BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Perkembangan Islam di Sulawesi menarik
untuk dibahas, karena akan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas.
Dengan membahas proses masuk dan berkembangnya Islam di Sulawesi kita dapat
mengetahui kerajaan-kerajaan dan raja yang berpengaruh terhadap perkembangan
Islam, tradisi dan bukti perkembangan Islam di Sulawesi, beserta cara agama
Islam masuk ke Sulawesi. Perkembangan agama Islam di Sulawesi tidak sepesat
perkembangan agama Islam di Jawa dan Sumatera. Sebab pertentangan Islam
terhadap kerajaan yang belum menganut agama Islam dilakukan demi kepentingan
politik. Bersamaan dengan perkembangan agama Islam maka berdirilah kerajaan Islam
di Indonesia yaitu Demak, Pajang, Mataram, Banten, Kalimantan, Sulawesi, dan
Sumatera.
Pada dasarnya secara geografis dan
kondisi alam wilayah Sulawesi lebih bersahabat dibandingkan wilayah Klaimantan,
karena wilayah Sulawesi hampir sama seperti kondisi Jawa. Meskipun hubungan
antar suku di wilayah Sulawesi kurang harmonis, namun dakwah tetap berkembang
baik di wilayah Sulawesi Selatan. Kubu yang terkadang bertentangan adalah
Bosowa atau Bone Soppeng, Wajo dengan suku Makasar. Perkembangan Islam di wilayah
Sulawesi selain Sulawesi Selatan seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara masih perlu ditingkatkan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang disebutkan di
atas, dapatlah ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan
masyarakat Sulawesi sebelum dan sesudah datangnya Islam?
2. Bagaimana proses
masuknya Islam di Sulawesi?
3. Apa saja bukti-bukti
peninggalan sejarah Islam di Sulawesi?
C. Pendekatan yang
dilakukan
Jenis pendekatan yang digunakan adalah :
·
Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan pendekatan
yang dilakukan melalui sisi sejarahnya. Pendekatan historis dalam makalah ini melihat bagaimana Islam masuk di
daerah Sulawesi. Dan proses perkembangannya.
·
Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan feonomenoligis merupakan
pendekatan yang dilakukan dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di
dalam masyarakat.
D. Tujuan
1. Untuk mengetahui
keadaan masyarakat Sulawesi sebelum dan
sesudah datangnya Islam.
2. Untuk mengetahui
proses masuknya Islam di Sulawesi.
3. Untuk mengetahui bukti-bukti
peninggalan sejarah Islam di Sulawesi.
E. Kegunaan
Ø Makalah ini
diharapkan mampu menambah bahan mata kuliah bagi mahasiswa Ushuludin, Studi
Agama, dan Pemikiran Islam khususnya mahasiswa jurusan Perbandingan Agama.
Ø Makalah ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa tentang masuk dan
berkembangnya Islam di Sulawesi.
Ø Makalah ini
diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran bagi mahasiswa khususnya dalam mata kuliah Sejarah
Islam Indonesia.
F.
Kajian Pustaka
Tulisan ini dihadirkan dengan sedikit
berbeda dari tulisan yang lain. Dalam tulisan lain hanya berfokus pada awal
masuknya saja. Namun dalam hal ini ditambahkan beberapa peninggalan sejarah.
Metode yang dilakukan dalam menyusun
makalah ini adalah dengan metode Librarian Research (Penelitian Perpustakaan).
Hal ini dimungkinkan karena menyangkut sejarah. Persamaan tulisan ini dengan
tulisan lain adalah mengenai awal dan berkembangnya Islam di Sulawesi.
Posisi pemakalah dalam tulisan ini adalah
sebagai peneliti dengan mengangkat tema sejarah. Tulisan ini hadir berdasarkan
perbedaan dengan penulis lain. Namun ada juga hal baru. Sehingga diharapkan
mampu menyempurnakan tulisan yang lain.
G.
Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri atas lima bab, yaitu:
BAB
I: PENDAHULUAN
-
Latar
Belakang Masalah
-
Rumusan
Masalah
-
Pendekatan
yang Dilakukan
-
Tujuan
-
Kegunaan
-
Kajian
Pustaka
-
Sistematika
Penulisan
BAB II: KEADAAN MASYARAKAT SULAWESI
SEBELUM DAN SESUDAH DATANGNYA ISLAM
-
Keadaan
masyarakat Bone
-
Keadaan
masyarakat Buton
BAB III: PROSES MASUKNYA ISLAM
-
Proses
masuknya Islam di Bone
-
Proses
masuknya Islam di Buton
BAB IV: BUKTI-BUKTI PENINGGALAN SEJARAH
ISLAM DI SULAWESI
Bukti-bukti peninggalan sejarah islam
yang ada di Sulawesi diantaranya adalah masjid Hila, batu karang berbentuk
bukit karang kecil di tengah pantai Semboang, obyek tinggalan arkeologi Islam
yang berada di kota Manado dan lainnya.
