Rabu, 24 April 2013

Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas



Dewan Nicaea
Dewan Nicaea dibentuk tahun 325 untuk memecahkan pertentangan pandangan ini. Pengikut Arius menolak pandangan  tentang  penciptaan  eternal  (penciptaan yang  bebas   dari  dimensi  waktu),  sementara  Athanasius mempertahankannya. Pengikut Arius mengatakan bahwa anak diciptakan  dari tidak ada, sementara Athanasius mengatakan bahwa dia  diciptakan  dari  esensi  Bapak.  Pengikut  Arius berpendapat  bahwa anak tidak sama substansinya dengan Bapak sementara   Athanasius   berpendapat   bahwa   anak   adalah homoousios dengan Bapak. Di samping kedua pihak yang bertentangan itu masih ada pihak tengah yang merupakan  mayoritas  yang  dipimpin  oleh ahli sejarah  gereja, yakni  Eusebius  dari  Caesarea,  dan juga dikenal sebagai pihak Origenistik dan landasan  pandangannya adalah  asas-asas yang dikemukakan Origen. Pihak ini condong kepada pihak Arius dan menentang  doktrin  bahwa  anak  sama substansinya dengan Bapak (homoousios). Pihak ini mengajukan suatu pernyataan yang  telah  diketengahkan  Eusebius,  yang menyerahkan  segala  sesuatunya  kepada  pihak Alexander dan Athanasius dengan satu pengecualian yakni doktrin  di  atas dan  menyatakan  bahwa  istilah homoousios hendaknya diganti dengan homoiousios. Jadi mereka mengajarkan bahwa anak  sama substansinya  dengan  Bapak. Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya pihak Athanasius  berhasil  memenangkannya.
Dewan  Nicaea akhirnya mengeluarkan pernyataan: Kita percaya kepada Tuhan Yang Esa, Bapak yang  Maha bisa,  Pencipta  yang tampak  maupun  tidak  tampak.  Dan  percaya pada satu tuhanYesus Kristus yang sama substansinya (homoousios) dengan Bapak  dan  seterusnya. Ini merupakan pernyataan yang tegas, dimana esensi anak dinyatakan identik dengan esensi Bapak; sama  tingginya  dengan Bapak serta mengakui Kristus sebagai autotheos.

a. Akibat dampak negatif keputusan tersebut
Keputusan yang dihasiIkan Dewan Nicaea  tidak  menyelesaikan kontroversi Trinitas, bahkan  ternyata merupakan awal dari kontroversi tersebut. Penyelesaian yang diberlakukan  Gereja dengan   dukungan   kerajaan  tidaklah  memuaskan  dan  juga diragukan  tidak  akan  bertahan  lama.  Hal  ini  berakibat penentuan  keimanan orang Kristen bergantung kepada pandangannya atau kekuasaan kerajaan dan  bahkan  bergantung kepada  intrik-intrik   pengadilan.  Athanasius  sendiri, walaupun memenangkan perdebatan, tidak puas dengan cara atau metode pemecahan masalah kegerejaan atau kerohanian seperti itu. Dia cenderung  berusaha  meyakinkan  para  penentangnya dengan  kekuatan  argumen-argumen  yang diajukan karena dari kenyataan di atas  nyatalah  bahwa  pergantian  kaisar  atau raja, perubahan suasana, bisa mengubah seluruh aspek kontroversi tersebut. Pihak yang dimenangkan  sekarang bisa menjadi pihak yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian hari oleh kerajaan. Dan inilah  yang  sering  terjadi  dalam sejarah selanjutnya.

0 komentar: