BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Istilah
poligami dan poliandri merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari. Istilah ini erat hubungannya dengan perkawinan seseorang dengan
lawan jenisnya, dimana jika muncul suatu ketertarikan seseorang dengan lawan
jenisnya ketika ia sudah menyandang status perkawinan, maka terjadilah poligami
atau poliandri.
Dalam surat
An Nisa ayat 3 yang artinya :
Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dari ayat
tersebut, dapat terlihat sesungguhnya Allah SWT mengizinkan terjadinya poligami
dengan ketentuan-ketentuan yang telah dipaparkan pada ayat tersebut, tetapi
lain hal untuk poliandri yang mutlak tidak diperbolehkan dalam kondisi apapun
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Poligami
Poligami ialah mengawini beberapa
lawan jenisnya dalam waktu yang sama. Berpoligami atau menjalankan (melakukan)
poligami sama dengan poligini yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang
sama.
Drs. Sidi Ghazalba mengatakan bahwa
Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu
orang perempuan.
Sebenarnya istilah poligami itu
mengandung pengertian poligini dan
poliandri. Tetapi karena poligami
lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum
Islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.
2.1.1 Hukum
Poligami
Para ulama
klasik dari kalangan mufassir (penafsir) maupun fakih (ahli hukum) berpendapat,
berdasarkan QS.4:3 pria muslim dapat menikahi empat perempuan. Tafsir
ini telah mendominasi nalar seluruh umat Islam. Jadi dalam pengertiannya
poligami itu tidak dilarang asalkan tidak lebih dari 4 istri.
Akan tetapi,
ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905) tidak sepakat dengan penafsiran
itu.
Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang, ya’ni dengan alasan :
Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang, ya’ni dengan alasan :
Pertama, saat itu
jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat gugur dalam peperangan
antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi
wanita lebih dari satu.
Kedua, saat itu
Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi
diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya.
Ketiga, dengan
poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan
konflik.
Kini,
keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan,
kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak, bahkan Syeikh Muhammad
Abduh yang juga merupakan mantan Syeikh di Al-Azhar ini berfatwa bahwa
berpoligami ini hukumnya haram, dengan alasan :
Pertama, syarat
poligami adalah berbuat adil. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir
mustahil, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak
akan mungkin berbuat adil.
Kedua, buruknya
perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka
tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara
baik dan adil.
Ketiga, dampak
psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam
kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau
dengan istri yang lain.
Syeikh
Muhammad Abduh juga menjelaskan hanya Nabi Muhammad saja yang dapat berbuat
adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan
patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. ‘Abduh
membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul. Fatwa dan tafsiran Abduh
tentang poligami membuat hanya dialah satu-satunya ulama di dunia Islam yang
secara tegas mengharamkan poligami.
Ulama asal
Mesir yang pernah mengecap pendidikan di Paris ini juga melihat poligami adalah
praktik masyarakat Arab pra-Islam. tentang perempuan pada abad pertama Hijriah
(abad ketujuh Masehi) menjelaskan memang budaya Arab pra-Islam mengenal
institusi pernikahan tak beradab (nikâh al-jâhili) di mana lelaki dan perempuan
mempraktikkan poliandri dan poligami sebagai berikut :
Pertama, pernikahan
sehari, yaitu pernikahan hanya berlangsung sehari saja.
Kedua, pernikahan
istibdâ’ yaitu suami menyuruh istri digauli lelaki lain dan suaminya tidak akan
menyentuhnya sehingga jelas apakah istrinya hamil oleh lelaki itu atau tidak.
Jika hamil oleh lelaki itu, maka jika lelaki itu bila suka boleh menikahinya.
Jika tidak, perempuan itu kembali lagi kepada suaminya. Pernikahan ini
dilakukan hanya untuk mendapat keturunan.
Ketiga, pernikahan
poliandri jenis pertama, yaitu perempuan mempunyai suami lebih dari satu
(antara dua hingga sembilan orang). Setelah hamil, istri akan menentukan siapa
suami dan bapak anak itu.
Keempat, pernikahan
poliandri jenis kedua, yaitu semua lelaki boleh menggauli seorang wanita berapa
pun jumlah lelaki itu. Setelah hamil, lelaki yang pernah menggaulinya berkumpul
dan si anak ditaruh di sebuah tempat lalu akan berjalan mengarah ke salah
seorang di antara mereka, dan itulah bapaknya.
Kelima
pernikahan-warisan, artinya anak lelaki mendapat warisan dari bapaknya yaitu
menikahi ibu kandungnya sendiri setelah bapaknya meninggal.
Keenam,
pernikahan-paceklik, suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi dengan orang
kaya agar mendapat uang dan makanan. Pernikahan ini dilakukan karena kemiskinan
yang membelenggu, setelah kaya perempuan itu pulang ke suaminya.
Ketujuh,
pernikahan-tukar guling, yaitu suami-istri mengadakan saling tukar pasangan.
Praktik
pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan
hingga masa Khulafâ al-Rashidîn Poligami yang termaktub dalam QS.4:3 adalah
sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karenanya
tepat kiranya Thaha Husayn menyatakan dalam bukunya Fi Syi’r al-Jâhili yang
menggemparkan dunia Arab tahun 1920-an hingga dia dipecat sebagai dosen
Universitas Kairo, bahwa Al Quran adalah cermin budaya masyarakat Arab
jahiliyyah (pra-Islam)
Fakta
sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang
menguntungkan dan menyedihkan, dan Al Quran merekamnya melalui teks-teksnya
yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, Al Quran merekam
praktik tersebut sebab poligami
adalah
realitas sosial masyarakat saat itu
Oleh
karenanya QS 4:3 harus dilihat sebagai ayat yang belum selesai, sebab Al Quran
adalah produk sejarah yang tak bisa luput dari konteks sosial, budaya, dan
politik masyarakat Arab di Hijaz saat itu. Al Quran sesungguhnya respons Allah
terhadap berbagai persoalan umat yang dihadapi Muhammad kala itu. Sebagai
respons, tentu Al Quran menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu diisi
budaya kelelakian yang dominan.
Untuk
menurunkan ajaran etik, moral, maupun hukum, Al Quran membutuhkan waktu dan
proses. Ambil contoh larangan meminum khamr, Al Quran membutuhkan waktu hingga
tiga kali. Dalam masalah poligami pun demikian. Poligami hanya hukum yang
berlaku sementara saja dan untuk tujuan tertentu saja, yaitu pada masa Nabi
(lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran, Bandung: Pustaka, 1996, hlm 68-70).
Al Quran membutuhkan waktu untuk mencapai tujuan yang sebenarnya yakni
monogami.
Menurut Mahmud
Syaltut –mantan Syekh Al-Azhar–, hukum poligami adalah mubah.
Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap
para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya
penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan
itu, dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait
dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan yaitu
penganiayaan terhadap para isteri.
Zyamahsyari dalam
kitabnya tafsir Al Kasy-syaaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari’at Islam
adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan
rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan
ketika dalam perjalanan.
Darurat yang
dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya
untuk bergaul lebih dari seorang isteri. Kecenderungan yang ada pada diri
seorang laki-laki itulah seandainya syari’at Islam tidak memberikan kelonggaran
berpoligami niscaya akan membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami
diperbolehkan dalam Islam.
Sedangkan
menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami
dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI
No 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan
pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan
lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di
Indonesia.
- Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu: adanya persetujuan dari istri;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial). Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan
2.1.2
Ayat-ayat yang menjelaskan Poligami
Dasar hukum
poligami disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya:
“Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita(lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki
yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya.”
Dalam ayat
ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan
syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia
mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA ketika
ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 Surat, An-Nisa’
tersebut yaitu: “Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa
berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak
yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita
lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia
mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh
beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang
seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya
yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus
mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.”
Sehubungan
dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligamibagi seseorang
yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.
Jadi maksud
ayat 3 Surat An-nisa’ itu adalah bahwa kamu boleh mengawini yatim dalam
asuhanmu dengan syarat ail. Bila tidak dapat berlaku demikian, hendaklah kamu
memilih wanita yang lain saja. Sebab perempuan selain yatim yang dalam asuhanmu
masih banyak jumlahnya. Namun jika kamu tidak dapat berbuat adil, maka
kawinilah seorang wanita saja.
Sebelum
turun ayat 3 Surat An-Nisa’ diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih
dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka
Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih
dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits
yang artinya:
“Sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu
masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan
ceraikanlah yang lainnya.” (HR. Nasa’iy dan Daruquthni)
Dalam hadits
lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin
Harits yang artinya:
“Saya masuk
Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi
Muhammad SAW maka beliau bersabda: “Pilihlah empat orang dari mereka.” (HR. Abu
Daud)
Berdasarkan
pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul
pertanyaan: “Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah?”
Dalam
masalah ini ada dua pendapat:
1.
Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami.
2.
Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami
Golongan
pertama beralasan
bahwa Allah SWT memperbolehkah poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai
keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa’ ayat
129 yang artinya:
“Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Karena ayat
tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil,
suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Bagi yang
berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara
ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa’ tidak terdapat pertentangan. Hanya saja
keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang
dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang.
Adil yang
tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat
An-Nisa’ itu adalah adil dalam cinta dan jima’. Ini memang logis. Umpama dari
Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin
giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada
isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah
untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak
disengaja, maka itu tidak dosa.
Golongan
yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau
darurat, Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan
alasan berpoligami, antara lain:
- Isteri mandul
- steri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin
- Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
- Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.
Dari dua
pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas
Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil.
Syarat adil
ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidakdipenuhi akan
mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia
tidak Mu’asyarah bi Al-Ma’ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah
dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 19 yang artinya:
“Dan
bergaullah dengan mereka secara patut (baik).” (11)
Dalam
kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia wajib Mu’asyarah bi
Al-Ma’ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap
isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut
pembatalan akad nikah dengan jalan khulu’, bila suami tidak mau atau tidak mampu
memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi,
pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela
(lihat Surat
Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu’ suami tidak bisa ruju’ tanpa persetujuan
bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang
tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul
secara patut/baik terhadap isterinya.
2.1.3 Dampak
poligami
Dampak yang
umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami :
- Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
- Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
- Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
- Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
- Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Efek
psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa
tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana
kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena
sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
2.2
Pengertian Poliandri
Poliandri
adalah Satu orang perempuan memiliki banyak suami.
Disebut poliandri fraternal jika si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik kandung.
Disebut poliandri fraternal jika si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik kandung.
2.2.1 Hukum
Poliandri
Hukum
poliandri adalah haram berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2.2.2
Ayat-ayat yang menjelaskan Poliandri
Dalil
Al-Qur`an, adalah firman Allah SWT :
“Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki.” (QS An-Nisaa` [4] : 24)
Ayat di atas
yang berbunyi “wal muhshanaat min al-nisaa` illa maa malakat aymaanukum”
menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh
laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut
al-muhshanaat.
Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam
(Beirut : Darul Ummah, 2003) hal. 119 :
“Diharamkan
menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan
al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka
dengan menikah.”
Pendapat
tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata
muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka
(al-haraa`ir), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz
V/134).
Imam Syafi’i menafsirkan
ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan :
“Wanita-wanita
yang bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain
suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena
kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak
perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan
bersamanya (Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah,
1985, Juz I/184).
Jelaslah
bahwa wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan
kata lain, ayat di atas merupakan dalil al-Qur`an atas haramnya poliandri.
Adapun dalil
As-Sunnah, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“Siapa saja
wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita
itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (ayyumaa `mra`atin
zawwajahaa waliyaani fa-hiya lil al-awwali minhumaa) (HR Ahmad, dan dinilai
hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di
atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan
seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap
sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani,
Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan
dalalatul iqtidha`1, hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah
pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna
(dalalah) ini –yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu
suami saja – merupakan makna yang dituntut (iqtidha`) dari manthuq hadits, agar
makna manthuq itu benar secara syara’. Maka kami katakan bahwa dalalatul
iqtidha` hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah
berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di
atas. Wallahu a’lam [ ]
2.2.3 Dampak
Poliandri
Poliandri
berdampak :
-
kurangnya keharmonisan dalam hubungan rumah tangga
-
dampak psikologis bagi anak yang memiliki banyak bapak
-
mendapat celaan dari masyarakat sekitar
Bab lll.
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Poligami
tidak pernah dilarang, namun dibatasi praktiknya.
Manusia
memiliki kebutuhan dasar untuk mendapatkan keturunan melalui proses reproduksi,
reproduksi ini menimbulkan libido dan nafsu birahi. Biasanya nafsu ini
dikuatkan oleh factor genetic, makanan dan lingkungan. Sebagai makhluk social
dan makhluk berbudaya, manusia harus memiliki pembatasan libido.
