Dewan
Nicaea
Dewan
Nicaea dibentuk tahun 325 untuk memecahkan pertentangan pandangan ini. Pengikut
Arius menolak pandangan tentang penciptaan
eternal (penciptaan yang bebas
dari dimensi waktu),
sementara Athanasius mempertahankannya.
Pengikut Arius mengatakan bahwa anak diciptakan
dari tidak ada, sementara Athanasius mengatakan bahwa dia diciptakan
dari esensi Bapak.
Pengikut Arius berpendapat bahwa anak tidak
sama substansinya dengan Bapak sementara
Athanasius berpendapat bahwa
anak adalah homoousios dengan
Bapak. Di samping kedua pihak yang bertentangan itu masih ada pihak tengah yang
merupakan mayoritas yang
dipimpin oleh ahli sejarah gereja, yakni
Eusebius dari Caesarea,
dan juga dikenal sebagai pihak Origenistik dan landasan pandangannya adalah asas-asas yang dikemukakan Origen. Pihak ini
condong kepada pihak Arius dan menentang
doktrin bahwa anak
sama substansinya dengan Bapak (homoousios). Pihak ini mengajukan suatu pernyataan
yang telah diketengahkan
Eusebius, yang menyerahkan segala
sesuatunya kepada pihak Alexander dan Athanasius dengan satu
pengecualian yakni doktrin di atas dan
menyatakan bahwa istilah homoousios hendaknya diganti dengan
homoiousios. Jadi mereka mengajarkan bahwa anak
sama substansinya dengan Bapak. Setelah melalui perdebatan yang panjang
akhirnya pihak Athanasius berhasil memenangkannya.
Dewan Nicaea akhirnya mengeluarkan pernyataan: Kita
percaya kepada Tuhan Yang Esa, Bapak yang
Maha bisa, Pencipta yang tampak
maupun tidak tampak.
Dan percaya pada satu tuhanYesus
Kristus yang sama substansinya (homoousios) dengan Bapak dan
seterusnya. Ini merupakan pernyataan yang tegas, dimana esensi anak dinyatakan
identik dengan esensi Bapak; sama
tingginya dengan Bapak serta
mengakui Kristus sebagai autotheos.
Keputusan
yang dihasiIkan Dewan Nicaea tidak menyelesaikan kontroversi Trinitas, bahkan ternyata merupakan awal dari kontroversi
tersebut. Penyelesaian yang diberlakukan
Gereja dengan dukungan kerajaan
tidaklah memuaskan dan
juga diragukan tidak akan
bertahan lama. Hal
ini berakibat penentuan keimanan orang Kristen bergantung kepada pandangannya
atau kekuasaan kerajaan dan bahkan bergantung kepada intrik-intrik pengadilan.
Athanasius sendiri, walaupun
memenangkan perdebatan, tidak puas dengan cara atau metode pemecahan masalah
kegerejaan atau kerohanian seperti itu. Dia cenderung berusaha
meyakinkan para penentangnya dengan kekuatan
argumen-argumen yang diajukan
karena dari kenyataan di atas
nyatalah bahwa pergantian
kaisar atau raja, perubahan
suasana, bisa mengubah seluruh aspek kontroversi tersebut. Pihak yang
dimenangkan sekarang bisa menjadi pihak
yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian hari oleh kerajaan. Dan
inilah yang sering
terjadi dalam sejarah
selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar