Kamis, 11 April 2013

Imam Al-Nasa'i dan Karya Sunan Al-Nasa'i

I. Pendahuluan
Sejarah periwayatan hadis berbeda dengan sejarah periwayatan al-Qur’an. Pernyatan al-Qur’an dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum. Para sahabat, di samping ada yang menghafalnya juga banyak yang mencatatnya, baik atas perintah dari Nabi atau inisiatif sendiri. Setelah Nabi wafat, periwayatan al-Qur’an berlangsung secara mutawatir dari zaman ke zaman. Periwayatan ini bukan hanya secara lisan (hafalan) melainkan juga secara tertulis. Periwayatan dalam bentuk tertulis dan penghimpunan seluruhnya secara resmi dilaksanakan pada masa khalifah Usman dengan tujuan untuk keseragaman bacaan. Melihat proses periwayatan al-Qur’an begitu rumit dan selektif maka sangat sulit bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengadakan pemalsuan. Periwayatan hadis berlangsung secara ahad dan hanya sebagaian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir. Sementara itu Nabi memang pernah pula melarang para sahabat untuk menulis hadis. Nabi pernah memerintahkan para sahabat saat itu agar menghapus seluruh catatan selain catatan al-Qur’an. Namun dalam kesempatan lain Nabi pernah juga menyuruh para sahabat agar menulis hadis. Nabi menyatakan bahwa apa yang keluar dari lisannya adalah benar. Oleh karena itu, beliau tidak keberatan bila hadis yang diucapkannya ditulis.
Kebijakan Nabi di atas berakibat hanya sebagian periwayatan hadis saja yang berlangsung secara tertulis pada zaman Nabi. Dengan demikian hadis yang berkembang pada zaman Nabi lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tertulis. Hal ini berakibat bahwa dokumentasi hadis Nabi secara tertulis belum mencakup seluruh hadis yang ada. Selain itu tidaksemua hadis yang telah dicatat telah dikonfirmasikan kepada Nabi. Hal ini berlanjut bahwa hadis nabi tidak terhindar dari kemungkinan kesalahan dalam periwayatan. Ini berarti pula, bahwa hadis yang didokumentasikan secara tertulis dan secara hafalan harus diteliti baik sumber periwayatannya (sanad) maupun kandungan beritanya  (matan).
Berkaitan dengan tujuan di atas, maka kegiatan pendokumentasian hadis sebagai kegiatan penelitian hadis telah berlangsung dari zaman ke zaman dengan karakteristiknya masing-masing. Pendokumentasian hadis sebagai langkah awal penelitian hadis mendapat pijakan untuk pertama kalinya ketika adanya perintah resmi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/720 M) salah seorang penguasa yang bijaksana dari Dinasti Umayyah, untuk mengumpulkan seluruh hadis yang berada di masing-masing daerah. Ulama hadis yang berhasil mengumpulkan hadis dalam satu kitab waktu itu adalah Syihab al-Din al-Zuhri (w. 724 H/742 M), seorang ulama hadis terkenal di wilayah Hijaz dan Syam.
Kajian penghimpunan hadis terus berjalan. Sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah muncul berbagai kitab kumpulan hadis (hadis riwayah) di berbagai daerah, antara lain karya Abd al-Malik bin Juraij aal-Bisri, Malik bin Anas, dan lain-lain. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis-hadis Nabi, akan tetapi juga memuat berbagai fatwa sahabat maupun tabi’in, dengan kualitas yang bermacam-macam yaitu sahih, hasan dan dhaif.
Masa berikutnya ulama menyusun kitab-kitab hadis berdasarkan nama-nama para sahabat yang meriwayatkan hadis yang disebut dengan al-musnad. Ulama yang mula-mula menyusunnya adalah Abu Dawud bin al-Jarud al-Tayalisi (w.204 H), kemudian diikuti oleh ulama-ulama hadis lainnya seperti Abu Bakr bin Zubair al-Humaidi (w.219 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 242 H). Ulama beikutnya sekitar pertengahan abad ke-3 H. berusaha mensistematisasi kitab-kitab hadis yang secara khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas sahih menurut kriteria penyusunnya, misalnya al-Bukhari yang dikenal dengan Kitab al-Jami’ al-Sahih atau Shahih al-Bukhari, Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi dengan karyanya al-Jami’ al-Sahih atau Sahih Muslim. Masih dalam era yang sama bermunculan pula berbagai kitab hadis yang sitematikanya persis dengan bab-bab fiqih. Dengan metode inilah kitab Sunan al-Nasa’i disusun, kitab yang menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini, selain kitab hadis Abu Dawud al-Sijistani, Abu Isa al-Turmuzi, dan Ibn Majah al-Qazwaini.
Berkaitan dengan kitab Sunan al-Nasa’’i, melihat kepada kualitas hadis yang diriwayatkan, ada ulama yang berpendapat bahwa kualitas kitabnya melebihi Kitab Sahih Muslim seperti yang dikemukakan oleh Al-Hafiz Abu Ali. Ia memberikan komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh Imam an-Nasa’`i bagi para perawi hadis jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh Imam Muslim. Untuk mengetahui lebih jelas tentang kitab hadis ini, maka dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikan isi kitab tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
II. Setting Historis Imam al-Nasa’i
A. Nama dan Tanggal Lahir
Imam al-Nasa’i nama lengkapnya adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali Bin Sinan bin Bahr bin Dinar, dan diberi gelar dengan Abu Abd al-Rahman al-Nasa’’i. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di kota Nasa’ yang masih termasuk wilayah Khurasan. Kepada tempat kelahiran beliau inilah namanya dinisbatkan.
Penamaan kota Nasa’i ini erat kaitannya dengan sejarah penaklukan daerah tersebut. Ketika pasukan Islam hendak menyerbu negeri Khurasan, mereka harus melewati desa ini. Sewaktu penduduk desa mendengar akan datangnya pasukan Islam, maka semua kaum lelakinya melarikan diri dan meninggalkan desa sehingga ketika pasukan Islam datang ke desa ini, mereka mendapatkan penduduknya hanya tinggal kaum wanita saja. Melihat keadaan ini pasukan Islam berteriak-teriak dengan mengatakan penduduk kota ini hanya kaum wanita saja yang dalam Bahasa Arab-nya disebut dengan al-Nisa. Keadaan ini membuat pasukan Islam tidak jadi memerangi penduduk desa yang tinggal hanya kaum wanitanya saja. Maka sejak itu desa tersebut dikenal dengan sebutan Nasa’i . Di kota Nasa’i ini beliau tumbuh melalui masa kanak-kanaknya, dan di sini juga beliau memulai aktifitas pendidikannya dengan mulai menghafal al-Qur’an dan menerima berbagai disiplin keilmuan dari guru-gurunya. Tatkala beliau sudah menginjak usia remaja, timbul keinginan dalam dirinya untuk mengadakan pengembaraan dalam rangka mencari hadis Nabi. Maka ketika usianya menginjak 15 tahun, mulailah beliau mengadakan perjalanan ke daerah Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan daerah-daerah lainnya yang masih berada di Jazirah Arabia untuk mendengarkan dan mempelajari Hadis Nabi dari ulama-ulama negeri yang beliau kunjungi. Dengan usaha yang sungguh-sungguh ini, tidaklah heran kalau beliau sangat piawai dan unggul dalam disiplin ilmu hadis, serta sangat menguasai dan ahli dalam ilmu tersebut.
Setelah menjadi ulama hadis, beliau memilih negara Mesir sebagai tempat bermukim untuk menyiarkan dan mengajarkan hadis-hadis kepada masyarakat. Beliau tinggal di Mesir ini sampai setahun sebelum beliau wafat, karena setahun menjelang beliau wafat ia pindah ke Damaskus. Di sinilah terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan yang sekaligus merupakan sebab kematiannya. Beliau meninggal pada tahun 303 H.
Beliau wafat pada hari Senen, tanggal 13 Bulan Syafar, tahun 303 H. (915 M) di al-Ramlah. Setahun sebelum ia meninggal dunia, ia pindah dari Mesir ke Damaskus. Di kota inilah beliau menulis kitab al-Khasa’is Ali bin Abi Talib (Keistimewaan Ali bin Abi Talib) yang di dalamnya menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan Ali bin Abi Thalib menurut hadis. Ia menulis kitab ini, agar penduduk Damaskus tidak lagi membenci dan mencaci Ali. Ketika ia membacakan hadis-hadis tentang keutamaan Ali tersebut di hadapan orang banyak, beliau diminta pula untuk menjelaskan keutamaan Mu’awiyah bin Abi Syofyan. Akan tetapi ia dengan tegas menjawab bahwa ia tidak mengetahui adanya hadis yang menyebut keutamaan Mu’awiyah. Oleh pendukung Bani Umayyah ia dianggap berpihak kepada golongan Ali bin Abi Talib dan menghina Mu’awiyah, karena itu ia dianiaya dan dipukuli oleh pendukung Bani Umayyah. Ada yang menyebutkan, bahwa dalam kepayahan dan keadaan sekarat akibat penganiayaan tersebut, ia dibawa ke negeri Ramlah-Palestina dan meninggal di sana lalu dikuburkan di Damaskus. Namun menurut versi yang lain dan inilah yang paling banyak dianut orang bahwa beliau dibawa ke Mekkah, kemudian dikuburkan di antara Safa dan Marwa di Mekkah. Ia meninggal pada Tahun 303 H. atau 915 M. dalam usia 85 atau 88 tahun.
