Jumat, 19 April 2013

Makna dan Konsep Filsafat dalam Islam



Makna hikmah dan juga falsafah masuk ke dalam  bahasa Arab melalui usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H /ke-9 M. Hikmah dan falsafah tetap digunakan, sementara istilah-istilah seperti al-hikmah al-ilahiyyah dan  al-hikmah al-muta’aliyah mendapatkan makna dan dipakai pada abad sejarah Islam belakangan, khususnya di kalangan Mazhab Mulla Shadra.
Beberapa tokoh sufi seperti Tirmidzi disebut  sebagai hakim dan Ibn ‘Arabi menyebut kebijaksanaan yang terpapar melalui setiap manifestasi (pengejawantahan) logos sebagai hikmah seperti dapat dilihat dalam judul buku mahakaryanya, Fushush Al-HHHHikam, sedangkan banyak mutakallimun seperti Fahr Al-Din Al-Razi mengklaim kalam dan bukan falsafah yang dimaksud dengan hikmah itu. Ibn Khaldun menegaskan pandangan ini ketika menyebut kalam mutakhir (al-kalam al-muta’akhkhirin)sebagai filsafat atau hikmah.
Sebagian definisi dan makna dari konsep mengenai filsafat dan istilah hikmah serta falsafah yang berasal dari Yunani dan yang paling  lazim di kalangan filosof Islam adalah sebagai berikut:
1.      Filsafat (al-falsafah)adalah pengetahuan tentang segala yang ada qua maujud-maujud (asyya’ al-maujudah bi ma hiya maujudah).
2.      Filsafat ialah pengetahuan  tentang yang ilahiah dan yang insaniah.
3.      Filsafat mencari perlindungan dalam kematian, artinya cinta pada kematian.
4.      Filsafat adalah (upaya) menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia.
5.      Filsafat adalah seni (shina’ah)tentang seni-seni dan ilmu (‘ilm) tentang ilmu-ilmu.
6.      Filsafat adalah prasyarat bagi hikmah.
Filosof Islam pertama, Abu Ya’qub Al-Kindi menulis dalam Fi Al-Falsafah Al-Ula,Filsafat adalah pengetahuan tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena tujuan puncak filosof dalam pengehuan teoretis adalah untuk memperoleh kebenaran, dan dalam  pengetahuan praktis untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran. Ibn Sina juga menerima definisi-definisi pendahulunya walaupun mencoba membuat ciri dan presesi tertentu pada definisinya walaupun mencoba membuat ciri dan presesi tertentu pada definisinya sendiri. Dalam ‘Uyun Al-Hikmah Ibnu Sina berkata,”Al-Hikmah   (yang  baginya  berarti sama dengan filsafat ) adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur)  atas segala hal pembenaran (tashdiq) realitas-ralitas teoretis dan praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia. Sementara itu, murid Ibn Sina yang paling menonjol, Bahmanyar,yang mengidentifikasi falsafah dengan studi tentang maujud-maujud seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina dalam karya-karya Peripatetik semisal Al-Syifa’, mengulang diktum Aristotelian bahwa filsafat adalah studi tentang wujud-wujud qua wujud-wujud. Bahmanyar menulis pengantar pada tahshil-nya,”Tujuan  ilmu-ilmu filsafat adalah pengetahuan tentang wujud-wujud.
Pemikiran Isma’iliyah dan Hermetiko-Pythagorean yang perkembangannya sejajar dengan filsafat Peripatetik yang terkenal, tetapi perspektifnya berbeda memberi definisi filsafat yang tidak jauh berbeda dengan definisi-definisi  filsafat dari para filosof Periptetik yang bahkan lebih menekankan hubungan antara aspek teoretis filsafat dan dimensi praktisnya, antara berpikir filosofis dan menuntun ke kehidupan bijak. Gagasan Barat modern tantang filosof tidak berkembang di dunia Islam dan cita ideal yang diungkapkan oleh Ikhwan Al-Shafa’ yang hidup pada abad ke-4 H/ke-10 M semasa dengan Ibn Sina, bahkan bergema lebih nyaring selama berabad-abad dimanapun  filsafat Islam hidup. Ikhwan menulis, “Permulaan filsafat (falsafah )adalah cinta ada ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas wujud sebagai ukuran kemampuan manusia, dan pamungkasnya adalah kata dan perbuatan yang sesuai dengan pengetahuan itu.
Peneliti Suhrawardi yang penuh semangat dan penerjemah Hikmah al-isyraq ke dalam bahasa Perancis , Henry Corbin, lebih suka memakai istilah theosophie (teosofi) daripada filsafat untuk menerjemahkan istilah hikmah ke dalam bahasa Perancis  sebagaimana yang dipahami oleh Suhrawardi dan kemudian oerang-orang bijak semisal Mulla Shadra.
Pemakaian istilah teosofi untuk mengacu pada makna istilah hikmah didasarkan pada makna istilah teosofi yang berumur lama dalam sejarah intelektual Eropa sebagaimana yang dinisbahkan kepada tokoh-tokoh seperti Jakob Bohme, dan bukan sebagaimana istilah ini baru mulai digunakan pada akhir abad ke-13 H/ ke-19 M oleah sejumlah okultis Inggris.
Dalam Mulla Shadra, kita dapat menemukan bukan hanya usaha menyintesis berbagai mazhab pemikiran Islam, melainkan juga pandangan-pandangan sebelumnya tentang makna istilah dan konsep filsafat. Pada bagian awal Asfar,dia menulis mengulangi kata per kata, dan merangkum sebagian dari definisi para pendahulunya, Falsafah adalah upaya penyempurnaan atas jiwa manusia dan dalam beberapa hal atas kemampuan manusia melalui pengetahuan tantang realitas esensial segala sesuatu sebagaimana adanya dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas dasar demonstrasi (burhan) dan bukan diturunkan dari opini atau dugaan.
Mulla Shadra menerima hikmah makna sebagaimana yang dipahami oleh Suhrawardi, kemudian mengembangkan dan memperluas makna falsafah dengan memasukkan dimensi iluminasi (pencerahan) dan realisasi yang diimplikasikan oleh pemahaman kaum Isyraqi dan kaum sufi terhadap istilah itu.
Konsepsi tentang filosof yang berhubungan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hakikat segala sesuatu dan usaha menggabungkan mental dengan kesucian dan kesempurnaan wujud berhasil bertahan hingga sekarang dimanapun tradisi filsafat Islam berlanjut terus. Pada kenyataannya konsepsi ini terkandung dan menjelma dalam wujud para wakil paling terkemuka tradisi filsafat Islam hingga dewasa ini. Karya dan kehidupan para pakar filsafat menunjukkan signifikansi definisi dari Islam tantang filsafat sebagai realitas yang mengubah pikiran dan  jiwa, serta realitas yang pada hakikatnya tidak bisa dipisahkakn dari kemurnian dan kesucian spiritual tertinggi yang merupakan implikasi dari istilah hikmah  dalam konteks Islam.

0 komentar: