I. Pendahuluan
Sejarah periwayatan hadis berbeda
dengan sejarah periwayatan al-Qur’an. Pernyatan al-Qur’an dari Nabi kepada para
sahabat berlangsung secara umum. Para sahabat, di samping ada yang menghafalnya
juga banyak yang mencatatnya, baik atas perintah dari Nabi atau inisiatif
sendiri. Setelah Nabi wafat, periwayatan al-Qur’an berlangsung secara mutawatir
dari zaman ke zaman. Periwayatan ini bukan hanya secara lisan (hafalan)
melainkan juga secara tertulis. Periwayatan dalam bentuk tertulis dan
penghimpunan seluruhnya secara resmi dilaksanakan pada masa khalifah Usman
dengan tujuan untuk keseragaman bacaan. Melihat proses periwayatan al-Qur’an
begitu rumit dan selektif maka sangat sulit bagi orang-orang yang tidak
bertanggung jawab untuk mengadakan pemalsuan. Periwayatan hadis berlangsung
secara ahad dan hanya sebagaian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir. Sementara
itu Nabi memang pernah pula melarang para sahabat untuk menulis hadis. Nabi
pernah memerintahkan para sahabat saat itu agar menghapus seluruh catatan
selain catatan al-Qur’an. Namun dalam kesempatan lain Nabi pernah juga menyuruh
para sahabat agar menulis hadis. Nabi menyatakan bahwa apa yang keluar dari
lisannya adalah benar. Oleh karena itu, beliau tidak keberatan bila hadis yang
diucapkannya ditulis.
Kebijakan Nabi
di atas berakibat hanya sebagian periwayatan hadis saja yang berlangsung secara
tertulis pada zaman Nabi. Dengan demikian hadis yang berkembang pada zaman Nabi
lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tertulis. Hal ini
berakibat bahwa dokumentasi hadis Nabi secara tertulis belum mencakup seluruh
hadis yang ada. Selain itu tidaksemua hadis yang telah dicatat telah
dikonfirmasikan kepada Nabi. Hal ini berlanjut bahwa hadis nabi tidak terhindar
dari kemungkinan kesalahan dalam periwayatan. Ini berarti pula, bahwa hadis
yang didokumentasikan secara tertulis dan secara hafalan harus diteliti baik
sumber periwayatannya (sanad) maupun kandungan beritanya (matan).
Berkaitan dengan
tujuan di atas, maka kegiatan pendokumentasian hadis sebagai kegiatan
penelitian hadis telah berlangsung dari zaman ke zaman dengan karakteristiknya
masing-masing. Pendokumentasian hadis sebagai langkah awal penelitian hadis
mendapat pijakan untuk pertama kalinya ketika adanya perintah resmi dari
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/720 M) salah seorang penguasa yang bijaksana
dari Dinasti Umayyah, untuk mengumpulkan seluruh hadis yang berada di
masing-masing daerah. Ulama hadis yang berhasil mengumpulkan hadis dalam satu
kitab waktu itu adalah Syihab al-Din al-Zuhri (w. 724 H/742 M), seorang ulama
hadis terkenal di wilayah Hijaz dan Syam.
Kajian
penghimpunan hadis terus berjalan. Sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah
muncul berbagai kitab kumpulan hadis (hadis riwayah) di berbagai daerah, antara
lain karya Abd al-Malik bin Juraij aal-Bisri, Malik bin Anas, dan lain-lain.
Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis-hadis Nabi, akan tetapi juga
memuat berbagai fatwa sahabat maupun tabi’in, dengan kualitas yang
bermacam-macam yaitu sahih, hasan dan dhaif.
Masa berikutnya
ulama menyusun kitab-kitab hadis berdasarkan nama-nama para sahabat yang
meriwayatkan hadis yang disebut dengan al-musnad. Ulama yang mula-mula
menyusunnya adalah Abu Dawud bin al-Jarud al-Tayalisi (w.204 H), kemudian
diikuti oleh ulama-ulama hadis lainnya seperti Abu Bakr bin Zubair al-Humaidi
(w.219 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 242 H). Ulama beikutnya sekitar
pertengahan abad ke-3 H. berusaha mensistematisasi kitab-kitab hadis yang
secara khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas sahih menurut
kriteria penyusunnya, misalnya al-Bukhari yang dikenal dengan Kitab al-Jami’
al-Sahih atau Shahih al-Bukhari, Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi dengan karyanya
al-Jami’ al-Sahih atau Sahih Muslim. Masih dalam era yang sama bermunculan pula
berbagai kitab hadis yang sitematikanya persis dengan bab-bab fiqih. Dengan
metode inilah kitab Sunan al-Nasa’i disusun, kitab yang menjadi objek
pembahasan dalam tulisan ini, selain kitab hadis Abu Dawud al-Sijistani, Abu
Isa al-Turmuzi, dan Ibn Majah al-Qazwaini.
Berkaitan dengan
kitab Sunan al-Nasa’’i, melihat kepada kualitas hadis yang diriwayatkan, ada
ulama yang berpendapat bahwa kualitas kitabnya melebihi Kitab Sahih Muslim
seperti yang dikemukakan oleh Al-Hafiz Abu Ali. Ia memberikan komentar bahwa
persyaratan yang dibuat oleh Imam an-Nasa’`i bagi para perawi hadis jauh lebih
ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh Imam Muslim. Untuk
mengetahui lebih jelas tentang kitab hadis ini, maka dalam tulisan ini, penulis
mencoba untuk menguraikan isi kitab tersebut dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
II. Setting Historis Imam al-Nasa’i
A. Nama dan Tanggal Lahir
Imam al-Nasa’i nama lengkapnya
adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali Bin Sinan bin Bahr bin Dinar, dan diberi gelar
dengan Abu Abd al-Rahman al-Nasa’’i. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di kota
Nasa’ yang masih termasuk wilayah Khurasan. Kepada tempat kelahiran beliau
inilah namanya dinisbatkan.
Penamaan kota Nasa’i
ini erat kaitannya dengan sejarah penaklukan daerah tersebut. Ketika pasukan
Islam hendak menyerbu negeri Khurasan, mereka harus melewati desa ini. Sewaktu
penduduk desa mendengar akan datangnya pasukan Islam, maka semua kaum lelakinya
melarikan diri dan meninggalkan desa sehingga ketika pasukan Islam datang ke
desa ini, mereka mendapatkan penduduknya hanya tinggal kaum wanita saja.
Melihat keadaan ini pasukan Islam berteriak-teriak dengan mengatakan penduduk
kota ini hanya kaum wanita saja yang dalam Bahasa Arab-nya disebut dengan
al-Nisa. Keadaan ini membuat pasukan Islam tidak jadi memerangi penduduk desa
yang tinggal hanya kaum wanitanya saja. Maka sejak itu desa tersebut dikenal
dengan sebutan Nasa’i . Di kota Nasa’i ini beliau tumbuh melalui masa
kanak-kanaknya, dan di sini juga beliau memulai aktifitas pendidikannya dengan
mulai menghafal al-Qur’an dan menerima berbagai disiplin keilmuan dari
guru-gurunya. Tatkala beliau sudah menginjak usia remaja, timbul keinginan
dalam dirinya untuk mengadakan pengembaraan dalam rangka mencari hadis Nabi.
Maka ketika usianya menginjak 15 tahun, mulailah beliau mengadakan perjalanan
ke daerah Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan daerah-daerah lainnya yang masih berada
di Jazirah Arabia untuk mendengarkan dan mempelajari Hadis Nabi dari
ulama-ulama negeri yang beliau kunjungi. Dengan usaha yang sungguh-sungguh ini,
tidaklah heran kalau beliau sangat piawai dan unggul dalam disiplin ilmu hadis,
serta sangat menguasai dan ahli dalam ilmu tersebut.
Setelah menjadi
ulama hadis, beliau memilih negara Mesir sebagai tempat bermukim untuk
menyiarkan dan mengajarkan hadis-hadis kepada masyarakat. Beliau tinggal di
Mesir ini sampai setahun sebelum beliau wafat, karena setahun menjelang beliau
wafat ia pindah ke Damaskus. Di sinilah terjadi suatu peristiwa yang sangat
menyedihkan yang sekaligus merupakan sebab kematiannya. Beliau meninggal pada
tahun 303 H.
Beliau wafat
pada hari Senen, tanggal 13 Bulan Syafar, tahun 303 H. (915 M) di al-Ramlah.
Setahun sebelum ia meninggal dunia, ia pindah dari Mesir ke Damaskus. Di kota
inilah beliau menulis kitab al-Khasa’is Ali bin Abi Talib (Keistimewaan Ali bin
Abi Talib) yang di dalamnya menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan Ali
bin Abi Thalib menurut hadis. Ia menulis kitab ini, agar penduduk Damaskus
tidak lagi membenci dan mencaci Ali. Ketika ia membacakan hadis-hadis tentang
keutamaan Ali tersebut di hadapan orang banyak, beliau diminta pula untuk menjelaskan
keutamaan Mu’awiyah bin Abi Syofyan. Akan tetapi ia dengan tegas menjawab bahwa
ia tidak mengetahui adanya hadis yang menyebut keutamaan Mu’awiyah. Oleh
pendukung Bani Umayyah ia dianggap berpihak kepada golongan Ali bin Abi Talib
dan menghina Mu’awiyah, karena itu ia dianiaya dan dipukuli oleh pendukung Bani
Umayyah. Ada yang menyebutkan, bahwa dalam kepayahan dan keadaan sekarat akibat
penganiayaan tersebut, ia dibawa ke negeri Ramlah-Palestina dan meninggal di
sana lalu dikuburkan di Damaskus. Namun menurut versi yang lain dan inilah yang
paling banyak dianut orang bahwa beliau dibawa ke Mekkah, kemudian dikuburkan
di antara Safa dan Marwa di Mekkah. Ia meninggal pada Tahun 303 H. atau 915 M.
dalam usia 85 atau 88 tahun.
B. Sifat-sifatnya.
Dari segi fisik,
al-Nasa’i dikenal sebagai seorang imam
hadis yang mempunyai wajah yang cukup ganteng, kulit yang putih hingga
kemerah-merahan. Dalam kehidupan rohani, ia dikenal sangat rajin dan selalu
melaksanakan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan. Ia juga dikenal sebagai
orang yang sungguh-sungguh dalam beribadah baik pada waktu malam maupun siang
hari, melaksanakan ibadah puasa sunat dan puasa dawud dengan satu hari puasa
dan tidak berpuasa pada hari berikutnya secara berselang seling terus menerus,
serta melakukan haji secara kontinyu setiap tahunnya. Begitu juga dalam
berjihad (perang), juga selalu beliau ikuti bersama-sama dengan umat Islam.
Ketika terjadi peperangan di Mesir, beliau turut serta dalam membela agama
Islam dan sunnah Nabi bersama-sama dengan Gubernur Mesir dengan mencurahkan
segala daya intelektualnya dan keberaniannya. Dalam suasana peperangan
tersebut, beliau masih sempat meluangkan waktu untuk mengajarkan hadis Nabi SAW
kepada Gubernur dan para prajurit. Dengan modal keberanian dan keteguhan hati
beliau inilah, beliau berhasil menjadi ulama yang besar dengan tetap selalu
menyebarkan ilmu dan pengetahuan pada masyarakat.
C. Guru-guru dan Murid-muridnya
Imam al-Nasa’i menerima dan mempelajari
berbagai macam hadis dari guru-guru beliau yang jumlahnya sangat banyak. Hal
ini dapat dipahami karena beliau sering mengadakan perjalanan ke berbagai
daerah dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan mengenai hadis
Nabi. Di antara guru-guru beliau dapat disebutkan seperti Ishaq bin Rahawaih,
Hisyam bin Ammar, Muhammad bin al-Nadr bin Musawar, Suwaid bin Nasr, Isa bin Hammad
Zugbah, Ahmad bin Ubadah al-Dibbi, Abi Tahir bin al-Sarh, Ahmad bin Muni Ishaq
bin Syahin, Basyar bin Mu’az al-Aqdi, Basyar bin Hilal al-Sawwaf, Tamim bin
al-Muntasir, al-Haris bin Miskin, Al-Hasan bin al-Sabbah, al-Bazzar, Humaid bin
Mas’adah, Ziyad bin Ayyub, Ziyad bin Yahya al-Hasani, Suwar bin Abdullah al-Anbari,
Abbas bin Abdil Azim al-Anbari, Abi Husain Abdillah bin Ahmad al-Yaribu’i, Abdul
A’la bin Wasil, Abdul Jabbar bin al-’Ula’ al-’Ithar, Abdur Rahman bin
Ubaidillah bin Sa’id, Utbah bin Abdullah al-Halabi, Ibnu Akhi al-Imam, Abdul
Muluk bin Syua’aib bin al-Lais, Ubadah bin Abdillah al-Saffar, Abi Qudamah
Ubaidillah bin Sa’id, Utbah bin Abdillah al-Marwazi, Ali bin Hajar, Ali ibn Sa’id
bin Masruq al-Kindi, Ammar bin Khalid al-Wasiti, Imran bin Musa al-Qazaz, Umar
bin Zurarah al-Kalabi, Umar bin Usman al-Himsa, Umar bin Ali al-Fallas, Isa bin
Muhammad bin al-Ramli, Isa bin Yunus bin al-Ramli, Kasir ibn Ubaid, Muhammad
bin Iban al-Balkhi, Muhammad bin Adam al-Musisi, Muhammad bin Isma’il ibn Ulyah,
Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Manzur al-Maki, Muhammad bin Sulaiman Lawwin,
Muhammad bin Abdullah bin Ammar, Muhammad bin Abdullah al-Mukhrami, Muhammad
bin Abdil Aziz bin Abi Razmah, Muhammad bin Abdul Maluk bin Abi al-Syawarib,
Muhammad bin Ubaid al-Muharibi, Muhammad bin al-Ala’ al-Hamdani, Muhammad bin
Qudamah al-Musisi al-Jauhari, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Musaffa,
Muhammad bin Ma’mar al-Qisi, Muhammad bin Musa al-Harasyi, Muhammad ibn Hasyim
al-Ba’labaki, Abi al-Ma’afi Muhammad bin Wahab, Mujahid bin Musa, Mahmud bin
Ghailan, Mukhallid bin Hasan al-Harani, Nasr bin Ali al-Juhdami, Harun bin
Adbillah al-Hummal, Himad bin al-Siri, Haisam bin Ayyub al-Talaqani, Wasil bin
Abdul A’la, Wahab Bayan, Yahya bin Darasat al-Basri, Yahya bin Musa, Ya’kub
al-Dairaqi, Ya’qub bin Mahan al-Bina Yusuf bin Himad al-Ma’na, Yusuf bin Isa
al-Zuhri, Yusuf bin Wadih al-Mu’addib.
Adapun
murid-muridnya dapat disebutkan juga, antara lain Abu Basyar al-Daulabi, Abu Ja’far
al-Tahawi, Abu Ali al-Nisaburi, Hamzah bin Muhammad al-Kinani, Abu Ja’far Ahmad
bin Muhammad ibn Isma’il al-Nuhas al-Nahwi, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad ibn
al-Hadad al-Syafi’i, Abdul Karim bin Abi Abdirrrahman al-Nasa’i Hasan bin
al-Khadr al-Asuti, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin al-Sunni, Abu al-Qasim
Sulaiman bin Ahmad al-Tabrani, Muhammad bin Mu’awiyah bin al-Ahmar al-Andalusi,
Hasan bin Rasyiq, Muhammad bin Adullah bin Hawaih an-Nisaburi, Muhammad bin
Musa al-Ma’muni dan Abyad bin Muhammad bin Abyad.
D. Pengakuan Ulama Hadis Atas
Kapasitas Keilmuannya.
Imam al-Nasa’i telah
diakui keutamaan, keahlian, dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadis oleh
murid-murid beliau dan ulama-ulama lain yang datang sesudah generasi
murid-muridnya. Hal ini terbukti dari perkataan beberapa ulama, seperti berikut
ini:
1. Makmun al-Misri
al-Muhaddis: Kami pergi bersama dengan al-Nasa’i menuju Tharsus pada saat penaklukan.
Pada saat tersebut, berkumpul sekelompok imam-imam yang telah diakui
keilmuannya seperti Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ibrahim Murabbi
Abu al-Azan, Kiljah, lalu mereka mengadakan musyawarah untuk menetapkan siapa
yang menjadi pemimpin mereka, dan mereka memilih dan menetapkan Abdurrahman an-Nasa’i
sebagai pemimpin.
2. Murid al-Nasa’i, Abu Ali an-Nisaburi al-Hafiz suatu saat ia
berkata: al-Nasa’i adalah seorang Imam yang tidak diragukan lagi keahliannya
dalam bidang ilmu hadis.
3. Murid beliau, Abu Bakar al-Hadad asy-Syafi’i berkata saya telah
rela dan ikhlas an-Nasa’i menjadi hujjah antara aku dan Allah swt.
4. Dua orang muridnya yang lain, Mansur bin Isma’il al-Faqih dan
Abu Ja’far at-Tahawi berkata bahwa Al-Nasa’i merupakan salah seorang pemimpin
(dalam bidang ilmu hadis) di kalangan umat Islam.
5. Al-Hafiz Abu Sa’id bin Yunus berkata bahwa Imam al-Nasa’i adalah
seorang ulama yang telah diakui keilmuannya, ke-siqah-annya dan kekuatan
hafalannya.
6. Al-Qasim al-Mutarrir berkata bahwa Imam al-Nasa’i adalah seorang
Imam atau dapat juga dikatakan bahwa beliau berhak untuk dianggap sebagai
seorang imam dalam bidang ilmunya.
7. Al-Dar al-Qutni mengatakan bahwa Imam al-Nasa’i adalah orang
yang didahulukan selangkah dalam bidang ilmu hadis pada masanya ketika orang
membicarakan keilmuan hadis. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan statemen
Hamzah as-Sahmi yang bertanya pada al-Dar al-Qutni tentang siapa yang harus
didahulukan antara Abdurrahman an-Nasa`i dan Ibn Huzaimah ketika keduanya
sama-sama membacakan sebuah hadis, lalu al-Dar al-Qutni menjawab: Tidak ada
orang yang menyamai dan didahulukan dari pada Abu Abdurrahman (al-Nasa’i) dalam
bidang ilmu hadis, tidak ada orang yang wara’ seperti dia, dia adalah syekh di
Mesir yang paling pintar pada masanya dan yang paling mengetahui dan mengerti
tentang ilmu hadis.
8. Al-Khalili berkata bahwa al-Nasa’i adalah seorang yang hafiz
mutqinun, telah diakui kekuatan hafalannya dan kepintarannya, dan pendapatnya
sangat diandalkan dalam ilmu jarah dan ta’dil.
9. Ibnu Nuqtah berkata: al-Nasa’i adalah salah seorang tokoh dalam
bidang ilmu hadis.
10. Al-Zahabi: al-Nasa’i adalah ulama yang padanya terkumpul lautan
ilmu, disertai pemahaman dan kepintaran, dan sangat kritis terhadap seorang
rawi serta mempunyai karangan yang sangat baik, dan banyak berdatangan para
hafiz kepadanya. Selanjutnya beliau mengatakan juga bahwa tidak ada di antara
tiga ratus orang yang lebih hafal selain dari an-Nasa’i karena dia merupakan
orang yang paling tajam pengetahuannya dalam bidang hadis, paling tahu mengenai
cacat hadis dan rawi yang meriwayatkannya jika dibandingkan dengan Muslim, Abu
Dawud, Abu Isa, serta dia merupakan penolong bagi kesamaran dan ketidakjelasan
yang ada pada al-Bukhari dan Abi Zur’ah.
11. Ibnu Kasir: Al-Nasa’i adalah seorang Imam pada masanya dan orang
yang paling utama dalam bidangnya.
Berdasarkan
pengakuan para ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepiawaian al-Nasa’i
tampak dalam berbagai bidang ilmu yang dapat dikelompokkan dalam:
1. Ilmu Hadis. Dalam bidang ilmu ini, kepiawaian an-Nasa’i telah
diakui oleh Bukhari dan orang-orang yang setingkat dengannya di kalangan
tokoh/pembesar ilmu hadis. Dalam bidang ini, ia mempunyai pengetahuan yang
sangat luas sehingga ia dijadikan sebagai tempat pencari petunjuk. Di samping
itu ia juga dianggap sebagai pemimpin dalam bidang ilmu ini. Sehingga ia
dijadikan sebagai orang yang akan mengarahkan kepada jalan kebenaran. Di
samping itu juga, ia mempunyai pengetahuan yang luas serta pemahaman yang
mendalam terhadap sanad-sanad hadis, perbedaan rawi dan perbedaan cara
pengungkapan hadis, sehingga ia dapat mentashih dan memperbaikinya.
2. Ilmu Jarah-Ta’dil dan ilmu yang berhubungan dengan rawi. Dalam
bidang ilmu ini, ia dikenal sebagai kritikus yang sangat teliti yang tiada
bandingannya. Ia men-jarah dan mentadil dengan ungkapan yang sangat sopan dan
jelas. Para ahli dalam bidang ilmu ini sesudahnya, sangat tergantung kepada
pernyataan beliau, dan menempatkan pendapatnya pada tingkatan yang tinggi dan
sangat mulia. Hal ini dikarenakan, beliau memberikan syarat yang sangat ketat
dalam hal diterima atau tidaknya periwayatan seorang rawi, jika dibandingkan
dengan Imam Bukhari dan Muslim. Oleh karena ini, maka dia dianggap sebagai
orang yang sangat ketat dalam menerima periwayatan suatu hadis, dan atas dasar
ini pula Abu Ya’li al-Khalili menyatakan bahwa pendapat Imam an-Nasa’i dalam
men-jarah dan men-ta’dil seorang rawi sangat dipercaya.
3. Ilmu Ilal al-Hadis. Jalan untuk menguasai ilmu ini adalah
pengetahuan yang luas terhadap sanad-sanad periwayatan hadis,
perbedaanperbedaan periwayatan antara hadis yang satu dengan yang lain serta
pengetahuan yang dalam tentang tingkatan para rawi. Dalam hal ini, al-Nasa’i sangat
menguasai ketiga bidang ini, sehingga dengan demikian, ia dikatakan juga imam
dalam bidang ilmu ilal al-hadis.
4. Ilmu al-Fiqh (pemahaman) Hadis. Dalam hal ini, Imam al-Daru
Qutni mengatakan bahwa Imam al-Nasa’i adalah syekh Mesir yang paling paham tentang
makna suatu hadis pada masanya. Demikian juga al-Hakim, beliau menyatakan bahwa
perkataan (pendapat) anNasa’i tentang pemahaman suatu hadis sangat banyak,
barang siapa yang memperhatikan Kitab Sunan-nya maka dia akan sangat kagum
dengan pendapat yang beliau kemukakan. Inilah kesaksian dan pengakuan yang
disampaikan oleh dua imam besar yang telah mengakui keutamaan dan
kepemimpinannya dalam bidang fiqih. Hal ini semakin meyakinkan orang akan
kedudukannya sebagai hakim. Khusus dalam bidang fiqih ini, al-Nasa’i tidak bisa
diidentifikasi dalam hal mazhabnya jika dilihat dalam struktur mazhab yang
empat. Akan tetapi, pengikut syafi’i mengklaim bahwa al-Nasa’I menganut mazhab
syafi’i. Hal ini mungkin disebabkan oleh domisili tetapnya di Mesir yang mayoritas
penduduknya menganut mazhab syafi’i, dan menerima pelajaran dari imam-imam
bermazhab syafi’i serta mendengarkan pelajaran dari mereka.
E. Karya-karyanya.
Imam an-Nasa’i
mempunyai beberapa buku karangan, dapat disebutkan di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Al-Sunan al-Kubra.
2. Al-Sunan al-Sugra, yang dinamakan juga dengan kitab al-Mujtaba`.
Kitab ini merupakan ringkasan dari isi kitab al-Sunan al-Kubra.
3. Musnad Malik
4. Manasik al-Hajj.
5. Kitab al-Jum’ah.
6. Igrab Syu’bah Ali Sufyan
wa Sufyan Ali Syu’bah.
7. Khasa’is Ali bin Abi Talib Karam Allah Wajhah, dan
8. Amal al-Yaum wa al-Lailah.
M. Ajaj
al-Khatib menyebutkan dalam bukunya usul Hadits bahwa al-Nasa’i mengarang lebih
kurang 15 buah buku dalam bidang ilmu hadis dan yang paling utama dan masyhur
di antaranya adalah Kitab al-Sunan. (Sunan al-Kubra), yang akhirnya terkenal
dengan sebutan nama Sunan an-Nasa’i. Kitab Sunan ini adalah kitab hadis yang
derajatnya terletak setelah Kitab Sahihain dalam hal kitab yang paling sedikit
hadis da’ifnya, akan tetapi paling banyak perulangannya. Misalnya hadis tentang
niat, diulangnya sampai dengan enam belas kali. Setelah Imam al-Nasa’i selesai
mengarang kitabnya al-Sunan (al-Sunan al-Kubra), lalu beliau memberikannnya kepada
Amir al-Ramlah. Karena di dalamnya masih terdapat berbagai macam hadis yang
belum teridentifikasi, apakah termasuk hadis sahih, hasan atau dhaif, Amir
meminta beliau untuk menyeleksi hadis-hadis yang ada pada kitab tersebut dengan
hanya memasukkan hadis-hadis yang sahih saja. Atas permintaan Amir tersebut,
beliau berhasil menyeleksi hadis-hadis yang ada pada kitabnya dengan hanya
memasukkan hadis sahih saja dalam bentuk sebuah kitab, dan beliau menamakannya
dengan kitab al-Sunan al-Sugra, atau dinamakan juga dengan kitab al-Mujtaba min
al-Sunan, dan disebut juga dengan kitab al-Mujtaba. Walaupun ada perbedaan
pendapat dalam penamaannya, akan tetapi semuanya mengacu pada satu kitab yaitu
Kitab al-Sunan seperti yang kita kenal sekarang ini.
