Jumat, 19 April 2013

makalah argumen eksistensi tuhan



PENDAHULUAN
Bicara tentang eksistensi Tuhan, merupakan sebuah obyek kajian yang memang sudah  lama ada, tepatnya sejak  kemunculan filsafat Pra-Socrates  ( masa Anaximandros, Xenophas, hingga Parmenides ). Walaupun tidak membahas tentang Tuhan secara utuh, namun para filosof tersebut setidaknya membahas tentang adanya Tuhan.
Kata “ Tuhan “,merujuk kepada suatu Zat Abadi dan Supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Banyak tafsir daripada nama "Tuhan" ini yang bertentangan satu sama lain. Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban, tetapi definisinya lain-lain. Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan Tuan punya sahaya atau budak.
Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.
Manusia dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai tingkat eksistensinya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan. Dengan demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal dari Sang Mutlak atau Tuhan itu sendiri.
Hakikat Dzat (substansi) Tuhan tidak mungkin diketahui oleh rasio dan tidak dapat diketemukan asal atau keadarnya. Substansi Tuhan tidak dapat diliput oleh pemikiran dan manusia tidak mampu membuat perantaraan atau mediator untuk mengetahuinya.

PEMBAHASAN
A.    SUBSTANSI TUHAN
Rasio manusia terdapat titik puncak dari kecendikiaan dan kekuatan penemuan rasio sangat terbatas dan lemah mengetahui hakikat sesuatu. Rasio tidak mampu mengetahui hakikat benda dan hakikat atom yang tersusun padahal benda itu adalah sesuatu yang paling melekat pada manusia[1].
Jika posisi rasio kondisinya semacam itu, di dalam jiwa, cahaya, benda, dan sesuatu yang terdapat di alam yang riil dan abstrak, maka bagaimana mungkin rasio dapat mengetahui substansi Tuhan dan berupaya menangkap asa atau kadar substansi-Nya. Substansi Tuhan lebih besar dari sesuatu yang ditangkap oleh rasio yang yang diliputi oleh pemikiran.
Substansi Tuhan tetap ada sebagaimana kekuatan eksistensi yang telah ada. Eksistensi Tuhan sama dengan ketentuan benda yang riil dan bermula dan benda-benda yang rasionalistik. Oleh karenanya Allah berfirman “penglihatan tidak dapat menangkap Allah sedang Allah dapat menangkap penglihatan. Allah Maha Halus dan Maha Mengetahui.
B.      BUKTI EKSISTENSI TUHAN
Untuk mengetahui eksistensi Allah diantaranya ada dua metode,yakni mengenal diri dan memperhatikan cakrawala. Mengenal diri sendiri hakikatnya adalah membuktikan eksistensi Allah dan mengetahui adanya Allah. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an “Dan di dalam dirimu sendiri,tidakkah kalian memperhatikan? { QS.41 :21},dan dalam hadits Nabi “Barangsiapa mengenaldirinya sendiri,maka dia mengenal Tuhan”. Eksistensi Allah adalah riil seperti matahari yang bercahaya pada waktu pagi. Setiap benda  di alam ini menyaksikan dan membuktikan eksistensi adanya Allah. Berbagai benda alam dan unsur-unsurnya akan memperkuat bahwa ia mempunyai pencipta dan pengatur. Alam dengan segala isinya membuktikan bahwa itu semua adalah bukti eksistensi adanya Allah.
Bukti akan adanya eksistensi Tuhan dapat dilakukan melalui 4 metode yakni :
A.    Argumen Ontologis
Ontologis berasal dari kata ontos, yang berarti sesuatu yang berwujud. Ontologi juga bisa disebut sebagai ilmu yang mempelajari wujud tentang hakikat yang ada[2]. Argumen ini tidak berdasarkan pada alam nyata semata, namun juga berdasarkan pada logika.
Ontologi, pertama kali digunakan oleh Plato ( 428 – 348 SM ) dengan teori idenya. Yang dimaksud dengan ide, menurut dia, adalah konsep universal dari tiap sesuatu[3]. Tiap – tiap yang ada di alam ini mesti mempunyai ide. Contoh ide yang terdapat pada manusia adalah berpikir dan badan hidup. Setiap sesuatau yang ada di dunia ini intinya mempunyai sebuah ide. Ide inilah yang menjadi dasar wujud dari sesuatu[4].
Ide berada di dalam alam tersendiri, di luar alam nyata ini yakni yang dinamakan dengan alam ide. Karena ide merupakan dasar wujud sesuatu, maka yang tampak nyata di alam yang kita alami hanyalah bayangan. Bayangan tersebut hakikatnya berasal dari ide yang ada dalam sesuatu tersebut. Ide tersebut merupakan sesuatu yang kekal. Yang mempunyai wujud hanyalah ide dan benda – benda yang ditangkap dengan indera hanyalah khayalan atau ilusi belaka. Ide – ide tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, namun semuanya bersatu dalam sebuah ide tertinggi yang diberi nama ide kebaikan atau The Absolute Good, yaitu yang Mutlak Baik[5]. Yang Mutlak Baik itu adalah tujuan, sumber dan sebab dari segala sesuatu. Yang Mutlak Baik itu disebut juga dengan Tuhan. Dengan teori ini, membuktikan bahwa alam beserta isinya bersumber dari Yang Mutlak Baik, atau yang disebut dengan Tuhan.
Argumen ontologi kedua dicetuskan oleh St. Agustinus ( 354 – 450 SM ). Menurut Agustinus, manusia dengan pengalamannya bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun, terkadang akal meragukan kebenaran tersebut. Akal dapat berpikir bahwa diatas kebenaran – kebenaran yang diragukan tadi, ada kebenaran yang mutlak, tetap dan abadi. Dan kebenaran yang mutlak tadi disebut juga dengan istilah Tuhan.
Sedangkan menurut Al Ghozali, seorang filosof Islam, jalan untuk mengetahui Tuhan dengan pengalaman dapat dilakukan jika ada integrasi antara roh – jasad. Prosese integrasi roh – jasad ini disebut sebagai proses percobaan atau pengalaman. Dengan ini manusia akan memperoleh pengalaman lahir maupun batin. Bagi Imam Al Ghozali, pengalaman memegang peranan penting dalam usaha manusia mencapai pengetahuan yang tertinggi, yaitu ma’rifatullah[6].
B.      Argumen Kosmologis
Argumen kosmologis, bisa juga disebut sebagai argumen sebab – akibat. Sesuatu yang terjadi di alam ini, pasti ada sebabnya. Sebab itulah yang menjadikan adanya / terjadinya sesuatu itu. Sebab alam lebih wajib dan ada daripada alam itu sendiri. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya alam ini, bisa dipastikan Yang Kuasa, Maha Besar. Atau disebut juga to aperion[7]. Yang Kuasa ( Sebab Utama ) ini tidak disebabkan oleh sebab yang lain. Dia bersifat qiyamuhu binafsihi ( berdiri sendiri ). Argumen kosmologis ini dinyatakan pertama kali oleh Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Dia adalah murid Plato, yang notabene penggagas argumen ontologis.
Menurut Aristoteles, setiap benda yang ditangkap dengan indera mempunyai materi dan bentuk[8]. Bentuk terdapat dalam benda dan membuat materi mempunyai sebuah bentuk / rupa. Bentuk bukanlah bayangan atau ilusi, akan tetapi bentuk adalah sebuah hakikat dari benda itu sendiri. Bentuk tidak dapat dilepaskan dalam materi. Materi dan bentuk dapat dipisahkan dalam akal, namun tidak dapat dipisahkan dalam kenyataan. Bentuk sebagai hakikat dari sesuatu tidak berubah – ubah dan kekal, namun dalam inderawi terdapat perubahan.
Antara materi dan bentuk ada suatu penghubung yang dinamakan gerak. Yang menggerakkan adalah bentuk dan yang digerakkan adalah materi. Dalam gerak itu tentunya ada yang menggerakkan. Yang menggerakkan itulah yang disebut sebagai Penggerak Utama. Bentuk dalam arti Penggerak Utama mestilah sempurna dan kekal. Dia tidak mungkin berhajat kepada yang lain.
Tuhan menggerakkan alam bukan sebagai penyebab efisien ( penyebab karena ada potensi ), melainkan dia menggerakkan karena sebab tujuan. Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan menggerakkan karena dicintai ( He produces motion as being love )[9]. Semua yang ada di alam ini bergerak menuju ke Penggerak yang sempurna itu. penggerak Pertama, menurut Aristoteles, adalah zat yang immateri, abadi dan sempurna.
Al Kindi ( 796 – 873 M ), filosof Islam, berargumen bahwa alam ini diciptakan dan penciptanya adalah Allah. Segala yang terjadi di alam ini pasti ada sebab akibatnya. Semua rentetan sebab musabab ini berakhir pada sebab utama, yakni Tuhan pencipta alam. Pencipta alam adalah esa dan berbeda dengan alam. Tiap benda, menurut Kindi, mempunyai dua hakikat, yakni hakikat pertikular ( juz’i ) dan hakikat universal ( kulli ). Namun, Tuhan tidak mempunyai hakikat partikular maupun universal. Dia bersifat Esa, Yang Benar, Yang Satu. Selain Dia, semuanya bersifat banyak.
Thomas Aquinas ( 1225 – 1274 M ) menolak pendapat para teolog bahwa eksistensi Tuhan adalah masalah keimanan. Dia mengajukan keberadaan – Nya dengan 5 dalil.
a.       Adanya sifat gerak. Sesuatu yang bergerak di alam tidak mungkin bergerak begitu saja tanpa ada yang menggerakkan. Tentunya semua gerak berujung pada Penggerak Utama.
b.      Adanya kausalitas. Segala yang terjadi di alam ini, merupakan sebab musabab dari sesuatu. Sebab musabab itu ( sebab efisien ) berujung pada Sebab Utama. Dialah yang menyebabkan akibat – akibat di dunia ini.
c.       Adanya kemungkinan dan kemestian. Kemungkinan berdalil oada sesuatu yang ada namun adanya itu adalah diadakan. Dia bisa saja mugkin ada dan mungkin juga tidak ada. Dari kemungkinan – kemungkinan tadi, ada sesuatu yang adanya itu adalah wajib dan mesti. Dialah yang mengadakan sesuatu yang mungkin tadi. Dialah yang disebut sebagai Tuhan.
d.      Konsep gradasi. Setiap yang ada di alam ini mempunyai lebih dan kurang. Namun lebih dan kurang adalah keterangan tentang sesuatu yang berbeda sesuai dengan keserupaannya dalam cara – cara yang berbeda, yaitu sesuai yang maksimum. Sesuatu dikatakan lebih panas jika ada sesuatu yang serupa / menyerupai yang panas. Jadi ada sesuatu yang lebih panas, lebih benar, paling baik, dll. Akibatnya harus ada sesuatu yang paling di atas itu semua, dan itu harus paling tinggi dalam kebenaran dan paling besar dalam eksistensi. Sesuatu yang paling di atas semua tadi, yang menjadi ukuran / sebab dari semuanya, disebut Tuhan.
e.       Adanya keteraturan dunia. Kita mengetahui segala benda / makhluk di alam ini mempunyai aktivitas dan tujuan. Aktivis mereka selalu sama atau hampir sama untuk mencapai hasil terbaik. Jadi, tidak mungkin mereka mencapai tujuan itu merupakan sebuah kebetulan semata. Dengan demikian, mereka sebenarnya sudah seperti di desain dahulu. Segla sesuatu yang memiliki kekurangan tidak akan dapat mencapai tujuan / hasil terbaik jika tidak digerakkan oleh sesuatu yang mempunyai kelebihan, seperti pengetahuan dan kecerdasan. Karena itu, sesuatu yang cerdas harus ada karena semua makhluk diarahkan untuk mencapai tujuan mereka, dan sesuatu itu kita namakan Tuhan.
C.     Argumen Teleologis
Berasal dari kata telos, yang berarti tujuan. Dengan kata lain, alam ini berproses dengan adanya menuju ke suatu tujuan tertentu. Dan segala yang ada didalamnya bekerjasama untuk mencapai tujuan tersebut.
William Paley ( 1743 – 1805 M ), seorang teolog Inggris, menyatakan bahwa alam ini penuh dengan keteraturan. Langit yang biru dan tinggi. Bintang – bintang yang bertebaran. Dan diatas itu semua ada Pencipta Yang Maha Kuasa. Tuhan menciptakan itu semua ada tujuan tertentu. Seperti halnya Tuhan menciptakan mata bagi makhluknya.
Dalam paham teleologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisasi yang tersusun dari bagian – bagian yang mempunyai hubungan erat dan saling bekerjasama. Tujuan dari itu semua adalah untuk kebaikan dunia dalam keseluruhan. Alam ini beredar dan berevolusi bukan karena kebetulan, tetapi beredar dan berevolusi kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal, dan tentunya ada yang menggerakkan menuju ke tujuan tersebut dan membuat alam ini beredar maupun berevolusi ke arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan[10].
D.     Argumen Moral
Argumen moral dipelopori pertama kali oleh Immanuel Kant ( 1724 – 1804 M ). Kant, dalam tesis awalnya menyatakan bahwa manusia mempunyai moral dan yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya[11]. Dalam hati sanubari, tentu adanya bisikan – bisikan yang bisa saja kita namakan perintah. Perintah ini bersifat absolut mutlak dan universal. Perbuatan baik / jahat dilakukan karena perintah mengatakan demikian. Kant berpendapat bahwa perbuatan baik semakin baik bukan karena akibat dari perbuatan itu dan tidak pula agama yang mengajarkan bahwa perbuatan itu baik. Perasaan manusia yang menyatakan bahwa ia harus berbuat baik ataupun untuk menjauhi larangannya, tidak didapatkan di dunia ini, namun dibawa sejak lahir. Manusia lahir dengan perasaan itu.
Antara apa yang ada dalam sanubari ( perintah ) dan praktik di dunia, selalu terjadi kontradiksi. Begitulah apa yang Kant gambarkan. Tetapi sungguhpun demikian, manusia tetap merasa wajib mendengarkan perintah sanubari ini.
Dalam kontradiksi ini ( yang baik tidak selamanya membawa kebaikan dan yang buruk tidak selamanya mendapat hukuman sewajarnya di dunia ), mesti akan akan ada hidup kedua di alam kedua setelah alam sekarang. Di dalam alam kedua ini, semua perbuatan kan mendapat balasannya masing – masing. Dari kedua perasaan ini timbul perasaan ketiga. Kedua perasaan itu berasal dari suatu Zat Yang Maha Adil. Zat inilah yang dinamakan Tuhan.
Perintah hati sanubari yang bersifat mutlak ini bukan hanya mengandung arti bahwa manusia wajib patuh kepada perintah tersebut. Akan tetapi perintah tersebut juga mengandung arti bahwa pada akhirnya perintah tersebut akan membawa kepada Summun Bonum atau kesenangan yang tertinggi yang terdiri dari persatuan antara kebajikan dan kesenangan yang timbul dari keadaan manusia yang dapat memenuhi keinginan – keinginannya.
Sonnum Bonum ini sebenarnya membawa kepada adanya Tuhan. Sonnum Bonum tidak tercapai dalam alam ini karena ada perintah sanubari dan perintah manusia yang selalu kontradiksi. Artinya, dalam alam moral ( sanubari ) dan alam materil ( keinginan manusia ) terdapat suatu pemisah. Manusia akan mencapai kebahagiannya jika dapat melenyapkan pemisah ini. untuk memisahkan pemisah ini dibutuhkan kekuatan yang besar daripada kekuatan manusia. Kekuatan inilah yang disebut sebagai Tuhan.
Kant juga berpendapat bahwa logika tidak dapat membawa keyakinan tentang adanya Tuhan. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa perasaanlah yang mampu membawa manusia kepada keyakinan akan adanya Tuhan. Akal, hanya memberi kebebasan untuk percaya atau tidak adanya Tuhan, sedangkan sanubari memberi perintah kepadanya untuk percaya bahwa Tuhan itu ada.
Manusia diberi perintah untuk melaksanakan hal baik lewat hati sanubari. Perbuatan – perbuatan itu tentu ada nilai – nilainya. Perasaan itu diperoleh bukan dari pengalaman, tetapi telah ada dalam diri manusia. Perintah ini tentunya ada / berasal dari suatu Zat yang tahu baik dan buruk. Zat inilah yang dinamakan Tuhan. Nilai – nilai tersebut tidak terdapat dalam manusia, melainkan terdapat dalam diri Tuhan.
            Selain 4 argumen diatas ( ontologis, kosmologis, teleologis dan moral ), ada beberapa dalil yang menyatakan atau menegaskan bahwasannya Tuhan itu ada. Walaupun dalil – dalil ini intinya sama dengan argumen – argumen diatas, namun bahsa yang digunakan sedikit berbeda dengan yang diatas. Dalil – dalil tersebut antara lain :
a.    Preuve Metaphisique, yaitu dalil akal semata. Menurut akal, alam yang besar dan luas ini, tentu tidak akan terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan. Dan dialah yang disebut sebagai Tuhan. Manusia, walaupun kuat dan pintar, namun tetaplah tidak sempurna. Sedangkan Tuhan, yang notabene sebagai pencipta, tentu Dia adalah sempurna, dan tentu dia tidak diciptakan.
b.   Preuve Phisique, dalil yang terdiri dari alam. Dalil ini pertama kali dipakai oleh Abul Huseil Al Allaf[12]. Dia memulai dalil ini dengan teori atom. Menurutnya semua yang ada di alam ini dapat dibagi – bagi sampai ke bagian yang terkecil yang dinamakan dengan istilah molekul. Tiap molekul terdiri dari atom – atom. Atom ini berputar disekitar atom lainnya. Dari perputaran ini menimbulkan daya tarik menarik antara molekul – molekul. Dan yang menggerakkan itulah yang dinamakan dengan istilah Tuhan.
c.    Preuve Teleologique, dalil yang diambil dari susunan dan keindahan alam. Di dalam alam ini, ada semacam susunan dan peraturan yang bagus. Bintang – bintang maupun planet – planet beredar sesuai dengan garis edarnya dan tidak saling bertabrakan. Begitu juga darah yag ada dalam manusia. Beredar dengan teratur sesuai jalannya sendiri – sendiri. Dari fenomena itu semua, tentu ada yang dinamakan Dieu Organisateur, Yang Maha Mengatur. Dialah yang disebut dengan Tuhan.
d.    Preuve Moral, yaitu dalil yang diambil dari moral. Walaupun alam ini sudah diciptakan dengan baik dan indah, namun tetap saja ada yang tidak beres dalam kehidupan kecil didalamnya ( manusia ). Seakan tidak ada keadilan dalam kehidupan manusia di dunia ini. suatu saat, pasti akan ada yang membereskan dari ketidakadilan – ketidakadilan tersebut. Dialah Sang Maha Pemberes segala sesuatu, yang dinamakan Tuhan.[13]         
Menurut Sayyid sabiq, ada tiga teori yang bisa digunakan  dalam membuktikan kebenaran eksistensi Tuhan:
1.       Alam semesta bermula atau muncul dari tidak ada
Teori ini batil secara fundamental karena musabab selalu terikat dengan sebab dan kesimpulan selalu terikat dengan  pendahuluan. Pernyataan bahwa alam semesta bermula atau muncul dari tidak ada menjadi ada berarti menyatakan bahawa alam semesta berwujud dengan sendirinya dan muncul secara terpisah dari sebabnya. Keberaddan sesuatu dengan sendirinya yang terputus dari sebabnya adalah muhal. Jika kita katakana alam semesta berwujud dengan sendirinya dan terputus dari sebabnya, maka hal ini sama dengan ucapan kita bahwa ketidakadaan merupakan sebab adanya sesuatu yang ada, dan hal ini muhal.
2.      Alam semesta bermula dan muncul secara kebetulan dengan sendirinya
Teori yang ke dua ini lebih rumit daripada teori yang pertama. Teori ini sama dengan teori evolusi, suatu metode unik penyangkal keberadaan Allah – menyatakan bahwa molekul-molekul anorganik membentuk asam-asam amino secara kebetulan, asam-asam amino membentuk protein-protein secara kebetulan, dan akhirnya protein-protein membentuk makhluk hidup secara lagi-lagi kebetulan. Akan tetapi, kemungkinan pembentukan makhluk hidup secara kebetulan ini lebih kecil daripada kemungkinan pembentukan Menara Eiffel dengan cara yang serupa, karena sel manusia bahkan lebih rumit daripada segala struktur buatan manusia di dunia ini.
Bagaimana mungkin mengira bahwa keseimbangan di dunia ini timbul secara kebetulan bila keserasian alam yang luar biasa ini pun bisa teramati dengan mata telanjang? Pernyataan bahwa alam semesta, yang semua unsurnya menyiratkan keberadaan Penciptanya, muncul dengan kehendaknya sendiri itu tidak masuk akal.
Karena itu, pada keseimbangan yang bisa dilihat di mana-mana dari tubuh kita sampai ujung-ujung terjauh alam semesta yang luasnya tak terbayangkan ini pasti ada pemiliknya.
3.      Alam semesta ini diciptakan oleh Dzat yang mewujudkan
Teori ke tiga ini menetapkan bahwa alam semesta ada yang menciptakan dan ada yang mengatur. Teori ini sesuai dengan hasil pengertian rasio dan logika normal. Jadi, siapakah Pencipta ini yang mentakdirkan segala sesuatu secara cermat dan menciptakan semuanya? Ia tidak mungkin zat material yang hadir di alam semesta ini, karena Ia pasti sudah ada sebelum adanya alam semesta dan menciptakan alam semesta dari sana. Pencipta Yang Mahakuasa ialah yang mengadakan segala sesuatu, sekalipun keberadaan-Nya tanpa awal atau pun akhir.
Agama mengajari kita identitas Pencipta kita yang keberadaannya kita temukan melalui akal kita. Melalui agama yang diungkapkan kepada kita, kita tahu bahwa Dia itu Allah, Maha Pengasih dan Maha Pemurah, Yang menciptakan langit dan bumi dari kehampaan.

Meskipun kebanyakan orang mempunyai kemampuan untuk memahami kenyataan ini, mereka menjalani kehidupan tanpa menyadari hal itu. Bila mereka memandang lukisan pajangan, mereka takjub siapa pelukisnya. Lalu, mereka memuji-muji senimannya panjang-lebar perihal keindahan karya seninya. Walau ada kenyataan bahwa mereka menghadapi begitu banyak keaslian yang menggambarkan hal itu di sekeliling mereka, mereka masih tidak mengakui keberadaan Allah, satu-satunya pemilik keindahan-keindahan ini. Sesungguhnya, penelitian yang mendalam pun tidak dibutuhkan untuk memahami keberadaan Allah. Bahkan seandainya seseorang harus tinggal di suatu ruang sejak kelahirannya, pernak-pernik bukti di ruang itu saja sudah cukup bagi dia untuk menyadari keberadaan Allah.[14]
Dari ketiga teori di atas dapat kisa simpulkan bahwa alam semesta berjalan dengan “kesadaran” (consciousness) tertentu. Lantas, apa sumber kesadaran ini? Tentu saja bukan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya. Tidak ada satu pun yang menjaga keserasian tatanan ini. Keberadaan dan keagungan Allah mengungkap sendiri melalui bukti-bukti yang tak terhitung di alam semesta. Sebenarnya, tidak ada satu orang pun di bumi ini yang tidak akan menerima kenyataan bukti ini dalam hati sanubarinya.





















C.     KESIMPULAN
Teori atau argumen yang menyatakan akan adanya Tuhan dapat dibagi menjadi 4 yakni :
a.       Argumen ontologis bersumber pada alam nyata dan juga bersumber pada logika. Tokoh yang termasuk mempelopori aliran ini antara lain Plato dengan teori idenya. Dia menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai ide. Ide tertinggi yang bersifat kekal dan abadi, dia sebut sebagai Tuhan. Selain Plato, St. Agustinus juga merupakan salah satu tokoh yang menyatakan argumen ontologis. Menurut Agustinus, manusia dengan pengalamannya bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun, terkadang akal meragukan kebenaran tersebut. Akal dapat berpikir bahwa diatas kebenaran – kebenaran yang diragukan tadi, ada kebenaran yang mutlak, tetap dan abadi. Dan kebenaran yang mutlak tadi disebut juga dengan istilah Tuhan. 
b.      Argumen kosmologis, argumen yang bertolak dari sebab akibat. Akibat yang ada di dunia ini, pasti ada yang menyebabkan terjadinya alam ini. Sebab itulah yang menjadikan adanya / terjadinya sesuatu itu. Sebab alam lebih wajib dan ada daripada alam itu sendiri. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya alam ini, bisa dipastikan Yang Kuasa, Maha Besar. Atau disebut juga to aperion. Yang Kuasa ( Sebab Utama ) ini tidak disebabkan oleh sebab yang lain. Dia bersifat qiyamuhu binafsihi ( berdiri sendiri ). Argumen kosmologis ini dinyatakan pertama kali oleh Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Al Kindi ( 796 – 873 M ), filosof Islam, berargumen bahwa alam ini diciptakan dan penciptanya adalah Allah. Segala yang terjadi di alam ini pasti ada sebab akibatnya. Semua rentetan sebab musabab ini berakhir pada sebab utama, yakni Tuhan pencipta alam. Pencipta alam adalah esa dan berbeda dengan alam. Tiap benda, menurut Kindi, mempunyai dua hakikat, yakni hakikat pertikular ( juz’i ) dan hakikat universal ( kulli ). Namun, Tuhan tidak mempunyai hakikat partikular maupun universal. Dia bersifat Esa, Yang Benar, Yang Satu. Selain Dia, semuanya bersifat banyak.
c.       Argumen teleologis. Dalam paham teleologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisasi yang tersusun dari bagian – bagian yang mempunyai hubungan erat dan saling bekerjasama. Tujuan dari itu semua adalah untuk kebaikan dunia dalam keseluruhan. Alam ini beredar dan berevolusi bukan karena kebetulan, tetapi beredar dan berevolusi kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal, dan tentunya ada yang menggerakkan menuju ke tujuan tersebut dan membuat alam ini beredar maupun berevolusi ke arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan. Tokohnya antara lain William Paley ( 1743 – 1805 M ).
d.      Argumen moral dikemukakan oleh Immanuel Kant ( 1724 – 1804 M ). Argumen ini berargumen akan adanya moral dalam hati sanubari manusia. Dalam alam moral ( sanubari ) dan alam materil ( keinginan manusia ) terdapat suatu pemisah. Manusia akan mencapai kebahagiannya jika dapat melenyapkan pemisah ini. untuk memisahkan pemisah ini dibutuhkan kekuatan yang besar daripada kekuatan manusia. Kekuatan inilah yang disebut sebagai Tuhan.

















DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayid,  Akidah Islam, Suatu kajian yang memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Al Ikhlas, Surabaya : 1996
Bakhtiar, MA, Prof. Dr, Filsafat Agama, Wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, Amsal, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta : 2009
Arifin, Bey, Mengenal Tuhan, PT Bina Ilmu, Surabaya ; 1994
Hadiwijoyo, Dr. Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II ,Kanisius, Yogyakarta : 1980.
Hadiwijoyo, Dr. Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Kanisius, Yogyakarta : 1980.




[1] Akidah Islam, Suatu kajian yang memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Sayid Sabiq, Al Ikhlas, Surabaya : 1996, hal. 42
[2] Filsafat Agama, Wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta : 2009, hal. 169
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan, Abdul Munir Mulkhan, Bumi Aksara, Jakarta : 1991, hal. 131
[7] Teori Anaximandros ( 610 - 540 SM ) tentang yang tak terbatas. Lihat : Sari Sejarah Filsafat Barat, Dr. Harun Hadiwijoyo, Kanisius, Yogyakarta,  hal. 16
[8] Filsafat Agama, Wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta : 2009, hal. 175
[9] Ibid, hal. 177
[10] Ibid, hal. 187
[11] Ibid, hal. 189
[12] Seorang pemikir dari Madzhab Mu’tazilah. Dia juga salah satu murid pendiri Mu’tazilah, Washil Bin Atha’. Lihat : Mengenal Tuhan, Bey Arifin, PT Bina Ilmu, Surabaya ; 1994, hal. 15
[13] Mengenal Tuhan, Bey Arifin, PT Bina Ilmu, Surabaya ; 1994, hal. 16
[14] Akidah Islam, Suatu kajian yang memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Sayid Sabiq, Al Ikhlas, Surabaya : 1996, hal. 54 – 56

0 komentar: