PENDAHULUAN
Bicara
tentang eksistensi Tuhan, merupakan sebuah obyek kajian yang memang sudah lama ada, tepatnya sejak kemunculan filsafat Pra-Socrates ( masa Anaximandros, Xenophas, hingga
Parmenides ). Walaupun tidak membahas tentang Tuhan secara utuh, namun para
filosof tersebut setidaknya membahas tentang adanya Tuhan.
Kata “ Tuhan “,merujuk
kepada suatu Zat Abadi dan Supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan
memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga
digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini
misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam
semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang
ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup atau apapun
yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Banyak
tafsir daripada nama "Tuhan" ini yang bertentangan satu sama lain.
Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban,
tetapi definisinya lain-lain. Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan
kata Tuhan, dimana Tuhan juga merupakan majikan atau juragannya alam semesta.
Tuhan punya hamba sedangkan Tuan punya sahaya atau budak.
Dengan
kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya
tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan
tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi
kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.
Manusia
dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai
tingkat eksistensinya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan menyebabkan
manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan. Dengan
demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal dari Sang
Mutlak atau Tuhan itu sendiri.
Hakikat Dzat (substansi)
Tuhan tidak mungkin diketahui oleh rasio dan tidak dapat diketemukan asal atau
keadarnya. Substansi Tuhan tidak
dapat diliput oleh pemikiran dan manusia tidak mampu membuat perantaraan atau
mediator untuk mengetahuinya.
PEMBAHASAN
A.
SUBSTANSI
TUHAN
Rasio
manusia terdapat titik puncak dari kecendikiaan dan kekuatan penemuan rasio
sangat terbatas dan lemah mengetahui hakikat sesuatu. Rasio tidak mampu
mengetahui hakikat benda dan hakikat atom yang tersusun padahal benda itu
adalah sesuatu yang paling melekat pada manusia[1].
Jika
posisi rasio kondisinya semacam itu, di dalam jiwa, cahaya, benda, dan sesuatu
yang terdapat di alam yang riil dan abstrak, maka bagaimana mungkin rasio dapat
mengetahui substansi Tuhan dan berupaya menangkap asa atau kadar substansi-Nya.
Substansi Tuhan lebih besar dari sesuatu yang ditangkap oleh rasio yang yang
diliputi oleh pemikiran.
Substansi
Tuhan tetap ada sebagaimana kekuatan eksistensi yang telah ada. Eksistensi
Tuhan sama dengan ketentuan benda yang riil dan bermula dan benda-benda yang
rasionalistik. Oleh karenanya Allah berfirman “penglihatan tidak dapat
menangkap Allah sedang Allah dapat menangkap penglihatan. Allah Maha Halus dan
Maha Mengetahui.
B.
BUKTI
EKSISTENSI TUHAN
Untuk
mengetahui eksistensi Allah diantaranya ada dua metode,yakni mengenal diri dan memperhatikan
cakrawala. Mengenal diri sendiri hakikatnya adalah membuktikan eksistensi
Allah dan mengetahui adanya Allah. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an “Dan di dalam dirimu sendiri,tidakkah kalian
memperhatikan? { QS.41 :21},dan dalam hadits Nabi “Barangsiapa mengenaldirinya sendiri,maka dia mengenal Tuhan”. Eksistensi
Allah adalah riil seperti matahari yang bercahaya pada waktu pagi. Setiap
benda di alam ini menyaksikan dan
membuktikan eksistensi adanya Allah. Berbagai benda alam dan unsur-unsurnya
akan memperkuat bahwa ia mempunyai pencipta dan pengatur. Alam dengan segala
isinya membuktikan bahwa itu semua adalah bukti eksistensi adanya Allah.
Bukti
akan adanya eksistensi Tuhan dapat dilakukan melalui 4 metode yakni :
A.
Argumen
Ontologis
Ontologis
berasal dari kata ontos, yang berarti sesuatu yang berwujud. Ontologi
juga bisa disebut sebagai ilmu yang mempelajari wujud tentang hakikat yang ada[2].
Argumen ini tidak berdasarkan pada alam nyata semata, namun juga berdasarkan
pada logika.
Ontologi,
pertama kali digunakan oleh Plato ( 428 – 348 SM ) dengan teori idenya. Yang
dimaksud dengan ide, menurut dia, adalah konsep universal dari tiap sesuatu[3].
Tiap – tiap yang ada di alam ini mesti mempunyai ide. Contoh ide yang terdapat
pada manusia adalah berpikir dan badan hidup. Setiap sesuatau yang ada di dunia
ini intinya mempunyai sebuah ide. Ide inilah yang menjadi dasar wujud dari sesuatu[4].
Ide
berada di dalam alam tersendiri, di luar alam nyata ini yakni yang dinamakan
dengan alam ide. Karena ide merupakan dasar wujud sesuatu, maka yang
tampak nyata di alam yang kita alami hanyalah bayangan. Bayangan tersebut
hakikatnya berasal dari ide yang ada dalam sesuatu tersebut. Ide tersebut merupakan
sesuatu yang kekal. Yang mempunyai wujud hanyalah ide dan benda – benda yang
ditangkap dengan indera hanyalah khayalan atau ilusi belaka. Ide – ide tersebut
saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, namun semuanya bersatu
dalam sebuah ide tertinggi yang diberi nama ide kebaikan atau The Absolute
Good, yaitu yang Mutlak Baik[5].
Yang Mutlak Baik itu adalah tujuan, sumber dan sebab dari segala sesuatu. Yang
Mutlak Baik itu disebut juga dengan Tuhan. Dengan teori ini, membuktikan
bahwa alam beserta isinya bersumber dari Yang Mutlak Baik, atau yang disebut
dengan Tuhan.
Argumen
ontologi kedua dicetuskan oleh St. Agustinus ( 354 – 450 SM ). Menurut
Agustinus, manusia dengan pengalamannya bahwa dalam alam ini ada kebenaran.
Namun, terkadang akal meragukan kebenaran tersebut. Akal dapat berpikir bahwa
diatas kebenaran – kebenaran yang diragukan tadi, ada kebenaran yang mutlak,
tetap dan abadi. Dan kebenaran yang mutlak tadi disebut juga dengan istilah
Tuhan.
Sedangkan
menurut Al Ghozali, seorang filosof Islam, jalan untuk mengetahui Tuhan dengan
pengalaman dapat dilakukan jika ada integrasi antara roh – jasad. Prosese
integrasi roh – jasad ini disebut sebagai proses percobaan atau pengalaman.
Dengan ini manusia akan memperoleh pengalaman lahir maupun batin. Bagi Imam Al
Ghozali, pengalaman memegang peranan penting dalam usaha manusia mencapai
pengetahuan yang tertinggi, yaitu ma’rifatullah[6].
B.
Argumen
Kosmologis
Argumen
kosmologis, bisa juga disebut sebagai argumen sebab – akibat. Sesuatu yang
terjadi di alam ini, pasti ada sebabnya. Sebab itulah yang menjadikan adanya /
terjadinya sesuatu itu. Sebab alam lebih wajib dan ada daripada alam itu
sendiri. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya alam ini, bisa dipastikan Yang
Kuasa, Maha Besar. Atau disebut juga to aperion[7].
Yang Kuasa ( Sebab Utama ) ini tidak disebabkan oleh sebab yang lain. Dia
bersifat qiyamuhu binafsihi ( berdiri sendiri ). Argumen kosmologis ini
dinyatakan pertama kali oleh Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Dia adalah murid Plato,
yang notabene penggagas argumen ontologis.
Menurut
Aristoteles, setiap benda yang ditangkap dengan indera mempunyai materi dan
bentuk[8].
Bentuk terdapat dalam benda dan membuat materi mempunyai sebuah bentuk / rupa.
Bentuk bukanlah bayangan atau ilusi, akan tetapi bentuk adalah sebuah hakikat
dari benda itu sendiri. Bentuk tidak dapat dilepaskan dalam materi. Materi dan
bentuk dapat dipisahkan dalam akal, namun tidak dapat dipisahkan dalam
kenyataan. Bentuk sebagai hakikat dari sesuatu tidak berubah – ubah dan kekal,
namun dalam inderawi terdapat perubahan.
Antara
materi dan bentuk ada suatu penghubung yang dinamakan gerak. Yang menggerakkan
adalah bentuk dan yang digerakkan adalah materi. Dalam gerak itu tentunya ada
yang menggerakkan. Yang menggerakkan itulah yang disebut sebagai Penggerak
Utama. Bentuk dalam arti Penggerak Utama mestilah sempurna dan kekal. Dia tidak
mungkin berhajat kepada yang lain.
Tuhan
menggerakkan alam bukan sebagai penyebab efisien ( penyebab karena ada potensi
), melainkan dia menggerakkan karena sebab tujuan. Aristoteles mengatakan bahwa
Tuhan menggerakkan karena dicintai ( He produces motion as being love )[9].
Semua yang ada di alam ini bergerak menuju ke Penggerak yang sempurna itu.
penggerak Pertama, menurut Aristoteles, adalah zat yang immateri, abadi dan
sempurna.
Al
Kindi ( 796 – 873 M ), filosof Islam, berargumen bahwa alam ini diciptakan dan
penciptanya adalah Allah. Segala yang terjadi di alam ini pasti ada sebab
akibatnya. Semua rentetan sebab musabab ini berakhir pada sebab utama, yakni
Tuhan pencipta alam. Pencipta alam adalah esa dan berbeda dengan alam. Tiap
benda, menurut Kindi, mempunyai dua hakikat, yakni hakikat pertikular ( juz’i )
dan hakikat universal ( kulli ). Namun, Tuhan tidak mempunyai hakikat
partikular maupun universal. Dia bersifat Esa, Yang Benar, Yang Satu. Selain
Dia, semuanya bersifat banyak.
Thomas
Aquinas ( 1225 – 1274 M ) menolak pendapat para teolog bahwa eksistensi Tuhan
adalah masalah keimanan. Dia mengajukan keberadaan – Nya dengan 5 dalil.
a.
Adanya
sifat gerak. Sesuatu yang bergerak di alam tidak mungkin bergerak begitu saja
tanpa ada yang menggerakkan. Tentunya semua gerak berujung pada Penggerak
Utama.
b.
Adanya
kausalitas. Segala yang terjadi di alam ini, merupakan sebab musabab dari
sesuatu. Sebab musabab itu ( sebab efisien ) berujung pada Sebab Utama. Dialah
yang menyebabkan akibat – akibat di dunia ini.
c.
Adanya
kemungkinan dan kemestian. Kemungkinan berdalil oada sesuatu yang ada namun
adanya itu adalah diadakan. Dia bisa saja mugkin ada dan mungkin juga tidak
ada. Dari kemungkinan – kemungkinan tadi, ada sesuatu yang adanya itu adalah
wajib dan mesti. Dialah yang mengadakan sesuatu yang mungkin tadi. Dialah yang
disebut sebagai Tuhan.
d.
Konsep
gradasi. Setiap yang ada di alam ini mempunyai lebih dan kurang. Namun lebih
dan kurang adalah keterangan tentang sesuatu yang berbeda sesuai dengan
keserupaannya dalam cara – cara yang berbeda, yaitu sesuai yang maksimum.
Sesuatu dikatakan lebih panas jika ada sesuatu yang serupa / menyerupai yang
panas. Jadi ada sesuatu yang lebih panas, lebih benar, paling baik, dll.
Akibatnya harus ada sesuatu yang paling di atas itu semua, dan itu harus paling
tinggi dalam kebenaran dan paling besar dalam eksistensi. Sesuatu yang paling
di atas semua tadi, yang menjadi ukuran / sebab dari semuanya, disebut Tuhan.
e.
Adanya
keteraturan dunia. Kita mengetahui segala benda / makhluk di alam ini mempunyai
aktivitas dan tujuan. Aktivis mereka selalu sama atau hampir sama untuk
mencapai hasil terbaik. Jadi, tidak mungkin mereka mencapai tujuan itu
merupakan sebuah kebetulan semata. Dengan demikian, mereka sebenarnya sudah
seperti di desain dahulu. Segla sesuatu yang memiliki kekurangan tidak akan
dapat mencapai tujuan / hasil terbaik jika tidak digerakkan oleh sesuatu yang
mempunyai kelebihan, seperti pengetahuan dan kecerdasan. Karena itu, sesuatu
yang cerdas harus ada karena semua makhluk diarahkan untuk mencapai tujuan
mereka, dan sesuatu itu kita namakan Tuhan.
C.
Argumen
Teleologis
Berasal
dari kata telos, yang berarti tujuan. Dengan kata lain, alam ini
berproses dengan adanya menuju ke suatu tujuan tertentu. Dan segala yang ada
didalamnya bekerjasama untuk mencapai tujuan tersebut.
William
Paley ( 1743 – 1805 M ), seorang teolog Inggris, menyatakan bahwa alam ini
penuh dengan keteraturan. Langit yang biru dan tinggi. Bintang – bintang yang
bertebaran. Dan diatas itu semua ada Pencipta Yang Maha Kuasa. Tuhan
menciptakan itu semua ada tujuan tertentu. Seperti halnya Tuhan menciptakan
mata bagi makhluknya.
Dalam
paham teleologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisasi yang tersusun dari
bagian – bagian yang mempunyai hubungan erat dan saling bekerjasama. Tujuan
dari itu semua adalah untuk kebaikan dunia dalam keseluruhan. Alam ini beredar
dan berevolusi bukan karena kebetulan, tetapi beredar dan berevolusi kepada
tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal, dan tentunya ada yang menggerakkan
menuju ke tujuan tersebut dan membuat alam ini beredar maupun berevolusi ke
arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan[10].
D.
Argumen
Moral
Argumen
moral dipelopori pertama kali oleh Immanuel Kant ( 1724 – 1804 M ). Kant, dalam
tesis awalnya menyatakan bahwa manusia mempunyai moral dan yang tertanam dalam
jiwa dan hati sanubarinya[11].
Dalam hati sanubari, tentu adanya bisikan – bisikan yang bisa saja kita namakan
perintah. Perintah ini bersifat absolut mutlak dan universal. Perbuatan baik /
jahat dilakukan karena perintah mengatakan demikian. Kant berpendapat bahwa
perbuatan baik semakin baik bukan karena akibat dari perbuatan itu dan tidak
pula agama yang mengajarkan bahwa perbuatan itu baik. Perasaan manusia yang
menyatakan bahwa ia harus berbuat baik ataupun untuk menjauhi larangannya,
tidak didapatkan di dunia ini, namun dibawa sejak lahir. Manusia lahir dengan
perasaan itu.
Antara
apa yang ada dalam sanubari ( perintah ) dan praktik di dunia, selalu terjadi
kontradiksi. Begitulah apa yang Kant gambarkan. Tetapi sungguhpun demikian,
manusia tetap merasa wajib mendengarkan perintah sanubari ini.
Dalam
kontradiksi ini ( yang baik tidak selamanya membawa kebaikan dan yang buruk
tidak selamanya mendapat hukuman sewajarnya di dunia ), mesti akan akan ada
hidup kedua di alam kedua setelah alam sekarang. Di dalam alam kedua ini, semua
perbuatan kan mendapat balasannya masing – masing. Dari kedua perasaan ini
timbul perasaan ketiga. Kedua perasaan itu berasal dari suatu Zat Yang Maha
Adil. Zat inilah yang dinamakan Tuhan.
Perintah
hati sanubari yang bersifat mutlak ini bukan hanya mengandung arti bahwa
manusia wajib patuh kepada perintah tersebut. Akan tetapi perintah tersebut
juga mengandung arti bahwa pada akhirnya perintah tersebut akan membawa kepada Summun
Bonum atau kesenangan yang tertinggi yang terdiri dari persatuan antara
kebajikan dan kesenangan yang timbul dari keadaan manusia yang dapat memenuhi
keinginan – keinginannya.
Sonnum
Bonum ini sebenarnya membawa kepada adanya Tuhan. Sonnum
Bonum tidak tercapai dalam alam ini karena ada perintah sanubari dan perintah
manusia yang selalu kontradiksi. Artinya, dalam alam moral ( sanubari ) dan
alam materil ( keinginan manusia ) terdapat suatu pemisah. Manusia akan
mencapai kebahagiannya jika dapat melenyapkan pemisah ini. untuk memisahkan
pemisah ini dibutuhkan kekuatan yang besar daripada kekuatan manusia. Kekuatan
inilah yang disebut sebagai Tuhan.
Kant
juga berpendapat bahwa logika tidak dapat membawa keyakinan tentang adanya
Tuhan. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa perasaanlah yang mampu membawa
manusia kepada keyakinan akan adanya Tuhan. Akal, hanya memberi kebebasan untuk
percaya atau tidak adanya Tuhan, sedangkan sanubari memberi perintah kepadanya
untuk percaya bahwa Tuhan itu ada.
Manusia
diberi perintah untuk melaksanakan hal baik lewat hati sanubari. Perbuatan –
perbuatan itu tentu ada nilai – nilainya. Perasaan itu diperoleh bukan dari
pengalaman, tetapi telah ada dalam diri manusia. Perintah ini tentunya ada /
berasal dari suatu Zat yang tahu baik dan buruk. Zat inilah yang dinamakan
Tuhan. Nilai – nilai tersebut tidak terdapat dalam manusia, melainkan terdapat
dalam diri Tuhan.
Selain 4 argumen diatas ( ontologis,
kosmologis, teleologis dan moral ), ada beberapa dalil yang menyatakan atau
menegaskan bahwasannya Tuhan itu ada. Walaupun dalil – dalil ini intinya sama
dengan argumen – argumen diatas, namun bahsa yang digunakan sedikit berbeda
dengan yang diatas. Dalil – dalil tersebut antara lain :
a.
Preuve
Metaphisique, yaitu dalil akal semata. Menurut akal, alam yang besar dan luas
ini, tentu tidak akan terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan.
Dan dialah yang disebut sebagai Tuhan. Manusia, walaupun kuat dan pintar, namun
tetaplah tidak sempurna. Sedangkan Tuhan, yang notabene sebagai pencipta, tentu
Dia adalah sempurna, dan tentu dia tidak diciptakan.
b.
Preuve
Phisique, dalil yang terdiri dari alam. Dalil ini pertama kali dipakai oleh Abul
Huseil Al Allaf[12]. Dia memulai
dalil ini dengan teori atom. Menurutnya semua yang ada di alam ini dapat dibagi
– bagi sampai ke bagian yang terkecil yang dinamakan dengan istilah molekul.
Tiap molekul terdiri dari atom – atom. Atom ini berputar disekitar atom
lainnya. Dari perputaran ini menimbulkan daya tarik menarik antara molekul –
molekul. Dan yang menggerakkan itulah yang dinamakan dengan istilah Tuhan.
c.
Preuve
Teleologique, dalil yang diambil dari susunan dan keindahan alam. Di dalam alam
ini, ada semacam susunan dan peraturan yang bagus. Bintang – bintang maupun
planet – planet beredar sesuai dengan garis edarnya dan tidak saling
bertabrakan. Begitu juga darah yag ada dalam manusia. Beredar dengan teratur
sesuai jalannya sendiri – sendiri. Dari fenomena itu semua, tentu ada yang
dinamakan Dieu Organisateur, Yang Maha Mengatur. Dialah yang disebut
dengan Tuhan.
d.
Preuve
Moral, yaitu dalil yang diambil dari moral. Walaupun alam ini sudah diciptakan
dengan baik dan indah, namun tetap saja ada yang tidak beres dalam kehidupan
kecil didalamnya ( manusia ). Seakan tidak ada keadilan dalam kehidupan manusia
di dunia ini. suatu saat, pasti akan ada yang membereskan dari ketidakadilan –
ketidakadilan tersebut. Dialah Sang Maha Pemberes segala sesuatu, yang
dinamakan Tuhan.[13]
Menurut
Sayyid sabiq, ada tiga teori yang bisa digunakan dalam membuktikan kebenaran eksistensi Tuhan:
1.
Alam
semesta bermula atau muncul dari tidak ada
Teori
ini batil secara fundamental karena musabab selalu terikat dengan sebab dan
kesimpulan selalu terikat dengan
pendahuluan. Pernyataan bahwa alam semesta bermula atau muncul dari
tidak ada menjadi ada berarti menyatakan bahawa alam semesta berwujud dengan
sendirinya dan muncul secara terpisah dari sebabnya. Keberaddan sesuatu dengan
sendirinya yang terputus dari sebabnya adalah muhal. Jika kita katakana alam
semesta berwujud dengan sendirinya dan terputus dari sebabnya, maka hal ini
sama dengan ucapan kita bahwa ketidakadaan merupakan sebab adanya sesuatu yang
ada, dan hal ini muhal.
2.
Alam
semesta bermula dan muncul secara kebetulan dengan sendirinya
Teori
yang ke dua ini lebih rumit daripada teori yang pertama. Teori ini sama dengan
teori evolusi, suatu metode unik penyangkal keberadaan Allah – menyatakan bahwa
molekul-molekul anorganik membentuk asam-asam amino secara kebetulan, asam-asam
amino membentuk protein-protein secara kebetulan, dan akhirnya protein-protein
membentuk makhluk hidup secara lagi-lagi kebetulan. Akan tetapi, kemungkinan
pembentukan makhluk hidup secara kebetulan ini lebih kecil daripada kemungkinan
pembentukan Menara Eiffel dengan cara yang serupa, karena sel manusia bahkan
lebih rumit daripada segala struktur buatan manusia di dunia ini.
Bagaimana
mungkin mengira bahwa keseimbangan di dunia ini timbul secara kebetulan bila keserasian
alam yang luar biasa ini pun bisa teramati dengan mata telanjang? Pernyataan
bahwa alam semesta, yang semua unsurnya menyiratkan keberadaan Penciptanya,
muncul dengan kehendaknya sendiri itu tidak masuk akal.
Karena itu, pada keseimbangan yang bisa dilihat di
mana-mana dari tubuh kita sampai ujung-ujung terjauh alam semesta yang luasnya
tak terbayangkan ini pasti ada pemiliknya.
3.
Alam
semesta ini diciptakan oleh Dzat yang mewujudkan
Teori
ke tiga ini menetapkan bahwa alam semesta ada yang menciptakan dan ada yang
mengatur. Teori ini sesuai dengan hasil pengertian rasio dan logika normal.
Jadi, siapakah Pencipta ini yang mentakdirkan segala sesuatu secara cermat dan
menciptakan semuanya? Ia tidak mungkin zat material yang hadir di alam semesta
ini, karena Ia pasti sudah ada sebelum adanya alam semesta dan menciptakan alam
semesta dari sana. Pencipta Yang Mahakuasa ialah yang mengadakan segala
sesuatu, sekalipun keberadaan-Nya tanpa awal atau pun akhir.
Agama mengajari kita identitas Pencipta kita yang
keberadaannya kita temukan melalui akal kita. Melalui agama yang diungkapkan
kepada kita, kita tahu bahwa Dia itu Allah, Maha Pengasih dan Maha Pemurah,
Yang menciptakan langit dan bumi dari kehampaan.
Meskipun kebanyakan orang mempunyai kemampuan untuk
memahami kenyataan ini, mereka menjalani kehidupan tanpa menyadari hal itu.
Bila mereka memandang lukisan pajangan, mereka takjub siapa pelukisnya. Lalu,
mereka memuji-muji senimannya panjang-lebar perihal keindahan karya seninya.
Walau ada kenyataan bahwa mereka menghadapi begitu banyak keaslian yang
menggambarkan hal itu di sekeliling mereka, mereka masih tidak mengakui
keberadaan Allah, satu-satunya pemilik keindahan-keindahan ini. Sesungguhnya,
penelitian yang mendalam pun tidak dibutuhkan untuk memahami keberadaan Allah.
Bahkan seandainya seseorang harus tinggal di suatu ruang sejak kelahirannya,
pernak-pernik bukti di ruang itu saja sudah cukup bagi dia untuk menyadari
keberadaan Allah.[14]
Dari ketiga teori di atas dapat kisa simpulkan bahwa alam
semesta berjalan dengan “kesadaran” (consciousness) tertentu. Lantas,
apa sumber kesadaran ini? Tentu saja bukan makhluk-makhluk yang terdapat di
dalamnya. Tidak ada satu pun yang menjaga keserasian tatanan ini. Keberadaan
dan keagungan Allah mengungkap sendiri melalui bukti-bukti yang tak terhitung
di alam semesta. Sebenarnya, tidak ada satu orang pun di bumi ini yang tidak
akan menerima kenyataan bukti ini dalam hati sanubarinya.
C.
KESIMPULAN
Teori
atau argumen yang menyatakan akan adanya Tuhan dapat dibagi menjadi 4 yakni :
a. Argumen ontologis bersumber pada alam nyata dan
juga bersumber pada logika. Tokoh yang termasuk mempelopori aliran ini antara
lain Plato dengan teori idenya. Dia menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia
ini mempunyai ide. Ide tertinggi yang bersifat kekal dan abadi, dia sebut
sebagai Tuhan. Selain Plato, St. Agustinus juga merupakan salah satu tokoh yang
menyatakan argumen ontologis. Menurut Agustinus, manusia dengan pengalamannya
bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun, terkadang akal meragukan kebenaran
tersebut. Akal dapat berpikir bahwa diatas kebenaran – kebenaran yang diragukan
tadi, ada kebenaran yang mutlak, tetap dan abadi. Dan kebenaran yang mutlak
tadi disebut juga dengan istilah Tuhan.
b. Argumen kosmologis, argumen yang bertolak dari
sebab akibat. Akibat yang ada di dunia ini, pasti ada yang menyebabkan
terjadinya alam ini. Sebab itulah yang menjadikan adanya / terjadinya sesuatu
itu. Sebab alam lebih wajib dan ada daripada alam itu sendiri. Sesuatu yang
menyebabkan terjadinya alam ini, bisa dipastikan Yang Kuasa, Maha Besar. Atau
disebut juga to aperion. Yang Kuasa ( Sebab Utama ) ini tidak disebabkan
oleh sebab yang lain. Dia bersifat qiyamuhu binafsihi ( berdiri sendiri ).
Argumen kosmologis ini dinyatakan pertama kali oleh Aristoteles ( 384 – 322 SM
). Al Kindi ( 796 – 873 M ), filosof Islam, berargumen bahwa alam ini
diciptakan dan penciptanya adalah Allah. Segala yang terjadi di alam ini pasti
ada sebab akibatnya. Semua rentetan sebab musabab ini berakhir pada sebab
utama, yakni Tuhan pencipta alam. Pencipta alam adalah esa dan berbeda dengan
alam. Tiap benda, menurut Kindi, mempunyai dua hakikat, yakni hakikat
pertikular ( juz’i ) dan hakikat universal ( kulli ). Namun, Tuhan tidak
mempunyai hakikat partikular maupun universal. Dia bersifat Esa, Yang Benar,
Yang Satu. Selain Dia, semuanya bersifat banyak.
c. Argumen teleologis. Dalam paham teleologi,
segala sesuatu dipandang sebagai organisasi yang tersusun dari bagian – bagian
yang mempunyai hubungan erat dan saling bekerjasama. Tujuan dari itu semua
adalah untuk kebaikan dunia dalam keseluruhan. Alam ini beredar dan berevolusi
bukan karena kebetulan, tetapi beredar dan berevolusi kepada tujuan tertentu,
yaitu kebaikan universal, dan tentunya ada yang menggerakkan menuju ke tujuan
tersebut dan membuat alam ini beredar maupun berevolusi ke arah itu. Zat inilah
yang dinamakan Tuhan. Tokohnya antara lain William Paley ( 1743 – 1805 M ).
d. Argumen moral dikemukakan oleh Immanuel Kant (
1724 – 1804 M ). Argumen ini berargumen akan adanya moral dalam hati sanubari
manusia. Dalam alam moral ( sanubari ) dan alam materil ( keinginan manusia )
terdapat suatu pemisah. Manusia akan mencapai kebahagiannya jika dapat
melenyapkan pemisah ini. untuk memisahkan pemisah ini dibutuhkan kekuatan yang
besar daripada kekuatan manusia. Kekuatan inilah yang disebut sebagai Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sabiq, Sayid, Akidah Islam, Suatu kajian yang
memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Al Ikhlas, Surabaya : 1996
Bakhtiar, MA, Prof. Dr, Filsafat
Agama, Wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, Amsal, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta : 2009
Arifin, Bey, Mengenal Tuhan, PT
Bina Ilmu, Surabaya ; 1994
Hadiwijoyo, Dr. Harun, Sari
Sejarah Filsafat Barat II ,Kanisius, Yogyakarta : 1980.
Hadiwijoyo, Dr. Harun, Sari
Sejarah Filsafat Barat I, Kanisius, Yogyakarta : 1980.
[1] Akidah Islam, Suatu kajian
yang memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Sayid Sabiq, Al Ikhlas,
Surabaya : 1996, hal. 42
[2] Filsafat Agama, Wisata
pemikiran dan kepercayaan manusia, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta : 2009, hal. 169
[3] Ibid,
[6] Mencari
Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan, Abdul Munir Mulkhan, Bumi Aksara, Jakarta : 1991,
hal. 131
[7] Teori
Anaximandros ( 610 - 540 SM ) tentang yang tak terbatas.
Lihat : Sari Sejarah Filsafat
Barat, Dr. Harun Hadiwijoyo, Kanisius, Yogyakarta, hal. 16
[8] Filsafat
Agama, Wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta : 2009, hal. 175
[12] Seorang
pemikir dari Madzhab Mu’tazilah. Dia juga salah satu murid pendiri Mu’tazilah,
Washil Bin Atha’. Lihat : Mengenal Tuhan, Bey Arifin, PT Bina Ilmu,
Surabaya ; 1994, hal. 15
[14] Akidah
Islam, Suatu kajian yang memposisikan akal sebagai mitra wahyu, Sayid Sabiq, Al Ikhlas,
Surabaya : 1996, hal. 54 – 56
0 komentar:
Posting Komentar