B. Sifat-sifatnya.
Dari segi fisik, al-Nasa’i  dikenal sebagai seorang imam hadis yang mempunyai wajah yang cukup ganteng, kulit yang putih hingga kemerah-merahan. Dalam kehidupan rohani, ia dikenal sangat rajin dan selalu melaksanakan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan. Ia juga dikenal sebagai orang yang sungguh-sungguh dalam beribadah baik pada waktu malam maupun siang hari, melaksanakan ibadah puasa sunat dan puasa dawud dengan satu hari puasa dan tidak berpuasa pada hari berikutnya secara berselang seling terus menerus, serta melakukan haji secara kontinyu setiap tahunnya. Begitu juga dalam berjihad (perang), juga selalu beliau ikuti bersama-sama dengan umat Islam. Ketika terjadi peperangan di Mesir, beliau turut serta dalam membela agama Islam dan sunnah Nabi bersama-sama dengan Gubernur Mesir dengan mencurahkan segala daya intelektualnya dan keberaniannya. Dalam suasana peperangan tersebut, beliau masih sempat meluangkan waktu untuk mengajarkan hadis Nabi SAW kepada Gubernur dan para prajurit. Dengan modal keberanian dan keteguhan hati beliau inilah, beliau berhasil menjadi ulama yang besar dengan tetap selalu menyebarkan ilmu dan pengetahuan pada masyarakat.
C. Guru-guru dan Murid-muridnya
 Imam al-Nasa’i menerima dan mempelajari berbagai macam hadis dari guru-guru beliau yang jumlahnya sangat banyak. Hal ini dapat dipahami karena beliau sering mengadakan perjalanan ke berbagai daerah dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan mengenai hadis Nabi. Di antara guru-guru beliau dapat disebutkan seperti Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin Ammar, Muhammad bin al-Nadr bin Musawar, Suwaid bin Nasr, Isa bin Hammad Zugbah, Ahmad bin Ubadah al-Dibbi, Abi Tahir bin al-Sarh, Ahmad bin Muni Ishaq bin Syahin, Basyar bin Mu’az al-Aqdi, Basyar bin Hilal al-Sawwaf, Tamim bin al-Muntasir, al-Haris bin Miskin, Al-Hasan bin al-Sabbah, al-Bazzar, Humaid bin Mas’adah, Ziyad bin Ayyub, Ziyad bin Yahya al-Hasani, Suwar bin Abdullah al-Anbari, Abbas bin Abdil Azim al-Anbari, Abi Husain Abdillah bin Ahmad al-Yaribu’i, Abdul A’la bin Wasil, Abdul Jabbar bin al-’Ula’ al-’Ithar, Abdur Rahman bin Ubaidillah bin Sa’id, Utbah bin Abdullah al-Halabi, Ibnu Akhi al-Imam, Abdul Muluk bin Syua’aib bin al-Lais, Ubadah bin Abdillah al-Saffar, Abi Qudamah Ubaidillah bin Sa’id, Utbah bin Abdillah al-Marwazi, Ali bin Hajar, Ali ibn Sa’id bin Masruq al-Kindi, Ammar bin Khalid al-Wasiti, Imran bin Musa al-Qazaz, Umar bin Zurarah al-Kalabi, Umar bin Usman al-Himsa, Umar bin Ali al-Fallas, Isa bin Muhammad bin al-Ramli, Isa bin Yunus bin al-Ramli, Kasir ibn Ubaid, Muhammad bin Iban al-Balkhi, Muhammad bin Adam al-Musisi, Muhammad bin Isma’il ibn Ulyah, Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Manzur al-Maki, Muhammad bin Sulaiman Lawwin, Muhammad bin Abdullah bin Ammar, Muhammad bin Abdullah al-Mukhrami, Muhammad bin Abdil Aziz bin Abi Razmah, Muhammad bin Abdul Maluk bin Abi al-Syawarib, Muhammad bin Ubaid al-Muharibi, Muhammad bin al-Ala’ al-Hamdani, Muhammad bin Qudamah al-Musisi al-Jauhari, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Musaffa, Muhammad bin Ma’mar al-Qisi, Muhammad bin Musa al-Harasyi, Muhammad ibn Hasyim al-Ba’labaki, Abi al-Ma’afi Muhammad bin Wahab, Mujahid bin Musa, Mahmud bin Ghailan, Mukhallid bin Hasan al-Harani, Nasr bin Ali al-Juhdami, Harun bin Adbillah al-Hummal, Himad bin al-Siri, Haisam bin Ayyub al-Talaqani, Wasil bin Abdul A’la, Wahab Bayan, Yahya bin Darasat al-Basri, Yahya bin Musa, Ya’kub al-Dairaqi, Ya’qub bin Mahan al-Bina Yusuf bin Himad al-Ma’na, Yusuf bin Isa al-Zuhri, Yusuf bin Wadih al-Mu’addib.
Adapun murid-muridnya dapat disebutkan juga, antara lain Abu Basyar al-Daulabi, Abu Ja’far al-Tahawi, Abu Ali al-Nisaburi, Hamzah bin Muhammad al-Kinani, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ibn Isma’il al-Nuhas al-Nahwi, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad ibn al-Hadad al-Syafi’i, Abdul Karim bin Abi Abdirrrahman al-Nasa’i Hasan bin al-Khadr al-Asuti, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin al-Sunni, Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Tabrani, Muhammad bin Mu’awiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Hasan bin Rasyiq, Muhammad bin Adullah bin Hawaih an-Nisaburi, Muhammad bin Musa al-Ma’muni dan Abyad bin Muhammad bin Abyad.

D. Pengakuan Ulama Hadis Atas Kapasitas Keilmuannya.
Imam al-Nasa’i telah diakui keutamaan, keahlian, dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadis oleh murid-murid beliau dan ulama-ulama lain yang datang sesudah generasi murid-muridnya. Hal ini terbukti dari perkataan beberapa ulama, seperti berikut ini:
1.        Makmun al-Misri al-Muhaddis: Kami pergi bersama dengan al-Nasa’i menuju Tharsus pada saat penaklukan. Pada saat tersebut, berkumpul sekelompok imam-imam yang telah diakui keilmuannya seperti Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ibrahim Murabbi Abu al-Azan, Kiljah, lalu mereka mengadakan musyawarah untuk menetapkan siapa yang menjadi pemimpin mereka, dan mereka memilih dan menetapkan Abdurrahman an-Nasa’i sebagai pemimpin.
2.       Murid al-Nasa’i, Abu Ali an-Nisaburi al-Hafiz suatu saat ia berkata: al-Nasa’i adalah seorang Imam yang tidak diragukan lagi keahliannya dalam bidang ilmu hadis.
3.       Murid beliau, Abu Bakar al-Hadad asy-Syafi’i berkata saya telah rela dan ikhlas an-Nasa’i menjadi hujjah antara aku dan Allah swt.
4.       Dua orang muridnya yang lain, Mansur bin Isma’il al-Faqih dan Abu Ja’far at-Tahawi berkata bahwa Al-Nasa’i merupakan salah seorang pemimpin (dalam bidang ilmu hadis) di kalangan umat Islam.
5.       Al-Hafiz Abu Sa’id bin Yunus berkata bahwa Imam al-Nasa’i adalah seorang ulama yang telah diakui keilmuannya, ke-siqah-annya dan kekuatan hafalannya.
6.       Al-Qasim al-Mutarrir berkata bahwa Imam al-Nasa’i adalah seorang Imam atau dapat juga dikatakan bahwa beliau berhak untuk dianggap sebagai seorang imam dalam bidang ilmunya.
7.       Al-Dar al-Qutni mengatakan bahwa Imam al-Nasa’i adalah orang yang didahulukan selangkah dalam bidang ilmu hadis pada masanya ketika orang membicarakan keilmuan hadis. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan statemen Hamzah as-Sahmi yang bertanya pada al-Dar al-Qutni tentang siapa yang harus didahulukan antara Abdurrahman an-Nasa`i dan Ibn Huzaimah ketika keduanya sama-sama membacakan sebuah hadis, lalu al-Dar al-Qutni menjawab: Tidak ada orang yang menyamai dan didahulukan dari pada Abu Abdurrahman (al-Nasa’i) dalam bidang ilmu hadis, tidak ada orang yang wara’ seperti dia, dia adalah syekh di Mesir yang paling pintar pada masanya dan yang paling mengetahui dan mengerti tentang ilmu hadis.
8.       Al-Khalili berkata bahwa al-Nasa’i adalah seorang yang hafiz mutqinun, telah diakui kekuatan hafalannya dan kepintarannya, dan pendapatnya sangat diandalkan dalam ilmu jarah dan ta’dil.
9.       Ibnu Nuqtah berkata: al-Nasa’i adalah salah seorang tokoh dalam bidang ilmu hadis.
10.   Al-Zahabi: al-Nasa’i adalah ulama yang padanya terkumpul lautan ilmu, disertai pemahaman dan kepintaran, dan sangat kritis terhadap seorang rawi serta mempunyai karangan yang sangat baik, dan banyak berdatangan para hafiz kepadanya. Selanjutnya beliau mengatakan juga bahwa tidak ada di antara tiga ratus orang yang lebih hafal selain dari an-Nasa’i karena dia merupakan orang yang paling tajam pengetahuannya dalam bidang hadis, paling tahu mengenai cacat hadis dan rawi yang meriwayatkannya jika dibandingkan dengan Muslim, Abu Dawud, Abu Isa, serta dia merupakan penolong bagi kesamaran dan ketidakjelasan yang ada pada al-Bukhari dan Abi Zur’ah.
11.   Ibnu Kasir: Al-Nasa’i adalah seorang Imam pada masanya dan orang yang paling utama dalam bidangnya.

Berdasarkan pengakuan para ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepiawaian al-Nasa’i tampak dalam berbagai bidang ilmu yang dapat dikelompokkan dalam:
1.       Ilmu Hadis. Dalam bidang ilmu ini, kepiawaian an-Nasa’i telah diakui oleh Bukhari dan orang-orang yang setingkat dengannya di kalangan tokoh/pembesar ilmu hadis. Dalam bidang ini, ia mempunyai pengetahuan yang sangat luas sehingga ia dijadikan sebagai tempat pencari petunjuk. Di samping itu ia juga dianggap sebagai pemimpin dalam bidang ilmu ini. Sehingga ia dijadikan sebagai orang yang akan mengarahkan kepada jalan kebenaran. Di samping itu juga, ia mempunyai pengetahuan yang luas serta pemahaman yang mendalam terhadap sanad-sanad hadis, perbedaan rawi dan perbedaan cara pengungkapan hadis, sehingga ia dapat mentashih dan memperbaikinya.
2.       Ilmu Jarah-Ta’dil dan ilmu yang berhubungan dengan rawi. Dalam bidang ilmu ini, ia dikenal sebagai kritikus yang sangat teliti yang tiada bandingannya. Ia men-jarah dan mentadil dengan ungkapan yang sangat sopan dan jelas. Para ahli dalam bidang ilmu ini sesudahnya, sangat tergantung kepada pernyataan beliau, dan menempatkan pendapatnya pada tingkatan yang tinggi dan sangat mulia. Hal ini dikarenakan, beliau memberikan syarat yang sangat ketat dalam hal diterima atau tidaknya periwayatan seorang rawi, jika dibandingkan dengan Imam Bukhari dan Muslim. Oleh karena ini, maka dia dianggap sebagai orang yang sangat ketat dalam menerima periwayatan suatu hadis, dan atas dasar ini pula Abu Ya’li al-Khalili menyatakan bahwa pendapat Imam an-Nasa’i dalam men-jarah dan men-ta’dil seorang rawi sangat dipercaya.
3.       Ilmu Ilal al-Hadis. Jalan untuk menguasai ilmu ini adalah pengetahuan yang luas terhadap sanad-sanad periwayatan hadis, perbedaanperbedaan periwayatan antara hadis yang satu dengan yang lain serta pengetahuan yang dalam tentang tingkatan para rawi. Dalam hal ini, al-Nasa’i sangat menguasai ketiga bidang ini, sehingga dengan demikian, ia dikatakan juga imam dalam bidang ilmu ilal al-hadis.
4.       Ilmu al-Fiqh (pemahaman) Hadis. Dalam hal ini, Imam al-Daru Qutni mengatakan bahwa Imam al-Nasa’i adalah syekh Mesir yang paling paham tentang makna suatu hadis pada masanya. Demikian juga al-Hakim, beliau menyatakan bahwa perkataan (pendapat) anNasa’i tentang pemahaman suatu hadis sangat banyak, barang siapa yang memperhatikan Kitab Sunan-nya maka dia akan sangat kagum dengan pendapat yang beliau kemukakan. Inilah kesaksian dan pengakuan yang disampaikan oleh dua imam besar yang telah mengakui keutamaan dan kepemimpinannya dalam bidang fiqih. Hal ini semakin meyakinkan orang akan kedudukannya sebagai hakim. Khusus dalam bidang fiqih ini, al-Nasa’i tidak bisa diidentifikasi dalam hal mazhabnya jika dilihat dalam struktur mazhab yang empat. Akan tetapi, pengikut syafi’i mengklaim bahwa al-Nasa’I menganut mazhab syafi’i. Hal ini mungkin disebabkan oleh domisili tetapnya di Mesir yang mayoritas penduduknya menganut mazhab syafi’i, dan menerima pelajaran dari imam-imam bermazhab syafi’i serta mendengarkan pelajaran dari mereka.
E. Karya-karyanya.
Imam an-Nasa’i mempunyai beberapa buku karangan, dapat disebutkan di antaranya adalah sebagai berikut:
1.        Al-Sunan al-Kubra.
2.       Al-Sunan al-Sugra, yang dinamakan juga dengan kitab al-Mujtaba`. Kitab ini merupakan ringkasan dari isi kitab al-Sunan al-Kubra.
3.       Musnad Malik
4.       Manasik al-Hajj.
5.       Kitab al-Jum’ah.
6.        Igrab Syu’bah Ali Sufyan wa Sufyan Ali Syu’bah.
7.       Khasa’is Ali bin Abi Talib Karam Allah Wajhah, dan
8.       Amal al-Yaum wa al-Lailah.

M. Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya usul Hadits bahwa al-Nasa’i mengarang lebih kurang 15 buah buku dalam bidang ilmu hadis dan yang paling utama dan masyhur di antaranya adalah Kitab al-Sunan. (Sunan al-Kubra), yang akhirnya terkenal dengan sebutan nama Sunan an-Nasa’i. Kitab Sunan ini adalah kitab hadis yang derajatnya terletak setelah Kitab Sahihain dalam hal kitab yang paling sedikit hadis da’ifnya, akan tetapi paling banyak perulangannya. Misalnya hadis tentang niat, diulangnya sampai dengan enam belas kali. Setelah Imam al-Nasa’i selesai mengarang kitabnya al-Sunan (al-Sunan al-Kubra), lalu beliau memberikannnya kepada Amir al-Ramlah. Karena di dalamnya masih terdapat berbagai macam hadis yang belum teridentifikasi, apakah termasuk hadis sahih, hasan atau dhaif, Amir meminta beliau untuk menyeleksi hadis-hadis yang ada pada kitab tersebut dengan hanya memasukkan hadis-hadis yang sahih saja. Atas permintaan Amir tersebut, beliau berhasil menyeleksi hadis-hadis yang ada pada kitabnya dengan hanya memasukkan hadis sahih saja dalam bentuk sebuah kitab, dan beliau menamakannya dengan kitab al-Sunan al-Sugra, atau dinamakan juga dengan kitab al-Mujtaba min al-Sunan, dan disebut juga dengan kitab al-Mujtaba. Walaupun ada perbedaan pendapat dalam penamaannya, akan tetapi semuanya mengacu pada satu kitab yaitu Kitab al-Sunan seperti yang kita kenal sekarang ini.
Dengan demikian, kitab al-Sunan al-Sugra ini merupakan kitab yang memuat hadis dha’if yang paling sedikit setelah Sahih Bukhari dan Muslim. Kitab al-Sunan al-Sugra inilah yang ada pada kita sekarang ini yang kita kenal dengan kitab Sunan an-Nasa’i. Kitab ini juga yang menjadi pegangan para Muhaddisin dalam meriwayatkan hadis dari an-Nasa’i. Di dalamnya terdapat 5761 koleksi hadis Nabi.
III. Kitab Sunan Al-Nasa’i
Telah disebutkan di atas bahwa al-Nasa’i telah menyusun kira-kira 15 buah karya besar yang berhubungan dengan bidang keilmuan hadis dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan hadis, dan di antara karyanya yang paling terkenal adalah Kitab al-Sunan. Dalam menyebutkan hadis di dalam kitabnya, al-Nasa’i tidak menyebutkan satu hadis pun dari orang yang notabennya ditolak periwayatannya oleh ulama-ulama hadis dan tidak mempercayai periwayatannya, sehingga dengan demikian kitabnya hanya berisi hadis sahih, hasan dan daif. Khusus dalam kitab hadis al-Sunan (dikenal dengan Sunan an-Nasa’i) yang merupakan ringkasan dan seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra, tidak terdapat hadis yang berkualitas daif dan kalaupun ada, itu sangat kecil jumlahnya dan sangat jarang sekali.
Kitab al-Sunan ini sederajat dengan sunan Abu Daud, atau sekurang-kurangnya mendekati satu tingkatan kualitas yang sama dengan sunan Abu Daud, dikarenakan al-Nasa’i sangat teliti dalam meriwayatkan dan menilai suatu hadis. Hanya saja, karena Abu Daud lebih banyak perhatiannya kepada matan-matan hadis yang ada tambahannya, dan lebih terfokus pada hadis-hadis yang banyak diperlukan oleh para fuqaha, maka sunan Abu Daud lebih diutamakan sedikit dari Sunan An-Nasa’i. Oleh karenanya, Sunan Al-Nasa’i ditempatkan pada tingkatan kedua setelah Sunan Abu Dawud dalam deretan kitab-kitab hadis as-Sunan.
IV. Metode Penyusunan dan Sistematika Kitab Sunan an-Nasa’i.
Imam al-Nasa’i dikenal sebagai ulama hadis yang sangat teliti terhadap hadis dan para rawi. Ini terbukti dalam menetapkan kriteria sebuah hadis yang dapat diterima atau ditolak sangat tinggi, begitu juga halnya dengan penetapan kriteria seorang rawi mengenai siqah atau tidaknya. Dalam hal ini, Al-Hafiz Abu Ali memberikan komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh Imam al-Nasa’i bagi para perawi hadis jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh Imam Muslim. Demikian pula Al-Hakim dan Al-Khatib mengatakan komentar yang kurang lebih sama dengan mengatakan bahwa sesungguhnya syarat yang dibuat oleh Imam al-Nasa’i lebih ketat dari persyaratan yang dibuat oleh Imam Muslim, sehingga ulama Maghrib lebih mengutamakan sunan al-Nasa’i daripada Shahih al-Bukhari.
Begitu selektifnya al-Nasa’i dalam menetapkan sebuah kriteria seorang rawi, beliau berhasil menyusun sebuah kitab yang cukup berharga dan sangat besar dengan nama al-Sunan al-Kubra. Karena di dalamnya belum mengadakan pemisahan antara hadis da’if, hasan dan sahih, maka beliau akhirnya mengarang sebuah kitab yang bernama al-Mujtaba’ yang merupakan hasil seleksi dari kitab Sunan al-Kubra, dan isinya hanya terdiri dari hadis sahih saja. Kitab al-Mujtaba’ inilah yang akhirnya kita kenal sekarang dengan nama Sunan an-Nasa’i.
Dilihat dari namanya, maka kita akan segera tahu bahwa kitab hadis an-Nasa’i ini disusun berdasarkan metode sunan. Kata sunan adalah jamak dari kata sunnah yang pengertiannya juga sama dengan hadis. Seementara itu yang dimaksud dengan metode sunan di sini adalah metode penyusunan kitab hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab alfiqhiyyah) dan hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja (hadis marfu‘). Bila terdapat hadis-hadis yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tabi’in (maqtu‘), maka relatif jumlahnya hanya sedikit. Berbeda dengan kitab muwatt}}a}’ dan mushannif yang banyak memuat hadis-hadis mauquf dan maqtu meskipun metode penyusunannya sama dengan kitab sunan. Di antara kitab sunan yang populer, selain sunan al-Nasa’i adalah Sunan Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), dan Ibn Majah al-Qazwini (w. 275 H). Imam Syafi’i (w. 204 H) juga menyusun kitab sunan, akan tetapi tidak banyak disebut-sebut oleh ulama hadis.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa Kitab Sunan al-Nasa’i (kitab al-Mujtaba’) disusun dengan metode yang sangat unik dengan memadukan antara fiqih dengan kajian sanad. Hadis-hadisnya disusun berdasarkan bab-bab fiqih sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dan untuk setiap bab diberi judul yang kadang-kadang mencapai tingkat keunikan yang tinggi. Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadis di satu tempat. Kemudian dapat ditegaskan juga bahwa Imam al-Nasa’i tampaknya dalam penyusunan kitabnya ini hanya mengkhususkan hadis-hadis sunah (marfu’) dan yang berbicara tentang hukum dan tidak dimasukkan di dalamnya yang berkaitan dengan khabar, etika dan mau’izah-mau’izah, hal ini dikarenakan kitab ini merupakan pilihan berupa hadishadis hukum dari kitab beliau yang lain, yaitu al-Sunan al-Kubra.
Adapun sistematika penyusunannya dengan lengkap dapat disebutkan di sini sebagai berikut:
-Al-Muqaddimah I 3 11 Al-Jum’ah III 71
1. Al-Taharah I 12 12 Taqsir al-Salah fi al-Safar III 95
2. Al-Miyah I 141 13 Al-Kusuf III 101
3. Al-Haid I 147 14 Al-Istisqa’ III 125
4. Al-Gusl wa al-Tayammum I 162 15 Salat al-Khusuf III 136
5. Al-Salah I 178 16 Salat al-Idain III 146
6. Al-Mawaqit I 198 17 Qiyam al-Lail wa Tatawwu’ al-Nahr III 161
7. Al-Azan II 3 18 Al-Jana`iz IV 3
8. Al-Masajid II 26 19 Al-Siyam IV 97
9. Al-Qiblah II 47 20 Al-Zakah V 3
10. Al-Imamah II 58 21 Manasik al-Hajj V 83
11. Al-Jihad VI 3 34 Tahrim al-Dam VII 70
12. Al-Nikah VI 44 35 Qism al-Fai` VII 117
13. Al-Talaq VI 112 36 Al-Bai’ah VII 124
14. Al-Khail VI 178 37 Al-Aqiqah VII 145
15. Al-Ahbas VI 190 38 Al-Far’ wa al-Atirah VII 147
16. Al-Wasaya VI 198 39 Al-Said wa al-Zaba’Ibn H}ajar al-Asqalani VII 158
17. Al-Nahl VI 216 40 Al-Dahaya VII 186
18. Al-Hibah VI 220 41 Al-Buyu’ VII 212
19. Al-Ruqba VI 226 42 Al-Qasamah VIII 3
20. Al-’Umra VI 228 43 Qat’u al-Sariq VIII 57
21. Al-`Aiman wa al-Nuzur wa al-Muzara’ah VII 3 44 Al-Aiman wa al-Syara’ VIII
22.  Asyrah al-Nisa’ VII 58
Dari sistematika yang dipaparkan di atas, ada beberapa catatan dan komentar yang dapat diberikan mengenai susunan sistematika kitab al-Sunan an-Nasa’i di atas, yaitu:
1. Dari kitab (bab) pertama sampai dengan kitab (bab) ke-21, membahas tentang masalah thaharah dan shalat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai salat.
2. Kitab (bab) puasa didahulukan dari pada zakat.
3. Kitab (bab) qism al-fai’ (pembagian rampasan perang) diletakkan jauh dari kitab jihad.
4. Kitab al-khali juga diletakkan berjauhan dari kitab jihad.
5. Melakukan pemisahan-pemisahan di antara kitab-kitab (bab-bab) al-ahbass (wakaf), wasiat-wasiat, an-nahl (pemberian kepada anak), al-hibah (pemberian), ar-ruqbaa. Sedangkan kitab atau pembahasan mengenai fara`id tidak ada.
6. Melakukan pemisahan-pemisahan antara kitab al-asyribah (minuman), al-said (perburuan), al-zaba’ih
(semblihan hewan korban), al-dahaya (kurban Idul Adha).
7. Kitab Iman ditempatkan di bagian akhir.
8. Yang tidak termasuk hukum hanyalah kitab Iman dan kitab al-isti’azah.
Beberapa catatan mengenai sistematika penyusunan kitab hadis sunan Nasa’i ini dikemukakan agar dapat dianalisa lebih tajam lagi, bagaimana Imam Nasa’i menyusun sunannya yang pada akhirnya pemahaman akan kandungannya jauh lebih bermanfaat. Kitab Sunan al-Nasa’i ini tidak luput dari perhatian dan komentar dari beberapa ulama hadis. Hal ini terbukti dengan banyaknya syarah dan penjelasan yang diberikan oleh beberapa ulama hadis yang datang sesudah beliau. Hal ini membuktikan bahwa kitab Sunan al-Nasa’i ini mendapat respon yang positif dan begitu baik di kalangan ulama hadis, dan tidak pernah ada kitab hadis diberi syarah begitu banyak oleh ulama hadis sebagaimana yang terjadi pada kitab Sunan an-Nasa’i. Di antara kitab-kitab syarah yang terkenal di antara sekian kitab syarah terhadap kitab sunan an-Nasa’i ini adalah sebagai berikut:
Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H.) Syarah yang sangat ringkas dan jelas ini diberi judul Zahr al-Ruba’ ala alMujtaba Terbit di Janpur pada tahun 1847, di New Delhi pada tahun 1850 dan di Cairo diterbitkan dalam bentuk dua jilid pada tahun 1312 H. Kitab syarah ini memberikan penekanan pada aspek nama-nama rawi, penjelasan lafaz, kata-kata yang agak asing dan aneh, serta menyebutkan sebagian hukum-hukum dan etika yang tercakup oleh berbagai hadis nabi. Dikatakan bahwa syarah yang diberikan oleh al-Suyuti ini lebih dekat kepada apa yang dimaksudkan oleh al-Suyuti.
Komentar dan penjelasan lain diberikan oleh Abu Hasan Nuruddin bin Abdul Hadi al-Sindi, lahir di Medinah dan meninggal pada tahun 1138 H. Kitab syarahnya diberi judul Hasyiyah Zahr al-Ruba’ ala alMujtaba. Syarah yang dibuat oleh al-Sindi ini juga dalam bentuk yang sangat ringkas dan tidak lebih panjang dan lengkap dari syarah yang diberikan oleh al-Suyuti. Syarah yang diberikan oleh as-Sindi ini membatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan bahasa seperti penjelasan mengenai kata-kata asing dan struktur kata-katanya, yang semua ini dibutuhkan oleh para qari dan guru. Kitab syarah ini juga diterbitkan di India dan Cairo. Syarah yang diberikan oleh al-Syaikh al-Alamah Siraj al-Din Umar bin Ali al-Mulqin al-Syafi’i, wafat pada tahun 804 H. Kitab syarah ini merupakan terletak dalam satu jilid bersama-sama dengan syarah terhadap Kitab al-Sahihain, Abu Dawud dan Turmuzi.
Dari sumber lain diperoleh keterangan bahwa masih terdapat lagi kitab syarah al-Nasa’i yang lainnya yang cukup masyhur yaitu syarah yang diberikan oleh Sayyid Ali bin Sulaiman al-Bajma’wi dengan nama Urf Zahr alRuba ala al-Mujtaba’.

V. Kesimpulan.
Dari sejumlah uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal di antaranya:
1. Kegiatan pendokumentasian hadis sebagai bagian dari kegiatan penelitian hadis setelah Nabi wafat terus berkembang, dengan memunculkan berbagai kitab hadis dan mempunyai metode serta karakteristiknya masing-masing.
2. Kitab hadis Sunan al-Nasa’i ditulis dengan menggunakan metode al-Sunan, yaitu metode penulisan hadis yang sistematikanya mengikuti bab-bab yang ada dalam kitab fiqih.
3. Al-Nasa’i mengarang sejumlah kitab, di antaranya yang terkenal adalah kitab Sunan al-Nasa’i yang merupakan ringkasan dari kitab beliau sebelumnya yaitu Sunan al-Kubra, yang isinya belum diseleksi dari hadis-hadis yang dhaif Sebagai ringkasan dari kitab sebelumnya, maka dalam kitab Sunan al-Nasa’i ini hanya memilih hadis yang berkualitas sahih, hasan dan sangat sedikit yang berkualitas da’if.
4. Dalam meriwayatkan hadis, al-Nasa’i dikenal sangat ketat dalam penerimaan riwayat hadis. Atas dasar ini maka ada sebagian ulama ada yang menempatkan kitab sunannya di atas kitab sahih muslim.

DAFTAR PUSTAKA
Bilal, Sa’ad Fahmi Ahmad. Siraj al-Munir fi Alqab al-Muhaddisin. Riyad: Dar Ibn Hazm, 1417 H/ 1996 M.
CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company/Syirkah al-Baramij al-Islamiyyah ad-Dawliyyah. Ensiklopedi Islam. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul. Metode Takhrij Hadis. Terj. Said Agil Husin al-Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar. Semarang: Dina Utama, 1994.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah-kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Al- Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadis. Terj. Mujiyo. Bandung: Rosda Karya, 1994
Al-Khatib, Muhammad & Ajaj. Usul al-Hadis &  Ulumuh wa Mustahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M.
-------. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo; Maktabah Wahbah, 1963.
Al-Muqaddisi, Al-Hafiz Abi al-Fadl Muhammad bin Tahir. Syurut al-A’immah al-Sittah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1984
Al- Nasa’i, Abu Abd al-Rahman Ahmad. Sunan an-Nasa’i. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung; PT Al-Ma’arif, 1995
Rayyah, Mahmud Abu. Adawa ala al-Sunah al-Nabwiyyah. Mesir: Dar al-Ma`arif, t.th. Ash-Shiddieqi, TM. Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad Abu. Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihhah. Kairo: Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah, 1969.
al-Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.
-------. Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979
Yakub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000

0 komentar: