Pada ilmuwan
terus menenuaikan tugas untuk mengamati, menggolongkan, mengadakan percobaan,
dan membangun teori tentang unsur-unsur serta susunan-susunan di dalam tatanan
jasmani, demikian juga ahli antropologii terus bertugas untuk mencapai hubungan
yang penuh simpati dengan bentuk-bentuk simbolis kebudayaan, baik kebudayaan
masyarakat yang lebih luas tempat ia hidup maupun idenya, kebudayaan
masyarakat-masyarakat lainnya juga dengan tradisi-tradisi mereka yang khas.
a.
Raymond Firth
Dalam bukunya
yang berjudul Symbols : Public and Private, berdasarkan pengalamannya sendiri ia
hidup bersama dengan bangsa Tikopia dari Polynesia Barat dalam jangka waktu
yang cukup lama. Firth membicarakan secara detail simbol-simbol yang terkait
dengan tubuh dan rambut, dengan makanan dan bendera, dengan memberi dan
menerima, dengan status dan peran.
Bagi banyak
orang diantara kita, relevansi utama suatu pendekatan antropologis kepada studi
tentang simbolisme adalah usaha untuk menghadapi secara seempiris mungkin
masalah manusia yang pokok, yang disebut maalah “putus hubungan “ suatu
kesenjangan antara pernyataan tindakan secara terbuka pada permukaan dan
maknanya yang mendasari. Menurut Firth, sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau
penggugah kepatuhan-kepatuhan sosial, selain itu sebuah simbol kadang-kadang dapat
memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individualitas, meskipun
tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai
suatu acuan kepada pengallaman sosial yang lebih luas.
Dua istilah
yang digunakan oleh Firth penting artinya :”simbol” mencakup dua entitas :
“Substansi” berarti zat atau bahan yang mendasari, tidak terbagi. Suatu
pandangan hidup yang meliputi simbol-simbol bersifat binear (berpasang-pasangan),
tidak ada perpaduan kristalisasi penuh menjadi sebuah massa yang kuat padat,
melainkan antar hubungan yang tetap unsur-unsur satu sama lain. Suatu pandangan
hidup yang berdaya upaya mendefinisikan subtabsi-substansi bersifat uniter (kesatuan),
mungkin ada banyak substansi, tetapi masing-masing bersifat atomis, mandiri,
final. Maka dari itu, substansi hanyalah substansi, tidak dapat berkaitan
secara hidup dengan sesuatu yang lain dan dengan demikian tidak dapat membangun
hubungan simbolis apapun. Firth mengemukakan perbedaan antara simbol dan substansi
dengan mengajukan pertanyaan tentang etnisitas Yesus. Sejauh mana keabsahan
menggambarkan Yesus sebagai berkulit hitam dalam upaya untuk menggambarkan-Nya
secara visual? Gambaran-gambaran terkuno Sang Penebus bersifat Simbolis;
sebagai gembala atau sebagai Opheus.
b.
Mary Douglas
Dalam bukunya
Natural Symbol , Mary Douglas memberi
salah satu bab berjudul “The Two Bodies”, judul ini dengan tepat melukiskan
minat utamanya yang juga diungkapkan dalam bukunya yang lebih dulu Purity and
Danger. Ia sangat terkesan melihat hubungan erat yang ada antara tubuh manusia
dan masyarakat manusia, di semua zaman dan di semua tempat. Tubuh merupakan
analogi yang cocok sekali untuk diterapkan pada masyarakat umum: susunan, tata
kerja, dan tata hubungan antara berbagai bagian tubuh dapat disejajarkan dengan
hidup setiap masyarakat tertutup.
“Simbol-simbol
alami tidak akan ditemukan dalam butir-butir leksikal yang individual. Tubuh
jasmani dapat mempunyai makna universal hanya sebagai sistem yang menjawab
sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem yang menjawab
ssitem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem. Apa yang
disimbolkannnya secara alami adalah hubungan bagian-bagian sebuah organisme
dengan keselurukan...dua tubuh itu adalah diri sendiri dan masyarakat:
kadang-kadang keduanya sedemikian dekatnya sehinggga hampir menjadi satu,
kadang-kadang keduanya terpisah jauh. Tegangan antara keduanya memungkinkan
pengembangan makna-makna”.
Dalam
cerita-cerita dan kisah-kisah profetis perjanjian Lama, simbol-simbol yang
dominan adalah simbol-simbol pemilihan dan tujuan akhir hidup, perjanjian dan
penebusan. Tindakan-tindakan tubuh dapat saja terlibat, tetapi tekanannya
adalah pada keterbukaan kepada berkat-berkat pada masa yang akan datang
daripada kepada pola-pola yang tidak berubah.
Natural Symbols memberikan
kesaksian tentang nilai dari corak tertentu bentuk-bentuk ritual dalam
membawakan koherensi dan stabilitas kepada masyarakat: kedudukan dan batas
disimbolkan dengan tepat oleh ciri-ciri tubuh.
Minat Mary
Douglas untuk melindungi penggunaan “simbol-simbol alami” dan bentuk-bentuk
ritual tradisional dalam kehidupan sosial diungkapkan dengan sangat kuat dalam
komentar-komentarnya tentang Ekaristi Kristen.
c. Victor
Turner
Dalam buku
Victor Turner yang berjudul “The Forest of Symbols and The Ritual Process”,
membicarakan fungsi simbol dalam mengatur hehidupan sosial,ia sungguh-sungguh
menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan: penciptaan
peranan-peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi soaial
sehari-hari, munculnya kelompok-kelompok kumunal yang mempunyai
kemungkinan-kemungkinan yang mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-hasrat
bersama serta yang menata dirinya dengan cara-cara yang berbeda dari cara-cara
masyarakat luas. Ada interaksi dialektis antara masyarakat keseluruhan dan
kelompok-kelompok khusus di dalammya.
Dualitas
dalam menatur kelompok-kelompok sosial yang ia temukan disimbolkan dengan cara
yang berarti oleh praktek-praktek ritual suku-suku bangsa Ndembu yang membawa
makna rangkap.
Tidak hanya
untuk masyarakat Ndembu tetapi juga untuk banyak masyarakat suku lainnya fungsi
rangkap bentuk-bentuk simbolis ini perlu. Di satu pihak, ada penggambaran
tatanan tetap secara simbolis: tempat yang keramat atau kuil, penataan terus
menerus atas upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber dan kematian
atau dengan siklus penanggalan, perayaan gerakan-gerakan benda-benda langit. Di
lain pihak, ada tata cara simbolis yang harus dilaksanakan ketika suatu
peristiwa krisis hampir terjadi: suatu perjalanan ekspedisi berburu, perjumpaan
dengan suku lain
Victor Turner
membedakan antara simbol dan tanda: “Dalam simbol-simbol ada semacam kemiripan
(entah bersifat metafora entah bersifat metonimia) antara hal yang ditandai dan
maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai kemiripan seperti
itu,,Tanda-tanda hampir selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan
simbol-simbol-simbol, khususnya simbol yang dominan, dan dirinya sendiri
bersifat “terbuka” secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap.
Makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolekif pada
wahana-wahana simbolis yang lama. Lagi pula individu-individu dapat menambahkan
makna pribadi pada makna umum sebuah simbol”
Simbol-simbol
yang dominan memduduki tempat yang penting dalam sistem sosial manapun, sebab
makna simbol-simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan
dapat dikatakan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya.
Simbol-simbol
yang lain membentuk satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan
sekedar embel-embel: simbol-simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya
harus diturunkan dari konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol itu.
d. Clliford
Geertz
Dalam buku
yang berjudul Antropological Approaches
to the Study of Religion, yang disunting oleh Michael Banton, Geertz
menyatakan bahwa dalam praktek-praktek keagamaan yang ditelaah oleh para ahli
antropologi budaya ia membatasi usahanya pada pengembangan “matra budaya
analisis keagamaan”.
Dengan
memusatkan perhatian, pada simbol-simbol keagamaan atau yang suci, Geertz
memberikan paradigma ini; simbol keagamaan “ berfungsi mensistensiskanetos
suatu bangsa, nada, watak, mutu hidup mereka, gaya, rasa moral dan estetisnya
serta pandangan hiidup mereka, gambaran yang mereka punyai tentang cara hal
ikhwal pada adanya, gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensisf tentang
tatanan. Cara hidup dan pandangan hidup saling melengkapi, kerap kali melalui
satu bbentukk simbolis. Hal ini memberiakan gambaran tatanan yang komprehensif
dan pada waktu yang sama mewujudkan pola sintesis perilaku sosial. Ada ada
kongruensi atau kesesuaian antara gaya hidup dan tatanan universal dan hal lain
terungkap dalam sebuah simbol yang terkait dengan keduanya.
Lalu
bbagaiman dengan sebuah simbol dapat didefinisikan? Lagi, dengan mengikuti
Langer, Geertz mengajukan “ setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau
hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini
adalah ‘makna’ simbol. Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah
penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, tercerap, umum dan
konkret. Simbol- simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensistensiskan dan
mengintegrasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan
dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan
keagamaan.
0 komentar:
Posting Komentar