BAB V: PENUTUP
-
Kesimpulan
-
Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
KEADAAN MASYARAKAT SULAWESI SEBELUM DAN
SESUDAH DATANGNYA ISLAM
a.
Keadaan Masyarakat Sulawesi
sebelum hadirnya Islam
Kronologis
keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih membutuhkan pengkajian yang mendalam supaya
sejarahnya lebih objektif. Kehadiran
budaya Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya agama Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Agama Islam dibawa oleh para pedagang
Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu Kota Kerajaan Gow,
Somba Opu.
Di Mangallekana
Pada
abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I Monggorai
Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang memberikan
fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di sekitar istana
kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid di
Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri di
Sulsel.
Ribuan pulau yang
ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau
Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540
saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di
beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut
hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Beberapa ulama
Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan
aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk
Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di
atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau
yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat
dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke
wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu
dan Paloppo.
Kesultanan Gowa
atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses
yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini
berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan
pesisir barat Sulawesi.
Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten
Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki
raja yang paling terkenal bergelar Sultan
Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone
yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.
Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu
dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang
Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya
di abad ke-17.
Pada awalnya di
daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate
Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan
Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya
bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai
oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain
menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama
adalah Batara Guru dan saudaranya
Memerintah pada
awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9,
bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis
berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil".
Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna
mengubah daerah Makassar
dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar
menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo
kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang
mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman
Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan
sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai
kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa,
masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan
penangkapan ikan banyak.
Dalam sejumlah
penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara
tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang
kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16
dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna
diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang
menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.
Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi
Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi
. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan
Buton
dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan
Buton.
Nama Pulau buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit,
Patih Gajah Mada
dalam Sumpah Palapa,
menyebut nama Pulau Buton.
Mpu Prapanca
juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama. Sejarah
yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone
di Sulawesi
lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang
berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid
Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun
815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan
baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil
mengislamkan Raja
Buton
yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat
lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat
mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Dalam masa yang
sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu),
salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate.
Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat
dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan
Buton
ialah bahasa
Wolio,
namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu,
terutama bahasa
Melayu
yang dipakai di Malaka,
Johor
dan Patani.
Orang-orang Melayu
tinggal di Pulau Buton,
sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang
Buton
sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan
menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang,
hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Kerajaan
Buton
secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang
Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang
diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa
riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama
isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau
sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk
dalam pemerintahan Buton.
Di
Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali
dari Maluku
menuju Pasai
(Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton,
menghadap Raja Buton.
Syeikh Abdul Wahid setuju
dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung
ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada
tahun 948 H/1538 M.
Walau
bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada
sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid
merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai
Sultan
Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu
Sultan
Qaimuddin. Maksud
perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam
riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama
memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja
didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan
Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika
diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000
di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek
tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Maklumat
lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai
Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama
memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra
dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam
Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah
tahun 1538 Miladiyah.
Jika kita
bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh
La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M),
bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi
Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah
meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua
kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe
adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula
untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan
Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama
Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan
Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Kampung Parit Murhum
berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani
Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab.
Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin
sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh
para penyelidik.
Namun walau
bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada hubungan
antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton
sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita
bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam mahu
pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam
Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini
dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran
tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat
tidak diabaikan.
Semua perundangan
ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio
seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi.
Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan
dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan
tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
Pemerintahan
Kerajaan
Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan
bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu
Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja
Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama
Islam, maka raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan
Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang
secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya.
Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok
ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa
dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan
di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang
dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan
pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan
harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan
berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok
Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk
mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa
sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.
Berdasarkan penelitian, RatuWaa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama
kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya
juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan
kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka
sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara
Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau
sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep
trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi
rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah
berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah
jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat kesultanan buton
adalah lambang demokrasi kesultanan buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan
dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi
masyarakat Buton.
Politik
Masa
pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik
Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin
hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian
juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang
disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian
ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan
juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik
dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton
yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan
perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem
Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Masyarakat
Masyarakat
Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai
yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang
dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri.
Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton.
Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok
yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari
Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan
dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang
berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah.
Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam
memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa
peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang
terdapat di Jawa.
Imam-imam
yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab.
Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya
sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu
bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat
kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang
berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri
tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain,
terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat
dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka
menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan
atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama.
Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari
Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden
Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh
golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem
putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan
kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya,
berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka
mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang
mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun
perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton
sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan
Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh
raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan
budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman.
Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah
dan menetap.
Perekonomian
Pedagang
dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan
Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara
Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan
bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan
Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton
telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain
tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di
negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan
statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam
pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala
siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Hukum
dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun
masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di
Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu
di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk
dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam
bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli.
Disamping itu juga dibentuk sistem
pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa),
empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat
orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
.
Kesultanan Bone
atau sering pula dikenal dengan Kesultanan Bugis, merupakan kesultanan
yang terletak di Sulawesi bagian barat daya
atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi
Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa,
Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda
di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah
kontrol Belanda
sampai tahun 1814
ketika Inggris
berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda
pada 1816
setelah perjanjian di Eropa
akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda
ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda,
namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan
sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia
pada saat proklamasi. Di Bone, para
raja bergelar Arumponé.
BAB III
PROSES
MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI
A. Melalui Pedagang
Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa
penyebaran Islam di
Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang
mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun
dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama
Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar
India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu
dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa
sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada
tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak
kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di
Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan
pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di
pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan
didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.
B. Pengaruh Tionghoa
Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang
mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun
dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama
Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar
India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu
dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa
sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada
tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak
kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di
Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan
pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di
pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan
didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.
B. Pengaruh Tionghoa
Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa,
Islam di Jawa juga
disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang
membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan
Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di
wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan
orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang
Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang
di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke
kepulauan nusantara terutama di Maluku.
disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang
membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan
Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di
wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan
orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang
Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang
di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke
kepulauan nusantara terutama di Maluku.
Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia
memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di
Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir
abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di
kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid
Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran).
Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu
Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar
Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang.
Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal
di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam
diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah
ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu
maupun berkelompok.
Hak Istimewa
Pada masa pemerintahan Raja
Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang
dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang
memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau.
Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu
Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa,
Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan
dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang
memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau.
Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu
Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa,
Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan
kerajaan-kerajaan yang berpaham
Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di
jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590)
bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa
memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar
Istana Kerajaan Gowa.
jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590)
bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa
memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar
Istana Kerajaan Gowa.
Islam di Sulsel mencapai puncak
keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang
ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.
ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.
BAB IV
BUKTI-BUKTI PENINGGALAN SEJARAH
ISLAM
Banyak terdapat bukti-bukti peninggalan sejarah
Islam di Sulawesi, dan berikut di antrara bukti-bukti tersebut:
1. Dalam catatan Lontara Bilang tertulis bahwa
raja pertama yang memeluk agama Islam
tahun 1603 adalah Kanjeng Matoaya, Raja ke-4 dari Kerajaan Tallo. Penyiar agama
Islam di daerah ini berasal dari Demak, Tuban, dan Gresik. Oleh karena itu
Islam masuk melalui Raja dan masyarakat Gowa Tallo.
2. Masjid Hila yaitu masjid pertama Datuk Tiro
di Kabupaten Bulukumba yang didirikan oleh Al-Maulana Khotib Bungsu atau Datuk
Tiro. Setelah Luru Daeng Biasa masuk Islam, maka Datuk Tiro membuat masjid
Hila.
3. Batu karang berbentuk bukit karang kecil di
tengah pantai Semboang dengan tinggi 15 meter, adalah makam Karaeng Sapo Batu,
karena Raja Tiro pertama bernama Karaeng Raja Daeng Malaja.
4. Obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada
di kota Manado berupa makam tua yang terdapat di kmpleks pekuburan Islam
Tuminting. Secara umum bangunan makam memiliki tiga unsur yang menjadi
kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu:
-
Kijing (jirat), dasar yang berbentuk persegi
panjang dengan berbagai bentuk variasi.
-
Nisan,
berupa tanda yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang diletakkan di atas
kijing. Nisan ada yang dipasang pada
bagian kepala saja, atau kepala dan kaki.
-
Cungkup,
berupa bangunan pelindung beratap untuk
melindungi makam dari hujan.
5. Benda bersejarah yang berkaitan dengan
masuknya agama Islam di Lembah Palu, Sulawesi Tengah, tidak hanya berupa
Al-Qur’an kuno saja. Ada sejumlah naskah yang hadir di tengah masyarakat lembah
Palu bersamaan dengan masuknya Islam. Naskah tersebut di antaranya berupa
naskah Kutika dan Naskah Lontara.
- Masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.
BAB
V
PENUTUP
- Kesimpulan
Kesimpulan
dari makalah ini adalah:
- Sebelum hadirnya Islam, masyarakat di Sulawesi telah menganut agama Katholik, Kristen, Hindu, dan Budha, serta animism. Kaya tradisi dan kebudayaan kuno. Kemudian setelah hadirnya Islam di Sulawesi terjadilah perubahan yang cukup signifikan dalal segi hubungan social antar penduduk serta perdagangan, tetapi tidak menghapus tradisi yang ada.
- Islam dating di Sulawesi dan menyebar secara damai dan santun. Pertama hadir pada abad ke-15 Masehi di Kerajaan Gowa di Daerah Mangalekana, yang dibawa oleh para pedagang muslim dari Arab, Persia, India, Cina, dan Melayu ke Ibukota Kerajaan Gowa, Somba Opu.kemudian disebarkan oleh tiga Datuk dari Sumatera yaitu: Datuk Ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Bandang. Aliran atau corak yang dibawa adalah sufistik dan tasauf. Karena selain selain mereka ahli dalam bidang sufistik dan tasauf, hal ini pun sesuai dengan masyarakat yang lebih mmenyukai hal-hal yang bersifat kebatinan. Setelah Islam berkembang di Sulawesi Selatan lambat laun terus menyebar ke seluruh daerah di pulau Sulawesi.
- Saran-saran
Untuk
lebih menambah wawasan dan memperbaiki makalah ini perlulah kiranya saran yang
membangun dari para teman-teman maupun dari kalangan yang berkomitmen terhadap
Sejarah Islam Indonesia.
Daftar Pustaka
http://faktaandalusia.wordpress.com/2007/08/09/sejarah-awal-islam-sulawesi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
http://dadank22.blogspot.com/2008/11/menelusuri-awal-masuknya-islam-di.html
yatim, Badri .1993.Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II.Jakarta:Raja
Grafindo Persada
Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia.Yogyakarta:Gama University Press
Harun, Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad
XVI dan XVII / M.Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera
5 komentar:
SALAM, APA KABAR ? Alhamdulillah saya telah mengunjungi Blog Anda, intinya thema dan uraian materinya sangat bagus. Nah, tidak ada salahnya jika tulisan Anda juga dituangkan dalam Jurnal Ilmiyah, dengan beberapa alasan. SUATU HAL YANG SULIT DIPUNGKIRI DENGAN LUASNYA WILAYAH NKRI + ASEAN SANGAT MUNGKIN DATA SEJARAH TERKAIT KEBERADAAN :
PERAN AKTIF TOKOH/TEUNGKU/TUAN GURU/ AJEUNGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN (Mis. PESANTREN, DAYAH, SURAU, MADRASAH)
KESULTANAN
MASJID
MAKAM
ISTANA
NASKAH/MANUSKRIP
TATARUANG KOTA
KERAJINAN (gerabah, batik, Kaligrafi, seni pentas, senjata, logam, keramik, dll)
Masing-masing tersebut di atas BELUM BANYAK TERUNGKAP. (Pilih salah satu saja)
Jurnal Ilmiyah KALIJAGA dengan izin terbit ISSN no.2302-6758, (focus Sejarah Kebudayaan & Peradaban Islam di Asia Tenggara) selalu setia menunggu Makalah dan/ atau hasil penelitian dari para PEMERHATI, PENELITI, DOSEN, GURU Pengampu materi SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM. Andai sudah ditulis tolong kirim via email : jurnalkalijaga@ymail.com.
Untuk membangun kebersamaan, tolong disampaikan kpd segenap teman yang lain. Jazakumullah kheir khoiral jaza’. Tks
Izin copy bang untuk disampaikan kekhalayak, muslim makassar. Dari http://syiaralislam.pun.bz
silahkan mas rudi, kita berbagi informasi disini... :)
terimakasih juga atas apresiasi dari jurnal kalijag.
insyaALLAH sembari ada waktu saya usahakan... :) terimakasihh sudah berkunjung...
Terima kasih Membantu banget,Izin copy yaa..
Terima kasih Membantu banget,Izin copy yaa..
Posting Komentar