Dengan
demikian, kitab al-Sunan al-Sugra ini merupakan kitab yang memuat hadis dha’if
yang paling sedikit setelah Sahih Bukhari dan Muslim. Kitab al-Sunan al-Sugra
inilah yang ada pada kita sekarang ini yang kita kenal dengan kitab Sunan an-Nasa’i.
Kitab ini juga yang menjadi pegangan para Muhaddisin dalam meriwayatkan hadis dari
an-Nasa’i. Di dalamnya terdapat 5761 koleksi hadis Nabi.
III. Kitab Sunan Al-Nasa’i
Telah disebutkan
di atas bahwa al-Nasa’i telah menyusun kira-kira 15 buah karya besar yang
berhubungan dengan bidang keilmuan hadis dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan
dengan hadis, dan di antara karyanya yang paling terkenal adalah Kitab
al-Sunan. Dalam menyebutkan hadis di dalam kitabnya, al-Nasa’i tidak
menyebutkan satu hadis pun dari orang yang notabennya ditolak periwayatannya
oleh ulama-ulama hadis dan tidak mempercayai periwayatannya, sehingga dengan demikian
kitabnya hanya berisi hadis sahih, hasan dan daif. Khusus dalam kitab hadis
al-Sunan (dikenal dengan Sunan an-Nasa’i) yang merupakan ringkasan dan seleksi
dari kitab al-Sunan al-Kubra, tidak terdapat hadis yang berkualitas daif dan
kalaupun ada, itu sangat kecil jumlahnya dan sangat jarang sekali.
Kitab al-Sunan
ini sederajat dengan sunan Abu Daud, atau sekurang-kurangnya mendekati satu
tingkatan kualitas yang sama dengan sunan Abu Daud, dikarenakan al-Nasa’i sangat
teliti dalam meriwayatkan dan menilai suatu hadis. Hanya saja, karena Abu Daud
lebih banyak perhatiannya kepada matan-matan hadis yang ada tambahannya, dan
lebih terfokus pada hadis-hadis yang banyak diperlukan oleh para fuqaha, maka
sunan Abu Daud lebih diutamakan sedikit dari Sunan An-Nasa’i. Oleh karenanya,
Sunan Al-Nasa’i ditempatkan pada tingkatan kedua setelah Sunan Abu Dawud dalam
deretan kitab-kitab hadis as-Sunan.
IV. Metode Penyusunan dan
Sistematika Kitab Sunan an-Nasa’i.
Imam al-Nasa’i dikenal
sebagai ulama hadis yang sangat teliti terhadap hadis dan para rawi. Ini
terbukti dalam menetapkan kriteria sebuah hadis yang dapat diterima atau
ditolak sangat tinggi, begitu juga halnya dengan penetapan kriteria seorang
rawi mengenai siqah atau tidaknya. Dalam hal ini, Al-Hafiz Abu Ali memberikan
komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh Imam al-Nasa’i bagi para perawi
hadis jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh
Imam Muslim. Demikian pula Al-Hakim dan Al-Khatib mengatakan komentar yang
kurang lebih sama dengan mengatakan bahwa sesungguhnya syarat yang dibuat oleh
Imam al-Nasa’i lebih ketat dari persyaratan yang dibuat oleh Imam Muslim,
sehingga ulama Maghrib lebih mengutamakan sunan al-Nasa’i daripada Shahih al-Bukhari.
Begitu
selektifnya al-Nasa’i dalam menetapkan sebuah kriteria seorang rawi, beliau
berhasil menyusun sebuah kitab yang cukup berharga dan sangat besar dengan nama
al-Sunan al-Kubra. Karena di dalamnya belum mengadakan pemisahan antara hadis
da’if, hasan dan sahih, maka beliau akhirnya mengarang sebuah kitab yang
bernama al-Mujtaba’ yang merupakan hasil seleksi dari kitab Sunan al-Kubra, dan
isinya hanya terdiri dari hadis sahih saja. Kitab al-Mujtaba’ inilah yang
akhirnya kita kenal sekarang dengan nama Sunan an-Nasa’i.
Dilihat dari
namanya, maka kita akan segera tahu bahwa kitab hadis an-Nasa’i ini disusun
berdasarkan metode sunan. Kata sunan adalah jamak dari kata sunnah yang
pengertiannya juga sama dengan hadis. Seementara itu yang dimaksud dengan
metode sunan di sini adalah metode penyusunan kitab hadis berdasarkan
klasifikasi hukum Islam (abwab alfiqhiyyah) dan hanya mencantumkan hadis-hadis
yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja (hadis marfu‘). Bila terdapat
hadis-hadis yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tabi’in (maqtu‘), maka
relatif jumlahnya hanya sedikit. Berbeda dengan kitab muwatt}}a}’ dan mushannif
yang banyak memuat hadis-hadis mauquf dan maqtu meskipun metode penyusunannya
sama dengan kitab sunan. Di antara kitab sunan yang populer, selain sunan al-Nasa’i
adalah Sunan Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), dan Ibn Majah al-Qazwini (w.
275 H). Imam Syafi’i (w. 204 H) juga menyusun kitab sunan, akan tetapi tidak
banyak disebut-sebut oleh ulama hadis.
Berdasarkan penjelasan
di atas dapat ditegaskan bahwa Kitab Sunan al-Nasa’i (kitab al-Mujtaba’)
disusun dengan metode yang sangat unik dengan memadukan antara fiqih dengan
kajian sanad. Hadis-hadisnya disusun berdasarkan bab-bab fiqih sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas, dan untuk setiap bab diberi judul yang kadang-kadang mencapai
tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadis di satu
tempat. Kemudian dapat ditegaskan juga bahwa Imam al-Nasa’i tampaknya dalam
penyusunan kitabnya ini hanya mengkhususkan hadis-hadis sunah (marfu’) dan yang
berbicara tentang hukum dan tidak dimasukkan di dalamnya yang berkaitan dengan
khabar, etika dan mau’izah-mau’izah, hal ini dikarenakan kitab ini merupakan
pilihan berupa hadishadis hukum dari kitab beliau yang lain, yaitu al-Sunan
al-Kubra.
Adapun
sistematika penyusunannya dengan lengkap dapat disebutkan di sini sebagai
berikut:
-Al-Muqaddimah I 3 11 Al-Jum’ah
III 71
1. Al-Taharah I 12 12 Taqsir
al-Salah fi al-Safar III 95
2. Al-Miyah I 141 13 Al-Kusuf III
101
3. Al-Haid I 147 14 Al-Istisqa’
III 125
4. Al-Gusl wa al-Tayammum I 162
15 Salat al-Khusuf III 136
5. Al-Salah I 178 16 Salat al-Idain
III 146
6. Al-Mawaqit I 198 17 Qiyam
al-Lail wa Tatawwu’ al-Nahr III 161
7. Al-Azan II 3 18 Al-Jana`iz IV
3
8. Al-Masajid II 26 19 Al-Siyam
IV 97
9. Al-Qiblah II 47 20 Al-Zakah V
3
10. Al-Imamah II 58 21 Manasik
al-Hajj V 83
11. Al-Jihad VI 3 34 Tahrim
al-Dam VII 70
12. Al-Nikah VI 44 35 Qism
al-Fai` VII 117
13. Al-Talaq VI 112 36 Al-Bai’ah
VII 124
14. Al-Khail VI 178 37 Al-Aqiqah
VII 145
15. Al-Ahbas VI 190 38 Al-Far’ wa
al-Atirah VII 147
16. Al-Wasaya VI 198 39 Al-Said wa
al-Zaba’Ibn H}ajar al-Asqalani VII 158
17. Al-Nahl VI 216 40 Al-Dahaya
VII 186
18. Al-Hibah VI 220 41 Al-Buyu’
VII 212
19. Al-Ruqba VI 226 42 Al-Qasamah
VIII 3
20. Al-’Umra VI 228 43 Qat’u
al-Sariq VIII 57
21. Al-`Aiman wa al-Nuzur wa
al-Muzara’ah VII 3 44 Al-Aiman wa al-Syara’ VIII
22. Asyrah al-Nisa’ VII 58
Dari sistematika
yang dipaparkan di atas, ada beberapa catatan dan komentar yang dapat diberikan
mengenai susunan sistematika kitab al-Sunan an-Nasa’i di atas, yaitu:
1. Dari kitab (bab) pertama
sampai dengan kitab (bab) ke-21, membahas tentang masalah thaharah dan shalat.
Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai salat.
2. Kitab (bab) puasa didahulukan
dari pada zakat.
3. Kitab (bab) qism al-fai’
(pembagian rampasan perang) diletakkan jauh dari kitab jihad.
4. Kitab al-khali juga diletakkan
berjauhan dari kitab jihad.
5. Melakukan pemisahan-pemisahan
di antara kitab-kitab (bab-bab) al-ahbass (wakaf), wasiat-wasiat, an-nahl (pemberian
kepada anak), al-hibah (pemberian), ar-ruqbaa. Sedangkan kitab atau pembahasan
mengenai fara`id tidak ada.
6. Melakukan pemisahan-pemisahan
antara kitab al-asyribah (minuman), al-said (perburuan), al-zaba’ih
(semblihan hewan korban),
al-dahaya (kurban Idul Adha).
7. Kitab Iman ditempatkan di
bagian akhir.
8. Yang tidak termasuk hukum
hanyalah kitab Iman dan kitab al-isti’azah.
Beberapa catatan
mengenai sistematika penyusunan kitab hadis sunan Nasa’i ini dikemukakan agar
dapat dianalisa lebih tajam lagi, bagaimana Imam Nasa’i menyusun sunannya yang
pada akhirnya pemahaman akan kandungannya jauh lebih bermanfaat. Kitab Sunan
al-Nasa’i ini tidak luput dari perhatian dan komentar dari beberapa ulama
hadis. Hal ini terbukti dengan banyaknya syarah dan penjelasan yang diberikan
oleh beberapa ulama hadis yang datang sesudah beliau. Hal ini membuktikan bahwa
kitab Sunan al-Nasa’i ini mendapat respon yang positif dan begitu baik di
kalangan ulama hadis, dan tidak pernah ada kitab hadis diberi syarah begitu
banyak oleh ulama hadis sebagaimana yang terjadi pada kitab Sunan an-Nasa’i. Di
antara kitab-kitab syarah yang terkenal di antara sekian kitab syarah terhadap
kitab sunan an-Nasa’i ini adalah sebagai berikut:
Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911
H.) Syarah yang sangat ringkas dan jelas ini diberi judul Zahr al-Ruba’ ala
alMujtaba Terbit di Janpur pada tahun 1847, di New Delhi pada tahun 1850 dan di
Cairo diterbitkan dalam bentuk dua jilid pada tahun 1312 H. Kitab syarah ini
memberikan penekanan pada aspek nama-nama rawi, penjelasan lafaz, kata-kata
yang agak asing dan aneh, serta menyebutkan sebagian hukum-hukum dan etika yang
tercakup oleh berbagai hadis nabi. Dikatakan bahwa syarah yang diberikan oleh
al-Suyuti ini lebih dekat kepada apa yang dimaksudkan oleh al-Suyuti.
Komentar dan
penjelasan lain diberikan oleh Abu Hasan Nuruddin bin Abdul Hadi al-Sindi,
lahir di Medinah dan meninggal pada tahun 1138 H. Kitab syarahnya diberi judul
Hasyiyah Zahr al-Ruba’ ala alMujtaba. Syarah yang dibuat oleh al-Sindi ini juga
dalam bentuk yang sangat ringkas dan tidak lebih panjang dan lengkap dari
syarah yang diberikan oleh al-Suyuti. Syarah yang diberikan oleh as-Sindi ini
membatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan bahasa seperti penjelasan
mengenai kata-kata asing dan struktur kata-katanya, yang semua ini dibutuhkan
oleh para qari dan guru. Kitab syarah ini juga diterbitkan di India dan Cairo. Syarah
yang diberikan oleh al-Syaikh al-Alamah Siraj al-Din Umar bin Ali al-Mulqin
al-Syafi’i, wafat pada tahun 804 H. Kitab syarah ini merupakan terletak dalam
satu jilid bersama-sama dengan syarah terhadap Kitab al-Sahihain, Abu Dawud dan
Turmuzi.
Dari sumber lain
diperoleh keterangan bahwa masih terdapat lagi kitab syarah al-Nasa’i yang
lainnya yang cukup masyhur yaitu syarah yang diberikan oleh Sayyid Ali bin
Sulaiman al-Bajma’wi dengan nama Urf Zahr alRuba ala al-Mujtaba’.
V. Kesimpulan.
Dari sejumlah
uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal di antaranya:
1. Kegiatan pendokumentasian
hadis sebagai bagian dari kegiatan penelitian hadis setelah Nabi wafat terus berkembang,
dengan memunculkan berbagai kitab hadis dan mempunyai metode serta
karakteristiknya masing-masing.
2. Kitab hadis Sunan al-Nasa’i ditulis
dengan menggunakan metode al-Sunan, yaitu metode penulisan hadis yang sistematikanya
mengikuti bab-bab yang ada dalam kitab fiqih.
3. Al-Nasa’i mengarang sejumlah
kitab, di antaranya yang terkenal adalah kitab Sunan al-Nasa’i yang merupakan
ringkasan dari kitab beliau sebelumnya yaitu Sunan al-Kubra, yang isinya belum
diseleksi dari hadis-hadis yang dhaif Sebagai ringkasan dari kitab sebelumnya,
maka dalam kitab Sunan al-Nasa’i ini hanya memilih hadis yang berkualitas
sahih, hasan dan sangat sedikit yang berkualitas da’if.
4. Dalam meriwayatkan hadis, al-Nasa’i
dikenal sangat ketat dalam penerimaan riwayat hadis. Atas dasar ini maka ada
sebagian ulama ada yang menempatkan kitab sunannya di atas kitab sahih muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Bilal, Sa’ad Fahmi Ahmad. Siraj
al-Munir fi Alqab al-Muhaddisin. Riyad: Dar Ibn Hazm, 1417 H/ 1996 M.
CD Room Mausu’ah al-Hadis
asy-Syarif 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company/Syirkah
al-Baramij al-Islamiyyah ad-Dawliyyah. Ensiklopedi Islam. Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi
bin Abdul Qadir bin Abdul. Metode Takhrij Hadis. Terj. Said Agil Husin
al-Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar. Semarang: Dina Utama, 1994.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah-kaidah
Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Al- Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadis.
Terj. Mujiyo. Bandung: Rosda Karya, 1994
Al-Khatib, Muhammad & Ajaj.
Usul al-Hadis & Ulumuh wa Mustahuh.
Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M.
-------. Al-Sunnah Qabla
al-Tadwin. Kairo; Maktabah Wahbah, 1963.
Al-Muqaddisi, Al-Hafiz Abi
al-Fadl Muhammad bin Tahir. Syurut al-A’immah al-Sittah. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1984
Al- Nasa’i, Abu Abd al-Rahman
Ahmad. Sunan an-Nasa’i. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Rahman, Fatchur. Ikhtisar
Musthalahul Hadis. Bandung; PT Al-Ma’arif, 1995
Rayyah, Mahmud Abu. Adawa ala
al-Sunah al-Nabwiyyah. Mesir: Dar al-Ma`arif, t.th. Ash-Shiddieqi, TM. Hasbi.
Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad
Abu. Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihhah. Kairo: Majma’ al-Buhus
al-Islamiyyah, 1969.
al-Tahhan, Mahmud. Taisir
Mustalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.
-------. Usul al-Takhrij wa
Dirasah al-Asanid. Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979
Yakub, Ali Mustafa. Kritik Hadis.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
0 komentar:
Posting Komentar