Jumat, 26 April 2013

Teori Tentang Simbol : Perspektif Antropologi Sosial



Pada ilmuwan terus menenuaikan tugas untuk mengamati, menggolongkan, mengadakan percobaan, dan membangun teori tentang unsur-unsur serta susunan-susunan di dalam tatanan jasmani, demikian juga ahli antropologii terus bertugas untuk mencapai hubungan yang penuh simpati dengan bentuk-bentuk simbolis kebudayaan, baik kebudayaan masyarakat yang lebih luas tempat ia hidup maupun idenya, kebudayaan masyarakat-masyarakat lainnya juga dengan tradisi-tradisi mereka yang khas.
a.       Raymond Firth
Dalam bukunya yang berjudul Symbols : Public and Private, berdasarkan pengalamannya sendiri ia hidup bersama dengan bangsa Tikopia dari Polynesia Barat dalam jangka waktu yang cukup lama. Firth membicarakan secara detail simbol-simbol yang terkait dengan tubuh dan rambut, dengan makanan dan bendera, dengan memberi dan menerima, dengan status dan peran.
Bagi banyak orang diantara kita, relevansi utama suatu pendekatan antropologis kepada studi tentang simbolisme adalah usaha untuk menghadapi secara seempiris mungkin masalah manusia yang pokok, yang disebut maalah “putus hubungan “ suatu kesenjangan antara pernyataan tindakan secara terbuka pada permukaan dan maknanya yang mendasari. Menurut Firth, sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau penggugah kepatuhan-kepatuhan sosial, selain itu sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individualitas, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengallaman sosial yang lebih luas.
Dua istilah yang digunakan oleh Firth penting artinya :”simbol” mencakup dua entitas : “Substansi” berarti zat atau bahan yang mendasari, tidak terbagi. Suatu pandangan hidup yang meliputi simbol-simbol bersifat binear (berpasang-pasangan), tidak ada perpaduan kristalisasi penuh menjadi sebuah massa yang kuat padat, melainkan antar hubungan yang tetap unsur-unsur satu sama lain. Suatu pandangan hidup yang berdaya upaya mendefinisikan subtabsi-substansi bersifat uniter (kesatuan), mungkin ada banyak substansi, tetapi masing-masing bersifat atomis, mandiri, final. Maka dari itu, substansi hanyalah substansi, tidak dapat berkaitan secara hidup dengan sesuatu yang lain dan dengan demikian tidak dapat membangun hubungan simbolis apapun. Firth mengemukakan perbedaan antara simbol dan substansi dengan mengajukan pertanyaan tentang etnisitas Yesus. Sejauh mana keabsahan menggambarkan Yesus sebagai berkulit hitam dalam upaya untuk menggambarkan-Nya secara visual? Gambaran-gambaran terkuno Sang Penebus bersifat Simbolis; sebagai gembala atau sebagai Opheus.


b.      Mary Douglas
Dalam bukunya Natural Symbol , Mary Douglas memberi salah satu bab berjudul “The Two Bodies”, judul ini dengan tepat melukiskan minat utamanya yang juga diungkapkan dalam bukunya yang lebih dulu Purity and Danger. Ia sangat terkesan melihat hubungan erat yang ada antara tubuh manusia dan masyarakat manusia, di semua zaman dan di semua tempat. Tubuh merupakan analogi yang cocok sekali untuk diterapkan pada masyarakat umum: susunan, tata kerja, dan tata hubungan antara berbagai bagian tubuh dapat disejajarkan dengan hidup setiap masyarakat tertutup.
“Simbol-simbol alami tidak akan ditemukan dalam butir-butir leksikal yang individual. Tubuh jasmani dapat mempunyai makna universal hanya sebagai sistem yang menjawab sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem yang menjawab ssitem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem. Apa yang disimbolkannnya secara alami adalah hubungan bagian-bagian sebuah organisme dengan keselurukan...dua tubuh itu adalah diri sendiri dan masyarakat: kadang-kadang keduanya sedemikian dekatnya sehinggga hampir menjadi satu, kadang-kadang keduanya terpisah jauh. Tegangan antara keduanya memungkinkan pengembangan makna-makna”.
Dalam cerita-cerita dan kisah-kisah profetis perjanjian Lama, simbol-simbol yang dominan adalah simbol-simbol pemilihan dan tujuan akhir hidup, perjanjian dan penebusan. Tindakan-tindakan tubuh dapat saja terlibat, tetapi tekanannya adalah pada keterbukaan kepada berkat-berkat pada masa yang akan datang daripada kepada pola-pola yang tidak berubah.
Natural Symbols memberikan kesaksian tentang nilai dari corak tertentu bentuk-bentuk ritual dalam membawakan koherensi dan stabilitas kepada masyarakat: kedudukan dan batas disimbolkan dengan tepat oleh ciri-ciri tubuh.
Minat Mary Douglas untuk melindungi penggunaan “simbol-simbol alami” dan bentuk-bentuk ritual tradisional dalam kehidupan sosial diungkapkan dengan sangat kuat dalam komentar-komentarnya tentang Ekaristi Kristen.

c. Victor Turner
Dalam buku Victor Turner yang berjudul “The Forest of Symbols and The Ritual Process”, membicarakan fungsi simbol dalam mengatur hehidupan sosial,ia sungguh-sungguh menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan: penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi soaial sehari-hari, munculnya kelompok-kelompok kumunal yang mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-hasrat bersama serta yang menata dirinya dengan cara-cara yang berbeda dari cara-cara masyarakat luas. Ada interaksi dialektis antara masyarakat keseluruhan dan kelompok-kelompok khusus di dalammya.
Dualitas dalam menatur kelompok-kelompok sosial yang ia temukan disimbolkan dengan cara yang berarti oleh praktek-praktek ritual suku-suku bangsa Ndembu yang membawa makna rangkap.
Tidak hanya untuk masyarakat Ndembu tetapi juga untuk banyak masyarakat suku lainnya fungsi rangkap bentuk-bentuk simbolis ini perlu. Di satu pihak, ada penggambaran tatanan tetap secara simbolis: tempat yang keramat atau kuil, penataan terus menerus atas upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber dan kematian atau dengan siklus penanggalan, perayaan gerakan-gerakan benda-benda langit. Di lain pihak, ada tata cara simbolis yang harus dilaksanakan ketika suatu peristiwa krisis hampir terjadi: suatu perjalanan ekspedisi berburu, perjumpaan dengan suku lain
Victor Turner membedakan antara simbol dan tanda: “Dalam simbol-simbol ada semacam kemiripan (entah bersifat metafora entah bersifat metonimia) antara hal yang ditandai dan maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai kemiripan seperti itu,,Tanda-tanda hampir selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan simbol-simbol-simbol, khususnya simbol yang dominan, dan dirinya sendiri bersifat “terbuka” secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap. Makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolekif pada wahana-wahana simbolis yang lama. Lagi pula individu-individu dapat menambahkan makna pribadi pada makna umum sebuah simbol”
Simbol-simbol yang dominan memduduki tempat yang penting dalam sistem sosial manapun, sebab makna simbol-simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan dapat dikatakan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya.
Simbol-simbol yang lain membentuk satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan sekedar embel-embel: simbol-simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol itu.
d. Clliford Geertz
Dalam buku yang berjudul Antropological Approaches to the Study of Religion, yang disunting oleh Michael Banton, Geertz menyatakan bahwa dalam praktek-praktek keagamaan yang ditelaah oleh para ahli antropologi budaya ia membatasi usahanya pada pengembangan “matra budaya analisis keagamaan”.
Dengan memusatkan perhatian, pada simbol-simbol keagamaan atau yang suci, Geertz memberikan paradigma ini; simbol keagamaan “ berfungsi mensistensiskanetos suatu bangsa, nada, watak, mutu hidup mereka, gaya, rasa moral dan estetisnya serta pandangan hiidup mereka, gambaran yang mereka punyai tentang cara hal ikhwal pada adanya, gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensisf tentang tatanan. Cara hidup dan pandangan hidup saling melengkapi, kerap kali melalui satu bbentukk simbolis. Hal ini memberiakan gambaran tatanan yang komprehensif dan pada waktu yang sama mewujudkan pola sintesis perilaku sosial. Ada ada kongruensi atau kesesuaian antara gaya hidup dan tatanan universal dan hal lain terungkap dalam sebuah simbol yang terkait dengan keduanya.  
Lalu bbagaiman dengan sebuah simbol dapat didefinisikan? Lagi, dengan mengikuti Langer, Geertz mengajukan “ setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah ‘makna’ simbol. Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, tercerap, umum dan konkret. Simbol- simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensistensiskan dan mengintegrasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.

0 komentar: