Makna hikmah dan juga falsafah masuk ke dalam bahasa Arab melalui usaha penerjemahan teks
Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H /ke-9 M. Hikmah dan falsafah tetap
digunakan, sementara istilah-istilah seperti al-hikmah al-ilahiyyah
dan al-hikmah al-muta’aliyah
mendapatkan makna dan dipakai pada abad sejarah Islam belakangan, khususnya di
kalangan Mazhab Mulla Shadra.
Beberapa tokoh sufi seperti Tirmidzi disebut sebagai hakim dan Ibn ‘Arabi menyebut
kebijaksanaan yang terpapar melalui setiap manifestasi (pengejawantahan) logos
sebagai hikmah seperti dapat dilihat dalam judul buku mahakaryanya, Fushush
Al-H ikam, sedangkan
banyak mutakallimun seperti Fahr Al-Din Al-Razi mengklaim kalam dan
bukan falsafah yang dimaksud dengan hikmah itu. Ibn Khaldun
menegaskan pandangan ini ketika menyebut kalam mutakhir (al-kalam
al-muta’akhkhirin)sebagai filsafat atau hikmah.
Sebagian
definisi dan makna dari konsep mengenai filsafat dan istilah hikmah serta
falsafah yang berasal dari Yunani dan yang paling lazim di kalangan filosof Islam adalah
sebagai berikut:
1.
Filsafat (al-falsafah)adalah pengetahuan
tentang segala yang ada qua maujud-maujud (asyya’ al-maujudah bi ma
hiya maujudah).
2.
Filsafat ialah pengetahuan tentang yang ilahiah dan yang insaniah.
3.
Filsafat mencari perlindungan dalam kematian, artinya
cinta pada kematian.
4.
Filsafat adalah (upaya) menjadi seperti Tuhan
dalam kadar kemampuan manusia.
5.
Filsafat adalah seni (shina’ah)tentang
seni-seni dan ilmu (‘ilm) tentang ilmu-ilmu.
6.
Filsafat adalah prasyarat bagi hikmah.
Filosof
Islam pertama, Abu Ya’qub Al-Kindi menulis dalam Fi Al-Falsafah Al-Ula,Filsafat
adalah pengetahuan tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena
tujuan puncak filosof dalam pengehuan teoretis adalah untuk memperoleh
kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis
untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran. Ibn Sina juga menerima
definisi-definisi pendahulunya walaupun mencoba membuat ciri dan presesi
tertentu pada definisinya walaupun mencoba membuat ciri dan presesi tertentu
pada definisinya sendiri. Dalam ‘Uyun Al-Hikmah Ibnu Sina berkata,”Al-Hikmah (yang
baginya berarti sama dengan
filsafat ) adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui
konseptualisasi (tashawwur) atas
segala hal pembenaran (tashdiq) realitas-ralitas teoretis dan praktis
berdasarkan ukuran kemampuan manusia. Sementara itu, murid Ibn Sina yang paling
menonjol, Bahmanyar,yang mengidentifikasi falsafah dengan studi tentang
maujud-maujud seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina dalam karya-karya
Peripatetik semisal Al-Syifa’, mengulang diktum Aristotelian bahwa
filsafat adalah studi tentang wujud-wujud qua wujud-wujud. Bahmanyar
menulis pengantar pada tahshil-nya,”Tujuan ilmu-ilmu filsafat adalah pengetahuan tentang
wujud-wujud.
Pemikiran
Isma’iliyah dan Hermetiko-Pythagorean yang perkembangannya sejajar dengan
filsafat Peripatetik yang terkenal, tetapi perspektifnya berbeda memberi
definisi filsafat yang tidak jauh berbeda dengan definisi-definisi filsafat dari para filosof Periptetik yang
bahkan lebih menekankan hubungan antara aspek teoretis filsafat dan dimensi
praktisnya, antara berpikir filosofis dan menuntun ke kehidupan bijak. Gagasan
Barat modern tantang filosof tidak berkembang di dunia Islam dan cita ideal
yang diungkapkan oleh Ikhwan Al-Shafa’ yang hidup pada abad ke-4 H/ke-10 M
semasa dengan Ibn Sina, bahkan bergema lebih nyaring selama berabad-abad
dimanapun filsafat Islam hidup. Ikhwan
menulis, “Permulaan filsafat (falsafah )adalah cinta ada ilmu,
pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas wujud sebagai ukuran
kemampuan manusia, dan pamungkasnya adalah kata dan perbuatan yang sesuai
dengan pengetahuan itu.
Peneliti
Suhrawardi yang penuh semangat dan penerjemah Hikmah al-isyraq ke dalam
bahasa Perancis , Henry Corbin, lebih suka memakai istilah theosophie
(teosofi) daripada filsafat untuk menerjemahkan istilah hikmah ke dalam
bahasa Perancis sebagaimana yang
dipahami oleh Suhrawardi dan kemudian oerang-orang bijak semisal Mulla Shadra.
Pemakaian
istilah teosofi untuk mengacu pada makna istilah hikmah didasarkan pada
makna istilah teosofi yang berumur lama dalam sejarah intelektual Eropa
sebagaimana yang dinisbahkan kepada tokoh-tokoh seperti Jakob Bohme, dan bukan
sebagaimana istilah ini baru mulai digunakan pada akhir abad ke-13 H/ ke-19 M
oleah sejumlah okultis Inggris.
Dalam
Mulla Shadra, kita dapat menemukan bukan hanya usaha menyintesis berbagai
mazhab pemikiran Islam, melainkan juga pandangan-pandangan sebelumnya tentang
makna istilah dan konsep filsafat. Pada bagian awal Asfar,dia menulis
mengulangi kata per kata, dan merangkum sebagian dari definisi para
pendahulunya, Falsafah adalah upaya penyempurnaan atas jiwa manusia dan dalam
beberapa hal atas kemampuan manusia melalui pengetahuan tantang realitas esensial
segala sesuatu sebagaimana adanya dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka
yang ditetapkan atas dasar demonstrasi (burhan) dan bukan diturunkan
dari opini atau dugaan.
Mulla
Shadra menerima hikmah makna sebagaimana yang dipahami oleh Suhrawardi,
kemudian mengembangkan dan memperluas makna falsafah dengan memasukkan
dimensi iluminasi (pencerahan) dan realisasi yang diimplikasikan oleh pemahaman
kaum Isyraqi dan kaum sufi terhadap istilah itu.
Konsepsi
tentang filosof yang berhubungan dengan usaha menemukan kebenaran tentang
hakikat segala sesuatu dan usaha menggabungkan mental dengan kesucian dan
kesempurnaan wujud berhasil bertahan hingga sekarang dimanapun tradisi filsafat
Islam berlanjut terus. Pada kenyataannya konsepsi ini terkandung dan menjelma
dalam wujud para wakil paling terkemuka tradisi filsafat Islam hingga dewasa
ini. Karya dan kehidupan para pakar filsafat menunjukkan signifikansi definisi
dari Islam tantang filsafat sebagai realitas yang mengubah pikiran dan jiwa, serta realitas yang pada hakikatnya
tidak bisa dipisahkakn dari kemurnian dan kesucian spiritual tertinggi yang
merupakan implikasi dari istilah hikmah
dalam konteks Islam.
0 komentar:
Posting Komentar