Poligami
boleh dilakukan, sedangkan poliandri tidak boleh.
2 komentar:
Asslmkm wr wb...
Jumlah Pria saat ini justru lebih banyak dari wanita loh (Sensus Penduduk 2000, sensus penduduk 2010, data BPS, Pemda seluruh indonesia, CIA, Bank Dunia, dll)
kalo poligami diterapkan saat ini, justru akan semakin banyak bujangan cowok yang terampas kesempatannya untuk menikah. Jadi "pengangguran" kalo malem jumat, hehehehe
Jumlah wanita memang melimpah dibanding pria untuk usia di atas 65 tahun, mauu?? silahkan poligami dengan wanita golongan usia ini
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=40¬ab=1
http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=penduduk_ratio&info1=4
http://www.census.gov/population/international/data/worldpop/tool_population.php
http://health.detik.com/read/2011/10/28/164741/1755096/763/negara-yang-jumlah-prianya-lebih-banyak-bisa-berbahaya?l993306763
http://nasional.kompas.com/read/2010/08/16/20585145/Siapa.Bilang.Wanita.Lebih.Banyak-8
Nihh, hasil sensus penduduk indonesia 2010 (situs resmi BPS n semua Pemda seluruh indonesia loh)
Kode, Provinsi, Laki-laki, Perempuan, Total Penduduk
1 Aceh, 2 248 952, 2 245 458, 4 494 410
2 Sumatera Utara, 6 483 354, 6 498 850, 12 982 204
3 Sumatera Barat, 2 404 377, 2 442 532, 4 846 909
4 Riau, 2 853 168, 2 685 199, 5 538 367
5 Jambi, 1 581 110, 1 511 155, 3 092 265
6 Sumatera Selatan, 3 792 647, 3 657 747, 7 450 394
7 Bengkulu, 877 159, 838 359, 1 715 518
8 Lampung, 3 916 622, 3 691 783, 7 608 405
9 Bangka Belitung , 635 094, 588 202, 1 223 296
10 Kepulauan Riau, 862 144, 817 019, 1 679 163
11 DKI Jakarta, 4 870 938, 4 736 849, 9 607 787
12 Jawa Barat, 21 907 040, 21 146 692, 43 053 732
13 Jawa Tengah, 16 091 112, 16 291 545, 32 382 657
14 DI Yogyakarta, 1 708 910, 1 748 581, 3 457 491
15 Jawa Timur, 18 503 516, 18 973 241, 37 476 757
16 Banten, 5 439 148, 5 193 018, 10 632 166
17 Bali, 1 961 348, 1 929 409, 3 890 757
18 Nusa Tenggara Barat, 2 183 646, 2 316 566, 4 500 212
19 Nusa Tenggara Timur, 2 326 487, 2 357 340, 4 683 827
20 Kalimantan Barat, 2 246 903, 2 149 080, 4 395 983
21 Kalimantan Tengah, 1 153 743, 1 058 346, 2 212 089
22 Kalimantan Selatan, 1 836 210, 1 790 406, 3 626 616
23 Kalimantan Timur, 1 871 690, 1 681 453, 3 553 143
24 Sulawesi Utara, 1 159 903, 1 110 693, 2 270 596
25 Sulawesi Tengah, 1 350 844, 1 284 165, 2 635 009
26 Sulawesi Selatan, 3 924 431, 4 110 345, 8 034 776
27 Sulawesi Tenggara, 1 121 826, 1 110 760, 2 232 586
28 Gorontalo, 521 914, 518 250, 1 040 164
29 Sulawesi Barat, 581 526, 577 125, 1 158 651
30 Maluku, 775 477, 758 029, 1 533 506
31 Maluku Utara, 531 393, 506 694, 1 038 087
32 Papua Barat, 402 398, 358 024, 760 422
33 Papua, 1 505 883, 1 327 498, 2 833 381
Indonesia, 119 630 913, 118 010 413, 237 641 326
Saat ini di Indonesia n di dunia (terutama negara2 Arab) laki2 lebih banyak dari wanita
wah, laki-laki ternyata rawan dipoligami daripada wanitanya. nanti kita bahas yang poligami laki-laki kira-kira hukumnya gimana... hahaa... :)
makasih buat feedbacknya... :D
Posting Komentar