetik ini merujuk kepada para penbgikut Aristoteles. Tokoh-tokoh yang dikategorikan dalam aliran ini diantaranya adalah al-Kindi (w.866), al-Farabi (W.9540), ibn Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (W.1196), dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274).
Ciri khas dari aliran ini adalah penjelasan yang bersifat diskursif, yakni menggunakan logika formal berdasarkan penalaran akal. Lalu sifatnya tidak langsung karena mereka menggunakan symbol dalam menangkap objek dan cirri lainnya adalah penekanan yang kuat pada daya-daya rasio.
B. Aliran Iluminasionis (Isyraqi)
Aliran ini didirikan oleh Pemikir Iran bernama Suhrawardi al-Maqtul yang dijatuhi hukuman mati karena dituduh oleh para ulama Suriah yang iri padanya bahwa ia telah menyebarkan aliran sesat.
Karakteristik dalam filsafat iluminasionis ini diantaranya adalah mementingkan posisi pengetahuan intuitif (irfani) sebagai pendamping dari penalaran rasional. Jadi Suhrawardi mensintesiskan dua pendekatan burhani dan irfani dalam sebuah system pemikiran yang solid dan holistic.
C. Aliran Irfani (Tasawuf)
Dalam perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Bahkan Suhrawardi sendiri mengatakan bahwa tasawuf merupakan fundamental bagi filsafat. Sebagaimana yang kita ketahui tasawuf didasarkan oleh pengetahuan intuitif. Persepsi intuitif berbeda dengan persepsi intelektual, karena persepsi intuitif ini bisa langsung menembus langsung jantung objeknya. Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorik:” Bisakah anda menyunting mawar dengan M.A.W.A.R?” Tidak, anda baru menyebut nama” kata Rumi, “Carilah yang empunya Nama!”
Tentu saja pertanyaan ini menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas objeknya. Menurut para sufi, “Cinta” pun tidak akan bisa dipahami oleh akal kecuali jika kita mengalaminya sendiri.
D. Aliran Hikmah Muta’aliyah
Aliran ini diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w.1641) yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat yaitu Paripatetik, Iluminasi, dan Irfani.
Filsafat hikmah percaya bukan hanya pada akal diskursif, melainkan juga pada pengalaman mistik. Namun filsafat Hikmah disini menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi public. Mulla shadra juga membicarakan antara kesatuan akal dan ma’qul. Tidak mungkin ada yang dipikirkan (al-ma’qul) kalau tidak ada yang berpikir (aqil). Maka ma’qul tidak akan menjadi yang dipikirkan kalau dilepas hubungannya dengan yang berpikir, atau kalau yang terakhir dipandang sama sekali lain daripada dirinya. Karena itu maka yang dipikir (ma’qul) haruslah sama dengan sesuatu yang bisa berpikir (‘aql), yang pada gilirannya harus sama juga dengan yang berpikir (‘aqil). Mulla Shadra juga menciptakan ajaran Wahdatul Wujud sebagaimana Ibn Arabi tetapi tentunya dengan perbedaan yang cukup signifikan.[3]
2. Pengertian dan Pembahasan Ilmu Kalam (Teologi), Filsafat Serta Tasawuf
A. Pengertian Teologi dan Objek Pembahasannya
Teologi merupakan suatu ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar tersebut biasa disebut dengan Usul al-Din, aqa’id dan disebut pula credos. Teologi dalam Islam disebut juga dengan ilmu tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monoteisme, merupakan sifat terpenting dari segala sifat-sifat Tuhan. Teologi dalam Islam disebut juga dengan Ilmu Kalam. Arti Kalam adalah kata-kata. Jika yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm kalam, karena persoalan mengenai kalam (Sabda Tuhan) atau al-Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim waktu itu. Jika yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut dengan ‘ilm kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.[4]
Ilmu Kalam membahas iman dan akidah dari berbagai aspek dan memaparkan alasan-alasan yang memperkuat pembahasan tersebut. Ilmu kalam ini merupakan studi tentang doktrin (akidah) dan iman Islam. Secara sederhana Murtadha Muthahhari mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam. Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut. karena sebagian besar perdebatan tentang akidah-akidah Islam berkisar seputar huduts (kemakhlukan, keterciptaan, temporalitas) atau qidam (keabadian) firman atau kalam Allah, maka disiplin yang membahas akidah utama agama Islam pun mendapat sebutan “ilmu kalam” (secara harfiah, ilmu firman).
B. Pengertian Filsafat Islam dan Objek Pembahasannya
Filsafat adalah usaha manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal dan universal hakikat semua yang ada, yakni meliputi hakikat Tuhan, hakikat Alam Semesta, dan hakikat manusia serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham dan pemahamannya.[5]
Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya.[6] Menurut Ahmad Fu’ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
Pendapat lain mengatakan bahwa filsafat Islam adalah filsafat Qur’aniah, yaitu filsafat yang berorientasi kepada al-Qur’an untuk mencari jawaban-jawaban mengenai masalah-masalah asasi filsafat kepada wahyu.[7] Namun penamaan istilah filsafat Islam pada dasarnya adalah karena Islam ini bukan hanya sekedar agama namun termasuk juga di dalamnya kebudayaan. Jadi pemikiran filsafat ini juga tentunya terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan.[8] Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada umumnya. Filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.
Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah:
1. Dapat menolong dan menididik, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa Ia mahluk Tuhan.
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan.
C. Pengertian Tasawuf dan Objek Pembahasannya
Tasawuf berasal dari kata shafw yang artinya bersih atau shafaa, dari kata shuffah yang artinya suatu kamar disamping mesjid Rasulullah di kota Madinatul Munawwarah, berasal dari kata shaff yang artinya barisan dikala sembahyang sholat, dari kata shaufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir, dan kaum sufi mengenakan baju berbulu seperti buah itu, dalam kesederhanaannya.[9]Tasawuf juga berasal dari kata shuf’ wol. Konon, dulu para sufi (ahli tasawuf) biasa berpakaian shuf atau bulu domba. Secara istilah tasawuf bisa disamakan dengan mystic, yaitu satu system cara bagaimana agar seseorang bisa mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan yang Mahakekal dan Mahasempurna. Hubungan ini adalah berdasarkan cinta dan kasih.[10] Ibn Khaldun berpendapat bahwa “Tasawuf adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, konsentrasi secara penuh kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjauhan diri dari kelezatan, harta dan pangkat dan pemisahan diri dari orang lain untuk menyendiri dan beribadah,”[11] yang tujuannya menurut Abd-al-Hakim Al-Hasan adalah sampai (wusul) kepada Zat Yang Haq dan atau Zat Yang Mutlak dan bersatu (ittihad) dengan-Nya.[12] Sedangkan tasawuf menurut Abu Nasar al-Sarraj adalah menghindari hal-hal yang terlarang, melakukan kewajiban-kewajiban agama dan menolak dunia. Menurut Abu Bakar al-Kalabadhi Tasawuf adalah menarik diri dari dunia, meninggalkan semua hal yang sudah mapan, terus menerus berkelana, menolak kesenangan-kesenangan hawa nafsu bagi jiwa, menyucikan perilaku dan memberikan hati nurani.[13]
Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Muslim berada sedekat mungkin dengan Allah. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Para sufi mengembangkan suatu cara bagaimana bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan yang hendak dicapainya adalah kebahagiaan, yakni dengan persatuannya dengan Kekasih. Kesengsaraan yang memilukan bagi mereka bukanlah masuk Neraka, tetapi apabila Tuhan telah menjauhi dan tidak mau bicara dengan mereka. [14] Objek kajian tasawuf adalah Tuhan (Al-Haq), yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya.
D. Korelasi antara Filsafat Islam, ilmu Kalam dan Tasawuf
1. Filsafat Islam dan Ilmu Kalam
Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran antara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli juga tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam.
Jadi Filsafat Islam bertujuan untuk menyelaraskan antara firman dan akal, ilmu pengetahuan dengan keyakinan, agama dengan filsafat serta menunjukkan bahwa akal dan firman tidak bertentangan satu sama lain. Walaupun orientasinya bersifat religius, namun isu-isu penting dalam filsafat tidak diabaikan, seperti waktu, ruang, materi, kehidupan dan masalah-masalah kontemporer.
Filsafat Islam dan ilmu kalam sangat kuat pengaruhnya satu sama lain. Kalam mencuatkan masalah-masalah baru bagi filsafat, dan filsafat membantu memperluas area, bidang, atau jangkauan kalam, dalam pengertian bahwa pembahasan tentang banyak masalah filsafat jadi dianggap penting dalam kalam. Filsafat Islam mengandalkan akal dalam mengkaji objeknya-Allah, Alam dan Manusia-tanpa terikat dengan pendapat yang ada (pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya berfungsi sebatas masukan dan relative). Nash-nash agama hanya sebagai bukti untuk membenarkan hasil temuan akal. Sebaliknya, ilmu kalam mengambil dalil akidah sebagaimana tertera dalam wahyu, yang mutlak kebenarannya untuk menguji objeknya – Allah dan sifat-sifatnya, serta hubungan dengan Allah dengan Alam dan Manusia sebagaimana tertuang dalam kitab suci – menjadikan filsafat sebagai alat untuk  membenarkan nash agama. Seperti keberadaan Allah, Filsafat Islam mengawali pembuktiannya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya diberikan oleh wahyu, sementara ilmu kalam mencari wahyu yang berbicara tentang keberadaan Allah, baru kemudian didukung oleh argumentasi akal. Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda, tapi saling melengkapi dalam memahami Islam dan pembentukan akidah Muslim.[15]
2. Filsafat dan Tasawuf
Tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah terbagi ke dalam dua bagian, yakni Tasawuf Amali/Akhlaqi dan Tasawuf Falsafi (Ibn Arabi dan Al-Hallaj). Dari pengelompokkan ini tergambar adanya unsur-unsur filsafat dalam ajaran tasawuf, seperti logika dalam penjelasan maqomat (al-fana-al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al-wujud).
Tasawuf Falsafi yang biasanya juga disebut dengan irfan yakni secara teknis diterapkan pada persepsi-persepsi khas yang ditangkap melalui pemusatan perhatian relung terdalam jiwa dan tidak melalui pengalaman inderawi dan rasional. Irfan sejati diperoleh semata-mata melalui keterikatan Allah dan ketaatan kepada segenap perintah-Nya. Keterikatan tanpa pengetahuan mustahil adanya, dan pengetahuan ini mesti bersandar pada sejumlah prinsip filsafat. Penyingkapan dan visi irfan memunculkan masalah-masalah baru untuk diuraikan dan dikupas tuntas oleh filosof, dan memperluas cakrawala pandang filsafat. Dalam pemecahan berbagai masalah dalam ilmu-ilmu kefilsafatan, visi-visi irfan bisa dianggap sebagai pendamping. Banyak hal yang terbukti secara rasional dalam filsafat, terungkap pula melalui penglihatan kalbu.[16]
Kajian-kajian Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.
3.  Hubungan Antara Ilmu Kalam, filsafat dan Tasawuf
A. Titik Persamaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam merupakan salah satu ilmu Islam yang mengkaji akidah (doktrin)[17]. Objek kajian filsafat adalah masih dalam masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-uapaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, di lihat dari objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Argumen filsafat- sebagai mana ilmu kalam- dibangun di atas logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental). Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabkan beragamannya kebenaran yang dihasilkannya.
Bagi ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuaan karena berada di luar atau di atas jangkauanya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikai berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan.
Pada intinya bahwa ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf memliki kesamaan dalam segi bojek kajiannya, yaitu tentang Tuhan dan segala yang berkaitan dengan-Nya. Namun dalam kajian objek tersebut hanya dibedakan dalam penamaannya saja. Ilmu kalam dalam objek kajiannya dikenal dengan sebutan kajian tentang Tuhan, sedangkan dalam filsafat di kenal dengan sebutan kajian tentang Wujud dan dalam ilmu tasawuf (irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya ketiga ilmu tersebut mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya.
B. Titik Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
1. Ilmu Kalam
Setelah membahas tentang persamaan dari ketiga ilmu tersebut, yaitu terdapat persamaan dalam objek kajiannya, maka akan ditemukan juga titik perbedaannya. Perbedaan di antara ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Meskipun ilmu kalam merupakan sebuah disiplin ilmu yang rasional dan logis, namun kalau dilihat adari asas-asas yang dipakai dalam argumentasinya terdiri dari dua bagian, yaitu ; Aqli dan Naqli[18]. Bagian Aqli ini terbangun dengan dasar pemikiran yang rasional murni, itupun kalau ada relevansinya dengan Naqli. Karena naqli tersebut adalah untuk menjelaskan dan menegaskan pertimbangan rasional supaya memperkuat argumen-argumennya.
2. Ilmu Filsafat
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikatat  oleh apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity). Murthadha muthahari berkata bahwa metode filsafat hanya bertumpu pada silogisme (qiyas), argumentasi rasional (istidal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli).[19]
Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam pandangan korespodensi, kebenaran adalah persesuaian antara kenyataan sebenarnya di alam nyata. Disamping kebenaran korespodensi, di dalam filsafat juga dikenal kebenaran korehensi. Dalam pandangan korehensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama umum.
Disamping dua kebenaran di atas, di dalam filsafat dikenal juga kebenaran pragmatis. Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk di kerjakan.
3. Ilmu Tasawuf
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf  bersifat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sulit dibahasan. Pengalaman rasa lebih muda dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenaranya dan mudah digambarkan dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable dapat diinterpretasikan bermacam-macam). Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau  ilham, atau inspirasi yang datang dari tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah objeknya  tidak objektif. Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional.
Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan  filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman,sosial, dan humaniora; sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.
4. Manfaat Dari Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang baru untuk mengenal rasional sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung. Dengan cara ini, orang yang telah mempunyai rasio sangat prima diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui rasionya. Adapaun tasawuf lebih perperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.
5. Tabel persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

Ilmu kajian    Objek kajian    Metodologi kajian
Kalam    Tuhan    Aqli dan Naqli
Filsafat    Wujud    Aqli (empiris)
Tasawuf (Irfan)    Al-Haq    Kasyf (pengalaman)

            Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan awal, bahwa table tersebut menjelaskan objek kajian ilmu kalam, filsafat dan tasawuf itu sama, yaitu kajian tentang Tuhan namun hanya dalam segi penamaannya saja yang berbeda. Adapun dalam segi perbedaanya jelas bahwa kalam menggunakan aqli yang diseimbangkan atau diperjelas oleh naqli, sedangkan filsafat hanya menggunakan aqli (rasional) saja, yaitu melakukan kajian secara empiris dan menggunakan akal secara prima, dan tasawuf dengan menggunakan metode rasa (rasio) dan hati (intuisi), dengan menggunakan pengalaman dengan melakukan tiga proses penting, yaitu takhali (pengosongan dir dari perbuatan buruk), tahali (penghiasan diri dengan perbuatan-perbuatan baik) dan tazali (penyucian diri).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu Kalam lahir setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Diawali dengan permasalahan pengangkatan khalifah yang selanjutnya setelah Rasulullah, hingga membahas soal jabr (takdir) dan ikhtiyar (free will). Akhirnya terpecahlah beberapa aliran yang membahas antara kedua itu dengan dalilnya masing-masing. Diantaranya adalah aliran Jabariyah dan Qodariyah. Dan akhirnya lahirlah ilmu kalam yang pokok pembahasannya adalah mengenai akidah dan Iman.
Lalu pada masa Harun ar-Rasyid (Dinasti Abbasyiah) terjadi penerjemahan buku-buku dari Yunani. Selain buku-buku pengetahuan Sains, juga terdapat buku-buku filsafat. Karena pemikiran filsafat Yunani bertentangan dengan ajaran Islam, maka akhirnya para pemikir Islam mencoba membuktikan bahwa antara agama dan filsafat itu tidak bertentangan. Dan akhirnya lahirlah ilmu filsafat Islam yang objek kajiannya adalah segala wujud yang fisik maupun metafisik. Bila berbicara tentang wujud metafisik tentu Tuhan juga termasuk objek kajian filsafat Islam ini. Maka dari situlah permasalahan ilmu kalam dan filsafat bercampur karena kedua ilmu ini sama-sama menggunakan daya penalaran (aqli) dan juga bersumber dari Kalam Allah dan Sunnah (Al-Qur’an dan Hadits). Sehingga ilmu kalam dan filsafat ini saling mempengaruhi satu sama lain dan tak terpisahkan. Akan tetapi ternyata daya akal pun tidak cukup untuk mencapai pengetauan tentang Tuhan. Maka tasawuf di sini ikut memberikan andil. Dalam tasawuf, pengetahuan hakiki tentang Tuhan sebenarnya akan diperoleh melalui perjalanan spiritual dengan tahap-tahap hingga mencapai maqom fana. Ketika sudah mencapai puncaknya maka akan ada ittihad, yakni penyatuan kita dengan Tuhan. Sehingga kita akan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan secara hudhuri dan langsung melalui pengalaman spiritual itu. Maka pengetahuan tentang Tuhan dalam tasawuf ini juga menjadi sumber pengetahuan bagi filsafat dan ilmu kalam. Mau tak mau mereka harus mengakuinya meski pengalaman itu sifatnya subjektif. Letak perbedaan ketiga ilmu ini secara umum ada pada metodenya. Jika ilmu kalam berawal dari nash dahulu dan untuk menguatkan argumennya mereka memakai penalaran akal, sedangkat filsafat sebaliknya, mereka menggunakan daya penalaran akal dulu barulah penguatan dan pembuktian argumennya itu memakai nash, sedangkan tasawuf sendiri mencapai pengetahuannya melalui intuisi.

0 komentar: